Dalam penyelenggaraan Negara telah terjadi praktek –praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok orang tertentu yang menyuburkan korupsi kolusi dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat Negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi – sendi penyelenggara Negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional; Dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara Negara yang dapat dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat Negara dan mantan pejabat Negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Penyelenggara Negara pada lembaga – lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif harus melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara Negara harus jujur, adil, terbuka dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Unuk menghindari praktek – praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan Negara harus bersumpah sesuai dengan agama, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Pemeriksaan atas kekayaan sebagaimana tersebut di atas dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh kepala Negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat.
Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat Negara, mantan pejabat Negara dan kroni – kroninya maupun pihak swasta/konglomerat dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak – hak asasi manusia.
Dalam Pasal 44 Bab VII UU RI No.31 Tahun 1999 yang menyatakan “ Bahwa UU RI No.03 Tahun 1971 tidak berlaku lagi sejak diundangkannya UU RI No.31 Tahun 1999 ” , timbul berbagai persepsi menyangkut proses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya UU RI No.31 Tahun 1999, untuk mengatasinya dilakukan amandemen sehingga keluar UU RI No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Namun Penanganan Korupsi oleh banyak kalangan dinilai tidak juga mengalami peningkatan, sehingga keluarlah TAP MPR RI Nomor : VII/MPR/2001 tentang Rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tindak Pidana Korupsi digolongkan menjadi kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime sehingga untuk pemberantasannya juga harus dilakukan dengan cara – cara yang luar biasa.
Di Indonesia secara yuridis istilah korupsi sudah ada sejak tahun 1957 dalam bentuk peraturan penguasa militer angkatan darat dan laut nomor : PRT/PM/06/1957. Peraturan penguasa militer tersebut dibuat karena Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya korupsi
Pada masa itu korupsi sudah dianggap sebagai suatu penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan perekonomian dan mengabaikan moral. Peraturan penguasa militer dapat dikatakan sebagai upaya awal dari pemerintah dalam menanggulangi korupsi. Namun dalam perjalanannya korupsi bukannya menjadi surut namun malah menjadi luas dan menjadi budaya. Sehingga pada tahun 1997 timbullah krisis moneter disektor pembangunan dan menimbulkan terganggunya roda pembangunan serta unjuk rasa, pelanggaran hukum. Semua ini merupakan fenomena sosial sebagai akibat krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, khususnya masalah – masalah tindak pidana korupsi
Telah banyak upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengedepankan hukum sebagai panglima ( reformasi hukum ), tetapi upaya tersebut belum terlihat hasilnya dan belum memuaskan masyarakat dan hampir tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan malah kejahatan korupsi merajalela dan hampir merata di seluruh sektor pembangunan.
Semua ini disebabkan karena pada masa orde baru sejak tahun 1965 s/d 1997, bahwa aparat penegak hukum yang melaksanakan tugas memberantas kejahatan korupsi hanya dilakukan oelh jaksa, sehingga pemberantasan kasus – kasus kejahatan korupsi tidak optimal. Sedangkan penyidik POLRI melaksanakan penyidikan terhadap kejahatan korupsi sejak KUHAP diundangkan pda tanggal 31 Desember 1981 dan adanya validasi organisasi POLRI dengan dibentuknya Direktorat Pidana Korupsi, baik di tingkat pusat maupun kewilayahan.
Walaupun POLRI telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan penydikan tindak pidana korupsi berdasarkan KUHAP, tetapi masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi, dimana setiap hasil penyidikan ( Berkas Perkara ) yang telah dibuat oleh Penyidik POLRI oelh kejaksaan selalu diambil alih untuk ditangani sendiri atau penuntut jaksa yang sulit untuk dipenuhi.
A. POLRI
1. Dasar hukum
a. UU RI No. 8 / 1981 tentang KUHAP pasal 6 ayat (1) bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 2 juga disebutkan bahwa Penyidik melakukan penyidikan terhadap tindak pidana, tidak ada istilah pidana umum maupun khusus. Dengan demikian semua tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP Penyidik berwenang untuk menanganinya.
b. UU RI No. 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi
c. UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 26
d. UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 Pasal 26 Berbunyi Penyidikan terhadap tindak pidana Korupsi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP
e. UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berbunyi Penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana dilakukan berdasarkan sesuai dengan KUHAP dan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
2. Azas
Dalam setiap proses Penyidikan, Penyidik selalu berpedoman pada Azas yaitu :
a. Azas Pemerataan di muka Umum / Persamaan Hak dalam hukum ( Equality before the Law ) adalah Penyidik memperlakukan setiap orang yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana tidak diskriminatif dimana semua mempunyai hak yang sama
b. Azas Praduga Tak Bersalah ( Presumption Of innocence ) adalah semua orang yang ditangkap, diperiksa maupun ditahan tetap dianggap belum bersalah sebelum adanya kekuatan hukum tetap/ putusan pengadilan atas dirinya.
3. Tugas dan Tanggung Jawab
Tugas dan tanggung jawab Penyidik telah diatur jelas dalam UU RI No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 4 sampai pasal 9 KUHAP menguraikan tentang Penyidik adalah Pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia yang mempunyai tugas dan tanggung jawab melakukan Penyelidikan, Penyidikan sampai penyerahan berkas perkara untuk semua tindak pidana yang terjadi termasuk tindak pidana korupsi dan tatacara dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut terurai dalam pasal 102 sampai pasal 136 KUHAP
Pada UU RI No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah diuaraikan juga mengenai tugas dan tanggung jawab sebagai Penyidik ( Pasal 1 sampai Pasal 8 serta pasal 10 ), Pasal 14 huruf g menyatakan dalam tugas dan tanggung jawab penyidik berpedoman pada KUHAP.
4. Kewenangan
Salah satu tindak pdana yang sangat fenomenal adalah tindak pidana korupsi dimana setiap Negara maju, Negara berkembang, Negara miskin selalu dihadapkan dengan persoalan ini sehingga semakin majunya suatu Negara semakin tinggi pula angka kebocoran terhadap keuangan Negara.
Pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan pemerintah sejak dulu sejak dulu karena korupsi dianggap sebagai suatu penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan masyarakat sehingga merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Telah banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dengan cara memberikan kewenangan kepada instansi terkait yang dianggap mampu dalam menangani hal ini, demikian hal yang dilakukan oleh Polri sebagai aparat penegak hukum yang diberikan wewenang untuk melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Kewenangan tersebut diatur dalam :
a. UU RI No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, dijelaskan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Penyidik menurut KUHAP berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang terjadi, dimana pasal 1 ayat (1),(2) tidak mengenal istilah pidana umum atau pidana khusus, dengan demikian setiap perbuatan yang melawan hukum dan diancam dengan pidana baik yang ada di dalam maupun di luar KUHP, Penyidik dalam hal ini Polisi berwenang melakukan penyidikan. Dengan demikian kewenangan tersebut telah ada sejak diberlakukannya KUHAP.
b. Berdasarkan UU RI No.31 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui dengan UU RI No.20 Tahun 2001.
Undang - undang ini dimaksudkan untuk mengganti UU RI No.3 Tahun 1971 yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Undang – undang ini memberikan kewenangan seluas – luasnya kepada Penyidik POLRI untuk melakukan penyidikan TP Korupsi yang dijelaskan dalam Undang – undang ini secara rinci dan memuat ketentuan pidana yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi dan diancam pidana khusus yang merupakan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 26 UU RI No.31 Tahun 1999 menjelaskan : Penyelidikan, Penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TP Korupsi dilakukan berdasarkan hukum Acara Pidana yang berlaku dan ditentukan lain dalam undang – undang ini dimana kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan.
c. Berdasarkan UU RI No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 14 ayat (1) yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang – undangan lain.
Wewenang kepolisian dalam proses pidana diatur dalam pasal 16 UU RI No2 Tahun 2002 sebagai berikut :
1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan
2) Melarang setiap orang meninggalkan / memasuki TKP untuk kepentingan penyidikan
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan
4) Menyuru berhenti orang yang dicurigai, menyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan diri
6) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
7) Mengadakan penghentian penyidikan
8) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum
9) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dan menangkap orang yang disangka untuk melakukan tindak pidana
10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
Dengan demikian kewenangan penyidik POLRI dalam memberantas tindak pidana korupsi sudah jelas dan terarah sehingga apa yang diharapkan oleh pemerintah/ masyarakat kepada aparat penegak hukum dalam hal ini POLRI dapat berjalan dengan baik.
5. Kewajiban
Di samping kewenangan POLRI sebagai Penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang diatur menurut undang – undang yang berlaku bagi penyidik POLRI dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan serta mengikuti Hukum Acara Pidana yang diatur khusus dalam peraturan perundang – undangan dan UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Peberantasan TIndak PIdana Korupsi juga mempunyai kewajiban sebagai aparat penegak hukum yang meliputi sbb :
a. Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi
b. Menegakkan sumpah jabatan sebagai aparat penegak hukum
c. Menjalankan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya berdasarkan peraturan perundangan – undangan yang berlaku
d. Memeberikan informasi kepada masyarakat berkaitan dengan proses pemberantasan tindak pidana korupsi dan sanksi
e. Membuat dan menyusun laporan serta menyampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, KPK tentang tindak pidana korupsi yang di tangani oleh Penyidik POLRI.
B. JAKSA
1. Dasar Hukum
a. Pasal 91 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa untuk mengambil alih berita acara pemeriksaan.
b. Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan : “ Dalam waktu dua tahun setelah undang – undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang – undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang – undang tertentu, sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” Yang dimaksud ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada pada undang – undang tertentu” adalah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada :
1) Undang – Undang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi ( UU No.7 Drt Tahun 1955 )
2) Undang – Undang tentang Pemberantasan Korupsi ( No 3 / 71)
c. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan kitab undang – undang hukum acara pidana disebutkan : “ Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut undang – undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang – undangan.”
d. Pasal 30 ayat (1) UU R 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia menjelaskan : “ Di bidang pidana , Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
1) Melakukan penuntutan;
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan bersyarat ;
4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang – undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2. Azas
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kejaksaan berdasarkan pada:
a. Azas Legalitas yaitu penuntut umum diwajibkan menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum.
b. Azas Oportunitas yaitu penunutut umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum.
3. Tugas dan wewenang :
Di bidang pidana , Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan bersyarat ;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang – undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
C. KPK
1. Dasar Hukum
a. Pasal 43 UU RI No. 31 / 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No.20 / 2001 tentan perubahan UU RI No.31 / 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Tipikor berbunyi :
1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang – undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi.
2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervise, termasuk penyelidikan, penyidikan dan penunututan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1), ayat 2), dan ayat 3) diatur dengan Undang – Undang.
b. Undang – Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 Tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Azas
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan pada :
a. “ Kepastian Hukum “ adalah asas dalam Negara hokum yang mengutamakan landasan peraturan perundang – undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi
b. “ Keterbukaan “ adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan jujur serta tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya
c. “Akuntabilitas“ adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggung – jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku
d. “Kepentingan Umum“ adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif
e. “Proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi pemberantasan Korupsi.
3. Tugas
KPK melaksanakan tugas :
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
Yang dimaksud dengan “ instansi yang berwenang “ termasuk badan pemeriksa keuangan, badan pengawas keuangan dan pembangunan, komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Inspektorat pada departemen atau lembaga pemerintah non – departemen.
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
d. Melakukan tindakan – tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah Negara.
4. Kewenangan dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seorang bepergian ke luar negeri
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya
f. Meminta data kekayaan dan data data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi atau konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hokum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Sedangkan tindak pidana korupsi yang akan dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK adalah :
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan atau
c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 ( 1 milyar rupiah ).
5. Kewajiban
a. Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi
b. Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya
c. Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa keuangan
d. Menegakkan sumpah jabatan
e. Menjalankan tugas, tanggung jawab dan tanggung jawab dan wewenangnya berdasarkan asas : kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas.
D. TIMTAS TIPIKOR
1. Dasar Hukum
a. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Tim Tastipikor yang terdiri dari unsur Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan pengawas keuangan dan Pembangunan
b. Tim Tastipikor dalam melaksanakan tugas dan fungsi dan wewenangnya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
2. Keanggotaan Tim Tastipikor terdiri dari:
a. Penasehat : 1). Jaksa Agung Republik Indonesia
2). Kepolisian Negara Republik Indonesia
3). Kepala Badan Pengawasan keuangan dan
Pembangunan.
b. Ketua merangkap
Anggota : Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
c. Wakil ketua
Merangkap anggt : Direktur III/Pidana Korupsi dan WWC, Badan
Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik
Indonesia
d. Wakil Ketua
Merangkap Anggt : Deputi Investigasi Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan.
e. Anggota : 1). Anggt Kejaksaan 15 Orang
2). Anggt POLRI 15 Orang
3). Anggt BPKP 15 Orang
3. Tugas
a. Melakukan Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi pidana korupsi;
b. Mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset – asetnya dalam rangka pengembalian keuangan Negara secara optimal, yang berkaitan dengan tugas sebagaimana dimaksud tersebut di atas.
4. Kewenangan
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Tastipikor berwenang :
a. Melakukan kerjasama dan/atau koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Ombudsman Nasional dan instansi pemerintah lainnya dalam upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi;
b. Melakukan hal – hal yang dianggap perlu guna memperoleh segala informasi yang diperlukan dari semua instansi Pemerintah Pusat maupun instansi daerah, BUMN/BUMD, serta pihak – pihak lain yang dipandang perlu, sesuai ketentuan perundang –undangan yang berlaku.
5. Kewajiban
Ketua Tim Tastipikor melaporkan setiap perkembangan pelaksanaan tugasnya sewaktu – waktu kepada presiden, dan melaporkan hasilnya setiap 3 bulan dengan tembusan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kepala Badan Pengawas keuangan dan Pembangunan.
E. KETENTUAN ACARA
1. Penyidikan ( Secara Umum )
Pasal 1 KUHAP menyatakan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Dalam UU RI No. 31/1999 dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil ( melanggar aturan/ hukum tertulis maupun tidak tertulis ). Dengan rumusan secara formil ini meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara, pelakunya tetap diajukan ke pengadilan dan dipidana. Hal ini juga kembali ditegaskan dalam unsur pasal 2 UU Tipikor ini yaitu “ Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara “ yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur – unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat ( Hukum Materiil )
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh undang – undang ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan.
2. Tim Gabungan
Berdasarkan ketentuan pasal 50 UU RI No. 30 Tahun 2002 yang berhak menangani perkara tindak pidana korupsi tersebut adalah :
a. POLRI
b. Jaksa
c. KPK
Hasil Penyidikan khusus tindak pidana korupsi muaranya adalah jaksa selaku penuntut umum.
Penyidikan yang dilakukan oleh KPK dan Jaksa mempunyai wewenang melakukan “ Penyidikan dan penuntutan, apabila hal tersebut dilihat lebih jauh tentu akan diperoleh hal – hal yang positif dan negatif. Hal – hal yang positif yang diperoleh oleh POLRI adalah hasil penyidikan yang dilakukan oleh POLRI akan lebih obyektif yang hal tersebut dikontrol oleh institusi penegak hukum lainnya. Dari sisi negatifnya adalah seringnya terjadinya pengembalian erkas perkara dengan petunjuk yang tidak jelas dan sulit dipenuhi oleh Penyidik POLRI sehingga terkesan penyidikan yang dilakukan lambat dan memunculkan citra yang jelek bagi jajaran penegak hukum di Negara ini.
Pasal 27 UU RI No.31 Tahun 1999 menyatakan dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan “ Tindak Pidana Korupsi yang sulit pembuktiannya “ antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka atau di bidang moneter dan keuangan yang :
a. Bersifat lintas sektoral
b. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau
c. Dilakukan oleh tersangka/ terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
3. Hubungan Kerja dan Koneksitas
Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Peberantasan TIndak Pidana Korupsi. Adapun Penanganannya dilaksanakan oleh Lembaga instansi pemerintah yaitu POLRI, Jaksa dan KPK
Maraknya Tindak Pidana Korupsi yang penanganannya dinilai sangat lamban maka :
a. Keputusan Bersama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ( No. Pol : KEP/16/VII/2005) dan Komisi Pemberantasan Korupsi ( Nomor : 07/Polri – KPK/VII/2005) Tentang Kerjasama POLRI dan KPK dalam rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memiliki tujuan untuk saling membantu dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu meliputi :
1) Penguatan kelembagaan yang meliputi bantuan personel dan fasilitas
2) Kerjasama operasional meliputi:
a). Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Kekayaan (LHKPN)
b). Gratifikasi
c). Perlindungan saksi dan/atau pelapor sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU RI No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
d). Pertukaran Informasi
e). Supervisi
f). Koordinasi
g). Kajian Sistem pelayanan public di lingkungan POLRI.
Dalam gelar perkara tindak pidana korupsi yang diminta oleh KPK yang diselenggarakan di kesatuan kewilayahan Polda, KPK dapat juga meminta keikutsertaan Badan Reserse Kriminal untuk hadir dalam gelar perkara tersebut.
b. Keputusan Bersama Menteri Kehakiman ( Nomor : M.01.IL.01.02/Thn 1998 ), Jaksa Agung ( Nomor : Kep/008/JA/II/1998 ) dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ( No. Pol.: Kep/01/II/1998) Tentang Permintaan secara langsung dari pejabat POLRI kepada Pejabat Imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan pencegahan dan pencekalan terhadap tersangka.
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan peradilan militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 123 ayat (1) huruf g UU RI No. 31 / 1997 tentang peradilan militer tidak dapat diberlakukan.
4. Alat Bukti
Alat Bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu, dan
b. Dokumen yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapunselain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda angka, atau perforasi yang punya makna.
Alat Bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP ayat (1) adalah :
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan ahli
c. Petunjuk
d. Surat
e. Keterangan terdakwa
Sedangkan di Pasal 188 ayat (2) menyatakan bahwa petunjuk tersebut hanya diperoleh dari :
a. Keterangan Saksi
b. Surat
c. Keterangan terdakwa
Pasal 37 UU RI No.31 Tahun 1999 menyatakan bahwa “ Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi” . Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.
5. Keterangan
a. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
b. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
c. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana
d. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
Menurut Pasal 35 ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri/suami, anak dan cucu dari terdakwa Kecuali ayat (2) dikehendaki dan disetujui oleh terdakwa untuk diperiksa sebagai saksi tanpa disumpah.
Menurut Pasal 37 ayat (3) UU RI No.31 Tahun 1999 menyatakan terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
6. Prosedur pemeriksaan Rekening Bank
a. Landasan hukumnya :
1) UU RI No. 10/1998 Tentang Perbankan
2) UU RI No. 15/2002 Tentang TP. Pencucian uang
b. Tujuannya adalah untuk mendapatkan fakta lalu lntas transaksi ( masuk keluar ) dana illegal yang dicurigai pada rekening tersebut.
c. Prosedur/ Cara memblokir rekening adalah :
1) Permintaan pemeriksaan rekening bank hanya dapat dilakukan terhadap milik seorang yang telah dinyatakan oleh penyidik sebagai tersangka
2) Permintaan pemeriksaan rekening bank tersebut sebaiknya dilakukan pemblokiran terlebih dahulu dengan permintaan tertulis kepada pimpinan bank setempat
3) Permintaan pemeriksaan rekening bank, tersangka harus mencantumkan nama bank dan nomor rekening ( dapat lebih satu bank, dan dapat lebih dari satu nomor rekening ) dengan melampirkan lapju, LP, Sprin Sidik.
4) Surat permohonan ditujukan kepada Gubernur BI melalui Kapolri .
7. Membuka, memeriksa dan menyita surat dari kiriman melalui Pos Prosedur Membuka, memeriksa dan Menyita surat melalui Pos adalah:
a. Penyidik / Penyidik Pembantu dengan perintah kepala satuan reserse membuat surat kepada Kepala kantor pos dan giro bahwa penyidik akan melakukan penyitaan surat.
b. Dalam hal Penyidik membuka, memeriksa, menyita surat kiriman melalui pos terlebih dahulu Penyidik/ Penyidik Pembantu bisa langsung menyita surat tersebut dari yang menguasai surat tersebut dan kemudian memintakan persetujuan penyitaan surat dari Ketua Pengadilan Negeri.
8. Perlindungan terhadap pelapor
Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal – hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Pelapor dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 24 KUHAP.
9. Gugatan atas kerugian Negara
a. Dalam hal Penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu unsur atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Yang dimaksud “secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara” adalah kerugian Negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan public yang ditunjuk.
b. Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan Negara.
Yang dimaksud dengan “ putusan bebas “ adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) UU RI No.08 / 1981 tentang Hukum Acara pidana.
c. Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
10. Tidak memberlakukan Pasal – Pasal dalam KUHP
Pada saat mulai berlakunya Undang – undang ini, pasal 209,pasal 210, pasal 387, pasal 388, pasal 415, pasal 416, pasal 417, pasal 418, pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425, dan pasal 435 Kitab undang – undang hukum pidana. Undang – undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hokum pidana ( Berita Republik Indonesia II Nomor 9 ), Undang – undang Nomor 73 tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang – Undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hokum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( Lembaran Negara Tahun 1958, Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 ) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang – undang nomor 2 tahun 1999 tentang perubahan kitab undang – undang hokum pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.
F. PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang diwujudkan dalam bentuk :
a. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi
b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hokum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hokum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hokum dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari.
e. Hak untuk memperoleh perlindungan hokum dalam hal :
1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c
2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
2. Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas – asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma social lainnya serta mengenai tata cara pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
3. Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
II. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Lembaga yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana Korupsi adalah POLRI, Jaksa dan KPK serta Tim Pemberantasan Korupsi.
2. Dalam melaksanakan Penyidikan tetap berpedoman kepada KUHAP dan UU RI No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. POLRI dalam melaksanakan kewenangan Penyidikan tindak pidana Korupsi berdasar atas UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
4. Jaksa dalam melaksanakan kewenangan Penyidikan tindak pidana Korupsi berdasar atas UU RI No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan dan PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP
5. KPK dalam melaksanakan kewenangan Penyidikan tindak pidana Korupsi berdasar atas UU RI No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
6. Timtas Tipikor dalam melaksanakan kewenangan Penyidikan tindak pidana korupsi berdasar atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
B. SARAN
1. Dalam hal penyelesaian suatu perkara Tipikor seringnya terjadi pengembalian berkas perkara dengan petunjuk yang tidak jelas dan sulit dipenuhi oleh penyidik sehingga terkesan lambat dalam proses penyidikannya dan memunculkan citra negative bagi penegak hukum
2. Perlunya ada komitmen yang tegas dari masing – masing institusi/ lembaga penegak hukum dalam lingkungan penanganan tindak pidana korupsi dari tingkat penyidik hingga tingkat pengadilan untuk terus secara bersama – sama melakukan koordinasi dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi ini. Koordinasi ini dilakukan melalui pertemuan secara rutin maupun khusus untuk membicarakan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik.
DAFTAR PUSTAKA
R. Wiyono, SH. Pembahasan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Juni 2005
Fokusmedia. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mei. 2005
Prof. Dr. Jur Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. PT. Rajagrafindo Persada 2005.
Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Juni 2005.
Divbinkum POLRI. Buku II A Pejabaran Unsur – unsure pasal tindak pidana tipikor. Jakarta. Juli 2005.