Pendahuluan
Salah satu fenomena kejahatan yang terjadi dalam masyarakat saat ini adalah begitu maraknya praktik atau aksi premanisme di kalangan masyarakat. Belakangan diberbagai media memberitakan salah satu gembong penjahat di Jakarta ditangkap polisi. Salah satu cuplikan beritanya : “Akhirnya John Key sang Gengster harus menerima pil pahit ketika kaki kanannya disasar peluru dari moncong senapan seorang aparat kepolisian. Polisi menangkap John Key karena terkait kasus pembunuhan bos PT Sanex Steel Indonesia, Tan Harry Tantono di sebuah sofa kamar Hotel Swiss-belhotel, Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada Kamis 26 Januari 2012 malam. (vivanews 18/02). Selain terjerat kasus pembunuhan, salah satu penguasa bawah tanah di Jakarata ini juga terjerat kasus narkoba”
[1].
Kajadian ini kembali membuka mata publik akan pandemi premanisme di Indonesia. Premanisme memang acapkali menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. Suatu hal yang sejatinya tidak hanya terjadi di kota besar seperti di Jakarta, melainkan marak pula di pelosok-pelosok desa. Namun bedanya kalau di Jakarta kasus premanisme telah memiliki nilai historis yang begitu panjang dan tampak lebih dahsyat. Perhatian utama dari sejarah sosial ini ialah bagaimana masyarakat mempertahankan dirinya, mengatur hubungan sesamanya (seperti status dan wibawa) dan bagaimana pula memecahkan masalah dalam berhadapan dengan lingkungannya (alamiah atau sosial) dan dengan tetangga. (Agus Mulyana, Suatu Tinjauan Historiografi).
Menurut E.J Habsbown, kelahiran kelompok bandit (preman. pen) ini, khususnya di Jakarta tidak lepas dari proses sejarah kota Jakarta itu sendiri sebagai kotanya kaum pendatang. (Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemon, penerbit Grafiti). Peta Premanisme sendiri sebagaimana di tulis Jerome Tedie (2009), dibagi menjadi sekitar 15 etnik kesukuan, diantaranya ialah Batak, Palembang, Padang, Banten, Demak, Jepara, Surabaya, Madura, Makasar, Maluku, dan Papua. Pun memiliki spesialisasi masing-masing yakni ada yang spesialis pencuri atau pencopet, menodong dan menjambret, menipu, dan tukang pukul. (Wilayah kekerasan di Jakarta, Jerome Tedie).
Secara definitif, preman memiliki beberapa arti, dalam kamus Wikipedia, kata preman berasal dari bahasa Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan isme = aliran. sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain. Di dalam kamus Bahasa Indonesia, preman salah satunya diartikan sebagai orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan). Terminologi Premanisme sendiri pada dewasa ini semakin komplek, seperti halnya premanisme hukum yakni orang yang memperalat atau mempermainkan hukum, premanisme politik yakni pihak yang memperalat atau melakukan kejahatan politik untuk kepentingan dirinya atau golongannya, dll.
Olehnya dapat disimpulkan bahwa preman telah memiliki definisi yang khas sebagaimana pemaparan di atas. Pelaku kekerasan tidak semuanya bisa disebut preman, sehingga jelas tidak tepat semisal teman-teman di FPI ada yang memberi label sebagai preman berkalung surban.
Praktek premanisme memang bisa tumbuh di berbagai lini kehidupan manusia. Apalagi di Indonesia kini berkembang informalitas sistem dan struktur di berbagai instansi. Jadi sistem dan struktur formal yang telah ada memunculkan sistem dan struktur informal sebagai bentuk dualitasnya. Kondisi tersebut telah ikut menumbuh suburkan premanisme. Secara sosiologis, munculnya premanisme dapat dilacak pada kesenjangan yang terjadi dalam struktur masyarakat. Kesenjangan di sini bisa berbentuk material dan juga ketidak sesuaian wacana dalam sebuah kelompok dalam struktur sosial masyarakat.
Di sini yang disebut masyarakat dapat dimaknai sebagai arena perebutan kepentingan antar kelompok, di mana masing-masing ingin agar kepentingannya menjadi referensi bagi masyarakat. Dalam perebutan kepentingan ini telah menyebabkan tidak terakomodirnya kepentingan individu atau kelompok dalam struktur masyarakat tertentu. Kesenjangan dan ketidaksesuaian ini memunculkan protes dan ketidakpuasan dan kemudian berlanjut pada dislokasi sosial individu atau kelompok tertentu di dalam sebuah struktur masyarakat. Dislokasi ini bisa diartikan sebagai tersingkirnya kepentingan sebuah kelompok yang kemudian memicu timbulnya praktik-praktik premanisme di masyarakat. Praktik premanisme tersebut tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat bawah, namun juga merambah kalangan masyarakat atas yang notabene didominasi oleh para kaum intelektual.
Kenyataan sosial dari preman di kota-kota besar seperti Jakarta, merupakan akibat tidak langsung dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan urbaninsasi. Fenomena premanisme di Indonesia mulai berkembang hingga sekarang pada saat ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat usia kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui pemerasan dalam bentuk penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Sikap preman ada hubungannya dengan pertumbuhan finansial masyarakat yang tidak seimbang, yang menimbulkan kecemburuan sosial, ketegangan hidup, serta kebrutalan sosial.
Premanisme (berasal dari kata
bahasa Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan
isme = aliran)
[rujukan?] adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari
pemerasan kelompok masyarakat lain.
Fenomena preman di Indonesia mulai berkembang pada saat ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat usia kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui pemerasan dalam bentuk penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Preman sangat identik dengan dunia kriminal dan kekerasan karena memang kegiatan preman tidak lepas dari kedua hal tersebut.
Contoh:
- Preman di terminal bus yang memungut pungutan liar dari sopir-sopir, yang bila ditolak akan berpengaruh terhadap keselamatan sopir dan kendaraannya yang melewati terminal.
- Preman di pasar yang memungut pungutan liar dari lapak-lapak kakilima, yang bila ditolak akan berpengaruh terhadap dirusaknya lapak yang bersangkutan.
Sering terjadi perkelahian antar preman karena memperebutkan wilayah garapan yang beberapa di antaranya menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Preman di Indonesia makin lama makin sukar diberantas karena ekonomi yang semakin memburuk dan kolusi antar preman dan petugas keamanan setempat dengan mekanisme berbagi setoran.
Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku Crime and the Community dari Frank Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The Outsider, 1963), Kai T. Erikson (Notes on the Sociology of Deviance, 1964), Edwin Lemert (Human Deviance Social Problem and Social Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavioer, 1971). Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label menekankan kepada dua aspek, yaitu :
Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.
Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.
Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat. Kemudian F.M. Lemert, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan tiga bentuk penyimpangan, yaitu :
(a) Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan tekanan psikis dari dalam ;
(b) Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan ; dan
(c) Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.
F.M. Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance) dan penyimpangan sekunder (secondary deviance). Penyimpangan primer muncul dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan hanya mempunyai efek samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial. Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada penyimpangan primer. Para ahli teori label mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah yang paling penting, karena merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel dengan pelabel dan pendekatan ini sering disebut teori interaksi. Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya.
Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori labeling meliputi aspek-aspek :
v Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.
v Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok berkuasa.
v Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa ;
v Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa.
v Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.
LABELING THEORY (INTERACTIONIST THEORY)
- DARI MICHALOWSKI, BECKER, LEMERT, TANNENBAUM :
1. Perilaku menyimpang atau kejahatan itu bukanlah kualitas yang unik dari perilaku seseorang, melainkan lebih disebabkan oleh reaksi masyarakat yang ditimbulkannya.
2. Reaksi masyarakat tersebut telah menyebabkan seseorang di cap sebagai penyimpangan atau kejahatan.
3. Orang yang di cap sebagai pelaku penyimpangan atau kejahatan tsb diperlakukan sebagai penyimpang atau penjahat sebenarnya.
- Kesemuanya itu terjadi dalam suatu proses interaksi.
5. Terdapat kecenderungan di mana orang yang di cap sebagai penjahat itu menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya . (selffullfiling prophecy)
PENERAPAN TEORI LABELING PADA MASYARAKAT AMERIKA DAN INDONESIA
Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.
Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Di Indonesia teori ini sering kali diterapkan. Salah satu contoh ialah cap yang diberikan masyarakat pada remaja yang dianggap berperilaku menyimpang. Yang lebih parah, remaja tersebut sependapat pula dengan persepsi demikian. Sehingga pola penyimpangan mereka diperkutat yang mengakibatkan tidak mungkin bagi mereka untuk melepaskan diri dari pola penyimpangan semacam itu. Sekali para remaja itu mempunyai citra diri sebagai penyimpangan, maka mereka pun akan memilih teman-teman baru yang bisa mempertebal citra diri mereka. Manakalah konsep diri itu semakin tertanam, mereka pun bersedia mencoba penyimpangan baru yang lebih buruk. Perasaan alienasi mereka yang semakin besar diiringi oleh pernyataan sikap tidak hormat dan kasar terhadap para wakil masyarakat yang sah. Sikap tidak hormat yang semakin meningkat itu pun semakin meningkatkan cara pandang negatif terhadap masyarakat. Semuanya itu menunjang kelangsungan keseluruhan proses keterlibatan mereka dalam penyimpangan. Dan ketika masa remaja mulai berkhir, tindak penyimpangan yang menonjol telah menjadi semakin dipertegas oleh tindakan polisi dan sikap masyarakat, sehingga jalan hidup mereka akan terarah secara efektif ke karir yang konsisten sesuai dengan latar belakang masa remaja mereka.
Menurut para penganut teori labeling, banyak kenakalan remaja muncul karena cara penanggulangan sembrono dari pihak polisi, pengadilan dan petugas lainnya yang secara tidak sadar mengajar para remaja untuk memandang diri mereka sebagai anak nakal, serta berperilaku seperti anak nakal. Pandangan ini kedengarannya dapat dipercaya, tetapi apakah hal itu benar? Matza menyatakan urutan kejadian tersebut bukannya proses yang selalu demikian; dengan kata lain, penyimpangan tidaklah selamanya seperti dicampakkan kebawah tanpa dapat berbuat apa-apa. Sang penyimpang tetap mempunyai pilihan. Maksudnya dalam proses menjadi seorang yang nakal, orang itu sendirilah yang menentukan arahnya.
Perilaku premanisme dan kejahatan jalanan merupakan problematika sosial
yang berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan
yang dianggap kurang bergengsi. Premanisme di Indonesia sudah ada sejak jaman
penjajahan, kolonial Belanda, selain bertindak sendiri, para pelaku premanisme
juga telah memanfaatkan beberapa jawara lokal untuk melakukan tindakan
premanisme tingkat bawah yang pada umumnya melakukan kejahatan jalanan
(street crime) seperti pencurian dengan ancaman kekerasan (Pasal 365 KUHP),
pemerasan (Pasal 368 KUHP), pemerkosaan atau rape (Pasal 285 KUHP),
penganiayaan (Pasal 351 KUHP), merusakkan barang (Pasal 406 KUHP) yang
tentunya dapat mengganggu ketertiban umum serta menimbulkan keresahan di
masyarakat.
Premanisme berasal dari kata bahasa Belanda vrijman yang
diartikan orang bebas, merdeka dan kata isme yang berarti aliran.
Premanisme adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk
merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan
penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-2 yang diterbitkan
Balai Pustaka (1993) memberi arti preman dalam level pertama. Kamus
ini menaruh “preman” dalam dua entri: (1) preman dalam arti partikelir,
xxxix
bukan tentara atau sipil, kepunyaan sendiri; dan (2) preman sebagai
sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, dan lain-lain). Dalam
level kedua, yakni sebagai cara kerja, preman sebetulnya bisa menjadi
identitas siapapun. Seseorang atau sekelompok orang bisa diberi label
preman ketika ia melakukan kejahatan (politik, ekonomi, sosial) tanpa
beban. Di sini, preman merupakan sebuah tendensi tindakan amoral
yang dijalani tanpa beban moral. Maka premanisme di sini merupakan
tendensi untuk merebut hak orang lain bahkan hak publik sambil
mempertontonkan kegagahan yang menakutkan
adalah pada perilaku seseorang yang membuat resah, tidak aman dan
merugikan lingkungan masyarakat ataupun orang lain
Istilah preman menurut Ida Bagus Pujaastawa, berasal dari
bahasa Belanda vrijman yang berarti orang bebas atau tidak memiliki
ikatan pekerjaan dengan pemerintah atau pihak tertentu lainnya. Dalam
ranah sipil, freeman (orang bebas) di sini dalam artian orang yang
merasa tidak terikat dengan sebuah struktur dan sistem sosial tertentu.
Pada ranah militer, freeman (orang bebas) berarti orang yang baru saja
selesai melaksanakan tugas dinas (kemiliteran) atau tidak sedang dalam
tugas (kemiliteran). Dalam sistem militer ala Barat pengertian freeman
ini lebih jelas karena ada pembedaan antara militer dan sipil. Misalnya
setiap anggota militer yang keluar dari baraknya otomatis menjadi
warga sipil dan mengikuti aturan sipil kecuali dia ada tugas dari
kesatuannya dan itupun dia harus menggunakan seragam militer.
Sayangnya di Indonesia aturan itu tidak berlaku, anggota militer (TNI)
walaupun tidak dalam tugas dan tidak memakai seragam militer tidak
mau mengikuti aturan sipil (KUHAP). Misalnya anggota militer yang
melakukan perbuatan pidana di luar baraknya (markasnya) tidak dibawa
ke pengadilan sipil (pengadilan negeri atau pengadilan tinggi) tapi
dibawa ke pengadilan militer.
xl
Dalam perkembangan selanjutnya perilaku premanisme
cenderung berkonotasi negatif karena, dianggap rentan terhadap
tindakan kekerasan atau kriminal. Namun demikian, keberadaan preman
tidak dapat disamakan dengan kelompok pelaku tindak kriminal lainnya
seperti pencopet atau penjambret. Preman umumnya diketahui dengan
jelas oleh masyarakat yang ada di sekitar wilayah operasinya, seperti
pusat-pusat perdagangan (pasar), terminal, jalan raya, dan pusat
hiburan.
LABELING
Labeling adalah proses melabel seseorang. Label adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu persatu.
Dalam teori labeling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Kalau begitu mungkin bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”.
Pemikiran dasar teori labeling ini memang yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan. Misalnya, seorang anak yang diberi label bodoh cenderung tidak diberikan tugas-tugas yang menantang dan punya tingkat kesulitan di atas kemampuannya karena kita berpikir “ah dia pasti tidak bisa kan dia bodoh, percuma saja menyuruh dia”. Karena anak tersebut tidak dipacu akhirnya kemampuannya tidak berkembang lebih baik. Kemampuannya yang tidak berkembang akan menguatkan pendapat/label orangtua bahwa si anak bodoh. Lalu orangtua semakin tidak memicu anak untuk berusaha yang terbaik, lalu anak akan semakin bodoh. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Sebagaimana yang disebutkan dalam kasus bahwa ketika kedua preman tersebut baru keluar dari penjara dan naik ke sebuah bis kemudian melakukan orasi untuk meminta uang kepada para penumpang yang ternyata mereka melakukan pemaksaan juga dengan alasan bahwa mereka harus melakukan perbuatan seperti itu agar mereka dapat makan. Ada pemikiran yang telah muncul dalam diri mereka bahwa mereka susah kembali ke dalam pergaulan masyarakat karena masyarakat telah menganggap mereka orang-orang brutal dan tidak bermoral karena keluaran penjara.
Dalam beberapa literatur, banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Preman yang baru keluar dari penjara tersebut memandang dirinya tidak baik dan akan mendekati orang lain dengan rasa tidak percaya diri dan memandang dunia sebagai tempat yang tidak aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan susah terpenuhi. Sementara orang lain yang merasa dirinya berharga dan dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, berani mengambil resiko dan kelak berprestasi. Bagi kedua preman tersebut (termasuk orang-orang yang baru keluar dari penjara) pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Perspektif labeling mengetengahkan pendekatan interaksionisme dengan berkonsentrasi pada konsekuensi interaksi antara penyimpang dengan agen kontrol sosial. Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan kontrol sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang dengan pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi. Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya. Pemberian sanksi sosial oleh masyarakat berupa anggapan bahwa kedua preman tersebut orang brutal dan tidak bermoral menyebabkan penyimpangan baru yaitu melakukan pemaksaan agar para penumpang bis itu mau memberi mereka uang. Intinya, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan dan orang yang kita label juga akan menganggap dirinya demikian
Howard Becker mengembangkan teori pelabelan (juga dikenal sebagai teori reaksi sosial) di 1963 Outsiders buku: Studi di Sosiologi Penyimpangan. teori Becker berevolusi selama periode perjuangan kekuatan sosial dan politik yang diamplifikasi dalam dunia kampus perguruan tinggi (Pfohl 1994). gerakan politik liberal yang dianut oleh banyak mahasiswa dan fakultas di Amerika (Pfohl 1994). Howard Becker dimanfaatkan ini pengaruh liberal dan disesuaikan teori Lemert’s pelabelan dan simbolis interaksinya latar belakang teoritis. Teori pelabelan diuraikan dalam Outsiders diakui sebagai pendekatan reaksi yang berlaku sosial dengan Lemert serta sosiolog lainnya. Pendekatan Becker berakar pada dasar interaksi simbolis Cooley dan Mead, dan pengaruh pelabelan Tannenbaum dan Lemert.
Charles Cooley’s Human Nature dan Orde Sosial (1902) membahas persepsi pribadi dari diri sendiri melalui studi anak-anak dan teman-teman khayalan mereka. Cooley mengembangkan konsep teori cermin diri, jenis keramahan imajiner (Cooley 1902). Orang membayangkan pandangan sendiri melalui mata orang lain di kalangan sosial dan penilaian mereka bentuk diri didasarkan pada pengamatan ini imajiner (Cooley 1902). Gagasan utama dari cermin diri bahwa orang mendefinisikan diri mereka menurut persepsi masyarakat tentang mereka. ide Cooley, ditambah dengan karya-karya Mead, sangat penting untuk teori pelabelan dan pendekatan untuk penerimaan seseorang label sebagaimana terlampir oleh masyarakat.
George teori Mead adalah kurang peduli dengan fokus tingkat mikro pada proses yang menyimpang dan lebih peduli dengan tingkat-makro memisahkan konvensional dan dikutuk (Pfohl 1994). Dalam Mind, Self, dan Masyarakat (1934), Mead menggambarkan persepsi diri sebagai terbentuk dalam konteks proses sosial (Wright 1984). Diri adalah produk persepsi pikiran simbol-simbol sosial dan interaksi. Diri ada dalam realitas objektif dan kemudian diinternalisasikan ke dalam sadar (Wright 1984). Ide pergeseran fokus jauh dari menyimpang individu dan melihat bagaimana struktur sosial mempengaruhi pemisahan orang-orang yang dianggap tidak konvensional memiliki pengaruh besar pada bagaimana Becker pendekatan teori pelabelan.
Pada tahun 1938, Frank Tannenbaum disajikan pendekatan sendiri untuk pelabelan teori dalam menanggapi studi partisipasi remaja dalam geng jalanan. Tannenbaum menjelaskan proses mendefinisikan perilaku menyimpang sebagai berbeda antara anak-anak nakal dan masyarakat konvensional, menyebabkan “penandaan” dari remaja yang menunggak oleh masyarakat mainstream. Stigma yang menyertai “tag” menyimpang menyebabkan seseorang jatuh ke dalam ketidaksesuaian lebih dalam (Pfohl 1994). Meskipun Lemert diskon pengaruh Tannenbaum terhadap perkembangan teori pelabelan, pendekatan Tannenbaum adalah tergabung dalam banyak teori reaksi masyarakat.
Patologi Sosial (1951) menguraikan pendekatan Edwin Lemert untuk apa yang banyak mempertimbangkan versi asli dari teori pelabelan. Lemert, tidak puas dengan teori-teori yang mengambil konsep dari penyimpangan untuk diberikan, berfokus pada konstruksi sosial penyimpangan (Lemert 1951). Lemert (1951) menjelaskan penyimpangan sebagai reaksi masyarakat produk untuk suatu tindakan dan pembubuhan label menyimpang pada aktor. Patologi Sosial rincian konsep penyimpangan primer dan sekunder. Menurut Lemert (1951), penyimpangan primer adalah kejadian awal dari suatu tindakan yang menyebabkan seorang tokoh kewenangan untuk label menyimpang aktor. Pelabelan ini awal dari tindakan menyimpang akan tetap utama selama aktor dapat merasionalisasi atau berurusan dengan proses sebagai fungsi dari peran yang diterima secara sosial (Lemert 1951). Jika menyimpang berlabel bereaksi terhadap proses ini dengan menerima label menyimpang, dan berarti menetapkan lebih lanjut nya / diri dalam perilaku menyimpang, ini disebut sebagai penyimpangan sekunder (Lemert 1951). Lemert menganggap penyebab penyimpangan primer sebagai cairan, dan hanya penting bagi para peneliti yang bersangkutan dengan masalah-masalah sosial tertentu pada waktu tertentu. Pada tahun-tahun berikutnya Patologi Sosial, Lemert berpendapat untuk decriminalization kejahatan tanpa korban, pendukung program pra-sidang penyelewengan, dan telah mundur pelabelan determinisme (Wright 1984).
Howard Becker pendekatan terhadap pelabelan penyimpangan, seperti dijelaskan dalam Outsiders: Studi di Sosiologi Deviance (1963), pandangan penyimpangan sebagai ciptaan kelompok-kelompok sosial dan bukan kualitas beberapa tindakan atau perilaku. Becker (1963) mengkritik teori-teori lain dari penyimpangan untuk menerima adanya penyimpangan dan dengan demikian, menerima nilai-nilai mayoritas dalam kelompok sosial. Menurut Becker (1963), mempelajari tindakan individu tidak penting karena hanya penyimpangan perilaku melanggar aturan yang diberi label sesat oleh orang-orang dalam posisi kekuasaan. Aturan perilaku melanggar konstan, pelabelan perilaku bervariasi (Becker 1963). Becker (1963) menjelaskan aturan sebagai cerminan dari norma-norma sosial tertentu yang dimiliki oleh mayoritas masyarakat, baik formal maupun informal. aturan Paksa, fokus (1963) pendekatan Becker, diterapkan diferensial dan biasanya memfasilitasi konsekuensi menguntungkan tertentu bagi mereka yang berlaku label. Singkatnya, anggota masyarakat mungkin membuat aturan-aturan label melanggar perilaku menyimpang tergantung pada tingkat reaksi dari waktu ke waktu (Becker 1963).
Becker (1963) pandangan orang-orang yang mungkin terlibat dalam perilaku melanggar aturan pada dasarnya berbeda dari anggota masyarakat yang taat aturan-aturan membuat atau. Orang-orang yang rentan terhadap perilaku melanggar aturan-melihat diri mereka sebagai moral bertentangan dengan para anggota masyarakat yang taat aturan (Becker 1963). Becker (1963) menggunakan “orang luar” istilah untuk menggambarkan aturan berlabel-pemutus atau menyimpang yang menerima label yang melekat pada mereka dan melihat diri mereka sebagai yang berbeda dari masyarakat “mainstream”. Pelaku mungkin menganggap diri mereka lebih “luar” dari orang lain sama berlabel (Becker 1963). Deviant luar mungkin melihat mereka yang membuat aturan atau anggota masyarakat yang patuh sebagai orang luar dari kelompok sosial mereka (Becker 1963).
Becker (1963) rincian proses bagaimana luar menyimpang menjadi terlibat dalam penyimpangan sekunder. penyimpangan primer adalah “langkah” pertama, dan ini tindakan utama mungkin baik disengaja atau tidak disengaja (Becker 1963). Becker (1963) berpendapat bahwa kebanyakan orang berpikir atau berfantasi dengan cara yang menyimpang, dan studi tentang mengapa orang-orang tertentu sesuai sementara lainnya menyerah pada impuls menyimpang sangat penting. Proses tertangkap dan diberi label menyimpang oleh seseorang dalam posisi otoritas adalah langkah yang paling penting di jalan menuju penyimpangan sekunder.
The “langkah” kedua dalam perjalanan ke penyimpangan sekunder dan karir dalam kejahatan melibatkan penerimaan label menyimpang (Becker 1963). Becker (1963) menjelaskan bagaimana aturan-breaker tertentu datang untuk menerima label “menyimpang” sebagai status tuan mereka. Status master adalah peran yang paling berkaitan pandangan diri (Becker 1963). Pemutus aturan yang mengidentifikasi dengan label menyimpang sebagai status master mereka menjadi luar dan menyangkal cara menjalankan dengan kehidupan sehari-hari mereka (Becker 1963). Becker (1963) membuat jelas bahwa tidak setiap pemutus aturan kemajuan dengan cara ini dan bahwa orang-orang tertentu memiliki jalan alternatif untuk mengambil. Orang luar, membantah sarana untuk melakukan rutinitas sehari-hari, ternyata berarti tidak sah untuk membuat hidup (Becker 1963).
Langkah terakhir dalam penciptaan karier tunggakan melibatkan pergerakan pemutus aturan menjadi subkultur menyimpang (Becker 1963). Afiliasi dari menyimpang berlabel dengan terorganisir menyediakan orang dengan dukungan moral dan alasan yang membenarkan diri (Becker 1963). Becker (1963) menjelaskan bagaimana mereka yang terlibat dalam kejahatan terorganisir dapat belajar bentuk-bentuk baru penyimpangan melalui asosiasi diferensial.
Becker (1963) juga berfokus pada orang-orang dalam posisi kekuasaan dan wewenang yang membuat dan menegakkan aturan. Aturan yang dibuat oleh seorang pengusaha moral, orang yang mengambil inisiatif untuk perang salib untuk aturan yang akan hak kejahatan masyarakat (Becker 1963). Motif pengusaha moral itu mungkin untuk meningkatkan status sosial para anggota masyarakat bawah dirinya (Becker 1963). Keberhasilan FKA dapat menyebabkan pengusaha untuk menjadi pencipta aturan profesional (Becker 1963). Becker (1963) menyatakan bahwa keberhasilan setiap perang salib moral membawa bersama dengan sebuah kelompok baru orang luar, dan tanggung jawab baru lembaga penegakan hukum.
Menurut Becker (1963), penegakan aturan masyarakat adalah tindakan giat. Penegakan aturan terjadi ketika mereka yang ingin aturan ditegakkan, biasanya untuk beberapa jenis keuntungan bagi kepentingan pribadi mereka, membawa pelanggaran aturan untuk perhatian publik (Becker 1963). Pelanggaran aturan, dibawa ke perhatian orang-orang dalam posisi otoritas, dibagikan dengan punitively oleh pengusaha (Becker 1963). Penegakan aturan mungkin melibatkan mediasi konflik antara banyak kelompok kepentingan yang berbeda oleh orang-orang dalam posisi kekuasaan (Becker 1963). Penegak sendiri mungkin memiliki perang salib moral untuk menghentikan kejahatan, tetapi kebanyakan terlibat dalam proses ketat sebagai bagian dari pekerjaan mereka (Becker 1963). penegak Peraturan menggunakan proses dari penegakan formal untuk memenuhi dua kepentingan utama, pembenaran pendudukan mereka dan memenangkan rasa hormat dari orang-orang yang dia patroli (Becker 1963). penegak yang dipersenjatai dengan banyak kebijaksanaan dan dapat menggunakan / nya kekuatannya untuk label orang yang tidak bersalah dalam rangka untuk mendapatkan rasa hormat (Becker 1963). Penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak pelabelan dapat membuat keluar menyimpang dari seseorang yang dinyatakan tidak akan rentan terhadap aturan perilaku melanggar (Becker 1963).
Becker (1963) mengakui empat jenis warga negara sesuai dengan perilaku mereka dalam masyarakat dan lampiran sukses label menyimpang. Para anggota masyarakat yang taat aturan dan bebas dari label digambarkan sebagai warga negara sesuai, sementara mereka yang diberi label tanpa melanggar aturan yang disebut sebagai salah dituduh (Becker 1963). Mereka warga negara yang melanggar aturan menunjukkan perilaku dan diberi label menyimpang disebut Deviant sebagai murni, sedangkan mereka yang melanggar peraturan namun menghindari pelabelan disebut Deviant rahasia (Becker 1963).
Outsiders Becker (1963) menggunakan dua kasus untuk menggambarkan pendekatan untuk pelabelan teori. Becker (1963) menganalisis sejarah hukum ganja di Amerika Serikat dan bagaimana individu kemajuan ke dalam penggunaan obat rekreasi. Becker (1963) memilih untuk menganalisis ganja karena perkembangan penggunaan dapat diamati. Pengguna ganja pertama kali menemukan pengalaman sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sebagai pengguna meniru rekan-rekan dia belajar untuk merasakan efek ganja sebagai menyenangkan (Becker 1963).
Becker (1963) memulai studinya ganja melalui analisis konteks historis dimana pencipta aturan Amerika berlabel ganja digunakan sebagai menyimpang dalam Undang-Undang Pajak Marijuana 1937. Pengusaha moral dalam hal ini adalah Federal Bureau of Narkotika, terbentuk sebagai bagian dari Departemen Keuangan pada tahun 1930 (Becker 1963). Federal Bureau Narkotika memulai perang salib moral terhadap penggunaan ganja sesuai dengan sentimen publik pada waktu itu, dan sebagai cara untuk membenarkan keberadaan mereka (Becker 1963). Etika Protestan, sentimen yang berlaku selama ibadah, tampak tidak baik atas tindakan yang diambil hanya untuk tujuan mencapai ekstasi, menekankan tanggung jawab pribadi, dan menekankan pentingnya melepaskan orang dari “perbudakan” obat (Becker 1963). Federal Bureau of Narkotika jenuh media dengan cerita-cerita imigran Meksiko ganja-gila, anak-anak di luar kendali, dan pemerkosaan ganja diinduksi (Becker 1963). Akun media ganja difasilitasi undang-undang baru mengkriminalisasikan obat dan memberikan giat Narkotika Federal Bureau dengan banyak uang dan kekuasaan (Becker 1963).
Becker (1963) mengidentifikasi tiga tahap penggunaan marijuana: pemula, pengguna sesekali, dan user biasa. Tiga kategori self-jelas pengguna ganja dapat dimanipulasi melalui penggunaan kontrol sosial (Becker 1963). Pengendalian pasokan ganja telah baik efek positif dan negatif (Becker 1963). Sebuah pasokan berkurang ganja dapat menyebabkan penurunan penggunaan obat antara beberapa orang, tetapi juga dapat mendorong pengguna untuk berhubungan dengan kelompok yang terorganisir Deviant, untuk mendapatkan ganja (Becker 1963). Becker (1963) berpendapat bahwa sedangkan kontrol pasokan ganja adalah kontrol sosial yang penting, itu tidak menghalangi digunakan. Cara terbaik untuk mencegah pengguna adalah untuk mengendalikan / nya melihat moral individu penggunaan marijuana.
Becker (1963) menggunakan studi peserta observasi dari kehidupan musisi tari Chicago untuk menggambarkan kehidupan sosial dari sebuah subkultur menyimpang. Meskipun tari musisi sebagai sebuah kelompok yang taat hukum, gaya hidup yang tidak biasa mereka membuat mereka merasa sebagai orang luar (Becker 1963). Becker (1963) menggambarkan bagaimana menjadi seorang musisi tari melibatkan perubahan sikap dan pendapat dalam rangka sesuai dengan subkultur. Budaya dari musisi tari kaya dalam bahasa sendiri dan gerak tubuh (Becker 1963). Banyak musisi tari hidup keluarga konvensional selama hari dan berubah menjadi peran mereka sebagai musisi di malam hari (Becker 1963).
teori Becker dari label, sambil mempertahankan banyak saat ini popularitas, tidak menemukan beberapa kritik (Pfohl 1994; Ridlon 1988). Banyak sosiolog melihat teori pelabelan sebagai diuji dan, menurut definisi, bukan teori yang benar (Ridlon 1988). Becker (1963) mengakui bahwa teorinya label adalah pendekatan teori, bukan teori yang benar, dan bahwa sosiolog harus berusaha untuk menetapkan tes empiris untuk pendekatannya. Kritik lain utama dari teori labeling adalah kegagalan untuk menjelaskan penyimpangan primer. Kedua Lemert (1951) dan Becker (1963) percaya bahwa penyimpangan primer dipengaruhi oleh variabel yang berbeda dan banyak berubah dan penelitian penyebab penyimpangan primer adalah sia-sia. Pfohl (1994) rincian kritik dari banyak sosiolog pelabelan teori kausal atau deterministik. Becker (1963) pendekatan memenuhi syarat untuk teori reaksi sosial dengan menyatakan bahwa beberapa kelompok peraturan-breaker mungkin dapat memilih program alternatif tindakan.
Becker menyimpulkan Outsiders (1963) dengan menekankan kebutuhan untuk riset empiris dari pendekatan kepada teori pelabelan. ilmuwan sosial menghasilkan sejumlah besar literatur dalam menanggapi permintaan Becker. Banyak penelitian yang melibatkan teori pelabelan langsung mencerminkan pendekatan Becker, sementara yang lain menggunakan Becker (1963) sebagai dasar untuk pengembangan teori.
Gideon Fishman tes teori Becker label dengan mempelajari contoh anak nakal midwestern (Jumat dan Stewart 1977). desain penelitian Fishman tindakan negatif persepsi diri dan apakah ini persepsi diri mempengaruhi kenakalan masa depan (Jumat dan Stewart 1977). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Fishman penyimpangan sekunder adalah tidak universal dan individu bereaksi terhadap label menyimpang dengan cara yang berbeda (Jumat dan Stewart 1977).
Sebuah aplikasi populer teori Becker label (1963) adalah di bidang kesehatan mental. Thomas Scheff mencakup pendekatan Becker untuk label dan menggambarkan bagaimana orang-orang sakit mental diberi label untuk menjelaskan perilaku melanggar aturan-masyarakat tertentu yang tidak dapat mengkategorikan (Holstein 1993;). Scheff tidak peduli dengan tindakan sesekali penyimpangan, melainkan penyimpangan sisa atau episodik yang sering jatuh di bawah label penyakit mental (Wright 1984; Pfohl 1994). Orang label sebagai sakit mental mengadopsi perilaku pasien mental stereotip seperti yang digambarkan melalui media massa (Wright 1984). Scheff berpendapat bahwa mereka yang mengekspresikan perilaku stereotip yang sakit mental dihargai oleh para profesional psikologi giat (Wright 1984; Pfohl 1994). Menurut Scheff, semua orang mengungkapkan gejala penyakit mental yang populer di beberapa titik dalam hidup mereka dan label yang melekat pada mereka yang tidak memiliki daya (Wright 1984). Scheff menyediakan bukti empiris dalam bentuk beberapa studi dari proses komitmen rumah sakit jiwa (Holstein 1993; Pfohl 1994; Wright 1983).
Banyak ilmuwan sosial tantangan argumen Scheff’s atas dasar teoritis dan empiris. James A. Holstein (1993) serangan pendekatan Scheff untuk berfokus pada menyimpang dan bukan pengusaha moral yang memasang label. Florence Ridlon (1988) mengkritik kerja Scheff untuk menjadi deterministik dan berpendapat untuk model kurang kausal untuk menjelaskan penderitaan mental seperti alkoholisme. Walter Gove (1980), kritikus bersikeras dari Scheff, percaya bahwa Scheff tidak boleh mengabaikan pengaruh variabel psikopatologis pada penyakit mental. Gove (1980) juga mengkritik metodologi empiris Scheff dan operasi.
Edwin Schur memodifikasi teori Becker label di Pelabelan Deviant Behavior (1971) dengan mengalihkan beberapa fokus ke individu menyimpang. Schur (1971) juga berteori bahwa sebagai orang yang berlabel memperoleh kekuasaan menyimpang dan mengatur, mereka kemajuan dalam definisi sosial dari pemberontakan, gerakan sosial, dan perang sipil untuk pembentukan partai politik mainstream. Schur berpendapat dalam Pelabelan Wanita Deviant (1983) bahwa perempuan di Amerika secara otomatis berlabel menyimpang oleh masyarakat didominasi laki-laki. Wanita menerima label menyimpang karena status tuan mereka dan membatasi kesempatan hidup mereka (Schur 1983).
ilmuwan sosial tidak setuju pada masa depan pelabelan teori. Pfohl (1994) mengakui teori pelabelan sebagai sangat berpengaruh dalam studi saat ini penyimpangan. Beberapa ilmuwan sosial melihat label teori sebagai penurunan penting karena kurangnya dukungan empiris dan iklim politik konservatif. Becker (1963) berpendapat masa depan teori pelabelan terletak dalam studi empiris luas penyimpangan dan jenis penyimpangan.
LABELLING
Dewasa ini perkembangan pemberian label yang dikemukakan masyarakat semakin meningkat. Biasanya label yang dikemukakan masyarakat adalah label yang negatif dan sasarannya adalah individu yang dianggap menyimpang. Individu yang rentan terhadap label adalah remaja, dimana pada masa remaja adalah masa pencarian identitas dan pada masa ini remaja harus bisa melewati krisisnya agar tidak terjadi kebingungan identitas. Salah satu penyebab kebingungan identitas remaja adalah labeling.
Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut.
Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.
Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Bagi remaja sangat penting untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon orang-orang disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar si anak tersebut, tidak dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon-respon negatif seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya. Terutama dalam pembentukan identitas si anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Biddulph S. & B. Steve, (2007). Raising a Happy Child. Dog Kindersley.
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sunarto, K. (2007). Sosiologi suatu pendekatan membumi. (Jilid 1). Jakarta: Erlangga, PT. Gelora Aksara Pratama.
Tasmin, Martina. (2002). Label menyebabkan individu menjadi devian.