Thursday, 16 October 2014

Akan Rilis SSD Mini, Intel Incar Pasar Tablet


anandtech.com

 
Raksasa chip Intel minggu lalu merilis seri produk solid state drive(SSD) 525 yang memiliki kecepatan tinggi tetapi hanya berukuran seperdelapan dari SSD 2,5 inci konvensional.

Karena kecil, SSD 525 yag tersedia dalam pilihan kapasitas 30-240 GB ini bisa dipakai di komputer-komputer jinjing sambil tetap memberikan kecepatan transfer 6 gigabit per detik.

Intel yang produk-produknya belum banyak dipakai di smartphone dan perangkat tablet bisa meningkatkan reputasi di mata para pelaku industri mobile melalui perangkat storagemungil ini.

Intel juga berharap SSD 525 bisa menarik minat para produsen embedded device untuk keperluan seperti digital signage dan hiburan di pesawat.

Berdasarkan keterangan dari pabrikan prosesor ini, SSD 525 memiliki kecepatan baca hingga 550MB per detik serta kecepatan tulis mencapai 520 MB per detik. Angka-angka tersebut sebanding dengan kinerja seri produk Intel SSD 520 yang ditujukan untuk komputer desktop.

Saat ini baru model SSD 525 berkapasitas 120 GB dan 180 GB yang tersedia. Intel menjanjikan pilihan kapasitas lainnya akan menyusul tersedia di kuartal ini.

KONFLIK NORMA SIKAP THORSTEN SELLIN KONFLIK ATURAN-ATURAN BUDAYA


Konflik norma sikap bisa saja timbul dalam cara atau sikap yang berbeda dari yang bari saja dijelaskan. Ada kelompok-kelompok sosial di muka bumi ini yang memiliki norma sikap yang kompleks, yang karena perbedaan dalam cara hidup dan nilai-nilai sosial yang dikembangkan oleh kelompok ini, kelihatannya membuat mereka terpisah dari kelompok yang lain dalam banyak hal. Kita bisa saja berharap timbulnya konflik norma ketika penduduk pedesaan pindah ke kota, tetapi kita mengasumsikan, bahwa sang penduduk tadi telah menyerap norma dasar budaya yang terdiri dari norma kota dan desa. Seberapa besar konflik itu cenderung tidak akan terjadi ketika Timur dan Barat bertemu, atau ketika orang suku pegunungan Corsica dipindahkan ke kawasan East Side di New York yang berada di dataran rendah. Konflik budaya memang tidak terhindarkan ketika norma-norma satu wilayah budaya atau sub-budaya berimigrasi atau bersentuhan dengan norma-norma wilayah budaya lain, dan menarik untuk dicatat bahwa sebagian besar peneliti khusus tentang konflik budaya atau kenakalan remaja telah berkaitan dengan aspek konflik ini dibandingkan dengan yang disebutkan sebelumnya.
Konflik antara norma-norma aturan budaya yang berbeda bisa terjadi:
1)      ketika aturan-aturan ini berbenturan di perbatasan wilayah budaya yang bersebelahan;
2)      ketika, sebagaimana kasusnya dengan norma hukum, hukum satu kelompok budaya diperluas untuk mencakup wilayah kelompok budaya lain, atau
3)      ketika anggota salah satu kelompok budaya bermigrasi ke kelompok budaya lain.
Sebagai contoh, Speck mencatat bahwa “dimana kelompok-kelompok yang terkenal dengan nama Montagnais yang semakin sering berhubungan dengan kelompok-kelompok Whites, maka reputasi mereka semakin menurun di kalangan pedagang yang mengenal mereka melalui hubungan dagang pada waktu itu. Tuduhan yang dibuat adalah bahwa kelompok Montagnais semakin kurang jujur dalam hubungannya dengan hutang mereka, kurang dipercaya dengan properti, kurang dipercaya, dan lebih cenderung terikat dengan alkohol dan kebebasan seksual karena hubungan dengan masyarakat perbatasan semakin lebih mudah bagi mereka. Richard White melaporkan pada tahun 1933 tentang contoh-contoh yang aneh tentang orang Naskapi yang membobol gudang-gudang pedagang.”
Ilustrasi-ilustrasi yang sama sangat banyak terdapat pada karya-karya antropolog budaya. Kita hanya perlu mengingat efeknya terhadap orang Indian Amerika dari konflik budaya yang disebabkan oleh kebijakan kita tentang akulturasi dengan tipu muslihat dan kekuatan. Dalam contoh ini, bukan hanya sekedar kontak dengan budaya orang kulit putih, agamanya, metode bisnisnya, dan minuman alkoholnya, yang memperlemah adat istiadat suku mereka. Disamping itu, orang Indian harus tunduk kepada hukum kaum kulit putih dan tentu saja hal ini menimbulkan konflik serta, sebagaimana selalu terjadi ketika norma-norma hukum diberlakukan kepada kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak peduli dengan hukum itu. Maunier dalam membahas penyebaran hukum Perancis di Aljazair, baru-baru ini menyatakan:
“Dalam memperkenalkan Hukum Pidana ini di koloni kami, sebagaimana yang kami lakukan, kami bertransformasi ke dalam pelanggaran-pelanggaran yang dulunya diperbolehkan atau bahkan diperintahkan oleh budaya mereka. Jadi, di kalangan Kabilah Aljazair, pembunuhan isteri yang melakukan zinah merupakan pembunuhan ritual yang dilakukan oleh sang ayah atau saudara laki-laki sang wanita itu dan bukan oleh suaminya, sebagaimana terjadi dimanapun. Wanita itu telah dijual oleh keluarganya kepada keluarga suaminya, sehingga kehormatan sanak saudara wanita itu telah dirusak oleh pengkhianatannya. Ayahnya atau saudaranya laki-laki memiliki hak dan kewajiban untuk membunuhnya dalam rangka membersihkan kehormatan keluarga yang telah rusak dengan darahnya. Pembunuhan untuk balas dendam juga merupakan tugas, dari keluarga ke keluarga, dalam kasus pembunuhan atau bahkan dalam kasus penghinaan kepada sanak saudara: vendetta(balas dendam dimana keluarga orang yang terbunuh mencoba untuk membunuh si pelaku atau keluarganya) yang dinamakan rekba dalam bahasa Kabila, diberlakukan oleh hukum kehormatan. Namun hal ini adalah kejahatan di dalam hukum/UU Perancis! Pembunuhan untuk balas dendam, yang direncanakan sebelumnya, adalah pembunuhan, yang bisa dihukum dengan hukuman mati!
…Lalu apa yang seringkali terjadi ketika pihak berwenang kita mengejar kriminal itu, bersalah atas pelanggaran terhadap keselamatan publik serta terhadap moralitas: musuh publik dari aturan Perancis, tetapi yang bertindak sesuai dengan adat istiadat yang dihormati? Para saksi pembunuhan itu, yang merupakan sanak saudara atau tetangga, tidak mau melakukan tuntutan terhadap si pelaku; ketika mereka ditanya, mereka berpura-pura tidak tahu; dan mengakibatkan pengejaran itu sia-sia. Seorang hakim Perancis telah berbicara tentang konspirasi sikap diam tadi di antara orang Aljazair; sebuah konspirasi yang bertujuan untuk memelihara adat-istiadat ini, yang selalu diikuti dan dipatuhi, terhadap pelanggaran oleh kekuasaan kita. Hal ini merupakan aspek tragis dari konflik hukum. Sebuah keputusan baru-baru ini melarang para suami di kalangan Kabilah untuk mengambil keuntungan secara sewenang-wenang dengan kekuasaan yang diberikan kepada mereka sesuai dengan hukum ini untuk menolak keberadaan isterinya, dengan meminta suami baru isterinya itu membayar uang dengan jumlah yang sangat besar—ini adalah adat istiadat yang dinamakan lefdi. Sebelumnya, seseorang yang menikahi seorang isteri yang ditolak suaminya tidak membayar apapun kepada bekas suami wanita itu. Kelihatannya bahwa orang pertama yang mencoba memanfaatkan dirinya menyangkut hukum baru itu dibunuh karena melanggar adat istiadat lama. Penghapusan hukum kuno tidak selalu terjadi tanpa protes atau perlawanan. Sesuatu yang dianggap kejahatan adalah sebuah tugas atau kewajiban; dan aturan yang kita coba tegakkan kadang-kadang dibuat untuk merusak kepercayaan pada takhyul; ini adalah dewa-dewa dan makhluk halus, dan dipercaya yang akan menghukum siapapun yang gagal melakukan balas dendam demi kehormatannya.”
Ketika UU Soviet diberlakukan hingga ke wilayah Siberia, efek yang sama juga dialami. Annossov dan Wirschubski menyatakan bahwa para wanita di kalangan suku-suku di Siberia, yang taat kepada hukum, yang membuka penutup kepala atau jilbab mereka dibunuh oleh sanak saudara mereka karena melanggar salah satu norma suku mereka yang paling sakral.
Hubungan antara kenakalan dan perpindahan angota satu kelompok budaya ke kelompok budaya lain akan dibahas nanti dalam bab ini.
Kami telah mencatat bahwa konflik budaya merupakan konsekuensi alami dari proses-proses perbedaan sosial, yang menghasilkan sebuah pengelompokan sosial tanpa batas waktu, yang masing-masing dengan defenisinya sendiri tentang situasi kehidupan, interpretasinya sendiri tentang hubungan sosial, ketidakpeduliannya atau kesalahpamahannya sendiri tentang nilai-nilai sosial kelompok lain. Transformasi budaya dari jenis homogen dan yang terintegrasi dengan baik menjadi jenis heterogen dan tidak terintegrasi lalu disertai oleh peningkatan situasi konflik. Sebaliknya, pengoperasian penyatuan proses-proses akan mengurangi sejumlah situasi konflik. Konflik-konflik seperti ini di dalam pengubahan budaya bisa saja dibedakan/dipisahkan dari konflik-konflik yang diciptakan manakala sistem budaya yang berbeda bertemu satu sama lain, tanpa memperhatikan karakter atau tahap pengembangan sistem-sistem ini. Dalam salah satu kasus, sikap anggota sebuah kelompok yang terlibat di dalam konflik aturan ini dalam beberapa hal akan dinilai tidak normal oleh kelompok lain.

STUDI KONFLIK BUDAYA
Dalam studi konflik budaya ini, beberapa pakar prihatin dengan efek dari konflik budaya ini terhadap sikap orang-orang tertentu, sebuah pendekatan yang secara alamiah lebih disukai oleh psikolog dan psikiater dan sosiolog yang telah menggunakan teknik sejarah kehidupan. Pakar-pakar ini memandang konflik-konflik ini sebagai sesuatu yang bersifat internal. Wirth menyatakan secara kategorinya bahwa sebuah “konflik budaya bisa dikatakan menjadi sebuah faktor dalam kenakalan remaja jika sang individu hanya merasakannya atau bertindak seolah-olah konflik itu ada.” Konflik budaya adalah konflik mental, namun karakter dari konflik ini dipandang secara berbeda oleh berbagai disiplin ilmu yang menggunakan istilah ini. Kelompok psikiater Freud menganggap hal ini sebagai perjuangan antara dorongan/ keinginan biologis yang sangat dalam yang menuntut ekspresi dan aturan-aturan yang diciptakan secara budaya yang memberikan peningkatan kepada mekanisme yang merintangi atau menghalangi ekspresi ini dan mengendalikannya di bawah level kesadaran pikiran, darimana dorongan itu timbul baik dengan tipu muslihat dalam beberapa cara yang bisa diterima secara sosial, seperti sikap yang tidak normal ketika mekanisme yang menghambat buyar, atau seperti sakit saraf ketika mekanisme yang menghalangi berfungsi terlalu baik. Di sisi lain, sang sosiolog menganggap konflik mental sebagai benturan antara norma-norma sikap antagonis yang digabungkan dalam kepribadian. “Konflik mental di dalam diri seseorang bisa saja selalu dijelaskan di dalam hal konflik dari budaya-budaya yang berbeda,” kata Burgess dalam mendiskusikan kasus yang disajikan oleh Shaw di dalam acara The Jack-Roller.
Jika pandangan ini diterima, maka penelitian sosiologi tentang konflik budaya dan hubungannya dengan sikap yang tidak normal akan selalu harus sangat terbatas pada sebuah kajian tentang kepribadian cangkokan/peranakan budaya. Kajian yang signifikan hanya akan dilakukan hanya dengan teknik kasus kehidupan sejarah yang diterapkan dalam diri orang-orang dimana konflik tersebut diinternalisasikan, dan tentu saja kelompok kontrol yang tepat digunakan.
Namun, ketidakhadiran konflik mental, dalam pemahaman sosiologis, mungkin saja akan dikaji dengan baik dalam hal konflik budaya. Sebuah contoh mungkin bisa menjelaskan hal ini. Beberapa tahun lalu seorang ayah dari Sisilia yang tinggal di New Jersey membunuh anak lelaki berusia 16 tahun yang menggoda anak perempuannya. Sang ayah ini heran atas penangkapannya karena dia semata-mata membela kehormatan  keluarganya yang memang sudah menjadi tradisi mereka. Dalam kasus ini, konflik mental dalam pemahanan sosiologis memang tidak ada. Konflik ini bersifat eksternal dan terjadi antara norma-norma atau aturan-aturan budaya. Kita bisa saja berasumsi bahwa dimana konflik semacam itu terjadi maka pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma akan meningkat semata-mata karena orang-orang yang telah menyerap norma-norma satu kelompok budaya atau berimigrasi ke tempat atau kelompok budaya lain dan konflik seperti ini akan terus berlanjut selama proses akulturasi belum selesai. Maka maka hanya dalam hal inilah pelanggaran-pelanggaran itu dianggap konflik mental.
Jika konflik budaya akan dianggap kadang-kadang sebagai dipersonalisasikan, atau mental, dan kadang-kadang sepenuhnya terjadi dengan cara yang impersonal sebagai konflik aturan-aturan kelompok, maka jelas bahwa penelitian itu jangan dibatasi pada penyelidikan konflik mental dan hal ini bertentangan dengan pernyataan kategoris dari Wirth bahwa adalah suatu hal yang mustahil untuk menunjukkan keberadaan sebuah konflik budaya “secara obyektif……..dengan sebuah perbandingan antara dua aturan budaya” prosedur ini tidak hanya memiliki sebuah fungsi yang jelas, tetapi akan dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan teknik-teknik yang sudah dikenal dengan baik oleh sosiolog tersebut.
Penekanan pada teknik sejarah kehidupan telah berkembang dari asumsi bahwa “pengalaman seseorang pada saat yang sama mengungkapkan kegiatan kehidupan kelompoknya” dan bahwa “sifat dalam individu ini adalah sebuah ekspressi kebiasaan dalam masyarakat.” Hal ini tidak diragukan lagi merupakan sebuah pendekatan yang valid. Melalui pendekatan ini kita akan berharap untuk menemukan generalisasi sifat ilmiah dengan mengkaji orang-orang yang:
1)      telah menghasilkan norma-norma sikap mereka dengan mengambilnya dari berbagai kelompok  dengan norma-norma yang bertentangan, atau
2)      yang memiliki norma-norma yang diambil dari sebuah kelompok yang aturannya bertentangan dengan aturan-aturan kelompok yang menilai sikap itu.
Dalam kasus yang pertama kita bisa berbicara tentang konflik budaya mental atau internal; sementara dalam kasus kedua konfliknya memang bersifat eksternal.
Jika norma sikap sebuah kelompok, dengan mengacu pada situasi kehidupan yang diberikan, tidak konsisten, atau jika dua kelompok memiliki norma-norma yang tidak konsisten, maka kita akan berasumsi bahwa anggota dari berbagai kelompok ini akan secara individu merefleksikan sikap-sikap kelompok semacam itu. Dengan mengutip kembali apa yang dikatakan oleh Burgess, bahwa berpengalaman-pengalaman sebuah kelompok akan mengungkapkan kegiatan kehidupan anggotanya. Sementara norma-norma ini tanpa diragukan lagi bisa dengan cara terbaik ditetapkan oleh sebuah studi dari sejumlah wakil anggota kelompok yang memadai, norma-norma itu bisa saja bagi beberapa kelompok paling tidak cocok dengan kepastikan yang memadai untuk melayani tujuan-tujuan penelitian oleh sebuah kajian lembaga-lembaga sosial, administrasi pidana, novel, drama, pers, dan ekspressi lain tentang sikap-sikap kelompok. Identifikasi kelompok yang didiskusikan ini telah dilakukan, dan mungkin saja untuk menentukan sejauh mana konflik semacam ini direfleksikan dalam sikap-sikap anggota mereka. Studi perbandingan berdasarkan tingkat pelanggaran dari anggota kelompok-kelompok ini, kecenderungan jumlah/angka tersebut, dll., akan mendominasi pendekatan ini terhadap masalah itu.
Maka, sebagai kesimpulannya, konflik budaya bisa saja akan dikaji, baik sebagai konflik mental ataupun konflik aturan-aturan budaya. Kriminolog biasanya akan cenderung berkonsentrasi pada konflik semacam ini antara norma-norma sikap yang legal dan tidak legal. Konsep konflik gagal untuk memberikannya lebih dari kerangka kerja umu tentang referensi untuk penelitian. Namun dalam prakteknya, konsep konflik telah menjadi sangat sama dengan konflik antara norma-norma sistem budaya atau norma-norma wilayah budaya. Sebagian besar penelitian yang telah menggunakannya telah dilakukan kepada kelompok-kelompok imigran atau kelompok ras di Amerika Serikat, barangkali karena kemudahan dimana kelompok semacam ini bisa diidentifikasi, dengan adanya data-data statistik yang lebih banyak yang mengakui pengelompokkan semacam ini, dan perbedaan yang sangat menyolok antara beberapa norma beberapa pendatang dan norma kita.