Thursday 18 September 2014

MEMBANGUN MODEL PELAYANAN PUBLIK YANG DAPAT MEMENUHI KEINGINAN MASYARAKAT







LATAR BELAKANG
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sebagaimana dikemukakan (Hoessein, 2001):
Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah.
Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, efisien dan ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Banyak contoh yang dapat diidentifikasi; seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah daerah belum memuaskan masyarakat, kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta. Norman Flyn (1990) mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara herarkhis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing.
Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani. Padahal pemerintah seharus melayani bukan dilayani. Seharusnya, dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang" (Mustopadidjaja, 2003).
Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.

PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH
Di era otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan publik menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, di mana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri: (a) lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (b) lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama, (c) menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan, (e) lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat, (f) memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap pendapat dari masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya, (g) lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan, (h) lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan (i) menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: (1) memiliki  dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki wide stakeholders, (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5) memiliki complex and debated performance indicators, serta (6) seringkali menjadi sasaran isu politik (Mohamad, 2003)
Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Selain itu, pemerintah juga sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik yang isinya akan memuat standar pelayanan minimum. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat  karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah; namun, dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain (Mohamad, 2003):
·                    Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
·                    Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
·                    Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
·                    Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
·                    Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan,  kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
·                    Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
·                    Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad, 2003). Terkait dengan itu, berbagai pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut masih menimbulkan persoalan (Suprijadi, 2004). Beberapa kelemahan mendasar antara lain: pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya  menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.
Sementara karakteristik pelayanan pemerintah yang sebagian besar bersifat monopoli sehingga tidak menghadapi permasalahan persaingan pasar menjadikan lemahnya perhatian pengelola pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang berkualitas. Lebih buruk lagi kondisi ini menjadikan sebagian pengelola pelayanan memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan cenderung mempersulit prosedur pelayanannya.  Akibat permasalahan tersebut, citra buruk pada pengelolaan pelayanan publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak ada kepercayaan masyarakat pada pengelola pelayanan.  Kenyataan ini merupakan tantangan yang harus segera diatasi terlebih pada era persaingan bebas  pada saat ini. Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik dan pengembalian kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus diwujudkan.
Selain itu, terdapat empat gap yang perlu diperhatikan dalam setiap pelayanan publik, (Parasuraman, 1985) yaitu: (1) kesenjangan antara jasa yang dipersepsikan oleh manajemen dengan jasa yang diharapkan oleh konsumen, (2) persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dengan apa yang ditangkap oleh bawahan/ karyawannya, (3) konsep pelayanan yang dimengerti oleh karyawan dengan komunikasi dan aktifitasnya dalam memberikan pelayanan kepada konsumen, dan (4) tindakan dari pemberi layanan dengan jasa yang dipersepsikan oleh konsumen. Bagaimana kesenjangan pelayanan tersebut dapat dilihat pada model berikut ini.
SERVICE GAP (PARASURAMAN)
      Sumber: Parasuraman, 1985
Berdasarkan model di atas, maka persoalan pelayanan bukan saja tanggung jawab dari karyawan terdepan (front liner saja) melainkan juga merupakan tanggung jawab dari pimpinan instansi dan juga seluruh karyawan lainnya. Dalam hal ini, budaya perusahaan merupakan hal yang juga menjadi faktor penentu dalam memberikan pelayanan prima kepada pelanggan. Untuk lebih jelas tentang gambar di atas, dapat diuraikan sebagai berikut:
Gap-1 merupakan kesenjangan yang terjadi antara harapan masyarakat dengan apa yang dipikirkan oleh pimpinan instansi pemberi layanan publik. Misalnya, pimpinan berpikir bahwa waktu persetujuan suatu dokumen paling telat adalah 2 hari sedangkan masyarakat berharap tidak lebih dari 24 jam.
Gap-2 merupakan kesenjangan yang terjadi antara apa yang dipikirkan oleh pimpinan instansi terhadap harapan publik dengan spesifikasi dari kualitas pelayanan yang diberikan. Dalam hal ini apakah pimpinan lembaga terkait telah memiliki sebuah standar dalam pelayanan, jika sudah apakah standar-standar tersebut sudah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat.
Gap-3 terjadi tatkala penghantaran/ pemberian pelayanan (service delivery) dengan apa yang tertuang dalam spesifikasi standar pelayanan yang ada.
Gap-4 merupakan persoalan komunikasi yang terjadi tatkala janji pemerintah kepada masyarakat tidak sesuai dengan apa yang diberikan. Beberapa pengalaman menyebutkan bahwa penyebab dari munculnya gap keempat ini disebabkan oleh persoalan koordinasi internal organisasi itu sendiri.
Dengan melihat masih buruknya kinerja pelayanan publik di negara kita ini, kiranya harus dicarikan jalan keluar yang terbaik antara lain dengan memperhatikan gap-gap/kesenjangan-kesenjangan tersebut di atas sehingga permasalahan-permasalahan tersebut di atas dapat diminimalisir; sehingga ke depan, kinerja pelayanan publik diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat yaitu terciptanya pelayanan publik yang prima.
PEMECAHAN PERMASALAHAN
Agar dapat memenuhi keinginan masyarakat, selain perlu mereformasi paradigma pelayanan publik, disahkannya sesegera mungkin UU tentang Pelayanan Publik, pemecahan permasalahan pelayanan publik lainnya, yaitu dengan cara, antara lain melalui pembentukan model pelayanan publik yang sesuai dengan perkembangan jaman seperti sekarang ini di mana pemerintah berada dalam era desentralisasi. Leach, Stewart, & Walsh (1994) mengungkapkan adanya beberapa model pelayanan publik dalam kerangka desentralisasi. Model pertama yang paling lama dan paling banyak dianut oleh berbagai negara di dunia, terutama negara berkembang adalah model traditional bureaucratic authority. Ciri dari model ini adalah bahwa pemerintahan daerah bergerak dalam kombinasi tiga faktor yaitu : pertama, penyediaan barang dan layanan publik lebih banyak dilakukan oleh sektor publik (strong public sector). Kedua, peran pemerintah daerah sangat kuat (strong local government) karena memiliki cakupan fungsi yang luas, mode operasi yang bersifat mengarahkan, derajat otonomi yang sangat tinggi, dan tingkat kendali eksternal yang rendah. Ketiga,  pengambilan keputusan dalam pemerintah daerah lebih menekankan pada demokrasi perwakilan (representative democracy). 
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, tuntutan yang lebih terbuka, serta perkembangan globalisasi yang memicu peningkatan yang lebih cepat lagi dalam kebutuhan dan tuntutan akan layanan publik, maka model birokrasi tradisional tersebut biasanya dianggap tidak lagi memadai. Untuk itu, diperlukan suatu model baru yang mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan ini. Model yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat serta merespon berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
Berkenaan dengan hal tersebut, beberapa model di bawah ini yang merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Direktorat Aparatur Negara TA 2004, yang kiranya dapat digunakan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publiknya, seperti: (a) Model Kelembagaan, (b) Model Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik, (c) Model Siklus Layana (Momment of Truth), dan (d) Model Standar Pelayanan Minimal. Model-model ini dimaksudkan agar permasalahan pelayanan publik dapat dilakukan dengan baik dan tidak adanya gap-gap yang digambarkan secara rinci oleh Parasuraman di atas, yaitu:

A.                  Model Kelembagaan

Text Box:    
  
 
  Sumber: Hasil Kajian Peningkatan Kualtitas Pelayanan Publik TA 2004
  
 



 

 

 

 

 

 

 

 

 






Dari gambar model di atas maka format kelembagaan (Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap atau disingkat UPTSA) difungsikan sebagai frontline dari dinas-dinas yang ada untuk menjadi satu-satunya lembaga yang berhubungan dengan masyarakat yang memerlukan berbagai pelayanan. UPTSA ini bertugas antara lain menerima berkas permohonan ijin, meneliti kelengkapan persyaratan, sebagai koordinator bersama-sama dengan dinas teknis terkait melakukan assesment atau peninjauan lapangan dan membuat draft keputusan serta memberikan ijin yang telah disahkan atau diputuskan oleh dinas teknis terkait.
Keputusan untuk memberi dan mencabut ijin tetap ada di tangan lembaga atau dinas teknis yang bersangkutan. Dinas-dinas teknis dilarang untuk menerima langsung permohonan pelayanan karena pasti akan merusak tata aturan yang berlaku. Dinas teknis hanya berhubungan dengan UPTSA artinya adalah dinas teknis dalam memberikan ijin kepada masyarakat pemohon harus melalui UPTSA. UPTSA bersama-sama dengan dinas teknis terkait menentukan standar pelayanan minimal yang menyangkut waktu, tarif, dan prosedur. Sedangkan pihak UPTSA berhak sepenuhnya terhadap standar kompetensi petugas pelayanan, tempat pelayanan, media pengaduan dan sistem internal UPTSA yang mendukung kelancaran tugas UPTSA.
Secara kelembagaan UPTSA bertanggungjawab langsung kepada sekretaris daerah sehingga posisi daya tawar lembaga ini cukup tinggi dan mampu menjadi koordinator dinas-dinas terkait dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akan sangat menguntungkan bagi gerak dan kelancaran kegiatan UPTSA jika anggaran atau kebutuhan keuangan lembaga didukung oleh APBD. Namun jika terkendala oleh aturan maka anggaran UPTSA dapat digabung dengan anggaran sekretaris daerah setempat. Resikonya adalah pemasukan keuangan menjadi sangat riskan karena tidak ada jaminan anggarannya akan tetap dalam satu tahun anggaran seperti yang telah ditentukan.
Lembaga ini menganut struktur organisasi yang ramping dan datar sehingga mempercepat gerak dan mempermudah keputusan tanpa harus menunggu keputusan yang berjenjang dan sangat birokratis. Bagian UPTSA pada dasarnya terbagi atas 3 kelompok utama berdasarkan fungsi yaitu frontline, operasional lapangan, dan administrasi (back office). Organisasi ini sekurang-kurangnya dipimpin oleh pejabat eselon III.
Bagian frontline bertugas menerima permohonan perijinan dari masyarakat dan menyerahkan hasil perijinan yang sudah memiliki ketetapan hukum yang sah. Selain itu frontline bertugas untuk melakukan verifikasi awal data berupa kelengkapan data sebelum disampaikan petugas yang akan memverifikasi lebih detail. Adapun bagian operasional adalah bagian yang meneliti keabsahan data, melakukan peninjauan lapangan, melakukan koordinasi dengan dinas terkait dan merekomendasikan perijinan. Bagian pendukung atau back office berfungsi memberikan dukungan terhadap kelancaran tugas dua bagian lainnya. Bagian back office ini meliputi pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, dukungan sistem informasi yang berbasis komputerisasi dan komunikasi, perawatan peralatan dan perlengkapan kantor, dan pekerjaan yang bersifat adminsitrasi.

B.                  Model Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik
Model pengelolaan organisasi pelayanan publik ini dimaksudkan untuk memberdayakan lembaga pelayanan publik sehingga dapat mengoptimalkan fungsi pelayanan publik dan sesuai dengan perkembangan tuntutan perkembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Untuk lebih jelasnya maka model pengelolaan organisasi pelayanan publik sebagaimana gambar di bawah ini:

Model Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik
        Sumber: Hasil Kajian Peningkatan Kualtitas Pelayanan Publik TA 2004





           
            Dengan melihat model pengelolaan organisasi pelayanan publik ini, ada beberapa aspek yang dianggap sangat memiliki dampak langsung terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, yaitu:
B.1.      Aspek Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan proses berorientasi kepada manusia dan dapat diukur dari pengaruhnya terhadap perilaku organisasi dan masyarakat yang dihadapinya. Dengan kata lain, dalam tataran ini, aktivitas kepemimpinan sangat penting artinya terhadap motivasi orang lain, hubungan antara individu dan interaksi sosial, komunikasi interpersonal, iklim dalam organisasi, konflik interpersonal, perkembangan personil dan mengantisipasi produktivitas sumber daya manusia aparatur.

B.2.      Aspek Sistem Kelembagaan
a.      Aspek Kelembagaan
Implikasi dari tumpang tindihnya kewenangan atau katakanlah “pengambilalihan” kewenangan pelayanan yang bukan kewenangannya oleh UPTSA, ternyata dapat menimbulkan kurang maksimalnya kualitas pelayanan itu sendiri di satu sisi, dan adanya derajat perbedaan kualitas pelayanan pada masing-masing UPTSA pada sisi yang lain. Sedangkan pada UPTSA yang mempunyai pimpinan dan aparat serta tokoh-tokohnya yang lain yang mempunyai jiwa dan karakter kepemimpinan yang baik, proaktif dan inovatif dalam menjalankan tugasnya, kekurangan dalam hal optimalisasi kualitas pelayanan di UPTSA akan dapat teratasi.

b.      Aspek Sumber Daya (Manusia)

Ketersediaan sumber daya yang memadai dan potensial dipandang sebagai faktor yang signifikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Aspek sumberdaya yang dimaksud di sini secara umum meliputi sumber daya keuangan, SDM aparatur, teknologi dan aspek prasarana dan sarana fisik lainnya. Secara umum kelemahan pelayanan publik selama ini lebih dikarenakan oleh masalah keterbatasan kemampuan finansial dan sarana prasarana fisik. Kelemahan lainnya adalah kemampuan dan kompetensi SDM aparatur yang terlibat langsung kepada pemberian pelayanan, di mana rata-rata SDM Aparatur di daerah belum mahir dalam menggunakan dan mengoperasikan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin hari semakin cepat berkembang.

 c.     Aspek Partisipasi Masyarakat

Dalam konteks partisipasi masyarakat di dalam penyelenggaraan pelayanan umum, komunikasi yang efektif antara masyarakat dengan pemerintah (UPTSA) menjadi penting terutama berkaitan dengan arah pelayanan yang berorientasi kepada pelanggan di mana kepentingan, keinginan, harapan dan tuntutan masyarakat menjadi sandaran utamanya. Posisi masyarakat dalam tataran ini dipandang sebagai subyek yang harus dilayani dan dipuaskan. Karenanya, ketika berbicara mengenai kualitas pelayanan yang diberikan maka hal itu akan sejajar dengan tingkat kepuasan masyarakat sebagai pelanggannya. Dalam melakukan pelayanan yang baik, seorang pelayan harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap yang dilayaninya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan  dalam melakukan komunikasi dengan orang lain, yaitu: (1) komunikator dan komunikan harus sama-sama berpola pikir positif yang didasarkan pada pola pikir yang sehat dan logis, (2) komunikator dan komunikan harus mampu menempatkan diri pada kondisi yang tepat pada saat melakukan komunikasi atau komunikator harus mampu menempatkan  komunikan pada posisi yang bebas dan manusiawi, (3)  komunikator harus mampu menampilkan sikap yang santun dan memberikan kesempatan terhadap komunikan untuk memahami isi pesan sampai dengan memberikan umpan balik, dan (4) kemampuan memilih dan menggunakan bahasan yang sederhana dan gampang dimengerti oleh komunikan.
Secara umum di setiap UPTSA memang sudah berjalan berbagai macam forum yang sifatnya rutin dan formal yang diselenggarakan di tiap-tiap UPTSA. Namun demikian, jika ditinjau dari kuantitas dan kualitas penyelenggaraan forum tersebut, masing-masing UPTSA satu sama lain berbeda keadaannya. Dalam konteks ini, yang harus lebih ditonjolkan oleh pemerintah adalah peran motivator, yaitu peran penggerakan masyarakat atau mobilisasi masyarakat untuk mau berpartisipasi dalam menyukseskan atau memperlancar jalannya pelayanan.

C.         Model Siklus Layanan (Momment of Truth)
Dalam pola ini, masing-masing instansi/unit terkait tetap melaksanakan kewenangan dan tugas-fungsinya, serta dapat menempatkan petugasnya pada tempat tersebut. Akan tetapi agar proses keseluruhan pelayanan dapat berjalan sinergi, maka kegiatan pelayanan dan masing-masing instansi/unit terkait diatur dalam suatu prosedur dan terkoordinir dalam mekanisme tata urutan kerja yang tertentu pada satu lokasi/tempat di bawah satu atap tersebut. Teknis pelaksanaan dengan pola pelayanan umum satu atap, dapat dilakukan, antara lain:
a.                   Menyiapkan tempat/gedung untuk ditempati secara bersama oleh unit kerja/instansi terkait. Masing-masing instansi membuka meja/loket dan menempatkan petugasnya sesuai yang ditentukan didalam satu tempat/lokasi tersebut, serta menjalankan tugas dan fungsinya sendiri;
b.                  Sesuai mekanisme urutan kegiatan penyelesaian pelayanan yang ditentukan, maka masyarakat (pemohon pelayanan) cukup mendatangi dan menyelesaikan urusannya langsung pada loket/petugas pada unit kerja/Instansi terkait tersebut;
c.                   Untuk mendukung kelancaran pertayanan, maka proses pelayanan yang berkaitan dengan masing-masing loket/meja dan unit/instansi terkait tersebut, harus dilengkapi atau disediakan informasi yang lengkap menyangkut urutan kegiatan, persyaratan, dan biaya pelayan secara jelas dan terbuka dalam satu lokasi tersebut.

 

D.         Model Standar Pelayanan Minimal

Dalam hal untuk menggali pandangan masyarakat terhadap mutu pelayanan yang diberikan oleh UPTSA yang didasarkan pada beberapa kategori, aspek-aspek yang dijadikan dasar pengukuran meiliputi beberapa unsur, di antaranya: Pertama, tangibility, yaitu berupa kualitas pelayanan yang dilihat dari sarana fisik yang kasat mata, dengan indikator-indikatornya yang meliputi sarana parkir, ruang tunggu, jumlah pegawai, media informasi pengurusan, media informasi keluhan, dan jarak ke tempat layanan. Kedua adalah reliability, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan dan kehandalan dalam menyediakan layanan yang terpercaya, meliputi proses waktu penyelesaian layanan dan proses waktu pelayanan keluhan.
Ketiga, bertitik tolak dari kemampuan dan kehandalan yang dipunyai, untuk selanjutnya indikator kualitas pelayananpun harus ditunjang dari sisi responsiveness-nya, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen. Keempat adalah assurance, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan petugas dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat. Adapun indikator-indikatornya adalah dengan adanya kejelasan mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif layanan. Kelima adalah empathy, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan berupa sikap tegas tetapi penuh perhatian terhadap masyarakat (konsumen). Dalam konteks ini, indikator yang dilihat adalah adanya sopan santun petugas selama pelayanan berlangsung dan bantuan khusus dari petugas selama proses pelayanan berlangsung.
Namun demikian, berbagai cara yang diusulkan di atas, tidak dapat terlaksana dengan sempurna apabila prasyarat utama diabaikan. Prasyarat tersebut meliputi 5 (lima) aspek seperti di bawah ini yaitu (Parasurarman, 1985):

a.                   Proses dan prosedur.
              Proses dan prosedur pelayanan dapat meliputi prosedur pelayanan langsung kepada pelanggan, dan proses pengolahan pelayanan yang merupakan proses internal dalam menghasilkan pelayanan. Dalam proses dan prosedur ini meliputi seluruh aktifitas kegiatan pelayanan secara berurutan dimulai dengan aktifitas yang dilakukan ketika pertama kali pelanggan datang, dan bahkan setelah pelayanan itu selesai (affter service.)
b.                  Persyaratan pelayanan.
Persyaratan pelayanan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi oleh pelanggan untuk mendapatkan pelayanan. Persyaratan pelayanan dapat berupa dokumen atau surat-surat. Persyaratan pelayanan perlu diidentifikasi dari tiap aktifitas pelayanan sehingga untuk keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelanggan termasuk biaya total yang harus dibayar oleh pelanggan.
c.                   Sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Sarana pelayanan merupakan berbagai fasilitas yang diperlukan dalam rangka memberikan pelayanan. Sarana yang digunakan dapat merupakan sarana yang utama dan sarana pendukung. Sarana utama merupakan sarana yang disediakan dalam rangka proses pelayanan yang meliputi antara lain berbagi fomulir, fasilitas pengolahan data. Sedangkan sarana pendukung adalah fasilitas yang pada umumnya disediakan dalam rangka memberikan pelayanan pendukung antara lain seperti penyediaan fasilitas ruang tunggu yang nyaman, pemyediaan layanan antaran dan lain-lain. Sedangkan prasarana merupakan berbagai fasilitas yang mendukung sarana pelayanan anatara lain berupa jalan menuju kantor pelayanan.
d.                  Waktu dan Biaya Pelayanan
Dengan ditentukannya waktu dan biaya yang terpakai untuk setiap aktifitas yang dilakukan pada proses pengolahan, maka akan dapat ditentukan waktu dan biaya yang akan digunakan untuk melayani satu jenis pelayanan sejak awal pelanggan menemui petugas pelayanan sampai pelayanan selesai dilakukan.
e.                  Pengaduan Keluhan
Pengaduan keluhan merupakan mekanisme yang dapat ditempuh oleh pelanggan untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang diterima.Pengaduan keluhan merupakan hal yang sangat penting mengingkat perbaikan kualitas pelayanan terus menerus tidak lepas dari masukan pelanggan yang biasanya dalam bentuk keluhan.

PENUTUP DAN SARAN/REKOMENDASI
Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat hal-hal perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1.                   Rancangan Undang-undang tentang Pelayanan Publik yang dimaksudkan sebagai salah satu upaya mengatasi permasalahan penyelenggaraan pelayanan publik harus segera disyahkan.
2.                   Di era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.
3.                   Penguatan kelembagaan untuk meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini ditujukan pada pelayanan publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang berbasis pada pelayanan administrasi dokumen. Model ini terbagi menjadi empat model yaitu : (a) model kelembagaan, yang mana model ini difungsikan sebagai frontline dari dinas-dinas yang ada untuk menjadi satu-satunya lembaga yang berhubungan dengan masyarakat yang memerlukan berbagai perijinan; (b) model pengelolaan organisasi pelayanan publik untuk memberdayakan lembaga pelayanan publik dalam mengoptimalkan fungsi pelayanan publik sehingga sesuai dengan perkembangan tuntutan perkembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya; (c) model siklus layanan yaitu instansi/unit terkait tetap melaksanakan kewenangan dan tugas-fungsinya, serta dapat menempatkan petugasnya pada tempat tersebut. Akan tetapi agar proses keseluruhan pelayanan dapat berjalan sinkron, maka kegiatan pelayanan dan masing-masing instansi/unit terkait diatur dalam suatu prosedur dalam rangkaian proses kegiatan yang terkoordinir dalam mekanisme-tata urutan kerja yang tertentu pada satu lokasi/tempat di bawah satu atap tersebut., dan (d) model standar pelayanan minimal yaitu proses pelayanan umum, agar benar-benar dapat berpihak kepada masyarakat yang sangat memerlukan layanan yang prima. Di antaranya adalah dengan menerapkan sendi-sendi Tatalaksana Pelayanan Umum yang meliputi prinsip-prinsip pelayanan publik.
4.                   Pedoman dalam perumusan tatalaksana dan penyelenggaraan kegiatan pelayanan umum. Ke empat model tersebut diperkuat oleh 3 faktor utama yaitu faktor kepemimpinan, faktor system atau organisasi dan faktor budaya masyarakat. Faktor kepemimpinan dapat merupakan kumpulan dari 2 aspek yaitu aspek capability (kesanggupan) dan aspek abilty (kemampuan). Faktor sistem atau organisasi terdiri dari 3 aspek yaitu aspek siklus layanan, kelembagaan dan sumber daya. Aspek siklus layanan adalah aspek di mana pelanggan atau pengguna secara langsung dapat menilai kinerja palayanan yang diberikan oleh suatu instansi karena pelanggan tersebut mengikuti aliran proses pelayanan. Aspek kelembagaan itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi kewenangan, struktur organisasi dan koordinasi antar lembaga. Selanjutnya aspek sumber daya terdiri dari keuangan, SDM, teknologi dan aspek fisik (infrastruktur). Faktor socio culture dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas.
5.                   Peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan di daerah-daerah seyogyanya dapat diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya. Kuatnya komitmen kepemimpinan khususnya para kepala daerah dengan didukung oleh staf atau tim internal yang berfungsi sebagai pemikir dan mitra dialog kepala daerah, secara signifikan akan mampu mengoptimalisasi terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik di daerahnya. Tim internal pemerintah daerah yang bersangkutan berposisi sebagai pembaharu dalam sistem birokrasinya. Tim tersebut dapat terdiri dari para kepala dinas atau pejabat-pejabat yang memiliki visi dan misi serta strategis yang sama dengan Kepala Daerah yang bersangkutan. Selain tim internal pemerintah daerah, seyogyanya keterlibatan stakeholder lainnya (tim eksternal) perlu dilibatkan guna memberikan masukan, evaluasi dan saran-saran yang berguna bagi terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik.
6.                   Selain kepemimpinan dan tim yang tangguh, peningkatan pelayanan publik juga dipengaruhi oleh aspek kejelasan dan kepastian proses pelayanan seperti prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang diperoleh dan waktu. Secara internal kelembagaan, aspek kuatnya kewenangan yang dimiliki sebuah isntitusi yang mampu menkoordinasikan lembaga-lembaga lain dan menjadi leading sektor bagi instansi lain diyakini dapat menjadi faktor penggerak hubungan antar kelembagaan. Dukungan kejelasan job desk dari struktur yang ada dapat semakin memperkokoh instansi dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas.
7.                   Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu. Guna menjalankan organisasi memerlukan daya dukung keuangan dan teknologi maju terutama di bidang ICT dan tampilan fisik seperti gedung yang feasible dapat mempengaruhi citra kuatnya komitmen pemda dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakatnya.
8.                   Di lain pihak dukungan warga masyarakat baik perseorangan atau badan seperti asosiasi, LSM ataupun kelompok kritis lainnya dapat mempercepat laju proses peningkatan kualitas pelayanan publik. Di kedua daerah yang diteliti, partisipasi warga cukup kuat dan terjadi hubungan yang harmonis kritis antara penyedia dan penerima pelayanan publik

Atas dasar tersebut, hal-hal yang kiranya perlu dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah adalah:

1.                   Untuk meningkatkan pengelolaan pelayanan publik yang berkualitas pemerintah daerah sebaiknya merubah paradigma berpikir dan bertindak yang ada di birokrasi daerah dari paradigma dilayani, pangreh praja, memerintah dan menguasai menjadi paradigma melayani, pelayan masyarakat, memfasilitasi dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelayanan publik.
2.                   Memperkuat kewenangan lembaga/unit pelayanan sehingga dapat menjalankan kordinasi dengan instansi-instansi lainnya yang ada di daerah tersebut. Kelembagaan (unit pelayanan terpadu satu atap) difungsikan sebagai frontline dari dinas-dinas yang ada untuk menjadi satu-satunya lembaga yang berhubungan dengan masyarakat yang memerlukan berbagai perijinan. UPTSA ini bertugas antara lain menerima berkas permohona ijin, meneliti kelengkapan persyaratan, sebagai koordinator bersama-sama dengan dinas teknis terkait melakukan assesment atau peninjauan lapangan dan membuat draft keputusan serta memberikan ijin yang telah disahkan atau diputuskan oleh dinas teknis terkait
3.                   Melibatkan masyarakat untuk secara aktif mengawasi, mengevaluasi, dan memberi masukan akan menumbuhkan suasana hubungan antara warga dengan pemberi pelayanan terbina secara harmonis di mana sikap birokrasi menjadi lebih terbuka, jujur, transparan, serta tidak diskriminatif.


DAFTAR PUSTAKA DAN BAHAN BACAAN


Berry, Leonard. L., A. Parasuraman., Marketing Services:  Competing Through Quality, 1th ed. New York: The Free Press, 1991
Christoher Lovelock, Product Plust, Mc Graw-Hill, New York, 1994
Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta.
Flyn, N. 1990. Public Sektor Management; Harvester Wheatsheaf:  London
Gaster, L. 1995. Quality in Public Services, Managers Choices.  Open University Press; Buckingham – Philadephia.
Hoessein, B. 2001. “Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara”; Seminar dal Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah Dalam Kerangka Good Governance; Lembaga Administrasi Negara.
Leach, S., Stewart, J., Walsh, K. 1994. The Changing Organization and Management of Local Government; London; McMillan Press Ltd.
Mohamad, Ismail, 2003, Aktualisasi Pelayanan Prima Dalam Kapasitas PNS sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Panel Optimalisasi Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, yang diselenggarakan oleh Unit KORPRI POLRI Pusat, pada  tanggal 23 Oktober 2003, Jakarta.
Mustopadidjaja AR, 2002, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah  Dalam  Sistem  Administrasi  Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah Perdana Pada Program Magister  Manajemen Pembangunan Daerah, Kerjasama STIA-LAN, Pemerintah Prov. Kaltim, dan Universitas Mulawarman,   15 Januari, 2002. Samarinda.
Osborne, D. & Gaebler, T. 1992. Reinventing government : how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector. Reading, Massachussetts : A William Patrick Book.
Parasuraman, A., Valarie A. Zeithmal, and  Leonard L. Berry, 1985. A Conceptual Model of Service Quality and its Implication for Future Research, Journal Marketing.
Suprijadi, Anwar 2004. Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik, Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 J


0 comments:

Post a Comment