Thursday 18 September 2014

Kebijakan Politik Dalam Mewujudkan Reformasi POLR


Pendahuluan
Keinginan menegakkan supremasi hukum dan pembenahan kelembagaan aparatur negara di Indonesia masih menjadi jalan panjang yang belum juga terwujud. Sebenarnya kunci utama yang dibutuhkan tidak lain adalah adanya kemauan politik (political will) yang kuat untuk mengatasi berbagai persoalan rumit bangsa. Persoalan tersebut terkait dengan aspek hukum secara materiil maupun terhadap aparat penegakan hukum didalamnya.
Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut dengan jalan melakukan perubahan-perubahan, bahkan pembaharuan, terhadap berbagai aspek hukum. Program reformasi hukum, tidak bisa tidak, harus digulirkan secara bersama-sama dengan melibatkan secara aktif seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), dengan beban terbesar diletakkan pada pundak penyelenggara negara, salah satunya tentu Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).
Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi. Era otonomi daerah dengan memberikan desentralisasi kewenangan kepada daerah juga merupakan input positif dalam tata laksana pembaharuan aparatur negara. Otonomi daerah telah membuka peluang yang luas dalam mengikutsertakan elemen-elemen pemangku kepentingan (stakeholder) untuk dapat berparsipasi secara aktif menggulirkan reformasi penegakan hukum di Indonesia. Tentu saja perubahan dinamika politik di tingkat nasional tersebut membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika kehidupan politik nasional, melainkan juga dinamika sistem-sistem lain yang menunjang penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Pembangunan sistem politik yang demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia dan makin mempererat persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Permasalahan pokok yang dihadapi oleh Indonesia saat ini di bidang politik dalam negeri adalah adanya ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif); belum akomodatifnya konstitusi terhadap dinamika perubahan masyarakat; rentannya konflik, baik vertikal maupun horizontal; menguatnya gejala disintegrasi bangsa; serta merebaknya berbagai tindak kekerasan dan aksi massa yang sering kali memaksakan kehendak.
Selain itu, permasalahan lain yang muncul sebagai akibat dari warisan sistem politik pada masa lalu adalah ketidaknetralan serta keberpihakan pegawai negeri sipil (PNS) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) terhadap kepentingan penguasa; lemahnya pengawasan terhadap kinerja penyelenggara negara, sehingga menjadi penyebab meluasnya tindakan KKN; belum terlaksananya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance); lemahnya kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelenggaraan negara, dan lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM); serta belum memadainya sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan.


Reformasi Kebijakan untuk Merevitalisasi Fungsi POLRI sebagai Pengayom dan Pelayan Masyarakat.
Reformasi terhadap lembaga aparatur negara seperti halnya Polisi Republik Indonesia (POLRI) tidak dapat diselenggarakan secara terpisah dari lembaga kenegaraan lainnya. Angkatan Kepolisian yang tangguh akan dengan cepat menjadi mandul apabila tidak didukung secara optimal aparatur penegak hukum lainnya, seperti jaksa, hakim, dan kepala lembaga kemasyarakatan. Demikian pula, patut diperhatikan bahwa upaya reformasi kelembagaan POLRI tidak hanya pada tataran legal formal. Penyelenggaraan reformasi terhadap lembaga-lembaga tersebut diatas pun tidak mungkin terjadi bila pendapatan negara tidak cukup untuk membayar gaji yang bisa memenuhi kebutuhan dasar, serta menutup biaya–biaya lembaga pemerintahan untuk keperluan sumberdaya dan operasional dasar.
Akibat belum terpenuhinya aspek-aspek di atas, korupsi telah mewabah hampir ke seluruh bidang pekerjaan kepegawaian negeri, mulai dari lapisan terbawah hingga yang teratas, tak terkecuali di dalam tubuh POLRI. Beberapa waktu lalu, pemberitaan yang tidak sedap sempat muncul beberapa kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di tubuh POLRI seperti yang diungkap dalam skripsi mahasiswa PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Demikian juga konstalasi politik, dan perubahan sistem pemilihan umum (Pemilu) yang diselenggarakan secara demokrasi, belum juga mengubah struktur politik pokok masih didasari jaringan perlindungan (patronage) yang sudah tertanam dalam.
Namun lambat laun, seiring perubahan politik yang terjadi, reformasi dapat menjalar ke bidang-bidang yang lebih signifikan, sehingga korupsi dapat ditekan hingga ke tingkat yang lebih terkendali.Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga makin mengokohkan kinerja aparatur Kejaksanaan dalam mengatasi permasalahan korupsi. Namun demikian harus tetap disadari bahwa hal tersebut bukanlah suatu proses berjangka pendek dan membutuhkan energi yang besar untuk menjaga konsistensi penegakan aparat hukum, dengan didukung oleh POLRI.
Reformasi bukan sekedar masalah hukum yang tidak memadai, lembaga-lembaga yang lemah, kode etik atau keahlian melainkan terutama masalah kemauan politik, atau political will dari pemerintah. Tanpa ada kemauan politik, sangat mustahil menuntut reformasi secara produktif dalam bidang administrasi serta operasi kepolisian.
Terkait dengan peran dan fungsi POLRI, tuntutan untuk menjadi institusi sipil tidak dapat ditawar lagi. Pergeseran paradigma pengabdian POLRI yang sebelumnya cenderung digunakan sebagai alat Penguasa ke arah mengabdi bagi kepentingan masyarakat telah membawa berbagai implikasi perubahan yang mendasar. Salah satu perubahan itu adalah perumusan kembali perannya sesuai Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 yang menetapkan POLRI berperan selaku pemelihara Kamtibmas, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Arah kebijakan strategis POLRI yang mendahulukan tampilan selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dimaksud bahwa, dalam setiap kiprah pengabdian anggota POLRI baik sebagai pemelihara Kamtibmas maupun sebagai penegak hukum haruslah dijiwai oleh tampilan perilakunya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, sejalan dengan paradigma barunya yang mengabdi bagi kepentingan masyarakat.
POLRI yang memiliki tugas dan fungsi sebagai pengayom dan pelayan masyarakat harus mengubah citra militeristiknya tatkala masih menyatu dengan institusi militer (TNI). Perkembangan institusi POLRI (Kepolisian RI) di masa mendatang mengalami perubahan mendasar sejak lahirnya UU Kepolisian yang baru (UU No.2 Tahun 2002). Tentu pada gilirannya, akan memberikan keleluasaan bagi POLRI untuk bertindak, serta menegaskan kembali bahwa POLRI sudah berpisah dari TNI. Pemisahan POLRI dari TNI merupakan suatu langkah strategis guna mengembalikan POLRI kepada jati dirinya, yaitu sebagai polisi yang berwatak sipil.
Namun sayangnya, sampai dengan detik ini peraturan pelaksana dari UU Kepolisian masih sangat minim. Hal ini tentu sangat menghambat tugas POLRI dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bahkan, akibat minimnya peraturan pelaksana UU Kepolisian, masyarakat malah bisa menjadi kurang terlindungi. Padahal, esensi dari lahirnya UU Kepolisian adalah memberikan perlindungan dan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Menurut Adrianus Meliala, kriminolog Fisip Universitas Indonesia, minimnya peraturan pelaksana ini akan berdampak pada citra POLRI kepada masyarakat. Hal ini mengingat POLRI adalah institusi yang memiliki kewenangan besar, yang tentu memerlukan pengawasan.
Peraturan pelaksana yang memainkan peran (pengawasan) terhadap POLRI hingga sekarang ini belum memadai. Tidak adanya peraturan pelaksana akan menyebabkan kesenjangan (gap) di tubuh POLRI. Tentunya, ini akan berpengaruh terhadap kinerja POLRI dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta berpengaruh juga terhadap hubungan POLRI dengan TNI.
Dalam bab II Tap MPR Ketetapan MPR No VII/MPR/ 2000 tentang Peran TNI dan POLRI, terutama dalam Pasal 6 juga ditegaskan bahwa fungsi dari POLRI adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Hal senada juga ditegaskan oleh Prof. Dr Dimyati Hartono bahwa penyelenggara negara harus memperhatikan semangat kebatinan atau semangat/spirit pembentukan Tap MPR No VII/MPR/2000 serta konsistensi penyelenggara negara dalam menerapkan Tap MPR tersebut demi adanya kepastian hukum.
Suasana kebatinan pembentukan Tap MPR No VII/MPR/ 2000 adalah semangat reformasi untuk melepaskan institusi POLRI dari ABRI dan mengubah POLRI menjadi penegak hukum yang berada dalam lingkungan sipil. Hal ini disebabkan karena sebelum era reformasi POLRI melekat dengan TNI sehingga kesan militeristiknya sangat kuat. Optimalisasi peran POLRI dalam secara keseluruhan menyangkut aspek kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan pengawasan. Di samping menjalan fungsinya dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, POLRI juga harus mendukung agenda otonomi daerah.
Selain adanya pembenahan dalam hal konstitusional, reformasi POLRI juga harus diiringi dengan adanya pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang tangguh. Peningkatan kemampuan SDM ini pada akhirnya akan menunjang profesionalisme POLRI sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Bila dilihat kontekstual terhadap masa lalu dan keadaan sekarang yang sedang berlangsung tercatat pula berbagai keluhan dan ungkapan ketidakpuasan terhadap Polri. Dengan perkataan lain pada saat ini masih dirasakan kesenjangan yang cukup lebar antara tuntutan dan harapan masyarakat dengan tingkatan kemampuan Polri untuk menyajikan tingkat dan bentuk pelayanan yang memadai.
Kesimpulan dan Rekomendasi Politik
Dinamika pelayanan Polri Mengacu kepada paradigma baru. Keberhasilan POLRI dapat diketahui tidak hanya dari kriteria keberhasilan pelaksanaan tugas POLRI, namun juga ditentukan berdasarkan penilaian dari masyarakat. Secara relatif keberhasilan itu ditandai dengan semakin dekatnya kualitas penyajian pelayanan POLRI dengan harapan-harapan masyarakat.
Bergulirkan iklim reformasi dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi adanya pembenahan dan pembaharuan hukum dan aparatur penyelenggara hukum. Tuntutan untuk mengadakan reposisi peran POLRI dalam lingkungan sipil sudah menjadi keharusan. Peran dan fungsi POLRI secara substansial dan fungsional memang berbeda dengan TNI yang pada era sebelumnya menjadi induk POLRI. Perubahan citra yang bercorak sipil harus dikedepankan oleh POLRI. Setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan jika POLRI serius melakukan perubahan, yaitu:
  • Fungsi kepemimpinan institusi POLRI,
  • Adanya tekanan yang cukup besar dari luar lingkungan POLRI (badan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif)
  • Kesadaran dari institusi POLRI mengenai kebutuhan adanya paradigma baru dalam menjalankan fungsi polisi sipil,
  • Adanya dukungan infrastruktur yang memadai dalam mempercepat proses perubahan tersebut,
  • Dukungan penggerak ekonomi yang memadai bagi para personel POLRI, seperti gaji dan anggaran
Ada beberapa masukan yang patut diperhatikan antara lain:
  • Mendorong regulasi yang menempatkan kedudukan POLRI dalam ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara yang menghasilkan sinergi optimal bagi kepentingan nasional dan memungkinkan dinamika peranan kepolisian pada tataran operasional teknis dan tataran kebijakan secara nasional.
  • Adanya otonomi kewenangan teknis profesi kepolisian dan penegak hukum yang bersumber dari undang-undang dan berkait dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system).
  • Meninjau kembali masalah keamanan dalam negeri serta menciptakan strategi menyeluruh untuk mencari keterpaduan terhadap tuntutan otonomi daerah dalam suatu kerangka nasional (NKRI).
  • Mengoptimalkan kerjasama Polisi Republik Indonesia dengan unsur penegakan hukum lainnya, terutama kejaksaan dan sistem peradilan, serta menjalin kerjasama yang positif terhadap angkatan kepolisian negara-negara lain.
  • Mendorong kepada pemerintah untuk menjaga konsistensi reformasi di tubuh POLRI, termasuk memberi petunjuk mengenai implementasi reformasi, serta membina hubungan dengan instutusi penegakan hukum lainnya.
  • Mendukung reformasi militer sebagai pelengkap pokok bagi reformasi Polisi Republik Indonesia (POLRI).
  • Perbaikan kualitas aparatur POLRI yang dilakukan sejak tahap penerimaan dengan menerapkan sistem seleksi yang ketat. Pendidikan dan pelatihan serta kemampuan akan digunakan sebagai kriteria utama dalam setiap promosi jabaran disamping diterapkannya sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment) yang adil.
  • Meningkatkan tingkat kesejahteraan aparatur penegak hukum, termasuk POLRI didalamnya untuk mencegah terjadinya KKN serta mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal


0 comments:

Post a Comment