Thursday, 18 September 2014

PRESPEKTIF MODEL PELAYANAN KEPOLISIAN ERA POLRI MANDIRI BERKAITAN DALAM PENERAPAN OTONOMI DAERAH


PRESPEKTIF MODEL  PELAYANAN KEPOLISIAN

ERA POLRI MANDIRI BERKAITAN DALAM 

PENERAPAN OTONOMI DAERAH



PENDAHULUAN


Kebijakan otonomi daerah yang dilancarkan dalam era reformasi telah mengundang berbagai pendapat dan pandangan menyangkut UU No.22 Tahun 1999. Ada yang menganggap UU ini terlalu luas memberikan keleluasaan (discretionary power) kepada daerah sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan (disintegrasi) karena terkotak-kotaknya daerah yang satu dengan yang lain, dan tidak terkendali oleh pemerintah pusat, yang akhirnya daerah yang merasa sangat kuat akan memisahkan dari Negara Kesatuan RI. Sebaliknya, ada yang beranggapan bahwa UU ini masih berbau status quo, pemerintah yang menamakan dirinya sebagai “pemerintah orde reformasi” nyatanya tidak reformis dan dalam memberikan otonomi kepada daerah masih setengah hati.

Terlepas dari berbagai pandangan yang berbeda, UU No.22 Tahun 1999 telah berlaku secara efektif dan diberi masa transisi selambat-lambatnya dalam waktu dua tahun sejak ditetapkannya. Dalam pada itu, ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini harus sudah selesai selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak undang-undang ini ditetapkan.

Dengan kebijakan otonomi daerah ini Polri yang dalam sistem administrasi negara merupakan sub sistem administrasi negara dalam kegiatan preventif , perlu melakukan langkah-langkah penyesuaian dengan Undang-undang ini.  Dengan mandirinya Polri dibawah Presiden sejak 1 Juli 2000, bukan berarti Polri melaksanakan tugas dan fungsinya sendiri, Polri mandiri, berarti seseusai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku , sebagai alat negara pengak hukum, sebagai pembina kamtibmas, sebagai pembina tehnis, koordinator, dan pengawas Polsus, PPNS, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, pengayom , pelindung, dan “pelayan” masyarakat.

Dalam tugas fungsi operasionalnya dibidang penyidikan, penyidik tidak dintervensi oleh instansi atau pejabat lain, juga tidak oleh pejabat atasan penyidik yang bersangkutan.  Dibidang prevensi harus bekerja sama dengan “pemerintah daerah”, instansi pemerintah terkait.

karena fungsi keamanan  dalam negeri yang diemban Polri maka secara organsasi Polri bersifat  terpusat, atau nasional, kepolisian nasional tidak sama artinya dengan  kepolisian sentralistik , tapi susunan organisasinya utuh dari pusat sampai kedaerah.(Awaludin, 1999)

Prinsip desentralisasi dalam administrasi negara telah dilaksanakan hampir semua negara dan prinsip sentralistik telah ditinggalkan. Desentralisasi  akan memberdayakan masyarakat dan akan meningkatkan kreativitas dan inovasi bagi penjabat-penjabat didaerah.
 
Dibidang Kepolisian, seperti yang disimpulkan oleh David H.  Baeley dalam bukunya  “ Police for future” sebagai hasil penelitian Kepolisian lima negara maju, yaitu Australia, Inggris. Canada, Jepang dan Amerika Serikat yang sistem pemerintah dan kepolisannya yang berbeda-beda, bahwa disemua negara tersebut, diutamakan kesatuan kepolisian yang berbeda-beda, yang paling dekat masyarakat yang dinamakan Balley sebagai “Basic Police unit” (BPU).

   BPU atau komando operasional dasar, polisi merupakan ujung tombak polisi dalam melayani masyarakat, dengan KOD yang membawahi sektor polisi sebagai ujung tombak kepolisian dalam mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat , diharapkan menjadi leader /pemimpn anggotanya dan juga bagi masyarakat diwilayahnya juga.
Model otonomi yang diberikan oleh Mabes Polri mengarah kepada pemberian otonomi ditingkat K+esatuan Operasional Dasar ( KOD) , kepolisian pada tingkat daerah tingkat II, kotamadya dan Kabupaten.

 Dengan otonomi diberikan ditingkat II (polres) harapkan pelayanan Polri dapat menyentuh langsung masyarakat sesuai dengan harapan masyarakat,.   Hal ini juga mempermudah dalam pengenalan budaya daerah tersebut dalam melakukan pelayanan masyarakat.

Terjadinya krisis yang berkepanjangan telah membawa dampak hampir kepada seluruh aspek dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Walaupun terasa pahit karena menimbulkan keterpurukan bagi bangsa dan rakyat Indonesia, namun hikmah positif yang merupakan blessing in disguised adalah timbulnya ide dan pemikiran dasar yan menumbuhkan “reformasi total” di dalam segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Fokus utama reformasi total ini adalah mewujudkan masyarakat madani (civil society) dalam kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai-nilai Good Governance (Behoorlijk Bestuur) yang memunculkan nilai demokrasi dan sikap keterbukaan, kejujuran, keadilan, berorientasi kepada kepentingan rakyat, serta bertanggung jawab kepada rakyat.(Awaludin,1999)

Dampak reformasi total ini, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik. Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “otonomi daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri, atas dasar pemerataan dan keadilan, serta dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman wilayahnya.  Demikian pula dengan kepolisian yang selama ini bergabung dengan ABRI , mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat untuk memisahkan diri dari ABRI, dorongan ini dimaksudkan agar Polisi mempunyai kemandirian dalam menjalankan tugas-tugasnya.  Karena selama ini Polri, tidak menunjukan kemandirian tugasnya karena intervensi dari unsur ABRI yang lain, dan bergabungnya Polri mengakibatkan banyak kerugian antara lain perilaku yang cenderung militeristik dari anggota Polri.  Pelayanan maupun tugas lain harus lebih banyak melibatkan masyarakat setempat, serta partispasi aktif masyarakat.  Masyarakat diharapkan menjadi polisi bagi dirinya sendiri dan lingkungannya (community Policing). Dalam tulisan ini akan disampaikan suatu model pelayanan kepolisian yang berorintasi pada sistem tersebut, dan dilakukan desentralisasi wewenang  Kepolisian didaerah.
 

PERMASALAHAN


Dengan latar belakang tersebut ada permalahan yang timbul, yaitu; sejauh mana, Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar dalam menghadapi otonomi yang diberikan oleh Mabes Polri, dapat dilaksanakan oleh Polres, dan sejauhmana kesiapan anggota dalam menghadapi  otonomi  ini.

KERANGKA TEORITIS


1.    Desentralisasi , dari hirarki menuju partisipasi dan tim kerja.
Dalam abad informasi , “tekanan utnuk mempercepat pengambilan keputusan mengalahkan kerumitan yang semakin meningkat dan ketidakakraban dengan lingkungan keputusan yang harus diambil, “tulis alfin Tofler dalam Anticipatory Democrasi .  Hasilnya mengahncurkanbeban berat keputusan-pendeknya, goncangan politik masa depan.  Toffler menguraikan dua respon yang mungkin:

“Salah satu cara adalah berusaha untuk lebih memperkuat pusat pemerintahan, yang menambahsemakin banyak politikus, birokrat, pakar dan komputer dalam keputusan untuk berlari lebih cepat dari akselerasi kompleksitas; cara lain adalah dengan mulai mengurangi beban keputusan dengan membaginya kepada lebih banyak keputusan dibuat “kebawah” atau pada “pinggiran” ketimbang mengkonsentrasikannya pada pusat yang terkena stress dan tidak berfungsi dengan baik.   (David Osborne, Ted Gaebler, 1991)

para pemimpin yang berjiwa wirausaha berusaha untuk menjangkau pendekatan yang desentralisasi .  Lembaga yang terdesentralisasi mempunyai sejumlah keunggulan :

a.         Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi; lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah.
b.         Lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang tersentralisasi.
c.          Lembaga desentralisasi jauhn lebih inovatif daripada yang tersentralisasi.
d.         Lembaga yang terdesentralisasi mengahasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produktifitas.

Mendesentralisasikan  organisasi publik melalui manjemen partisipatif, suatu contoh dimana telah menunjukan bagaimana departemen-departemen Kepolisian dapat memanfaatkan manajemen partisipatif.  Salah satu contoh langkah yang revolusioner : Para karyawan memilih sendiri kapten dan letnan mereka.  Mereka mengembangkan sendiri staff dan jadwal mereka, mereka merancang dan membangun gedung distrik mereka sendiri..  dari itu terlihat kerjasama mereka meningkat dratis (David Osborne, Ted gaebler, 1991).  Dari hasil penelitianya juga diungkapkan bahwa terdapat kepuasan lebih tinggi dari sebelumnya dalam melaksanakan tugasnya.

2.    Konsep pelayanan Kepolisian.

Dengan konsep pelayanan kepolisian , pada hakekatnya adalah  merupakan wujud dari jati diri Polri yantg aan memberikan warna citra Polri dalam persentuhan dengan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.   Dalam rangka pelayanan maka saat dimana anggota masyarakat dan anggota Polri yang memberikan pelayanan bertemu untuk meberikan pelayanan.  Saat pertemuan ini merupakan saat  paling menentukan seberapa jauh Polri mampu atau tidaknya memberikan pelayanan yang terbaik saat itu pula akan ikut menentukan pembentukan citra Polri.

Tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelayanan kepolisian:
Pertama kompetensi dari pengembangan profesi.  Kompetensi berkaitan dengan kemampuan petugas-petugas Kepolisian untuk mengaplikasikan secara tepat pengetahuan dan ketrampilan sesuai ketentuan hukum.  Dalam menghadapi kasus pelanggaran hukum dan gangguan kamtibmas Polisi dituntut untuk mampu:

a.    Mengambil tindakan segera dan tepat sehingga suatu kasus tidak berkembang sehingga merugikan suatu pihak.
b.    Mengidentifikasikan suatu kasus sehingga dapat membedakan kasus pidana dan kasus perdata, dan pelanggaran hukum pidana yang telah terjadi.
c.     Mengembangkan konsep pembuktian pelanggaran yang diperlukan untuk mendukung sangkaan pelanggaran hukum dan mengumpulkan alat buktinya secara legal sesuai prosedur hukum dan obyektif.

Lebih dari itu, seorang polisi yang profesional juga dituntut untuk mampu menjelaskan mengapa suatu kasus terjadi dan memperkirakan timbulnya suatu kejahatan variabel-variabel independen tersedia/berkulminasi pada suatu kesempatan (ruang dan waktu).

Aspek kedua adalah konsistensi, baik dalam pengertian waktu dan tempat maupun  orang.  Artinya layanan Kepolisian harus disajikan secara konsisten pada sepanjang waktu, disemua tempat dan oleh segenap petugas.  Nampaknya aspek inilah yang mewarnai kelemahan pelaksanaan tugas khususnya penegakan hukum oleh Polri sehingga meimbulkan kesan kurang adanya kepastian hukum dinegeri kita.

Apek ketiga yang berkenaan dengankualitas pelayanan Polri adalah keberadaan yang banyak berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai sosisal suatu masyarakat.  Dalam hal ini pengembangan profesi kepolisan dituntut memilki integritras kepribadian yang tinggi sehingga mampu:  (1)  mengendalikan emosi, (2) menghindarkan diri dari godaan/pengaruhnegatif, (3) membatasi penggunaan kekerasan/upaya Paksa; (4) menjunjung HAM dan Menhargai hak-hak individu dan (5) berlaku sopan dan simpatik .

3.    Konsep pembinaan kamtibmas , desentralisasi tindakan bersama.
Dalam melakukan pelayanan kepolisian pendekatan kepada masyarakat dalam dilakukan dengan pembinaan.
    
Dalam karya Whitaker (1980) yang dengan tema atau komponen  kerjasama yang diberi istilah” tindakan bersama” :

a.     ketika masyarakat minta bantuan dari lembaga masyarakat disini instansi tergantung pada permintaan pada permintaan akan jasa.
b.     Ketika masyarakat memberikan bantuan kepada lembaga masyarakat,  disini warga masyarakat meprakarsai atau diharapkan membantu instansi agar bekerja lebih baik
c.      Ketika warga dan instansi berinteraksi untuk meyesuaikan pandangan dan tindakan masing-masing dalam pelayanan. (Robert R. Friedmann,1998)

Dalam kaitan itu disini terdapat satu konsep pembinaan  kamtibmas dan desentralisasi tindakan bersama , yang di implementasikan dalam prinsip-prinsip patroli Jalan kaki , hasil penelitian Trojanowicz dan Bucqueroux, 1990, dalam Dalam buku Robert R Freidmann, 1998 yaitu:

a.    Pembinaan kamtibmas adalah falsafah dan strategi.
b.    Pembinaan kamtibmas perlu dilaksanakan oleh seluruh jajaran Kepolisian.
c.     Pembinaan kamtibmas membutuhkan Polisi kusus, yaitu polisi pembina kamtibmas.
d.    Polisi Pembina kamtibmas harus bekerja sama dengan sukarelawan.
e.    Pembinaan kamtibmas memperkenalkan hubungan baru antara aparat dan masyarakat.
f.      Pembinaan kamtibmas menambahkan dimens proaktif dalam polisi.
g.    Pembinaan Kamtibmas bertujuan untuk melindungi lapisan masyarakat yang paling rawan.
h.    Pembinaan kamtibmas mencoba menyeimbangkan ketrampilan manusia dan inovasi tehnologi.
i.      Pembinaan kamtibmas harus menjadi peraturan yang diberlakukan secara padu.
j.      Pembinaan kamtibmas menekankan desentralisasi tugas dan wewenang.

RUANG LINGKUP PELAYANAN DAN TUJUAN  KEPOLISIAN

  Harapan masyarakat yang terlampau besar pada polri dalam meberikan pelayanan kepada masyarakat.  Sebenarnya sudah sesuai apabila dikaitkan dengan tugas pokok Polri yang demikian luas, baik sebagai Penegak hukum, pembimbing, pelindung dan pelayan masyarakat.

Dengan demikian pelayanan  bagi Polri  kepada masyarakat merupakan salah satu tugas pokok yang penting karena hampir sebagian besar fungsi-fungsi kepolisian terkait dengan aspek pelayanan, baik tugas kepolisan dibidang prevetif, represif maupun bimmas.

Tugas-tugas kepolisian yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat antara lain:

a.    Pelayanan atas pengaduan/laporan dari masyarakat.
b.    Pelayanan dalam memberikan bantuan  Kepolisian.
c.      Pelayanan administrasi lalulintas.
d.    Pelayanan dalam proses penegakan hukum/penyelidikan.

Yang kesemuanya tergelar dalam pelaksanaan fungsi-fungsi operasional Kepolisian yaitu Intelpam, sabhara, lalu-lintas, Bimmas dan Reserse.

Berbagai keluhan dalam bentuk berita-berita dalam berbagai media massa, merupakan suatu indikator bahwa Polri perlu untuk melakukan evaulasi atas pelayanan yang selama ini diberikannya untuk kemudian mengambl langkah-langka peningkatan.

Dalam rangka pelayanan masyarakat maka ada saat dimana anggota masyarakat dan anggota Polri yang memberikan pelayanan bertemu untuk memberikan pelayanan.  Saat pertemuan ini merupakan saat paling menentukan seberapa jauh Polri mampu atau tidak mampu memberikan pelayanan yang terbaik, saat ini pula akan ikut menentukan pembentukan citra Polri.  Hal ini akan jelas bila kita bayangkan setiap harinya, berapa kali pertemuan yang terjadi antara anggota Polri dengan anggota masyarakat diseluruh wilayah Republik Indonesia.

Momen pertemuan ini pada umumnya terjadi pada ujung tombak operasional Polri yaitu Polsek-polsek dan Polres-polres dimana anggota Polri yang terlibat terutama adalah anggota-anggota Bintara dan tamtama.  Polsek-Polsek dan anggota yang berpangkat Bintara dan tamtama dalam kenyataan merupakan unsur pelaksana terdepan dari organisasi polri yang memiliki kelemahan-kelemahan yang disebabkan berbagai  faktor internal seperti tingkat kemampuan anggota, sarana dan prasana peralatan maupun kemampuan tehnik manjerial.

Terlepas dari rumusan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegeri kita, mandat (tugas) yang dibebankan kepada lembaga Kepolisian sejak lahirnya adalah menegakan hukum  (law enforcement) dan memelihara keamanan dan ketertiban umum (publik order maintenance) yang terakhir ini karena dipandang reaktif berkembang menjadi “pembina” (proaktif).  Kalaupun tugas-tugas lain-lain yang dibebankan kepada Kepolisian, biasanya itu berkaitan dengan dua tugas pokok tersebut.  Misalnya, pencarian dan penyelamatan (SAR), penyelesaian pertikaian dan pemberian surat izin/keterangan, dan lain-lain..  Dengan demikian ruang lingkup pelayanan kepolisian mencakup kedua bidang tugas tersebut.  Kepolisian diciptakan (oleh masyarakat dan kemudian diformulasikan secara legal oleh negara) untuk kedua tugas tersebut.
Dengan menghayati latar belakang pembentukan kepolisian, kita dapat mengindentifikasi bahwa harapan masyarakat yang esensial dari penyelenggaraan fungsi kepolisian hanya mencakup: timbulnya rasa aman dan adanya kepastian hukum.  Tetapi pertanggung jawaban (accountability) Kepolisian tidak hanya mencakup ”apa yang dilakukannya” (produk) tetapi juga bagaimana melakukannya (proses).  Dalam hal ini, polisi harus melaksanakan tugas-tugasnya sesuai  aturan hukum (termasuk menjunjung hukum dan hak-hak individu) .  Karena itu, aspek ketiga dari kebutuhan masyarakat adalah ditegakannya keadilan, dalam arti perlakuan yang sama dan sesuai hukum bagi setiap orang yang dilayaninya.  Jika aspek tersebut benar maka Polri dituntut untuk menyajikan terutama (anecsessary condition) layanan yang pada dasarnya, dari sudut legalistik, dapat menghasilkan ketiga aspek kebutuhan tersebut itulah tujuan (goal) Kepolisian (Muhammad, 2000).

Namum Dalam pelaksanaan tugas kepolisian tidak hanya memberikan bantuan yang menyenangkan tetapi juga melakukan pengawasan bahkan dalam keadaan tertentu mengambil tindakan korektif (control) yang menyakitkan.  Dilain pihak Kepolisian tidak mungkin berhasil menjalankan tugas untuk mencapai tujuannya tanpa dukungan dari masyarakat.  Dukungan itu akan datang jika ada kepercayaan masyarakat.   Kepercayaan akan lahir jika Polri mampu menyajikan layanan jasa Kepolisian dan melalui proses hukum.
Dukungan akan datang jika polisi disenangi masyarakat (dipercayai belum tentu disenangi).  Untuk disenangi oleh masyarakat, polisi dituntut, dari sudut Sosio cultural, untuk berperilaku simpatik dalam melaksanakan tugas mereka.  Dengan demikian aspek kebutuhan masyarakat yang keempat yang menjadi tujuan Kepolisian adalah “ditunjukannya perilaku “ simpatik.  Tercakup dalam pengertian ini adalah sikap dan perilaku arif, sopan, menghargai orang lain dan menjunjung adat.  Aspek ini sering kali mendominasi publik yang diutarakan melalui media massa, walaupun sebenarnya bukan merupakan prasarat bagi keberhasilan Polri.

KUALITAS PELAYANAN  POLRI

Citra Polisi sering merosot karena ulah beberapa orang anggotanya.  Prasangka masyarakat terhadap Polisi diantaranya dibangkitkan oleh kenyataan, bahwa Polisi itu tidak memberikan perhatian yang sama eterhadap seluruh bagian  atau lapisan masyarakat. Kenyataan tersebut diatas terlihat pada distribusi ekologis dari pekerjaan Polisi, baik secara instansional maupun individual (Bittner, 1980 dalam Satjipto Raharjo, 1979).  Oleh masyarakat Polisi dianggap lebih sering berada pada daerah-daerah tertentu pada bagian kota.  Ini berakibat bahwa orang-orang dibagian tertentu mendapatkan lebih banyak keuntungan pekerjaan itu dari pada lapisan lain dalam masyarakat. (Satjipto Raharjo, 1979) .Kenyataan ini ditemukan dalam penelitian PSKP yang akan dijelaskan alena  berikut .

   Kualitas pelayan Polri berdasarkan penelitian PSKP (Pusat Studi keamanan dan Perdamaian)  Universitas Gajah Mada yang dilakukan di enam Polda yaitu: Jatim, DIY, Bali, Sulsel, Riau, Sumut  menunjukan bahwa,
dalam penelitian meliputi, kedisipilinan, etos kerja keras, pengabdian, kerajinan, sikap pantang menyerah, teladan bagi masyarakat. Hasilnya adalah menunjukan bahwa masyarakat menilai Polisi tidak cukup disiplin, tidak cukup rajin, cenderung mudah menyerah, dan sepenuhnya patut dijadikan teladan.    Data ini dikuatkan dengan hasil wawancara dengan beberapa responden Polisi diPolda Riau , mengungkapkan pandangannya tentang sikap kerja Polisi.  Menurutnya etika “3S” (senyum, salam ,sapa) seharusnya selalu hadir dalam tugas Polisi.  Namun yang terjadi adalah Polisi justru larut dalam karakternya sebagai prajurit yang bersosok angkuh, arogan, dan sok kuasa.  Akibatnya sebagaimana diungkapkan oleh  sebagian besar responden masyarakat Riau, sikap Polisi dalam pelayanan menjadi kelihatan angker. Apalagi hal ini dilakukan oleh Polisi Lalu-lintas (Poltas), kesatuan Polisi yang sering menjadi representasi figur polisi dimata masyarakat.  Masyarakat  umumnya menilai citra polisi dari poltasnya.
Penilaian mayarakat terhadap rendahnya moral Polisi, misalnya, tidak terlepas dari bias kesatuan tersebut.  Terhadap argumen bahwa Polisi berbuat demikian karena rendahnya gaji yang mereka terima dibantah oleh sorang resonden tokoh pemuda diJawa Timur.  Menurutnya, pada beberapa profesi lain yang juga bergaji kecil, pelanggaran hukum juga jamak ditemukan.  Namun tidak sebesar yang dilakukan pada Polisi.  Perbandingan yang dilakukan responden tersebut bisa jadi kurang proporsional dan kurang tranparan.  Namun demikian , hal ini juga menegaskan sisi positif yakni tingginya tingkat sensitifitas masyarakat terhadap perilaku pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Polisi. 
Terhadap indikasi rendahnya moral Polisi dilapangan, seorang responden pama dipolda Sumatra Utara mengemukakan bahwa, indikasi tersebut sebenarnya lebih mencerminkan tingkat adaptasi polisi yang cukup rendah dimasyarakat.  Menurutnya dilapangan banyak sekali ditemukan Polisi kurang bisa beradaptasi atau yang tidak sadar lingkungan, sehingga kuarang memiliki kedekatan dengan masyarakat.  Disamping itu, responden Polisi di Riau juga mengungkapkan bahwa banyak anggota Polisi yang tidak menguasai wilayah tugasnya, disamping karena rendahnya ketrampilan yang mereka kuasai.
Rendahnya tingkat adaptasi polisi juga dikemukakan oleh responden masyarakat di Sumatra Utara.  Padahal, sebagaimana dkemukakan oleh responden masyarakat Riau dan Jawa Timur, Perilaku yang adaptif sangat penting dalam membina kedekatan polisi dengan masyarakat.
Sebagai akibatnya, anggota polisi terlihat sangat rendah komitmennya dalam menjalankan tugasnya, bahkan tidak jarang terlihat sangat apatis.  Dalam kondisi yang demikian, menurut responden masyarakat Riau dan Sumatra Utara , polisi “lebih  banyak menunggu bola ketimbang menjemput bola”.  Tidak mengherankan  jika responden masyarakat Sumatra Utara melihat bahwa masyarakat lebih suka menghindarkan diri dari berurusan dengan polisi.  Disamping karena alasan birokrasi Polisi yang sering berbelit-belit, pelayanan polisi sering diskriminatif.  Disamping itu, masyarakat masih menyangsikan kerahasiaan pelaporan dan identitas pelapor. 
Kesan buruk terhadap sikap pelayanan polisi tersebut tentu saja bukan merupakan gambaran seluruh masyarakat Indonesia.  Dibeberapa daerah, yang muncul justru kesan positif atas pelayanan Polisi.  Para tokoh ulama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda diJawa timur memuji sikap kerja Polisi dilingkungan kerja mereka.  Sebagai contohmya mereka menilai bahwa kapolsek dilingkungan mereka telah memiliki kepemimpinan yang baik ; dekat dengan rakyat dan tidak membeda-bedakan dalam pelayanan.  Di kota sampel lainya di jawa Timur, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda juga menyatakan hal yang senada .  mereka menilai petugas bimmas dilinkungan mereka telah bertugas dengan baik: tidak pernah meminta uang dan selalu mengadakan pendekatan dengan masyarakat,  Bahkan beberapa responden masyarakat di Riau sangat memuji peran seorang polisi (seorang kasat bimmas) yang mampu memfasilitasi persengketaan antar suku.  Kasat tersebut akhirnya diangkat sebagai tokoh adat salah satu suku yang terlibat sengketa.
Walaupun demikian, jika kita perhatikan, semua sependapat yang bersifat positif tersebut umumnya selalu berkaitan dengan individu tertentu dari Polisi, dan buka merupakan pandangan terhadap terhadap polisi sebagai kelembagaan . Dengan demikian, citra negatif Polisi sebagai kelembagaan.  Dengan demikian, citra negatif polisi tidak dengan sendirinya hilang oleh pandangan positif yang bersifat individual tersebut.
Pengertian sikap pelayanan yang dimaksud dalam penelitian adalah: tidak membedakan pangkat, tidak mebedakan kaya miskin, tidak meminta uang jasa, ramah dan sopan, cekatan, mempermudah urusan, pelayanan memuaskan.  Dari data yang ada ditemukan bahwa Polisi membedakan pangkat dalam pelayanan, mengutip uang jasa, kurang ramah dan sopan, kurang cekatan, cenderung mempersulit urusan dan pelayanan yang kurang memuaskan.
Terdapat perbedaan yang signifikan antar daerah.  Masyarakat Sumatra Utara memiliki penilaian terburuk.  Seluruh aspek pelayanan diatas dinilai oleh masyarakat Sumatra Utara benar-benar mendahulukan yang berpangkat dan kaya, mengutip uang jasa, kurang ramah dan kurang sopan, lamban, mempersulit urusan dan pelayanan yang mengecewakan.
Data tentang penelitian ini didukung oleh hasil wawancara dengan beberapa responden dibeberapa wilayah.  Ungkapan responden masyarakat Riau tentang URC sebagai kependekan untuk rakyat cina , merupakan bukti adanya pandangan polisi pada masyarakat. Ungkapan tersebut memberi indikasi adanya pelayanan polisi yang bersifat diskriminatif. Terhadap masyarakat.
Dengan dugaan tersebut tampaknya juga bisa ditemukan dihampir semua daerah penelitian terutama Jawa timur, Sumatra Utara dan Riau.  Sebagaimana diakui oleh seorang Kasat Bimmas Polda Jawa Timur, bahwa polisi sering melihat siapa yang dilayani .  Misalnya kalau cewek cakep bisa didahulukan.  Pengakuan responden masyarakat Sumatra utara lebih jelas lagi tentang pelayanan Polisi yang didkriminatif tersebut.  Menurut mereka, kalau pribumi melapor pelayanannya lama , sedangkan jika non pribumi (warga tionghoa), pelayanannya terlihat sangat cepat.  Ada kecenderungan dari Polisi untuk menganggap laporan warga tionghoa lebih obyektif, apa ,adanya, sedangkan laporan dari warga pribumi sering dilebih-lebihkan.  Akibatnya polisi lebih percaya  pada laporan warga tionghoa.  Indikasi tersebut mendapatkan pembenaran lebih jauh ketika responden masyarakat ini mengatakan bahwa kalau ada warga tionghoa yang meninggal, polisi mengawal iring-iringan jenazahnya sampai kekuburan.  Kalau orang melayu yang punya kerja polisi tidak mau datang.
Dari hasil temuan tersebut dapat ada poin-poin yang dapat diungkapkan sebagai intisarinya  hal-hal tersebut adalah:

1.    Tingginya rasa tidak aman masyarakat.
2.    Pelayanan yang dipersepsikan oleh masyarakat justru mempersulit.
3.    Kehadiran anggota Polisi dirasakan oleh sebagian anggota masyarakat mengancam.
4.    Kecenderungan “dark number” yang cukup besar.
5.    Tingginya pelanggaran hukum dan etika oleh anggota Polri.
6.    Citra diri pribadi anggota Polri yang negatif dimata masyarakat.

Disamping itu, juga diungkapkan bahwa jati diri anggota polri yang militeristik, intelektualitas yang rendah, sikap kerja yang tidak pro aktif dan kreativitas yang rendah, orientasi tindakan pada keselamatan dan kelanggengan karir, serta kemandirian lembaga yang rendah.

Dari penelitian tersebut juga dapat disimpulkan bahwa, disamping  secara organisatorik Polri kurang efektif dalam menjalankan missinya, individu anggota Polri masih menunjukan perilaku-perilaku negatif dalam pemberian layanan yang dapat dikelompokan sebagai berikut:

1.    Penyalahgunaan kekuasaan, yang berupa, penggunaan kekerasan yang melampaui batas; penuntutan imbalan materi/uang seperti pemerasan, pungli dan denda damai.
2.    Kualitas penyajian layanan, tercela dari sudut moral, seperti diskriminasi, membiarkan permintaan layanan/pertolongan atau penegakan hukum tanpa alasan yang tepat, diskresi yang melampaui batas dan mengulur waktu.
3.    Patut disayangkan dari sudut etika, seperti arogan, tidak sopan, lamban dan tidak memperlakukan orang lanjut usia, anak-anak dan wanita secara baik.

PEMBAHASAN

Dari uraian yang telah dijelaskan diatas maka dapat kiranya dialkukan suatu analisa mengenai teori dan fakta yang disajikan untuk dapat mengahasilkan bentuk pelayanan kepolisian dalam rangka desentralisai (otonomi daerah).

Berangkat dari sistem kepolisan negara republik  Indonesia yang bersifat Nasional , yang selama ini telah menjalankan organisasinya lebih bersifat sentralistik, dimana semua kebijaksanaan , kewenangan dilakukan secara terpusat oleh Mabes Polri (pusat) dan bersifat seragam. Dari seluruh daerah yang kepolisian di Indonesia.

Dengan adanya Undang-undang No, 22 tahun 1999, dengan diberlakukannya otonomi daerah maka pemerintahan yang tadinya bersifat sentralistik akan diubah menjadi pemerintahan yang memberikan kewenangan seluas-luasya kepada daerah untuk mengatur sendiri rumah tangganya.

Kepolisain sebagai sub sistem administrasi negara, termasuk didalamnya sistem yang dianut,  maka perlu melakukan penyesuaian terhadap  perubahan ini.   Banyak konsep yang telah diutarakan diatas guna sebagai landasan kemana pelayanan akan dialakukan sesuai dengan otonomi ini.

Keberadaan Kapolres selaku kepala Kepolisan ditingkat bawah (tingkat II), kabupaten maupun kotamadya. Akan diberikan keleluasaan dalam melakukan pengaturan, melakukan prediksi, melayani masyarakat sesuai dengan konsdisi daerah dimana mereka berttugas dan berda. Dengan  demikian kewenangan yang dulu selalu dipegang oeleh pusat /polda akan dilakukan oleh Polres.

Polres sebagai kesatuan operasional Dasar  akan menjadi ujung tombak pelayanan didaerah masing-masing.

Dari konsep yang diutarakan diatas sesuai dengan sistem manajemen yang modern konsep memberikan otonomi yang lebih besar kepada polres akan memberikan banyak keuntungan.  Konsep desentralisasi seperti yang diungkapkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.       Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel darin pada yang tersentralisasi; lembaga tersebut dapat memberikan respon lebih cepat terhadap linkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah.  Dalam hal ini Polres  Sebagai Kesatuan Operasional Dasar (KOD) atau dalam istilah David Balley Basic Police Unit, merupakan kesatuan yang paling rendah yang dapat menjangkau masyarakat secara langsung , dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada polres untuk mengatur kebutuhan personil dan metode dalam memberikan pelayanannya , akan mudah melakukan pilihan pelayanan yang mana yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.  Jika kewenangan yang diberikan datangnya dari atas membuat sulit bagaimana melakukan antisipasi terhadap keadaan masyarakat daerah. Bentuk pelayanan yang diberikan  akan lebih sesuai dari pada bila ditetapkan oleh pusat dengan mengambil keragaman yang belum tentu cocok dengan wilayah tersebut.

2.       Lembaga yang terdesentralisai jauh lebih efektif dari pada yang tersentralisai.  Dalam hal ini bahwa dengan diberikannya kewenangan yang lebih kepada Polres akan dapat  memotong birokrasi yang terlalu panjang sehingga pelayanan yang lebih  cepat dari pada harus melalui bertingkat,  Sebagai Polres yang berada dilini depan  lebih tahu persis  apa yang terjadi dilapangan, dan lebih tahu dari hari demi hari, jam demi jam tentang  apa yang terjadi.  Efektifitas yang didapat bisa meliputi bidang anggaran, manjemen, administratif. Dan lain-lain.

3.       Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif dari pada yang tersentralisasi, dalam hal ini bahwa selama ini gagasan sering datangnya dari pimpinan pusat tetapi dengan desentralisasi, gagasan akan dapat muncul dari bawah karena saat disini, mereka menghadapi langsung perkembangan masyarakat dan dapat berinteraksi langsung kepada masyarakat, sehingga ide, gagasan akan mudah timbul dalam pembaharuan metoda pelayanan kepada masyarakat. Didaerahnya.

4.       Lembaga yang terdesentralisasi mengahasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produkfitasnya.  Dalam hal ini bahwa Polres sebagai kesatuan Operasioanl dasar yang diberikan kewenangan yang lebih akan menghasilkan semangat kerja karena apa yang menjadi ide dan gagasan dapat dilaksanakan, dan apabila hal ini berhasil akan memberikan semangat untuk melakukan inovasi yang lebih baik dan mendorong semangat kerja, dan dengan sendirinya produktifitas kerja akan lebih meningkat.

Sebagai abdi negara dan mayarakat kepolisian dengan menerpakan konsepini akan lebih dekat dengan masyarakat, dan meninggalkan sifat kaku dalam hirarki yang selama 32 tahun mempengauhi kinerja dan perik\laku anghgota Polri,.Sikap dan Perilaku anggota Polri yang angkuh, kaku, kental dengan kekerasan karena pengaruh kelembagaan polri selama menjadi ABRI akan dapat dihilangkan setahap, demi setahap dengan demikian proses menjadikan polri mitra mayarakat dan pelayanan kepolisian yang baik akan dapat terwujud .  Namun demikian   pelayanan kepada masyarakat akan lebih baik dengan memadukan konsep ini dengan sistem pembinaan yang lebih mendekatkan kepada masyarakat dimana pelayanan akan dapat menyentuh langsung individu-indvidu dalam mayarakat, konsep ini timbul dari patroli jalan kaki yang dilakukan di Michigan Amerika Serikat dimana Penelitian dilakukan oleh  Trojanowicz dan Bucqueroux, 1990, perinsip-prinsip pembinaan kamtibmas ini adalah:

1.    Pembinaan kamtibmas adalah falsafah dan strategi.
Pembinaan kamtibmas adalah suatu falsafah dan strategi keorganisasian yang memungkinkan polisi dan warga masyarakat bekerjasama erat dengan berbagai cara baru untuk memecahkan berbagai penyebab kejahatan, keributan fisik maupun sosial, serta penyakit masyarakat.

2.    Pembinaan kamtibmas perlu dilaksanakan seluruh jajaran kepolisian.
Ini harus diupayakan sebijak mungkin agar seluruh jajaran Kepolisian menyadari perlunya mencari pemecahan permasalahan masyarakat dengan cara-cara yang baru dan kreatif, termasuk mengajak masyarakat untuk menjadi polisi bagi dirinya sendiri.

3.    Pembinaan kamtibmas membutuhkan polisi kusus, yaitu Polisi pembinaan kamtibmas. 
Untuk melaksanakan pembinaan kamtibams, kepolisian perlu untuk menciptakan dan mengembangkan polisi tipe baru, polisi pembina kamtibmas.  Sebagai polisi pembina kamtibmas mereka harus dibebas tugaskan dari tugas-tugas patroli, atau panggilan radio, sehingga dapat melakukan aktifitasnya dengan tatap muka dengan masyarakat.

4.    Polisi Pembina kamtibmas harus bekerjasama dengan sukarelawan.
Polisi pembina kamtibmas harus dapat bekerja sama dengan siapapun termasuk sukarelawan dalam mencari pemecahan, permasalahan yang timbul dalam masyarakat.

5.    Pembinaan kamtibmas memperkenalkan hubungan baru antara aparat dengan masyarakat.
Pembinaan kamtibmas berarti kesepakatan baru antara kepolisian dengan masyarakat, yang menawarkan harapan akan terkikisnya sikap apatis, sekaligus menahan diri untuk setiap dorongan untuk terlalu curiga.

6.    Pembinaan kamtibmas menambahkan demensi proaktif dalam tugas polisi.
Pembinaan kamtibmas akan menambahkan unsur proaktif yang penting  kedalam pola pikir kreatrif tradisional polisi, dan menjadikan tugas polisi lebih multi demensional.

7.    Pembinaan kamtibmas bertujuan untuk melindungi lapisan masyarakat yang paling rawan.
Pembinaan kamtibmas menekankan upaya pencarian cara-cara baru untuk melindungi dan mengangkat kehidupan lapisan masyarakat  yang paling rawan.  Remaja , fakir miskin, lanjut usia, minoritas, penyandang cacat.

8.    Pembinaan kamtibmas menyeimbangkan ketrampilan manusia dan inovasi tehnologi.
Pembinaan kamtibmas memerlukan tehnologi tetapi percaya masih lebih baik dengan musyawarah  dan bekerjasama.

9.    Pembinaan kamtibmas harus menjadi peraturan yang diberlakukan terpadu.
Pembinaan kamtibmas harus dilakukan secara terpadu , pembina kamtibmas sebagai jembatan dengan masyarakat.

10. Pembinaan kamtibmas menekankan desentralisasi tugas dan wewenang.
Pembinaan kamtibmas harus ditetapkan sebagai pelayanan polisi indivdual yang didesentralisasikan.

Dengan paduan konsep ini otonomi yang diberikan kepada Polres sebagai KOD akan dapat lebih berhasil dan pelaksanaan pelayanan akan lebih menyentuh kepada masyarakat sesuai dengan konsep desentralisasi (otonoimi daera tingkat II).

KESIMPULAN

Bahwa otonomi daerah tingkat II sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 harus disambut dengan baik.  Sehubungan dengan itu diperlukan persiapan dan kesiapan sumberdaya manusia sebagai  yang mengawaki dalam pelaksanaan otonomi daerah. 

Polri sebagai lembaga bagian dari sistem administrasi negara dan sistem keamanan dalam negeri akan mengikuti penerapan undang-undang dengan memberikan kewenangan luas kepada Kesatuan Operasional Dasar (Polres).  Polres sebagai lembaga pada tingkat kabupaten atau kotamadya memerankan peranan yang penting dalam penegakan hukum dan perlindungan masyarakat, serta pelayanan masyarakat.

Dengan berkembangnya sistem pemolisian dalam masyarakat didunia bahwa pengembangan kepolisian akan mengarah kepada polisi yang dekat dengan rakyat, dengan konsep mendahulukan pencegahan dari tindakan represif.  Dengan konsep pelayanan yang disebutkan diatas dengan digabungkan dengan konsep pembinaan kamtibmas yang diambil dari prinsip prinsip patroli jalan kaki di  Amerika , maka pelayanan kepolisan dengan model desentralisasi akan lebih baik dan lebih menyentuh kepada masyarakat.
Dengan desentralisasi kewenangan dan tugas yang diberikan kepada Polres Selaku  Kesatuan operasional dasar,  pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dimana Polres tersebut berada , akan lebih menampilkan pelayanan yang lebih baik dan dekat dengan masyarakat.


                                                                                Jakarata, 24 Juli 2000


DRS. BAMBANG HASTOBROTO S
                                                                                  No.mhs. 8799110059

















DAFTAR PUSTAKA
1.         AWALUDIN  JAMIN, 1999 Polri sebagai Kepolisian Nasional yang mandiri dan Otonomi Daerah, Seminar Polri Mandiri, PTIK Jakarta.
2.         DAVID  BALLEY , 1994, Police for the Future, Cipta Manunggal, Jakarta.
3.         DAVID OSBORNE, TED GAEBLER, 1999, Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government), PT Pustaka Binaman Presindo, Jakarta.
4.         DAVID OSBORNE AND PETER PLASTRIK, 1998,  Banishing Bureaucracy, Penguin books Ltd, USA.
5.         FAROUK MUHAMMAD, 2000, Strategi Pengubahan Perilaku dan Budaya Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Polri, PTIK, 2000.
6.         KOESPARMONO IRSAN, 1994, Perubahan Ssosial dan pelayanan Polisi (makalah seminar Soscial change and Publik Servise ), ptik, Jakarta.
7.         M ARIEF WANGSA, 1994, Polisi cara bergaul menarik simpati, Sinar Widjoyo, Jakarta.
8.         RUSMANHADI, 1998, 5 (lima) langkah strategi Dalam penataan Kembali pelayanan Polri kepada masyarakat dalam Era reformasi, Mabes Polri, Jakarta.
9.         ROBERT R FRIEDMAN, 1998, Community Policing, disadur oleh KUNARTO, Cipta manunggal, Jakarta.
10.      SATJIPTO RAHARJO,  1980,  Masalah Penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis , Sinar baru, Bandung.
11.      UNIVERSITAS GAJAH MADA & MABES POLRI, 1999, Studi eksploratif Profesionalisme dan Kinerja Polri, PSKP, UGM, Yoyakarta.
12.       MABES  POLRI, 1999, Reformasi menuju Polri yang Mandiri, Mabes Polri.


UNIVERSITAS   INDONESIA


PRESPEKTIF MODEL  PELAYANAN KEPOLISIAN

ERA POLRI MANDIRI BERKAITAN DALAM

PENERAPAN OTONOMI DAERAH



MATA KULIAH : SEMINAR ISU MASALAH KEPOLISIAN
DOSEN             : PROF DR. SATJIPTO RAHARJO SH. MA



OLEH



DRS. BAMBANG HASTOBROTO SUDARMONO
NO.MHS. 8799110059




PROGRAM PASCA SARJANA  UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM KAJIAN ILMU KEPOLISIAN
JULI 2000


0 comments:

Post a Comment