BEBERAPA KETENTUAN
UMUM
DALAM BUKU PERTAMA KUHP
(PENYERTAAN, GABUNGAN BEBERAPA PERBUATAN YANG DAPAT
DIHUKUM, TINDAK PIDANA ADUAN DAN PENGULANGAN)
Brigjen Pol. Drs. H.A.K. MOCH. ANWAR, S.H. (DADING)
|
PENERBIT
ALUMNI / 1982 / BANDUNG
KOTAK POS 272
SEDIKIT CATATAN TENTANG PENULIS
Brig.Jen.Pol. Drs.
H.A.K, Mochamad
Anwar S.H. (Dading) - Sekarang mengajar sebagai dosen luar
biasa di P.T.I.K. dan Fakultas Hukum UNKRIS. Di Universitas yang sama penulis pernah menjabat sebagai
Sekretaris Rektor. Semenjak 1981 Penulis ditunjuk sebagai anggota team
Pengkajian Hukum Pidana BPHN.
Dari sekian banyak pekerjaan
yang pernah dijabatnya yang penting adalah Direktur Reserse Ekonomi - Komando Reserse (1971 - 1975),
Ketua
Team Pemeriksa Khusus Bank-bank untuk seluruh
wilayah Indonesia (1973 - 1975),
Direktur Reserse Kriminil Komando
Reserse dan Anggota MPR Rl sejak 1977 - 1982.
Di sarnpjng
pekerjaan-pekerjaan utama di atas ia juga memangku jabatan-jabatan rangkap, yang terpenting adalah : menjadi Hakim
Ketua Pengadilan POLRI/ MABAK, Anggota Team
Hakim MAHMILUB (1966). Hakim Ketua/MAHAK Komdak VII Jaya
(1967-1968), Ketua MAHAKTI (1970-1972) dan menjadi Ketua Sidang Lokakarya Bidang Penyelundupan yang
diselenggarakan oleh Bakolak Inpres
6/1971.
Tanda - tanda jasa yang
diperolehnya adalah Satya Lencana P.K.
I dan P.K. II; Peringatan
Perjuangan Kemerdekaan; Penegak dan Bintang Bhayangkara Nararya dan lain - lain.
Hasil karya tulisnya yang
telah diterbitkan Penerbit Alumni :
-
Hukum Pidana
Bagian Khusus (KUHP buku II) Jilid I dan II.
-
Segi-segi Hukum
Masalah Penyelundupan.
-
Hukum Pidana di
bidang Ekonomi.
-
Tindak Pidana di
bidang Perbankan.
- Beberapa Ketentuan Umum
Dalam Buku Pertama KUHP
KATA PENGANTAR CETAKAN PERTAMA
Buku ini disusun berdasarkan pengalaman penulis yang juga
mengusahakan semua istilah
Belanda diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia.
Buku ini meliputi uraian tentang ketentuan-ketentuan
umum yang perlu difahami dan dikuasai khususnya mengenai penyertaan, berhubung
di dalam praktek masih dijumpai kekeliruan-kekeliruan dalam penerapan
ketentuan-ketentuan tersebut dalam berbagai kasus.
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam penulisan ini telah diusahakan
sesederhana mungkin untuk dapat dimengerti secara mudah.
Semoga buku ini berguna dalam usaha peningkatan penguaasaan
pengetahuan hukum pidana, khususnya tentang beberapa teori tentang hukum pidana
yang dianut oleh KUHP.
Jakarta, 28 Pebruari 1981
Penulis,
KATA PENGANTAR CETAKAN KE-DUA
Cetakun
kedua ini diterbitkan tanpa perubahan maupun tambahan, Ketentuan-ketentuan
umum dalam Buku I KUHP itu masih belum dipahami sepenuhnya, berhubung di dalam
praktek penerapannya, khususnya mengenai soal PENYERTAAN (a.l.
pasal 55 (1) ke-1) masih
sering dijumpai kekeliruan-kekeliruan.
Semoga dengan uraian-uraian dalam buku ini soal-soal
tersebut dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pemakainya.
Jakarta, 4 Oktober 1982.
Penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR CETAKAN ^ERTAMA v
KATA
PENGANTAR CETAKAN KEDUA vi
BAB I. PENYERTAAN 1
1.
Pengertian 1
2.
Istilah pelaku dalam pasal
55 (1) KUHP 7
3.
Mereka yang melakukan
perbuatan 10
4.
Mereka yang menyuruh
melakukan perbuatan 14
5.
Mereka yang turut serta
melakukan perbuatan 17
6.
Pembujukan (Pasal 55 (1)
ke-2) 31
7.
Perbuatan pemberian
bantuan (Pasal 56) 44
8. Pengaruh
masalah pribadi terhadap penghukuman peserta (pasal 58) 63
9. 9. Kejahatan dengan alat cetak 68
BAB II. GABUNGAN PERBUATAN-PERBUATAN /YANG DAPATDIHUKUM 84
1.
Gabungan satu perbuatan 89
2.
Gabungan beberapa
perbuatan . 95
3.
Perbuatan lanjutan 100
BAB III. TINDAK PIDANA ADUAN
BAB IV. PENGULANGAN ATAU RESIDIVE 115
BAB V. PENGGUGURAN
HAK ATAS PENUNTUTAN HUKUMAN DAN
HAK
ATAS PELAKSANAAN HUKUMAN ..... 121
LAMPIRAN TERJEMAHAN ISTILAH-ISTILAH BELANDA
...... 130
KEPUSTAKAAN 131
BAB I
PENYERTAAN
1.
PENGERTIAN
Pada saat ini hampir setiap tindak pidana
yang terjadi dilakukan oleh lebih dari seorang. Jadi pada setiap tindak pidana itu selalu terlibat lebih dari pada seorang yang
berarti terdapat orang-orang lain yang
turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana
itu di luar seorang pelaku.
Tiap-tiap
peserta mengambil bagian atau tiap-tiap peserta memberikan
sumbangan ataupun andil dalam bentuk sesuatu perbuatan dari
para peserta, tindak pidana itu tidak akan terlaksana atau selesai.
Dalam hal yang demikian secara logis
pertanggungjawabannya pun harus "dibagi" di antara para peserta,
dengan perkataan lain tiap-tiap peserta harus juga turut
dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatannya, berhubung tanpa perbuatannya tidak mungkin tindak pidana itu terselesaikan.
Ajaran penyertaan ini mempersoalkan
pertanggungjawaban dari tiap-tiap peserta di dalam pelaksanaan
suatu tindak pidana. Karenanya dipersoalkan "bagian" hukuman apa yang harus dijatuhkan kepada tiap-tiap peserta dalam
pelaksanaan tindak pidana itu.
Suatu tindak pidana pada umumnya dapat
dilaksariakan oleh seorang pelaku saja. Dalam hal ini hanya diperlukan penelitian atas perbuatan-perbuatan pelaku yang memenuhi perumusan tindak piaana atau unsur-unsur dari tindak pidana
itu untuk? di-minta
pertanggungjawaban dari pelaku tersebut atas' perbuatan-perbuatannya
itu. Tetapi lain halnya apabila terdapat beberapa orang yang bersama-sama melaksanakan tindak pidana itu. Para peserta masing-masing melakukan
perbuatan-perbuatan yang
apabila dijumlahkan merupakan suatu kesatuan sebagai satu perbuatan yang memenuhi perumusan
tindak pidana. Penentuan pertanggungjawaban
masing-masing peserta atas tindak pidana itu akan menimbulkan persoalan, karena tiap-tiap peserta
melaku-karj perbuatan
yang berbeda. Meskipun perbuatan-perbuatan itu berbedat, , tetapi secara keseluruhan
perbuatan-perbuatan itu memenuhi
seluruh unsur dari suatu tindak pidana atau memenuhi perumusan tindak pidana.
Apabila BAB V PENYERTAAN ini tidak terdapat
dalam KUHP, maka
peserta-peserta
tersebut akan dibebaskan dari segala tanggungjawab atas perbuatannya
masing-masing dalam pelaksanaan tindak pidana bersama-sama.
Bab
PENYERTAAN memungkinkan seorang peserta dapat dihukum atas perbuatannya,
walaupun perbuatan tersebut hanya memenuhi sebagian saja dari perumusan tindak
pidana, atau peserta itu hanya memberikan sumbangan maupun bantuan dalam bentuk
perbuatan-perbuatan tertentu kepada orang lain untuk melaksanakan tindak pidananya.
Dengan demikian ajaran
PENYERTAAN ini mempersoalkan PERANAN atau
HUBUNGAN tiap-tiap peserta dalam suatu pelaksanaan tindak pidana, sumbangan apa yang diberikan oleh
tiap-tiap peserta, agar tindak pidana itu dapat dilaksanakan/diselesaikan (voltooid), serta pertanggungjawabannya
atas sumbangan/ bantuan itu.
Hubungan antar peserta dalam penyelesaian tindak pidana tersebyt
dapat bermacam-macam:
a. Bersama-sama
melakukan sesuatu kejahatan.
b. Seseorang mempunyai kehendak dan merencanakan
sesuatu kejahatan, sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.
c. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana,
sedangkan orang lain membantu dalam melaksanakan tindak pidana tersebut.
Dengan
demikian penyertaan terjadi, apabila dalam suatu tindak pidana
terlibat beberapa orang atau lebih dari seorang atau terdapat lebih dari
seorang peserta dalam pelaksanaan tindak pidana, tindak pidana mana dapat
dilakukan/diselesaikan oleh seorang saja.
Karenanya
ajaran penyertaan berpokok kepada penentuan per-tanggungjawaban dari pada
setiap peserta atas perbuatan-perbuatan masing-masing dalam pelaksanaan
tindak pidana (= pertanggungjawaban atas sumbangan yang diberikan oleh
tiap-tiap
peserta dalam pelaksanaan tindak pidana tersebut). VAN
HAMEL menyatakan: PENYERTAAN adalah: -w,{: •
- "Ajaran
pertanggungjawaban
atau pembagian pertang gungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang
menurut pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan
tindakan secara sendiri."
Dalam
masalah penyertaan ini terdapat:
Seorang pelaku psykhis (atau intelektual)
dan peiaku materiil (fisik) dari suatu tindak pidana.
- Tindak pidana dilakukan oleh "dua atau lebih" orang, dengan catatan:
- Tidak setiap kegiatan dari tiap-tiap orang tersebut menimbulkan pertanggungjawaban secara vhukum pidana ataupun pertanggungjawaban yang sama bagi, orang-orang tersebut.
PENYERTAAN dapat dibagi menurut sifatnya:
- Bantuk penyertaan yang
berdiri sendiri. ._.,../,.
.,Yang termasuk jenis mi adalah mereka yang
melakukan, dan yang turut serta melakukan tindakan pidana. i Pertanggungjawaban
masing-masing peserta dmilai/ dihargai sendin-sendin atas segala
perbuatan/tindakan i ,I,.yang dilakukan: dentuk penyertaan yang
tidak berdiri sendiri.
■ :
Yang termasuk jenis mi adalah pembujuk, pembantu dan ,; yang menyuruh untuk melakukan
suatu tindak pidana.
Pertanggungjawaban
dan peserta yang satu digantungkan ;ijq
npada perbuatan peserta lain. Apabila oleh
peserta lain
. ■, i
-dilakukan perbuatan yang dapat dihukum, peserta yang ; » > ssatujuga dapat
dihukum.
• Pasal5b:
> (1) Dihukum sebagai pembuat/pelaku dari sesuatu tindak
pidana:
;;i
i,; ke-1.
orang yang melakukan. yang menyuruh melaku-; j.' n.'T Ran atau yang turut serta
melakukan; iisic ke-2.
orang yang dengan pembenan upah, perjanjian, penyalah-gunaan kekuasaan atau martabat, menggunakan
paksaan, ancaman atau tipu musli-lif'isisVti'uvJhat atau karena memberi
kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja
membujuk ,'gnr»iG fir supaya perbuatan itu dilakukan.
(2) Terhadap orang-orang yang tersebut dalam
ke-2 dapat HiCiiic-dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang
rrui/iirsengaja
dibujuk serta akibat-akibat perbuatan itu.
KUHP tidak mengadakan perbedaan, tetapi diadakan
perincian antara:
a. Pelaku,
b. Pembantu,
hal
mana diatur dalam Bab V Bu'ku Fertama
KUHP.
Pengertian pelaku dalam pasal 55 ayat
1 KUHP menimbulkan perbedaan
pendapat. ■ , ,,.
Terdapat dua pendapat: ,_ ,,,;,-
- Peserta
adalah pelaku.
-
Peserta adalah bukan pelaku. ,i;, ,,:,.,c
Peserta adalah bukan pelaku, karena perbuatannya tidak memenuhi semua unsur'dai Tindak pidana, tetapi dianggap sebagai pelaku dalam penghukumannya.
Peserta adalah bukan pelaku, karena perbuatannya tidak memenuhi semua unsur'dai Tindak pidana, tetapi dianggap sebagai pelaku dalam penghukumannya.
Hoge Raad dalam Arrestnya
tertanggal 21.April 1913 (H.J.J913) menyatakan:
- Peserta adalah bukan pelaku, tetapi hanya hukuman maksimum yang dapat
dijatuhkan kepada
peserta adalah ,v
sama dengan hukuman yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku penuh.
-
Yang menyuruh melakukan
tidak perlu memenuhi semua syarat bagi seorang pelaku. . .,,,,■,
Arrest H.R. tanggal 27 Agustus 1932 (H.J.
1932). menyatakan:
- Peserta adalah pelaku, seperti
pendapat pertama, dengan
• mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut: ;.. ;
, , ■ : .
•
- Pasal 55 ayat 1 KUHP menyebut, bahwa mereka. Yang melakukan dianggap
menjadi pelaku dan "dihukum.sebagai pelaku". -.,.., ,;VmV: ,■
- Beberapa pasal seperti pasal 58 dan 367 KUHP, menyebut pelaku
dan pembantu sebagaimana tersebut dalam pasal 55 dan
pasal 56 KUHP, yaitu: .
■*$&&&
Pasal 55 KUHP: Semua peserta adalah pelaku. –rtgouwl Pasal 56 KUHP: Pembantu adalah peserta.
Pasal 55 KUHP: Semua peserta adalah pelaku. –rtgouwl Pasal 56 KUHP: Pembantu adalah peserta.
MVT menyatakan dengan tegas, bahwa semua jenis orang yang disebut dalam pasal 55 KUHP adalah pelaku.
Dikemukakan oleh beberapa
sarjana, bahwa istilah pelaku itu hanya'merupakan istilah "pengumpul" (verzamelterm) yang berarti:
-
Setiap orang yang melakukan sesuatu tanpa mempersoalkan apakah
perbuatan
tersebut
memenuhi semua unsur dari suatu
tindak pidana atau tidak.
-
Semua
orang yang telah turut mengambil bagian dengan caranya masing-masing dalam sesuatu tindak
pidana dan yang oleh Undang-undang disama-ratakan (op
een lijn stellen) dengan
mereka yang memenuhi secara sempurna isi dari pada rumusan
tindak pidana.
Dengan
demikian "Sebagai pelaku dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum" harus
ditafsirkan sebagai:
"Mereka
yang melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum tanpa'1
mempersoalkan cara mereka mengambil
bagian dalam pelaksanaan tindak
pidana". Yang penting adalah bahwa mereka
melakukan sesuatu perbuatan hingga istilah pelaku
hanya merupakan suatu "verzamelterm" untulC' menyatukan berbagai
jenis orang yang oleh
Undang-undang (KUHP) dimaksudkan, agar
golongan yang satu ini dihadapkan
dengan golongan lain, yaitu pemberi bantuan yang sejalan dengan yang diperoleh dari sejarah dihadapkan dengan jenis peserta lain.
Anselm
Von Feuerbach membagi dua macam jenis peserta yaitu:
-
mereka yang berusaha langsung
agar tindak pidana itu di laksanakan.
-
mereka yang membantu usaha mereka, yang tidak
langsung berusaha melaksanakan atau menyelesaikan tindak pidana
itu.
2. ISTILAH PELAKU DALAM PASAL 55 AYAT 1
KUHP.
Dalam
perumusan tiap-tiap tindak pidana sudah dapat diketahui dengan jelas
penentuan seorang pembuat atau pelaku. Perumusan dari setiap tindak pidana dibuat
sedemikian rupa untuk ditujukan langsung terhadap seorang
pelaku tindak pidana yang melakukan pelaksanaan tindak pidana daiam
keseluruhan-,
nya secara tersendiri. Tindakan-tindakan seorang pelaku harus memenuhi semua unsur-unsur yang terdapat di dalam perumusan tindak pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
seseorang merupakan pembuat atau pelaku dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, bilamana tindakan-tindakannya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan perbuatan yang dapat dihukum tersebut. Dalam setiap tindak pidana formil unsur-unsur dinyatakan sebagai suatu tingkah laku yang dirumuskan secara terperinci terlepas daripada suatu akibat, hingga untuk menentukan siapa pelaku (orang yang melakukannya) hanya dapat diteliti dengan menjawab - "barang siapa yang melakukan tindakan-tindakan yang sesuai' dengan perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang". Tetapi lain halnya dengan tindak pidana materiil di mana :harus diketahui terlebih dahulu apakah suatu tindakan atau tingkah laku seseorang dapat menimbulkan akibat-akibat yang dilarancj. Hal ini ditentukan dengan ajaran sebab-akibat (Causalitas). Pendapat-pendapat dalam ajaran sebab-akibat ini mempunyai arti prinsipiil bagi penentuan pelaku atau pembuat dalam tindak pidana materiil. Karenanya anggapan ini berlaku juga bagi seluruh ajaran penyertaan. >-!'< •
nya secara tersendiri. Tindakan-tindakan seorang pelaku harus memenuhi semua unsur-unsur yang terdapat di dalam perumusan tindak pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
seseorang merupakan pembuat atau pelaku dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, bilamana tindakan-tindakannya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan perbuatan yang dapat dihukum tersebut. Dalam setiap tindak pidana formil unsur-unsur dinyatakan sebagai suatu tingkah laku yang dirumuskan secara terperinci terlepas daripada suatu akibat, hingga untuk menentukan siapa pelaku (orang yang melakukannya) hanya dapat diteliti dengan menjawab - "barang siapa yang melakukan tindakan-tindakan yang sesuai' dengan perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang". Tetapi lain halnya dengan tindak pidana materiil di mana :harus diketahui terlebih dahulu apakah suatu tindakan atau tingkah laku seseorang dapat menimbulkan akibat-akibat yang dilarancj. Hal ini ditentukan dengan ajaran sebab-akibat (Causalitas). Pendapat-pendapat dalam ajaran sebab-akibat ini mempunyai arti prinsipiil bagi penentuan pelaku atau pembuat dalam tindak pidana materiil. Karenanya anggapan ini berlaku juga bagi seluruh ajaran penyertaan. >-!'< •
Bila ajaran "EQUIVALENTIE", di mana setiap
syarat bagi suatu akibat merupakan sebab dari pada akibat yang diperlukan dalam
penyertaan,
maka pengertian pelaku atau pembuat akan diperluas dengan
menyuruh melakukan, pembujukan, bahkan dengan pemberian bantuan, karena tindakan
dari seorang yang menyuruh
melakukan, yang membujuk dan yang memberi bantuan akan merupakan sebab dari timbulnya akibat
berdasarkan ajaran equivalensi.
dengan demikian perbuatan seseorang yang
menyuruh melakukan,
yang membujuk dan yang hanya memberikan bantuan dalam sesuatu tindak pidana materiil dapat dinyatakan sebagai pembuat atau pelaku penuh, kecuali apabila
undang-undang menetapkan lain. Tetapi
dalam ajaran adequate terdapat suatu syarat pokok yang menetapkan, bahwa
"sebab" tersebut harus adequate
atau seimbang dengan akibatnya, hingga bentuk-bentuk pehyertaan tersebut di atas tidak dapat dianggap
sebagai pembuat atau pelaku penuh.
Tetapi di antara para pelaku yang melakukan
sendiri secara sempurna sesuatu perbuatan yang dapat dihukum di satu pihak dan orang yang menyuruh melakukan, yang membujuk dan yang memberikan bantuan, di
lain pihak terdapat perbedaan yang
prinsipiil sekali.
. Pembujuk
dan pelaku adalah pengertian-pengertian yang berbeda sekali. Setiap tindak pidana telah
dirumuskan secara tegas untuk memudahkan
penentuan pelakunya. Tiada dapat
disangkal suatu tindak pidana atau pembujuk adalah bukan pelaku atau pembuat, sebab perumusan tindak
pidana telah menetapkan syarat-syarat
atau unsur-unsur bagi pelaku-atau
pembuat-nya. Dengan demikian pasal 55
KUHP menetapkan bahwa para penyuruh
dan pembujuk hanya dipersamakan (op een lijn stellen) dengan seorang pelaku atau pembuat yang memenuhi
perumusan tindak pidana, dalam hal
mana penyuruh dan pembujuk tidak perlu
memenuhi semua syarat/unsur yang diperlukan bagi seorang pelaku atau pembuat. Dengan
demikian Bab V Penyertaan dalam KUHP pasal 55 dan pasal 56 memperluas lingkungan orang-orang yang hams diper-tanggungjawabkan menurut hukum pidana
atas terjadinya sesualu
tindak pidana atau percobaannya.
3. MEREKA YANG MELAKUKAN PERBUATAN
sjSfj' Mejakqkan berarti,
bahwa hanya satu orang memenuhi psrumusan perbuatan itu secara keseluruhan.
Pada tindak pidana formil
kadang-kadang sulit dinyatakan sebagai melakukan dalam hal dipergunakan orang
lain sebagai alat. Tetapi pembatasannya sudan dapat ditetapkan dengan ketentuan,
bahwa dalam hal tidak adanya
tindakan dari orang orang lain yang dipergunakan dalam penyelesaian suatu tindak
pidana.
Terdapat pendapat bahwa yang dimaksudkan dengan
pelaku adajah pelaku TUNGGAL, sedangkan
yang dimaksudkan dengan peserta
adalah pelaku peserta.
Pendapat lain menyatakan,
bahwa dengan pengertian demikian Undang-undang memasukkan soal pelaku tunggal
dalam ajaran-penyertaan, sedangkan penyertaan baru terjadi apabila beberapa orang turut serta dalam
pelaksanaan sesuatu tindak pidana. Perumusan "mereka yang melakukan
perbuatan" dimaksudkan ofeh Undang-Undang adalah pelaku peserta, juga termasuk pelaku tunggal,
Tetapi.terhadap pelaku tunggal, ketentuan ini
tidak mempunyai arti, sebab dengan
sendirinya ia dapat dihukum. Untuk pelaku peserta tidak begitu mudah, sebab Undang-Undang tidak mem-berikan
perbedaan daiam ancaman hukuman menurut intensitas dari pada kegiatan
bantuannya, Semua pelaku pGserta diancam dengan hukuman yang sama dengan pelaku tunggal. Mereka yang melakukan bersama-sama perbuatan yang dapat
dihukum adalah pelaku, tetapi mereka
adalah satu sama lain saling menjadi pelaku peserta. Dengan demikian pelaku
peserta harus ditafsirkan lain dari
pada pelaku.
Dengan demikian tidak akan terdapat 2 (dua]
pengertian yang sama disebut di dalam satu
ketentuan (Vide NOYONS mengenai pasal 284). Untuk pelaku peserta disyaratkan perbuatan pelaksanaan. Dalam tindak pidana formil, perbuatan pelaksanaan terjadi apabila unsur-unsur konstitutif dari tindak
pidana itu teiah dipenuhi oleh perbuatan tersebut, termasuk ma'salah yang memperberat hukuman.
Contoh:
- Pencurian dengan kekerasan
{Pasal 365 ayat 1).
A melakukan perbuatan
pengambilan, sedangkan B meiakukan perbuatan pemukulan (kekerasan). A melakukan
pencurian biasa, tetapi B
tidak melakukan pencurian.
Dengan demikian B hanya
pelaku peserta.
- Penitupan (Pasal 378)
A meiakukan perbuatan
membujuk orang lain urituk menye-rahkan sesuatu, sedangkan B melakukan
perbuatan tipu muslihat.
Baik A maupun B tidak memenuhi unsur kejahatan penipuan, masing-masing hanya memenuhi
sebagiah dari pada
unsur-unsur, hingga A maupun B adalah pelaku peserta.
ibila seorang pelaku tidak
melakukan perbuatan penyelesaiah atau memiliki sifat pribadi, tetapi
kerja-samanya erat sekali, maka dtsebut turut serta melakukan. Contoh:
Tidak memiliki sifat pribadi
"telah menikah" dalam pasal 284 KUHP dianggap pelaku peserta. Tunsprudensi menetapkan hal
tersebut sebagai pelaku peserta. contoh:
Pengadilan Tulungagung tanggal 5 Januari 1939.
A seorang
wanita sebagai penerima komisi menerima gelang emas milik orang lain untuk
dtjual.
Bsuapiinya mengetahui hal
mi, dan menggadaikan gelang-emas tersebiJt,,sedangkan B tidak memiliki unsur
menguasai gelang-emas,
tetapi ia melakukan perbuatan pelaksanaan dan diper-salahkan melakukan
perbuatan turut serta melakukan peng-gelapan.
Begitu pula dalam MVT
mengenai pasal 55 ayat 1 KUHP disebut pelaku peserta dalam perumusan turut serta
melakukan dan selalu
dipergunakan dalam arti pelaku peserta. D.ajam; .Undang-Undang pengertian
pelaku peserta tidak dapat ditemukan, Undang-Undang mengenai hanya pelaku yang
ber-hubungan
dengan soal dapat dihukumnya pelaku atau pembuat. Hanya dalam beberapa hal
terdapai sekumpulan pelaku sebagai masalah memberatkan yang mengakibatkan
memperberat hukum-.an,
gedangkan beberapa tindak pidana tidak dapat dilakukan tanpa kerja-sama, antara
lain permufakatan, pasal 363 ayat 1 ke-4 dan pagat .11.0 ayat 1. (
,Berdasa.rkan
yurisprudensi dan pendapal tersebut di atas bebe-rapa sarjana menyatakan, bahwa- yang
dimaksudkan dengan melakukan
adalah mereka yang melaksanakan sendiri suatu .perbuatan yang dirumuskan dalam ketentuan
pidana tanpa turut sertanya.orang
lain.
Perumusan ini sebetulnya
berkelebihan, sebab bila perumusan ini tidak dicantumkan dalam pasal 55 KUHP, tetap
akan dapat diketahui
siapa yang menjadi pelaku;
- Dalam tindak
pidana formil: Pembuat adalah barang siapa memenuhi perumusan tindak pidana, atau melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, misalnya mengambil.
- Dalam tindak pidana materiil:
Pembuat adalah barang siapa menimbulkan
akibat yang dilarang, misalnya mati, luka.
- Dalam tindak pidana yang
memiliki kualitas: pelaku adalah barang siapa yang memiliki kualitas,
misalnya pegawai negeri. Dari
uraian ini tersimpul, bahwa pelaku adalah mereka yang memenuhi semua unsur dari pada perumusan
tindak pidana.
"YANG MELAKUKAN"
adalah pelaku sempurna/penuh, yaitu yang melakukan sesjatu perbuatan yang memenuhi
semua unsur-unsur
yang dirumuskan dalam suatu tindak pidana alau yang melakukan perbuatan yang
memenuhi perumusan tindak pidana. Pada umumnya dengan mudah sekali diketahui
siapa yang dapat dinyatukan
sebagai pelaku sempurna dan siapa yang bukan. Tetapi kesulitan timbul dalam hal
"Voortdurende delicten", karena tidak ada penjelasan siapa yang
berkewajiban mencegah atau menghentikan berlangsungnya suatu situasi yang
terlarang dalam
hal yang menimbulkan ataupun yang melakukan atau yang melangsungkanpya. Putusan H.R. tanggal 19
Desember 1910:
"Pelaku menurut
Undang-undang adalah pada umumnya seseorang yang memiliki kemampuan untuk
menghenti-kan situasi yang terlarang,
tetapi ketentuan ini belum memberikan kepastian
siapa."
A: MEREKA YANG MENYURUH MELAKUKAN
Perbuatan
menyuruh melakukan perbuatan (feit) adalah suatu bentuk'^penyertaan. Dalam hal ini orang yang telah benar-benar "meiaKukan, tidak dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya,' sedaiigkan orang
lain dipertanggungjawabkan atas perbuat-, an yang nyata dilakukan oleh orang yang disuruh melakukan. Yang '■'menyuruh1
melakukan ini tidak ada perumusannya dalam KUHP, hingga" harus
dicari
dalam
riwayat
pembentukan pasalnya.
'■MVT: Perbuatan "menyuruh melakukan" terdapat dalam hal 'tindak pidana itu
terjadi dengan perantaraan seorang manusia lain:
—, Yang dipergunakan
sebagai alat dalam tangan pelaku.
.".'-Yang karena tanpa sepengetahuannya terbawa
dalam suatu keadaan atau karena
terbawa dalam suatu kekeliruan atau karena
kekerasan, sehingga ia menyerah. untuk
bertindak tanpa maksud ataupun kesalahan (kulpa) maupun tanpa dapat diperhitungkan sebelumnya.
Dari uraian dalam MVT
tersebut dapat dikemukakan, bahwa dalam perbuatan menyuruh melakukan tindak pidana ini
terdapat seseorang
yang mempunyai maksud melakukan sesuatu tindak pidana (kejahatan), akan tetapi ia menyuruh
orang lain untuk melaksanakannya.
Dalam perbuatan menyuruh melakukan ini
termuat suatu arti, bahwa perbuatannya karena masalah-masalah
tertentu menjadi perbuatan yang dapat dihukum dan selalu
harus merupakan perbuatan pelaksanaan. Sebaliknya pada orang
"yang menyuruh nya" harus selalu ada niat atau maksud
yang disyaratkan dalam perumusan tindak pidana dan niat itu
dipergunakan untuk meriggerakkan pelaksanaan tersebut.
Seakan-akan yang menyuruh melakukan perbuatannya teiah
melakukannya sendiri.