SOSIOLOGI HUKUM

Penduhuluan

            Perspektif hukum dalam konteks interaksi sosial dapat mengalami perubahan dalam pengaturan dan penerapan. Hukum yang diharapkan bisa memecahkan masalah secara adil dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, dalam kenyataan bisa berubah ke arah pengaturan dan penerapan hukuman bagi siapa yang kuat dialah yang menangInilah fenomena yang mewarnai penerapan hukum dalam konteks sosial. 
            Perubahan dalam penerapan hukum itu merupakan fenomena yang berlangsung secara alami, karena itu perlu dipahami apa yang sesungghnya terjadi, mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana penerapan hukum itu berlangsung. Diskursus tentang penerapan hukum dalam masyarakat merupakan topik yang menarik karena sering bersifat kontroversial. Terdapat pakar yang berpendapat bahwa secara konseptual perangkat hukum merupakan instrumen yang inhernt dalam kehidupan sosial, tetapi dalam kenyataan hal itu terkesampingkan. Karena itulah masyarakat menuntut perlunya “tatanan hukum baru” dalam rangka menjaga ketertiban sosial.
Studi tentang perubahan hukum sangat lekat dengan cara mengarahkan peran manusia sebagaimana yang diharapkan. Di sini posisi hukum menjadi multi dimensi dalam kehidupan manusia, oleh karena itu dalam perubahan hukum juga menyangkut secara langsung terhadap keperluan ketertiban sosial yang meliputi nilai dan norma sosial, sistem kemasyarakatan, kebiasaan dan relasi sosial yang belum maupun yang sudah mapan, dan sistem kelembagaan sehingga meskipun ada pergeseran tetapi pranata hukum diharapkan tetap terjaga.
            Perubahan hukum dalam kehidupan sosial merupakan suatu kenyataan yang terjadi dalam usaha manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Perubahan hukum itu bisa berbentuk evolusi, transformasi ataupun revolusi, tergantung dari dinamikanya. Perubahan hukum juga bisa terjadi secara sepotong-sepotong (graduil) atau serempak (radical). Perubahan hukum dan akibatnya terhadap kondisi masyarakat telah menjadi fakta dalam kehidupan manusia, sebagai reaksi atas rangsangan dari luar maupun dari dalam masyarakat sendiri. Akibat dari perubahan itu terhadap kehidupan manusia menimbulkan efek positif ataupun negatif.
            Selain perubahan hukum (law change), dikenal juga perkembangan hukum (law development), yaitu suatu perubahan yang ditujukan untuk mencapai kemajuan atau perbaikan keadaan hidup masyarakat. Dengan perkataan lain perkembangan hukum berkaitan dengan rekayasa yang dapat dicapai melalui penggunaan ilmu pengetahuan untuk memperbaiki tatanan sosial agar dengan perbaikan itu manusia dapat hidup lebih layak sesuai dengan martabatnya.
            Dengn demikian dalam rangka perkembangan hukum (setelah menjadi kenyataan) selalu menuntut penyesuaian diri dari anggota masyarakat yang ada di dalamnya. Tetapi menyesuaikan saja tidaklah cukup, memahami dan menghayati peraturan baru adalah lebih penting untuk menghindari kekacauan di dalam masyarakat akibat dari kemajuan yang telah dicapai. Pemikiran ini berdasarkan argumen bahwa pada hakikatnya keberadaan hukum adalah untuk menyelesaikan benturan kepentingan antar sesama manusia (conflict of human interests) yang terjadi di masyarakat melalui proses distribusi keadilan (dispensing justices).
            Bagi masyarakat tertentu perkembangan hukum bisa dianggap sebagai pemicu terjadinya kontradiksi yang menajam dan keras bahkan menjadi penyebab timbulnya kerusuhan sosial karena implementasinya yang tidak adil. Pandangan ini didasarkan pada fakta yang terjadi disekitar kehidupan manusia bahwa, instrumen hukum tidak bekerja secara memuaskan dan justru memicu konflik yang membesar dan distruktif. Masyarakat sering dikecewakan oleh tindakan dari aparat yang tidak adil, tidak tegas, bertele-tele, tidak tuntas dan cenderung mencari-cari kesalahan orang (extra yudicial crime). Bahkan masyarakat sering melihat dan merasakan kolusi antar preman (lawermaupun high) dengan aparat penegak hukum, sehingga muncul istilah seperti mafia pengadilan atapun mafia penyidikan.
Melalui sosiologi hukum, perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat bisa dikenali efek-efek sosial dari penerapan suatu hukum. Selain itu untuk memecahkan masalah hukum, teknik-teknik sosiologi dan metode-metode evaluasinya memiliki nilai cognitif sebagai penuntun jika fenomena hukum didasarkan pada asumsi-asumsi teori yang sudah diketahui. Hal ini untuk menghindari arah yang berbeda-beda dari suatu penelitian hukum sehingga hasil penelitian hanya memiliki sedikit nilai tambah atau bahkan terfragmentasi bagi perkembangan disiplin ilmu hukum maupun disiplin ilmu sosial lainnya. Inilah yang dimaksud dengan paradigma sosiologi hukum sebagai suatu pandangan tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subyect-matter) dalam penerapan hukum di masyarakat. Paradigma dengan demikian merumuskan tentang apa yang seharusnya menjadi obyek studi sosiologi hukum.

Pendekatan Sosiologi Hukum
Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan karena upaya pembangunan, hukum juga akan mengalami perubahan sesuai dengan keadaan masya­rakat. Karena itu hukum tidak dapat di­lepaskan dari pengetahuan tentang kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan landasan pemikiran ini, untuk memahami hukum tidak cukup hanya mempelajaari hukum dari aspek yang tertulis saja, melinkan juga perlu mempelajari hukum dalam kon­teks penerapan dalam kehidupan masyarakat dan situasi negara yang menghasilkan hukum tertulis itu.
Hukum memiliki potensi untuk membangun masyarakat yang harmoni dan masyarakat yang konflik. Melalui hukum, kekuatan‑kekuatan yang mendorong timbulnya ketidakadilan, penindasan, immoral, dan irasionalitas lebih mudah untuk dikendalikan daripada di bawah politik yang otoriter. Namun demikian tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan sosial dan kepastian hukum tidak otomatis lalu terwujudkan. Masih terdapat faktor lain yang perlu diperhitungkan, yaitu dalam hal kelembagaannya termasuk baik prasarana maupun sarana hukum juga para penegak hukumnya sendiri ikut menentukan. Dalam kaitan inilah rasionalitas penerapan hukum dapat dikaji melalui sosiologi hukum yang dipelopori oleh Max Weber, Roscoe Pound, Cardoso, maupun Philip Selznick, karena perkembangan hukum memiliki patologi sendiri, dan hukum dalam kondisi tertentu dapat menjadi sumber irasionalitas.
            Dalam hal ini sosiologi hukum bukan merupakan bidang ilmu tersendiri dengan materi yang dirumuskan secara ketat. Belum ada kesatuan pendapat mengenai bagaimana sosiologi hukum harus dipraktekkan untuk menghadapi masalah praktis. Perbedaan pendapat tentang sosiologi hukum perlu dibedakan sebagai suatu ilmu sosial empiris dengan studi hukum yang legal normatif. Dari segi filsafat hukum, sosiologi hukum harus dilihat dari bidang‑bidang studi yang ada hubungannya dengan ilmu po­litik, ilmu administrasi negara, kriminologi, antropologi hukum, dan studi yang baru muncul yakni psikologi hukum. Pandangan yang dianut bahwa, jauh lebih berguna untuk tidak membedakan sosiologi hukurn sebagai suatu subdisiplin khusus dari bidang akademis lainnya, melainkan lebih baik melihatnya sebagai suatu bidang studi di mana dilakukan usaha untukmeningkatkan pemahaman mengenai problem hukum dalam  kehidupan masyarakat denganmenggunakan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu yang ada kaitannya. Dengan pemikiran ini, kebajikan hukum dapat ditarik dari kombinasi (1) sosiologi empiris yang berorientasikan fakta, (2) ilmu hukum normatif yang berorientasi­kan nilai, dan (3) orientasi pragmatis dari analisis kebijaksanaan. Di sini sosiologi hukurn dipahami sebagai studi tentang mun­culnya nilai‑nilai hukurn dan dari realisasinya dalarn kehidupan sosial. Secara khusus sebagai studi empiris, sumbangan­ yang bisa diberikan oleh sosiologi hukum kepada masyarakat adalah model pemecahan sosial secara harmoni, berperikernanusiaan dan adil.
Seperti telah dijelaskan bahwa, tidak terdapat suatu konsensus ilmiah mengenai wilayah yang ketat mengenai bidang sosiologi hukum. Pendekatan yang berbeda‑be­da atas peranan hukum dalam masyarakat menjadikan dapat diklasifikasikannya sosiologi hukum dalam empat tipe yaitu :
1)         Sosiologi hukum dipelajari sebagai metode social control. Dalam hal ini penekanannya pada sum­bangan hukum dalam penyelesaian pertikaian, pemeliharaan tata tertib, perlindungan terhadap kejahatan dan delikuensi. Terdapat fokus atas mekanisme sosial dari konformisme.
2)         Sosiologi hukum dipelajari sebagai sarana social engineering. Dalam hal ini penekanan pada tin­dakan pemerintah dalam pembangunan. Fokusnya adalah instrumentasi kebijaksanaan dlam mempolakan perilaku masyarakat (contoh, kebijakan keluarga berencana). Pada dasarnya hal ini dilakukan sebagai bentuk teknokrasi tentang hukum.
3)         Sosiologi hukum dipelajari sebagai wahana eman­sipasi yang potensial. Studi dengan menggunakan perspektif ini secara tipikal menyibukkan diri pada isu-­isu tentang keadilan kelas, pola‑pola diskriminasi rasial atau bentuk diskriminasi dalam sistem peradilan. Hukum dalam upaya memecahkan masalah sosial, seperti kedudukan sosial orang miskin, kelas pekerja, wanita, anak-anak, manula, dan golongan minoritas­minoritas yang ditindas.
4)         Sosiologi hukum dipelajari sebagai institusi hukum yang independen dengan nilai‑nilai, prinsip‑prinsip, doktrin‑doktrin, dan pendidikan profesional dalam kaitan dengan infrastruktur organisasi, manajemen, pembiayan, dan personalnya.
Melalui keempat tipe ini perspektif sosiologi digunakan untuk menganalis penerapan hukum dalam kehidupan masyarakat. Suatu kenyataan yang sulit dihindari adalah timbulnya kontradiksi dalam penerapan hukum di masyarakat, melalui sosiologi hukum kontradiksi tersebut diperlakukan secara komplementer untuk menegaskan dimensi hukum yang berbeda dalam hal : 1) Hukum dan evolusi moralitas sosial; 2) Hukum dan keadilan sosial; 3) Hukum dan rasionalitas; 4) Hukum dan kebudayaan; serta 5) Hukum dan kekuasaan.
Hukum dan Moralitas
Di dalam hukum dijumpai moralitas dalam berbagai jenis. Pertama, sebagai larangan atas kelakuan yang immoral. Kelakuan seperti itu terdiri atas perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang‑orang atau masyarakat umum. Misalnya, pencurian, pembunuhan dan lain-lain. Kadang‑kadang kelakuan immoral yang dilarang itu terdiri atas kegiatan yang tidak menimbulkan kerugian, atau yang sifatnya merugikan tetapi tidak begitu jelas, misalnya dalam hal pelacuran dan pelanggaran‑pelanggaran lain dalam bidang moralitas seksual dan kesusilaan umum.
Kedua, sebagai larangan bagi kelakuan tidak wajar dalam hubungan sosial atau fungsi sosial. Misalnya, hubungan kontrak yang mengharuskan cara‑cara berkelakuan tertentu bagi pihak‑pihak yang terikat dalam hubungan tersebut. Demikian pula dalam hal hukum keluarga yang berisi berbagai peraturan moral bagi interaksi antara orang tua dan anak, dan hukum perburuhan bagi interaksi antara majikan dan buruh. Terdapat juga peraturan tentang disiplin bagi berbagai profesi, seperti profesi dokter, ahli hukum, dan wartawan.
Ketiga, terdapat moralitas hukum spesifik yang bukan hanya merupakan pencerminan pendapat moral dalam masyarakat, melainkan juga yang telah dikembangkan dalam praktek di bidang hukum dan yang terikat dalam lembaga maupun ajaran hukum. Moralitas hukum ini merupakan bidang khusus bagi para ahli hukum, lebih-lebih para hakim dan penegak hukum lainnya. Moralitas ini harus dilindungi dari pendapat mayoritas dan kepentingan‑kepentingan politik. Misalnya, proses hukum yang wajar dalam pengadilan terhadap kaum oposan po­litik. Dalam hal ini dapat dijumpai peraturan atau asas hukurn yang spesifik bagi pemakaian dan pelaksanaan ­peraturan, seperti asas bahwa tidak seorang pun boleh di­hukurn kecuali jika ia terbukti bersalah karena melanggar pera­turan yang diketahui sebelumnya, atau ke­cuali jika ia telah diberi kesempatan untuk didengar keterangan dalam membela dirinya.
Keempat, hukum sebagai keseluruhan dapat dilihat sebagai penggabungan moralitas sosial, terhadap mana individu‑individu, kelompok‑kelompok dan organisasi‑organisasi harus mengorien­tasikan kelakuannya. Karena masyarakat berbeda-beda dan bisa beru­bah-ubah maka konsep‑konsep mengenai ke­wajaran sosial, politik, ekonomi dan khususnya kewajaran hukum, seperti yang tercantum dalam hukum juga dapat berbeda dan ber­ubah. Secara komprehensif hal ini terkait dalam hubungan antara masyarakat, moralitas sosial dan hukum. Dalam hal ini Emile Durkheim, Karl Marx, dan Max Weber meninjau masalah tersebut berdasarkan krisis  yang dialami oleh masyara­kat modern. Krisis ini bukan dalam satu masyarakat melainkan krisis yang dialami seluruh masyarakat mo­dern dalam menghadapi rasionalisme, industrialisme dan individualisme (Bellah, 1973 : XVIII).
Hubungan antara Masyarakat, Moralitas, dan Hukum
            Karya Durkheim yang pertama adalah Pernbagian Kerja Dalam Masyarakat (1893). Dalam buku tersebut Durkheim menanyakan : Apa sesungguhnya yang mengikat masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan sosial ? dan Apa unsur pengintegrasi antar individu di dalam masyarakat ? Untuk menjawab pertanyaan ini, Durkheim membuat perbedaan antara dua tipe masyarakat dan organisasi sosial. Tipe pertama, masyarakat yang dinamakan solidaritas mekanis yang di­dasarkan atas keserupaan, kesamaan dan konsensus antara individu‑individu yang merupakan masyarakat, dan tipe kedua masyarakat yang disebut sebagai solidaritas organis yang didasarkan pada spe­sialisasi, perbedaan, dan saling ketergantungan.
Dur­kheim menggunakan istilah mekanis atas dasar analogi dengan kohesi zat anorganis, dan istilah organis atas dasar analogi dengan kohesi antara bagian‑bagian suatu benda hidup. Masyara­kat sederhana atau primitif dan bentuk or­ganisasi sosial bercirikan solidaritas mekanis. Individu‑in­dividu memiliki pengalaman dan pengetahuan yang sama, karena itu cara bertindak, berpikir, dan merasa di antara mereka sama pula. Perilaku menyimpang mengancam hidup kelompok, karena kelompok diikat oleh kenyataan bahwa cara‑cara bertindak tertentu adalah sama. Tetapi karena kesamaan anta­ra individu‑individu dan antara berbagai subkelompok satu sama lain tidak saling ketergantungan, membuat kohesi sosial ini mudah goyah atau pecah.
Sebaliknya, masyarakat industri modern dan bentuk organi­sasi yang lebih kompleks bercirikan solidaritas organis. Ini adalah akibat perubahan sosial melalui spesialisasi fungsional dan diferensiasi struktural yang diakibatkan oleh pernbagian kerja sosial. Solidaritas mekanis tergantung dari konformisme sosial dan mendapatkan pernyataan dalam sifat melarang yang diatur dalam hokum, dan sifat represif yang diatur dalam sanksi hu­kum. Solidaritas organis didasarkan atas kerja sama, dan menda­patkan pernyataan hukumnya yang paling spesifik di dalam hu­kum kontrak sebagai perwujudan asas dan pera­turan bagi pertukaran barang dan jasa, dengan sanksi hukum yang ditujukan bukannya untuk menekan, melainkan untuk memulihkan atau membuat jera guna memudahkan interkasi selanjutnya.
Masyarakat bukanlah sekedar wadah bagi terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas sosial, melainkan juga merupakan pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama dari perbuatan moral. Durkheim menjelaskan perbuatan moral yang terlepas dari ikatan sosial. Manusia dalam kesendiriannya terlepas dari masalah moralitas. Karena itu moralitas bukan sekedar kategori imperatif, melainkan juga merupakan keinginan yang rasional (saya mau berbuat moral karena akal saya mengatakan demikian). Perbuatan moral bukanlah sekedar kewajiban yang tumbuh dari dalam diri manusia melainkan juga kebaikan ketika diri manusia telah dihadapkan dengan dunia sosial.
Sejalan dengan pemikiran Durkheim yang ingin memisahkan pemikiran metafisis dan kecenderungan psikologis dalam sosiologi, moralitas baginya terikat erat dengan keteraturan perbuatan dan otoritas. Suatu tindakan bisa disebut moral, jika tindakan itu tidak menyalahi kebiasaan yang diterima dan didukung oleh sistem kewenangan otoritas sosial yang berlaku. Sedangkan tujuan dari tindakan moral adalah demi kepentingan kolektif dan demi keterikatan pada kelompok. Inilah yang membedakan moralitas dengan keperluan yang bersifat individual. Jika moralitas adalah suatu perbuatan tanpa pamrih, maka keperluan individual adalah suatu dorongan yang bersifat egoistis.
            Karena itu moralitas erat pula kaitannya dengan disiplin. Di satu fihak disiplin menjaga keteraturan tindakan, di pihak lain juga mempertahankan sistem otoritas dan kolektivitas. Bahkan bisa dikatakan bahwa keduanya tidak lain merupakan dua aspek dari disiplin. Dengan demikian disiplin harus dianggap bukan saja sebagai alat untuk mendapatkan tujuan moral, melainkan juga tujuan pada dirinya. Dengan disiplin otonomi manusia dinetralisir sehingga tindakannya akan bercorak keterikatan pada kelompok.
            Otonomi adalah putusan pribadi yang menyadari sepenuhnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis tindakan. Berhadapan dengan disiplin yang bersifat kolektif, otonomi berarti suatu kebebasan individual. Kemungkinan konflik yang akan timbul dari keduanya haruslah diselesaikan dengan pengetahuan yang bisa dipercaya. Jadi, pemecahannya harus dicari pada pengetahuan induktif. Dengan demikian jelas pula peranan ilmu moral yang positif.
Seperti halnya corak solidaritas sosial yang sesuai dengan corak masyarakat, demikian pula dengan disiplin. Jika dalam masyarakat sederhana corak disiplin adalah takluk yang total, dalam masyarakat yang berdiferensiasi, disiplin tidaklah berarti penyerahan diri yang pasif. Disiplin justru berfungsi sebagai pengikat rasa persekutuan dan kesetiaan. Dari sini dikatakan bahwa manusia, bagi Durkheim adalah homo duplex – mahluk yang didorong oleh dua corak motif yang berbeda dan berlawanan. Yang satu hasrat nafsu pribadi dan yang lain keharusan moral yang altruistis Yang satu individu dengan segala hasratnya dan yang lain manusia sosial.
Moralitas merupakan refleksi dari masyarakat. Dalam hal ini ma­syarakat bukan saja merupakan suasana (milieu) yang melahirkan morafitas, melainkan juga tujuan dari tindakan moral itu. Sebab itulah dalam. proses perubahan sosial makin diperlukan adanya pendidikan moral. Pendidikan bukan saja berarti mengajarkan nilai‑nilal kepada anak‑anik, melainkan juga adalah alat untuk menjinakkan hasrat dan dorongan pribadi atau dengan kata lain, alat untuk mendapatkan tum­puan penguasaan diri. Lebih dari itu, kata Durkheim, tujuan utama dari pendidikan moral adalah untuk melekatkan pada anak-­anak perasaan akan harkat manusia. Dalam ucapannya yang sering dikutip ia juga mengatakan bahwa “Elle cree dans l’homme un etre nouveau.”. Pendidikan menciptakan dalam diri manusia sesuatu yang baru.
Selanjutnya dengan pendidikan moral juga bisa diperlihatkan bahwa hukuman fisik adalah suatu tantangan yang berlanjut dari suasana ini. Yang penting, dalam pendidikan moral bisa diajarkan bahwa yang salah tidak harus menderita, tetapi harus dibina sehingga menyadari dan menghayati sifat keramat dari aturan-­aturan moral dari sudut kemasyarakatan. Demikian teori moralitas Durkheim sebagai pengetahuan positivistis untuk memperbaiki masyarakat.
Jika dibandingkan dengan Max Weber, bidang masyarakat yang dibahas Durkheim relatif terbatas. Weber menjelajahi masyarakat dari bidang agama, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Sedangkan Durkheim, di bidang moralitas, integrasi sosial, dan metode ilmu sosial. Gagasan teoretisnya yang sangat berpengaruh adalah sosiologi agama. Namun terdapat anggapan yang sering diajukan oleh para ahli dalam menghadapi pikiran atau teori Durkheim bahwa pemikiran mengenai harus ada kaitan yang erat antara ilmu dengan tindakan, dapatkah tindakan diukur melalui ilmu ilmiah rasional. Anggapan kedua, untuk membangunmoralitas yang sekuler dapat terlepas dari aspek agama. Anggapan ini merupakan skeptisisme dari jaman pencerahan atas kekuasaan Gereja dan terhadap nilai‑nilai yang diajarkan Gereja.
Durkheim dengan semangat positi­vistisnya ingin melawan kecenderungan yang serba negatif dari pen­cerahan, kepercayaannya akan keunggulan ilmu pengetahuan menye­babkan ia tidak merasa memerlukan wahyu. Wahyu adalah sesuatu yang bukan berasal dari  pengamatan il­miah tentang realitas sosial, menurutnya moralitas telah kehilangan kemam­puannya sebagai pengikat solidaritas sosial dalarn proses munculnya masyarakat modern.

Hukum Dalam Konteks Perubahan Sosial
Secara sosiologis perkembangan hukum bisa dikaji melalui dua keruntuhan peradaban, yaitu keruntuhan pada abad ke-14 (jaman pertengahan) dan keruntuhan struktur masyarakat setelah Perang Dunia II (akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sering dikatakan sebagai hasil Revolusi Industri I, sedangkan industrialisasi sekitar Perang Dunia II dikatakan sebagai Revolusi Industri II. Sebagaimana diketahui, setiap kemajuan membawa dan mengakibatkan perubahan mental yang besar. Hal ini terbuktikan dari hasil Revolusi Industri I, dari hasil penyelidikan, terutama menyelidiki impact (akibat) perubahan terhadap masyarakat dalam hubungan dengan usaha pembangunan yang dilakukan.
Perubahan secara signifikan dalam konteks perkembangan hukum di Eropa adalah munculnya revolusi industri. Hal ini merupakan implikasi dari : (1) Lahirnya mata uang; (2) Lahirnya kota-kota merdeka dan susunan kota di sekitar pasar (sampai sekarang masih terlihat, di negara-negara, kota-kota Eropa Barat dengan gedung-gedung Kota Praja, Pengadilan dan kantor Pajak yang ada di sekitar pasar); (3) Majunya pelayaran dengan diketemukan kompas; (4) Majunya perdagangan laut; (5) Ditemukan sumber perak dan tembaga yang besar; dan (6) Bertambahnya jumlah dan kekayaan golongan middle class.
Secara ekonomi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa revolusi industri telah mendorong lahirnya liberalisme sebagai acuan berkembangnya masyarakat baru berdasarkan ekonomi pasar bebas. Kemajuan pesat yang dicapai pada masa Revolusi Industri terutama dengan diketemukannya teknik penggunaan atom, penerbangan dan alat komunikasi (radar dan satelit), hal itu telah mengubah secara total susunan masyarakat meskipun masa kini tampak ada kencenderungan mengalami erosi di mana para pakar mulai mencari pola baru untuk membangun peradaban masyarakat yang sudah mengalami erosi.
            Mengkaji masyarakat melalui dua proses perubahan itu dapat mengenal dua macam masyarakat dalam kehidupan. Dua macam masyarakat tersebut ada yang telah, sedang maupun belum menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru sebagai akibat dari perubahan jaman. Dengan mengambil ukuran perkembangan yang dialami masyarakat pada abad ke-14 hingga abad ke-20 sampailah pada suatu bangsa yang membagi negara menjadi Metropolis atau Negara Pusat, yaitu negara inti industri, dan Periphery atau Negara Pinggir, yaitu negara yang sedang berkembang, yang baru mengalami industrialisasi sebagai pengaruh atau penetrasi dari negara Metropolis.
Untuk negara-negara Metropolis, industrialisasi pada abad ke-20 yang dijalankan hingga sekarang merupakan revolusi industri yang kedua, sedangkan negara-negara Periphery perkembangannya baru merupakan revolusi industri pertama, di mana dalam revolusi ini negara Periphery sekaligus mengalami revolusi industri pertama dan kedua beserta akibatnya. Hingga Perang Dunia II, negara-negara Periphery memang telah mengalami industrialisasi, tetapi hanya sekedar rembesan saja, yaitu dalam perdagangan dengan dunia luar atau karena pengaruh negara penjajahan.
            Di Indonesia sejak 1915 hingga 1930 sesungguhnya telah mengalami industrialisasi, yaitu masuknya industri perkebunan yang hasilnya untuk dieksport ke luar negeri dan tentunya dengan menggunakan alat-alat teknologi modern (ukuran pada masa itu) demi peningkatan produksi. Namun setelah dunia mengalami depresi sekitar 1930, industrialisasi di Indonesia macet dan tidak sempat ditingkatkan kembali hingga pecah Perang Dunia II.
            Penghentian secara mendadak suatu perkembangan, pengaruh negatifnya antara lain ialah timbulnya banyak pengangguran, sedangkan tuntutan masyarakat sudah mulai meningkat karena orang telah berkenalan dengan kemajuan. Karena itu tidak mengherankan apabila pada masa itu kesadaran hukum masyarakat menurun seperti ditunjukkan setelah abad ke-14 di Eropa perubahan dari Liberalisme ke Laissez-fair.
            Menghadapi tuntutan jaman modern, tidak dapat dihindari banyak nilai lama yang harus ditinggalkan. Kesukaran yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang adalah nilai lama telah dibuang sebelum menemukan nilai baru sebagai penggantinya (anomi). Hal itu berbeda dengan pengalaman masyarakat di Eropa, di mana ketika Revolusi Industri-I mencapai titik puncaknya di sana sudah terdapat meddle class yang telah memilik nilai baru yang dapat menampung tantangan jaman untuk melakukan perubahan. Di negara sedang berkembang, karena perkembangan sejarah bangsanya dikuasai oleh orang asing dapat dikatakan belum cukup memiliki golongan middle class yang sadar dan mampu mengubah kondisi sosial. Termasuk di Indonesia di mana golongan middle class dari keturunan asing seperti Belanda, Arab dan Cina nasionalismenya tentu berbeda dengan orang Indonesia asli.
            Di sini terjadi interaksi antara “perubahan hukum” dengan “pelapisan sosial” yang bisa menimbulkan dampak berupa konflik horizontal maupun konflik vertikal, yang jika hal itu tidak terkendali sampai pada kondisi hukum tidak berfungsi menjadi semacam api dalam sekam, dan merebaklah main hakim sendiri (eigen richting). Dalam penumpukan rasa tertekan masyarakat yang cukup lama kondisi tersebut berubah menjadi rasa fanatisme sempit dan hal ini potensial untuk timbulnya tindakan anarkis hingga chaos.

Chaos abad ke-20

            Apabila pada abad ke-14, Revolusi Industri melepaskan manusia dari ikatan-ikatan kolektif menuju ke individualisme dengan mengunggulkan hak individual, pada abad ke-20 Revolusi Industri justru membawa orang dari alam individualisme ke alam kolektivisme. Masa kini orang mulai kembali meminta penghargaan pada hak-hak individual. Untuk mengetahui abad ke-20 sebagai jaman manusia massa (mass society) dapat dilihat dari : (1) Bertambahnya jumlah penduduk yang sangat tinggi (population explosion); (2) Bertambahnya tuntutan akan kemerdekaan dan meningkatnya kebutuhan; (3) Bertambahnya polarisasi kekuasaan ketangan eksekutif; (4) Perlunya spesialisasi sebagai akibat dari berkembangnya organisasi dan oligarchie; (5) Bertambah dalam dan lebar jurang pemisah antara yang berspesialisasi dan yang tidak; (6) Bertambah lebar dan dalam jurang pemisah antara yang diperintah dan yang memerintah; (7) Hilangnya keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan judiceel.
Masalah penting yang berkaitan dengan manusia massa adalah krisis yang dialami oleh kekuasaan judiceel dalam perubahan hukumSuatu ciri khas dari mass society, bahwa kekuasaan judiceelmakin menjadi lemah, pada hal pada masa itu seharus kuat. Lemahnya kekuasaan judiceeldisebabkan oleh jumlah golongan yang makin membesar jumlahnya dan makin kuat, masing-masing berusaha merebut kekuasaan dalam masyarakat demi social control. Dengan kata lain, lemahnya kekuasaan judiceel adalah sebagai akibat dari bertambahnya penduduk, bertambahnya tuntutan serta harapan dari setiap manusia dan golongan karena proses perundang-undangan lambat mengantisipasi sehingga demi legalisasi tuntunan, kekuasaan judiceel dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat, antara lain dari elit politik, pengusaha, akademisi, militer maupun ahli hukum.
Di Indonesia gejala itu sudah nampak sejak jaman Kolonial Belanda, bahkan memiliki akibat dalam perkembangan politik selanjutnya yang sangat parah, yang mana kekuasaan judiceel diletakkan di bawah kekuasaan eksekutif, atau telah terjadi politisasi kekuasaan judiceel demi kepentingan golongan tertentu. Dalam kondisi ini, kekuasaan judiceel yang seharusnya menjadi penjaga perubahan agar tetap pada arah yang dituju sekaligus sebagai pelindung hak azasi manusia dan kemerdekaan masyarakat tidak mampu memenuhi fungsinya secara optimal.
Berkaitan dengan masalah tersebut, negara yang telah mengalami revolusi industri pertama, umumnya telah berhasil menemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah melalui ide welfare-state, dengan mengadakan re-planning yang berpegang teguh pada prinsip free society, atau dengan mejalankan politik checks-and-balances antara kekuasaan judiceel, eksekutif dan legislatif, bahkan dengan memberikan tempat tertinggi kepada Undang-undang Dasar (di atas kepala negara ataupun di sampingnya), juga kekuasaan judiceel sesuai dengan filsafat hukum modern.
Di Jerman dapat dilihat adanya Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgericht) sesuai dengan fasal 97 Grundgzets, mahkamah ini diberi tempat tertinggi dalam negara. Di Inggris persoalan ini lebih mudah diatasi, karena di sana sesuai dengan perkembangan demokrasinya, pengadilan selalu mengambil peranan penting sebagai pembela dan pelindung keadilan; tanpa pengadilan dan hakim-hakim yang bijaksana seperti John Seiden dan Edwar Cooks demokrasi di Inggris tidak mungkin sempurna bahkan kedudukan Lord Chief Justice sebagai Hakim Agung adalah setelah keluarga raja yang tidak dapat diremehkan masyarakat. Di samping kedudukan formal, tidak bisa dikesampingkan bahwa parlemen Inggris (yang terdiri dari house of command dan house of lords) terkenal sebagai High court of Justice. Pada jaman di mana parlemen Inggris belum sebaik sekarang, pada abad ke-18 dan 19 anggota-anggotanya juga masih banyak yang mau menerima uang sogok. Pengadilan Inggris memiliki peranan penting, yaitu hak impeachment yang berlaku bukan saja terhadap anggota parlemen maupun para menteri, melainkan juga untuk raja dan keluarganya (fungsi pengadilan di parlemen).
          Jelaslah bahwa dari contoh tersebut, jalan untuk menjamin hak-hak azasi manusia selalu terbuka yaitu melalui pengadilan, dan jaminan ini tidak hanya terbatas pada jaminan formal dari hak-hak politisnya melainkan juga dari hak-hak pribadinya. Hal ini tercantum dalam Undang-undang Dasar Jerman Barat, yang pada pasal 1 ayat 1 dan 3 memperlihatkan bahwa martabat manusia tidak dapat diganggu-gugat. Tugas dari semua alat kekuasaan negara adalah melindungi dan menjaganya, dan hak-hak azasi manusia mengikat ketiga kekuasaan dalam negara, yaitu kekuasaan judiceel, kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Dengan demikian sesuai filsafat hukum di Jerman terdapat empat macam mahkamah (selain Mahkamah Konstitusi), sesuai dengan materi yang diperiksa, yaitu : (1) Finanzgericht; (2) Arbeitsgericht; (3) Verwaltungsgericht; dan (4)Sozialgerich.
Keempat macam mahkamah itu memberi kesempatan kepada setiap warga masyarakat untuk menuntut ganti rugi apabila ia merasa dirugikan oleh pihak atasan. Di samping itu atas biaya pemerintah (offentliche gelder), setiap warga masyarakat dapat mendapat pertolongan nasehat hukum dalam persoalan-persoalan menuntut ganti kerugian oleh atasan. Demikian pula masih mengenal declaration of human rights yang tidak perlu dibahas lebih lanjut di sini. Melihat semua itu dan membandingkannya dengan keadaan hukum di Indonesia saat ini, maka tidak terjaminnya hak-hak azasi manusia sebagai akibat keadaan politis yang terlalu dominan.

Kerangka Teori
            Secara umum teori-teori sosiologi hukum berorientasi pada : (1) pembuatan hukum; (2) faktor‑faktor yang berkaitan dengan produk hukum; (3) pelanggaran hukum yang meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi beserta faktor‑faktor yang mempengaruhinya; dan (4) reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses peradilan dan reaksi masyarakat.
Terdapat tiga perspektif teori yang berkembang dalam sosiologi hukum, yaitu (1) perspektif teori makro (macro theories). Dalarn klasifikasi ini mendes­kripsikan korelasi antara hukum dengan struktur masyarakat. Termasuk dalam perspektif ini adalah teori fungsional, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori anomie, teori pertukaran; (2) perspektif teori meso, untuk mendeskripsikan tentang struktur sosial berserta akibatnya dalam masyarakat sehingga seseorang menjadi jahat. Termasuk dalam teori ini antara lain adalah sistem hukum dan sistem peradilan, teori subculture, teori differential opportunity; dan (3) perspektif teori mikro (micro theories) yang lebih konkret. Teori ini ingin menjawab mengapa seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat melakukan penyimpangan atau kejahatan.Konkretnya teori‑teori ini lebih bertendensi pada pendekatan psikologis atau biologis, termasuk dalam teori­ ini adalah Social Control Theory dan Social Learning Theory.
Sementara itu dalam kaitan kohesi sosial di lingkungan masyarakat yang luas dibatasi dalam hal : (1) Struktural berarti dalam pergaulan hidup ada kohesi sosial (saling keterkaitan) jika pergaulan hidup itu mempunyai struktur sosial dan kultural; (2) Fungsionalisme berarti dalam pergaulan hidup ada pengelom­pokan intermedier lembaga kemasyarakatan, seperti gereja, sekolah, tentara, polisi, dan lain lain yang mempertahankan dan menegakkan struktur serta menjalankan fungsi‑fungsi tertentu. Hobbes sebagai orang pertama yang mencermati problema kohesi sosial pada abad ke XVII di Inggris, pertanyaan yang ingin dijawabannya ialah: “Bagaimana manusia dapat hidup damai dan tenteram di dalam masyarakat yang penuh dengan gejolak” (dalam Ultee, Arts dan Flap, 1996 : 79).
Setelah Hobbes beberapa ilmuwan pun menekuni masalah tersebut, seperti J. Locke (1632 ‑ 1704), Tocqueville (1805 ‑ 1859) dan Comte (1798 ‑ 1857). Mereka mendalami masalah tersebut karena mereka hidup dalam suatu periode yang sarat dengan kekerasan dan kerawanan sosial. Auguste Comte diilhami oleh Revolusi Perancis tahun 1789 dan Tocqueville oleh perang kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776. Saat itu senantiasa didengungkan pertanyaan bagaimana caranya untuk dapat mengembalikan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat ? Dari situlah permasalahan kohesi sosial disebut sebagai problematik ketertiban.
Masalah kohesi sosial dapat didekati melalui dua cara. Pertama‑tama melalui pertanyaan, bagaimana pergaulan hidup di masyarakat tidak pecah berkeping‑keping dalam pengelompokan yang saling benturan ? Kedua, melalui pertanyaan, mengapa dalam pergaulan hidup di masyarakat tampak pihak‑pihak terus-menerus bertarung satu sama lain ? Dengan formulasi demikian, dapat dibandingkan perseteruan antara buruh dengan pemilik modal. Pemikiran pokok di sini ialah bahwa sebuah pergaulan hidup ditandai dan diwarnai oleh keberadaan berbagai pihak yang saling bermusuhan Jadi dengan demikian tidak hidup bersama dengan damai dan tenteram. Dapat juga diajukan pertanyaan, mengapa sebuah pergaulan hidup tidak terdiri atas individu‑ individu yang terisolasi, artinya orang hanya mengarahkan sesuatu pada dirinya dan tidak memiliki ikatan yang erat ? Pertanyaan ini adalah untuk memahami masalah kohesi sosial (E. Durkheim, 1858 – 1917).
Durkheim menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang di dalamnya tidak dijumpai kohesi sosial atau ada kohesi sosialnya tetapi terbatas, masyarakat demikian tidak sekedar ditandai oleh kekerasan dari kelompok tertentu terhadap orang-­orang dari kelompok yang lain, melainkan juga kekerasan dari orang‑orang terhadap dirinya sendiri yang menjurus ke arah bunuh-diri (Suicide). Teori yang dikaji lebih lanjut oleh Durkheim dinamakan fungsionalisme struktural.
Teori Fungsional dan Teori Konflik
Teori Fungsional menggunakan asumsi dasar bahwa masys­rakat terjadi karena adanya konsensus/persetujuan di antara warganya melalui nilai‑ nilai bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Teori konflik mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang‑ orang berpegang pada nilai pertentangan. Kedua perspektif tersebut merupakan grand theory, sedangkan dalam konteks lower theory terdapat pemikiran dari John Hagan yang mengkla­sifikasikan teori menjadi :
I .         Teori‑teori Under Control atau teori‑teori untuk mengkaji perilaku jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial. Teori ini secara umum mem­bahas mengapa ada orang melanggar hukum meskipun kebanyakan orang tidak demikian.
2.         Teori‑teori Kultur, Status dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat di mana mereka tinggal.
3.         Teori Over Control yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori Marxis. Teori ini lebih menekankan kepada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.
Dari klasifikasi di atas, dapat ditarik konklusi bahwa antara satu klasifikasi dengan klasifikasi yang lain tidak identik tergantung pada teoritisi (dramatis personal) yang mencetuskan. Selain itu, pengklasifikasian teori juga dipengaruhi oleh subyektivitas orang yang melakukan klasifikasi sehingga secara relatif menimbulkan dikotomi dan bersifat artifisial.
Fungsinalisme Struktural
Pikiran Durkheim berkenaan dengan masalah kohesi sosial dalam masyarakat ialah : (1) Di setiap masyarakat senantiasa dijumpai suatu keterkaitan (kohesi). Dalam masyarakat seperti itu terdapat pengelompokan intermedier atas lembaga‑lembaga kemasyarakatan, sehingga di dalam masyarakat ada semacam suatu struktur tertentu; dan (2) Jika dalam pengelompokan membagi nilai dengan norma‑norma yang sama, maka masyarakat itu memiliki aturan dalam pergaulan hidup, di mana orang‑orang mempunyai ikatan-ikatan erat dalam pengelompokan intermedier, sehingga mereka mengindahkan nilai‑nilai dan ­norma pergaulan hidup tersebut.
Hal-hal tersebut membawa kohesi sosial lebih besar dalam masyarakat. Teori Durkheim berbicara tentang nilai‑nilai dan norma‑norma yang dianut bersama dalam masyarakat, sedangkan August Comte berbicara mengenai persamaan umum dalam pergaulan hidup, tanpa hal itu menurutnya tidak mungkin terdapat ketertiban dalam masyarakat (dalam Ultee, Arts dan Flap, 1996). Ide Durkheim mengenai perlunya kelompok‑kelompok intermedier dalam pergaulan hidup, dijumpai pula dalam benak Tocqueville. Menurutnya hal itu penting bagi antar hubungan dalam pergaulan agar orang dapat menggabungkan diri dengan berbagai perkumpulan atau partai politik. Untuk maksud tersebut perlu ditetapkan dalam undang‑undang adanya kebebasan bersekutu dan mengemukakan pendapat, sebab jika orang diberi kebebasan untuk bergabung dalam perkumpulan, maka masyarakat akan tetap beradab dan tertib.
Kebebasan orang untuk bergabung dalam suatu perkumpulan intermedier, misalnya dalam persekutuan gereja, perkumpulan olah-raga, atau perhimpunan warga rukun tetangga. Pengelompokan‑pengelompokan seperti ini merupakan fenomena pengakhiran atas kehidupan manusia secara sendiri-sendiri. Jalan pikiran Durkheim menggambarkan bahwa suatu pergaulan hidup ditandai oleh keterikatan yang kokoh antar warganya, jika tidak indikasinya adalah nampak pada angka bunuh diri akan meningkat. Pengelompokan‑pengelompokan intermedier menganut dan menerapkan norma‑norma dan nilai‑ nilai tertentu. Orang mencela bunuh diri dalam masyarakat yang terintegrasi secara ketat dan akrab di mana mereka lebih taat pada norma yang telah disepakati, dalam hal ini pencelaan terhadap pengakhiran kehidupan diri sendiri (bunuh diri). Akibatnya ialah peluang, bahwa orang‑orang yang hidup di dalam masyarakat seperti itu melakukan tindakan bunuh diri, kecil sekali.
Permasalahan bunuh diri itu tetap aktual. Drion adalah nama seorang Senator di Belanda yang pada tahun 2000 menelan pil untuk mengakhiri kehidupannya (euthanasia). Motifnya ialah ia tidak mempunyai keinginan untuk hidup lebih lama, ia sudah tua dan mengalami kesepian bahkan kehidupannya tidak memberi perspektif lagi bagi dirinya. Pengakhiran hidup Drion terselenggara melalui bantuan seorang dokter yang memberi pil kepadanya. Namun undang-undang tidak memperkenankan hal tersebut. Sementara itu di Belanda berlangsung diskusi yang mempertanyakan hal tersebut, sejauhmana orang boleh bertindak mengakhiri kehidupannya sendiri ? Dan sejauhmana pula para dokter boleh memainkan peranan dalam peristiwa ini ? Orang mau mati sendiri aja kok dilarang ?
Apa yang sesungguhnya menggerakkan pikiran Durkheim untuk mengkaitkan kohesi sosial dengan pengakhiran kehidupan itu ? dan prediksi‑prediksi apa saja yang dapat dijabarkan dari teorinya ? Durkheim menguji teorinya pada data dan informasi yang tersedia tentang pengakhiran hidup. Dari penelitiannya ia menemukan hal‑hal yang menunjukkan bahwa di Eropa pada akhir Abad ke XIX di antara orang‑orang Katolik terjadi lebih sedikit bunuh diri daripada orang‑orang Protestan. Kehidupan masyarakat pada waktu itu menunjukkan kondisi “involusi”, di mana peradaban setelah mengalami kemajuan pesat dengan berkembangnya revolusi industri terjadi kontradiksi dan dekadensi moral yang amat parah.
Durkheim menyatakan bahwa, orang‑orang yang kaitan integratifnya lebih kokoh dalam suatu pengelompokan keagamaan maka peluang untuk bunuh diri pada orang‑orang ini lebih kecil. Para penganut Katolik pada akhir Abad ke XIX di Eropa lebih kokoh terintegrasi dalam pengelompokan keagamaan daripada kaum Protestan, maka angka rata-rata tindakan bunuh diri antara orang Katolik lebih sedikit daripada orang Protestan. Dalil Durkheim bahwa kaum Katholik merupakan pengelompokan keagamaan yang lebih kokoh daripada kaum Protestan didasarkannya antara lain pada petunjuk per 1000 orang penganut Protestan lebih sedikit jumlah Pendetanya daripada jumlah Pastor per 1000 orang Katolik.
Pertanyaan yang selanjutnya dilontarkan oleh Durkheim ialah, apakah peluang pengakhiran hidup lebih kecil dalarn hal semakin kokohnya pengintegrasian dalam sebuah pengelompokan keagamaan ? Untuk menjawab pertanyaan ini Durkheim melakukan pengujian pada realita pergaulan hidup mereka. Semakin kokoh orang- orang terintegrasi dalam sebuah kelompok keagamaan, semakin kecil peluang untuk melakukan pengakhiran hidup sendiri. Orang Katolik yang tidak banyak menikmati pendidikan lebih kokoh terintegrasi dalam pengelompokan keagamaan daripada kaum Protestan yang lebih banyak menikmati pendidikan. Dugaan ini menjurus ke arah asumsi bahwa, kaum Katolik yang tidak banyak menikmati pendidikan pada hakikatnya punya peluang yang lebih kecil untuk melakukan bunuh diri ketimbang kaum Katolik yang lebih banyak menikmati pendidikan.
Bertolak dari kesimpulan tersebut bahwa, orang‑orang yang telah menikmati pendidikan lebih banyak, telah belajar untuk berfikir mandiri dan tidak begitu cepat untuk menelan begitu saja ajaran agama. Orang‑orang yang menikmati pendidikan yang layak sangat kritis terhadap pendapat orang lain. Dari penelitian yang dilakukan ternyata orang‑orang Katolik yang telah menikmati pendidikan yang layak ternyata juga memiliki peluang besar untuk melakukan bunuh diri.
Penelitian ini dilakukan Durkheim atas fenomena pengakhiran kehidupan sendiri di antara orang‑orang yang telah kawin dan yang belum kawin. Jalan pikiran itu adalah jika orang‑orang lebih kokoh terintegrasi ke dalam ikatan keluarga, maka peluang untuk melakukan tindakan pengakhiran kehidupan sendiri lebih kecil. Orang‑orang yang telah kawin lebih kokoh integrasinya dalam ikatan keluarga dari pada orang‑orang yang belum kawin. Maka dari itu peluang orang‑orang yang telah kawin untuk melakukan tindakan bunuh diri lebih kecil daripada orang‑orang yang belum kawin.
Asumsi itu diuji oleh Durkheim terhadap kenyataan hidup sehari‑hari di mana dalam suatu keluarga peluang untuk melakukan tindakan bunuh diri itu lebih kecil. Orang‑orang yang telah kawin dan punya anak lebih kokoh terintegrasi dalam ikatan keluarga daripada orang‑orang yang telah kawin tanpa anak. Karena itu orang yang telah kawin dan punya anak memiliki peluang melakukan tindakan bunuh diri lebih kecil daripada orang‑orang yang telah kawin tanpa anak. Dari studi statistik tentang pengakhiran kehidupan sendiri ternyata bahwa prediksi‑prediksi Durkheim cocok dengan apa yang ada dalam kenyataan, memang benar bahwa orang‑orang yang telah kawin dan tidak mempunyai anak lebih sering melakukan bunuh diri daripada orang‑ orang yang telah kawin memiliki anak.
Dari contoh yang diberikan di atas terdapat dua pengelompokan intermedier, yakni sebuah pengelompokan gerejawi dan pengelompokan keluarga. Di samping itu Durkheim juga meneliti relasi antara pengakhiran kehidupan sendiri dengan lain‑lain jenis pengelompokan, antara lain keanggotaan sebuah partai politik. Dalam hal ini ramalannya adalah sesuai dengan realita : “semakin orang-orang kokoh terintegrasi dalam suatu ikatan politik, maka semakin kecil pula peluang untuk melakukan bunuh diri”. Atas dasar temuan hasil penelitiannya, Durkheim tiba pada sebuah premis yang menyatakan : “Semakin orang-­orang lebih kokoh terintegrasi dalam pengelompokan intermedier apapun, maka peluang mereka akan melakukan bunuh diri lebih kecil”.
Dari premis itu dapat diajukan pertanyaan : Sebenarnya apa yang merupakan ciri dari pengelompokan‑pengelompokan intermedier ? Kesamaan apa yang dimiliki oleh sebuah kelompok keagamaan, sebuah keluarga maupun sebuah partai politik ? Persoalannya ialah, pengelompokan‑pengelompokan itu semuanya mempergunakan dan menerapkan nilai‑nilai dan norma‑norma tertentu. Salah satu dari nilai‑nilai dan norma‑norma ini adalah bahwa pengakhiran kehidupan sendiri itu tercela. Jadi semakin kokoh seseorang terintegrasi dalam pengelompokan itermedier, semakin kuat norma pengakhiran kehidupan sendiri tidak diperkenankan, lebih ketat ditaati.
Teori Durkheim tersebut terkenal sebagai teori “integrasi”. Penting untuk dipahami bahwa teori‑teori harus dapat diuji dengan realita (empiri). Oleh karena itu di dalam ilmu pengetahuan kita berbicara juga tentang pengujian empiris. Lain‑lain contoh bunuh diri yang lebih ekstrim dilakukan oleh orang‑orang yang merupakan anggota sebuah pengelompokan yang di dalamnya pengakhiran kehidupan sendiri tidak merupakan perbuatan tercela, hal ini bisa dijumpai pada organisasi‑organisasi teroris, seperti IRA di Irlandia Utara dan Rote Armee Fraktion di Jeman, yang paling mutakhir adalah peristiwa kelabu 11 September 2001, ditabrakannya gedung kembar World  Trade Centre  di New York oleh teroris dengan pesawat terbang komersial.
Persons pada awal Abad ke XX mengkritisi teori Durkheim. Pendapatnya ialah apabila sebuah pengelompokan memaksakan kepada anggotanya nilai-nilai tertentu dengan lebih ketat, dan jika anggota-anggota kelompok ini lebih menghayati nilai-nilai tersebut, maka naggota-anggota ini lebih menaati pula nilai-nilai itu. Proses pertama yakni memaksakan dengan lebih ketat nilai-nilai tersebut, disebut Parsons sebagai “proses sosialisasi”. Semakin pengelompokan lebih menjelaskan nilai-nilai tertentu kepada anggota-anggotanya dan meletakkan nilai-nilai itu kepada anggota-anggotanya secara ketat, maka semakin anggota-anggota ini lebih mensosialisasikan nilai-nilai tersebut dengan lebih ketat lagi. Proses kedua disebut Persons “proses internalisasi”. Dalam hal ini yang menjadi soal ialah anggota‑anggota kelompok yang menghayati nilai‑nilai dan mengamalkannya. Kritik Persons pada hakikatnya adalah semakin anggota‑anggota pergaulan hidup lebih ketat disosialisasikan norma‑norma dan nilai‑nilai ke dalam dirinya dan bahkan mereka telah lebih meresapi internalisasi nilai‑nilai tersebut, anggota‑anggota pergaulan hidup ini semakin mematuhi norma‑ norma dan nilai‑nilai tersebut dengan lebih ketat lagi (Talcot Persons, 1966).
Telah dijelaskan bahwa pengelompokan intermedier menjalankan beberapa fungsi tertentu di masyarakat. Terkait dengan fungsionalisme suatu lembaga pra-syarat bagi kohesi sosial ialah di dalam masyarakat harus memiliki struktur dan kultur sosial, yang mana komponen itu ditegakkan oleh kelompok-kelompok intermedier. Institusi-­institusi kemasyarakatan tersebut melakukan fungsi‑fungsi tertentu di dalam masyarakat. Misalnya bagaimana fungsionalisme lembaga pendidikan dan pengajaran memberi sumbangan bagi pembinaan anak­-anak. Pendidikan secara sadar dimaksud untuk mencapai sebuah tujuan tertentu, begitu pula keluarga melakukan suatu fungsi dalam pergaulan hidup, yakni mengasuh dan mendidik anak‑anak. Sejalan dengan hal itu adanya pelayanan kesehatan adalah untuk tersedianya sarana  untuk memberantas penyakit yang berjangkit di masyrakat. Dalam hal ini perlu relevansi dari fungsi‑ fungsi institusi kemasyarakatan untuk melayani masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh institusi tertentu.
Namun betapa pun baiknya struktur sosial dan kultural dari sebuah pergaulan hidup dapat pula membawa akibat‑akibat yang tidak dipersangkakan bagi pergaulan manusia, yaitu pengelompokan intermedier atau institusi kemasyarakatan misalnya tidak mengedepankan tujuan untuk memperkecil kebodohan atau berkembangnya suatu penyakit dalam masyrakat. Meskipun demikian masih tampak integrasi yang kokoh dari para anggota pengelompokan intermedier, sehingga kemanfaatan institusi itu masih terasa. Namun jika kemanfaatan institusi semakin kecil. Maka akan terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemanfaatannya. Dalam hal inilah terjadi disfungsi dari suatu lembaga (institusi).
Teori Anomi Durkheim
Teori anomi lahir dan berkembang berdasarkan kondisi sosial (social heritage) hasil revolusi industri yang memunculkan great depression di Prancis dan sebagian besar daerah Eropa pada tahun 1930‑an berupa deregulasi tradisi sosial, sebagai efek dari reaksi individu dan lembaga sosial. Di sini menunjukkan betapa pentingnya analisis struktur sosial yang melatarbelakangi usaha socialreform dengan fokus penyusunan kembali masyarakat.
            Untuk pertama kali istilah anomi diperkenalkan oleh Emile Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan tanpa norma (the concept of anomie referred to on absence of social regulation normlessness). Kemudian dalam buku The Division of Labor in Society (1893) Durkheim mempergunakan istilah anomi untuk mendeskripsikan keadaan deregulation dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan‑aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini mengakibatkan deviasi atau kegalauan.
            Menurut Durkheim, teori anomi mengandung tiga unsur, yaitu : (1)  Manusia adalah mahluk sosial (man is social animal); (2) Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial (human being is a social animal), dan (3) Manusia cenderung hidup bermasyarakat dan kebera­daannya sangat tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to live in colonies, and hislher survival dependent upon moral conextions). Istilah anomi kemudian dikemukakan Durkheim dalam bukunya yang terkenal berjudul Suicide (1897) yang mengemukakan asumsi bunuh diri di masyarakat sebagai akhir puncak dari anomi karena keadaan sosial berupa social integration dan social regulatiom.Skema asumsi Durkheim tersebut adalah sebagai berikut :
Social Conditions
High
Low
Social integration
Altruism
Egoism
Social regulation
Fatalism
Anorni

Selanjutnya Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stress), yaitu: (1) deregulasi kebutuhan atau anomi; (2) regulasi yang keterlaluan atau fatalism; dan (3) kurangnya integrasi struktural atau egoisme. Fenomena suicide tersebut menunjuk bahwa proses sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya altruistic mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh diri. Hal ini berbeda dengan fenomena stress. 
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa, apabila peluang untuk mengakhiri kehidupan sendiri dalam pergaulan menjadi lebih kecil, maka semakin erat pula pergaulan hidup warga masyarakat itu terintegrasi dalam struktur sosial. Demikian pula bahwa peluang untuk melakukan tindakan pengakhiran kehidupan sendiri akan menjadi lebih kecil, jika berbagai unsur kebudayaan saling menggabungkan diri secara lebih dekat satu sama lain. Unsur-­unsur kebudayaan itu terdiri dari norma‑ norma dan nilai‑nilai. Nilai‑nilai merupakan tujuan yang telah ditentukan, sedangkan norma‑norma sebagai sarana tertentu yang dimiliki untuk mencapai tujuan.
Sebagai contoh, polisi menetapkan tujuan untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan berlalu‑lintas. Pokok persoalan yang melatarbelakangi hal tersebut ialah keselamatan manusia itu merupakan suatu kenyataan penting yang hanya bisa dicapai bila keamanan lalu-lintas ditingkatkan. Polisi mencoba mencapai tujuan tersebut agar sesedikit mungkin nyawa manusia menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Untuk meningkatkan keamanan perlu adanya sarana dan prasarana, uang diperlukan untuk membangun jalan‑jalan yang aman dan memasang rambu‑rambu lalu‑lintas. Dalam kenyataan bisa dilihat betapa kurang tersedia sarana dan prasarana secara memadai untuk mencapai tujuan tersebut. Sudah barang tentu tidak dapat dihindarkan akan jatuhnya korban manusia. Yang penting ialah semua anggota masyarakat sama‑sama sepakat dengan visi penguasa bahwa setiap orang menghendaki sesedikit mungkin hilangnya nyawa manusia dalam berlalu‑lintas? Bahkan semua anggota masyarakat sepakat agar penguasa mempergunakan sebagian uang pajak yang dipungut untuk memperbaiki jalan‑jalan.
Namun dalam kenyataan juga bisa dilihat bahwa ada anggota masyarakat yang tidak menyetujui kesepakatan tersebut. Dengan demikian di dalam masyarakat selalu ada kelompok manusia yang menentang pendirian pemerintah. Jika sejumlah besar manusia tidak menerima atau menolak kebijakan penguasa, maka seringkali hal ini berlanjut dengan bentuk demonstrasi atau protes. Dapat pula terjadi bahwa maksud dan tujuan anggota masyarakat tidak seimbang dengan alat‑alat yang tersedia. Dalam situasi seperti ini Durkheim berbicara tentang anomi yang digambarkan dalam benak kita situasi‑situasi yang di dalamnya tidak terdapat norma‑norma yang memadai, sehingga menyebabkan orang‑orang membuat target‑target tertentu, di samping itu tidak tersedia alat‑alat dan perlengkapan yang memadai untuk menerapkan norma-norma tadi. Di sini Durkheim membedakan bentuk-bentuk anomi, antara lain anomi ekonomi dan anomi yang bertalian dengan masalah perkawinan. Sebagai contoh bentuk pertama bisa dilihat pada angka bunuh diri yang membengkak setelah terjadi kehancuran bursa keuangan. Pengakhiran kehidupan sendiri pada anomi ekonomi terutama muncul pada kaum pemilik modal (dalam Ultee, Arts dan Flap, 1996 : 89). Contoh gejala anomi yang bertalian dengan masalah ikatan perkawinan ialah bunuh diri di antara para suami dan isteri yang putus perkawinan karena perceraian lebih besar terdeteksi daripada di antara para duda dan janda.
Teori Anomi Robert K. Merton
Pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi konsep anomi Durkheim untuk menjelaskan deviasi di Amerika Serikat. Konsepsi Merton tersebut sebenarnya dipengaruhi intelectual heritage Pitirin A. Sorokin (1928) dalarn bukunya Contemporary Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam buku The Structure of Social Action.
Di Amerika Serikat, Merton memperluas teori anomi Durkheim berlangsung sekitar pertengahan Abad ke-20, dia mengamati bahwa di Amerika Serikat lebih banyak kejahatan‑kejahatan yang dilakukan orang daripada di Eropa. Apa sebabnya ? Merton mencoba memberikan klarifikasi tentang hal itu berdasarkan teori anomi dengan melontarkan pertanyaan apa sebabnya orang‑orang memperlihatkan perilaku menyimpang ? Jauh sebelum Merton sesungguhnya para ilmuwan lain telah mengkaji masalah tersebut, termasuk para filsuf. Mereka menyatakan bahwa, manusia menurut kodratnya adalah egoistis, bahkan cenderung ingin mengguntungkan dirinya sendiri sebesar-­besarnya. Menghadapi perilaku seperti ini hanya dapat diatasi dengan jalan mengancam manusia dengan hukuman melalui perundang‑undangan. Ini nampak dari frekuensi kejahatan di Amerika Serikat yang tinggi karena hukuman terhadap pelanggaran undang‑undang lebih ringan daripada di Eropa, sehingga bisa dikatakan bahwa di Amerika Serikat lebih banyak para pelanggar undang-undang.
Merton memunculkan pernyataan yang sama sekali berbeda. Menurutnya di Amerika Serikat terjadi lebih banyak pelanggaran undang‑undang, satu dan lain hal karena bukan saja adanya hukuman, melainkan ada pula ganjaran yang tersedia. Apa yang dimaksud dengan hal tersebut ? Di Amerika Serikat terdapat sifat positif seperti semangat usaha dan ambisi mendapat dorongan besar. Untuk mencapai keberhasilan orang harus belajar dengan sungguh‑sungguh, kerja keras dan banyak rnenabung. Namun ada sisi lain yang tidak menyenangkan bahwa sifat positif seperti ini bisa pula menjurus ke arah perilaku kriminal.
Dari kondisi tersebut Merton melihat ada relasi antara bunuh diri, pelanggaran norma dan kriminalitas. Bertolak dari teori anomi Durkheim, Merton mendalilkan sebagai berikut: (1)  Anomi menyebabkan angka pengakhiran kehidupan sendiri yang lebih tinggi. Pengakhiran kehidupan sendiri, oleh masyarakat dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap norma pergaulan hidup. Namun jalan pikiran Merton berbeda, mengapa anomi semata-mata menjurus kepada pengakhiran kehidupan sendiri ? Menurutnya anomi umumnya dapat menyebabkan pelanggaran setiap norma apa pun juga. (dalam Ultee, Arts clan Flap, 1996: 96); dan (2) Di dalam banyak pergaulan hidup telah diatur dengan undang‑undang bahwa orang yang menggunakan atau mencuri hak milik orang lain, dihukum. Akibat hal tersebut dalam pergaulan hidup bisa berlangsung anomi, maka tindak kriminalitas meningkat. Dalam pikiran Merton, problema pengakhiran kehidupan dan permasalahan kriminalitas dipandang sebagai persoalan pelanggaran norma. Pelanggaran norma seperti bunuh diri, pembunuhan, pencurian dan lain-lain mengungkapkan adanya “kohesi sosial” yang lemah di dalam sebuah masyarakat. Dengan memperluas teori anomi Durkheim yang membatasi diri pada problema pengakhiran hidup lewat pelanggaran norma pada umumnya, Merton memberikan ruang lingkup lebih besar bagi teori ini. Dengan demikian nampaknya Merton memperoleh pengertian yang lebih layak lagi dalam membahas problematik kohesi, sebagaimana hal itu dijelaskan oleh paham fungsionalisme struktural.
Dalam pendekatan Durkheim mengenai pengertian anomi, ia mendasarkan terutama pada pandangan psikologi dan biologi. Mengapa banyak pemilik modal melakukan tindakan bunuh diri setelah ada krisis keuangan ? Ini disebabkan karena orang‑orang tersebut telah melakukan tindakan‑tindakan spekulasi dengan uang dan telah kehilangan segala‑galanya. Menurut Durkheim, kodrat manusia itu senantiasa berusaha untuk mempunyai hak milik yang lebih banyak, prestise yang mulia dan kekuasaan yang besar. Mereka tidak puas dengan apa yang telah ada. Target‑target yang mereka ingin capai adalah ambisius, sedangkan mereka tidak memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk mencapai target‑target tersebut.
Robert K Merton juga ingin mencari latar belakang untuk mengklarifikasi hal itu. Kemudian ia mengemukakan bahwa kesenjangan antara tujuan dan alat tidak dapat diterangkan dari sudut psikologi atau biologi, tetapi adalah akibat dari kultur dan struktur pergaulan hidup. Merton mencari sebuah sudut masuk sosiologis dan mengembangkannya dalam suatu kebudayaan. Menurutnya setiap orang dapat mencapai cita-cita melalui kerja keras, memiliki ambisi, menabung dan mencari ilmu dengan tekun. Seperti diuangkapkan di dalam Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana hal‑hal apa saja yang tidak boleh dilakukan untuk mencapai tujuan. Tentu saja orang bisa mendapat uang dengan cepat dengan cara merampok sebuah bank, namun undang‑undang tidak memperkenankannya.
Merton memastikan bahwa, terdapat jurang pemisah antara di satu sisi ambisi‑ ambisi atau tujuan‑tujuan yang ditetapkan oleh kebudayaan (mencapai sukses), di sisi lain kemungkinan‑kemungkinan untuk mencapai hal itu (puncak). Bagi sejumlah besar warga hal tersebut tidak mungkin mencapai puncak, mereka yang tinggal di daerah kumuh atau yang dibesarkan di dalam gubuk tidak memperoleh pendidikan yang baik, karenanya tidak mempunyai pekerjaan yang layak, bahkan tidak mampu menabung uang untuk membuka usaha sendiri. Orang seperti ini tidak punya cukup dana dan sarana untuk mewujudkan tujuannya. Sebuah situasi yang di dalamnya terjadi “gap” antara tujuan dengan dana serta sarana yang tersedia, atau gap antara tujuan dengan cara untuk mencapainya disebut oleh R. K. Merton sebagai anomi.
Dalam kenyataan orang‑orang yang berada di jenjang paling bawah juga ingin mencapai puncak meskipun tanpa memiliki dana dan sarana untuk itu, karena itu  mereka hanya dapat melakukannya melalui satu cara, yakni dengan jalan kriminalitas. Yang penting ialah, bahwa internalisasi nilai‑nilai positif (berhasil mencapai puncak) pada orang‑orang yang berada di jenjang paling bawah meresap lebih kuat daripada pemberitahuan bahwa beberapa tindakan tertentu dilarang undang‑undang.
Dalam kebudayaan negara‑negara di Eropa, hal tersebut tidak digarisbawahi bahwa peluang dan kesempatan tidak terbatas adanya. Tidak sia-sia orang berbicara soal impian, namun tidak mudah untuk menyatakannya. Mengenai jurang pemisah, dikonstatir oleh Merton bahwa antara tujuan, dana dan sarana pada hakikatnya tidak banyak dijumpai. Di masyarakat pun bermunculan kejahatan yang terus meningkat sebagai akibat sulitnya mencari peluang.
Pokok pikiran Robert K Merton menyebabkan pengadaptasian teori fungsionalisme struktural. Di bagian awal telah dijelaskan bahwa Durkheim telah merumuskan teorinya tentang fungsionalisme struktural terhadap kaitannya dengan permasalahan kohesi sebagai berikut semakin anggota-anggota masyarakat lebih kokoh terintegrasi dalam masyarakat, semakin kuat mereka mematuhi nilai-nilai dan norma‑norma masyarakat yang bersangkutan. Di dalam pendekatan Merton, pertanyaan tersebut diformulasikan sebagai berikut apabila dalam sebuah pergaulan hidup norma‑ norma dan nilai‑nilai tentang tujuan-tujuan yang harus dicapai untuk para anggota pergaulan hidup tidak bisa diseimbangkan dengan dana dan sarana yang perlu disediakan untuk mencapai tujuan, maka peluang orang‑orang melakukan tindakan kriminal lebih besar. Di sini Merton menumbuh  kembangkan teori Durkeheim lebih lanjut.
Durkheim dapat meyakinkan orang bahwa anomi dapat memberikan peluang untuk bunuh diri, namun belum dapat memberi jawaban atas pertanyaan apakah hal ini berlaku bagi semua anggota masyarakat secara sama dan merata. Seperti diketahui Merton telah memperluas teori Durkheim dengan mengemukakan, bahwa anomi hanya mengakibatkan peluang yang lebih besar untuk tindakan pengakhiran hidup sendiri, namun anomi menjurus ke arah pelanggaran norma pada umumnya. Hal ini menggarisbawahi bahwa kriminalitas merupakan pelanggaran. Selanjutnya Merton mengajukan pertanyaan : orang-orang manakah yang akan mencoba merealisasikan ambisinya (mencapai puncak) melalui dana dan sarana, dan orang‑orang manakah yang tidak akan melakukan ? dan orang‑orang manakah akan mencoba mewujudkan ambisi‑ambisinya melalui dana dan sarana illegal, artinya melalui perilaku kriminal ?
Dalam hubungan ini perlu disimak hal‑hal sebagai berikut : (1) dalam sebuah masyarakat dapat membedakan beraneka-ragam pengelompokan‑pengelompokan atau kelas manusia (misalnya manusia yang termasuk golongan kelas menengah ke atas dan manusia yang berada di jenjang paling bawah tangga masyarakat); dan (2). kita harus membedakan di sini antara tujuan‑tujuan yang ingin dicapai serta dana dan sarana yang diperlukan untuk itu.
Dari uaraian di atas dapat dikatakan bahwa Merton meredifinisi konsep anomi sebagai ketidak­sesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan institutional means, akibat cara masyarakat diatur (struktur masyarakat) dengan pembagian kelas. John Hagan menilai, teori anomi Merton ber­orientasi pada kelas (“Merton is in exploring variations in crime and deviance by social class”)
Teori anomi Merton pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara perilaku delinkuen dan tahapan tertentu pada struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan, dan menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Untuk itu ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan kultural. Konkretnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means. Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuan dan kepentingan membudaya meliputi kerangka aspuasi dasar manusia. Sedangkan means diartikan aturan dan cara kontrol yang melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan.
            Karena itu, Merton membagi norma sosial berupa tujuan sosial (sociatae goals) dan sarana‑sarana yang tersedia (acceptable means) untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam perkernbangan berikutnya, pengertian anomi mengalami perubahan dengan adanya pembagian tujuan dan sarana dalam masya­rakat yang terstruktur. Dalam pencapaian tujuan, ternyata tidak setiap orang menggunakan sarana yang tersedia, tetapi ada juga yang menggunakan cara tidak sesuai dengan yang telah ditetap­kan.
Aspek ini dikarenakan, menurut Merton, struktur sosial ber­bentuk kelas‑kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan­perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya, mereka yang berasal dari kelas rendah (lower class) mernpunyai kesempatan lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi (uper class). Kemudia Merton menyampaikan lima cara untuk mengatasi anomi dalam setiap anggota kelompok masyarakat dengan tujuan membudaya (goals) dan cara melembaga (means), seperti pada tabel di bawah ini.
Model of Adaptation
Adjustment/adaptationformsCultural goalsInstitutionalized means
  1. Conformity
+
+
2. Innovation
3. Ritualism
4. Retreatism
+
-
-
-
+
-
5. Rebelion
+/-
+/-

Keterangan:
+     acceptances (penerimaan)
 –     ellimination (penolakan)
+/-    rejection and subtitution of new goals and means (penolakan dan penggantian tujuan  dan cara baru)
            Kelima bentuk penyesuaian diri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Conformity (menyetujui) adalah suatu keadaan di mana warga masyarakat tetap menerima tujuan dan sarana‑sarana sah (legitimate mean) yang terdapat di dalarn masyarakat karena adanya tekanan moral. Meskipun mereka memiliki sarana yang terbatas tetapi tidak melakukan penyimpangan, mereka melanjutkan pencapaian tujuan budaya dan percaya atas legitimasi sarana-sarana konvensional dengan mana kesusksesan akan dicapai.
2. Innovation (pembaharuan) adalah keadaan di mana tujuan dalam masyrakat diakui dan dipelihara, akan tetapi rnengubah sarana­-sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka tetap meyakini sukses yang dianggap berharga, namun beralih menggunakan sarana jika menemui halangan terhadap sarana yang digunakan untuk mencapai kesusksesan.
3.    Ritualism (tatacara keagamaan) yaitu keadaan di mana warga rnasya­rakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun sarana­-sarana yang telah ditentukan tetap dipilih. Dengan demikian mereka meredakan ketegangan dengan menurunkan skala aspirasi sampai pada batas yang bisa mereka capai daripada mengejar tujuan budaya kesuksesan.
4.    Retreatism (penarikan diri) yaitu keadaan di mana warga masyarakat melepaskan tujuan budaya sukses dan sarana-sarana sah yang telah disediakan masyarakat. Mereka melarikan diri dari syarat-syarat masyarakat dengan cara menyimpang, misalnya mabok-mabokan, pecandu narkoba hingga puncaknya bunuh diri.
  1. 5.      Rebellion (pemberontakan) yaitu keadaan di rnana tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak, berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya. Meraka juga menginginkan untuk mengubah sistem melalui social disobidien (pembangkangan sosial).
Dari skema penyesuaian diri Merton tersebut : inovasi, ritualisme, penarikan diri dan rebellion adalah bentuk penyesuaian diri yang menyimpang dari norma‑norma yang berlaku. Karena itu, pengadaptasian yang gagal pada struktur sosial merupakan fokus dari teori Merton (Problems of acces to legitimate means ofachieving the goals are thefocus of Anonde Theory). Sebagai suatu teori, anomi merupakan kelompok teori abstrak/ macro theoriess dalam klasifikasi teori positif Frank P. William dan Marilyn McShane, atau dari pendekatan secara sociological (Frank Hagan). Teori anomi Merton diperbaiki oleh Cloward & Ohlin (1959) dengan menyampaikan teori differential opportunity. Cloward & Ohlin mengatakan bahwa sebenarnya ada cara‑cara untuk mencapai sukses, yaitu cara yang disebutnya legitimate dan illegitimate. Sedangkan Merton hanya mengakui cara yang pertarna.
Teori Kontrol
Teori kontrol sering disebut juga sebagai teori Kontrol Sosial, yang berangkat dari asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama untuk melakukan perbuatan yang baik ataupun yang jahat. Dengan kata lain, baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik jika masyarakatnya membuatnya baik, ia pun bisa menjadi jahat jika masyarakat membuatnya menjadi jahat. Oleh karena itu teori Kontrol Sosial tidak menanyakan : “Mengapa seseorang melakukan kejahatan, tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum”.
Ditinjau dari segi akibat, munculnya teori Kontrol Sosial dilatarbelakangi oleh tiga aspek perkembangan dalarn masyarakat : (1) Adanya reaksi dari teori labeling dan konflik yang menyelidiki tingkah laku kriminal. Sebagaimana orientasi teori ini kurang menganalisis masalah kriminal dan hendak kembali kepada subyek perilaku menyimpang; (2) Munculnya studi tentang criminal justice di mana sebagai suatu ilmu telah mempengaruhi hukum menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem; dan (3) Teori Kontrol Sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku remaja, yakni selfreport survey. 
Beberapa pakar mempergunakan pendekatan teori ini untuk mengkaji masalah kena­kalan remaja. Pada tahun 1951 dalam suatu penelitian ilmiah, Albert J. Reiss, Jr menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi dengan hasil penelitian aliran Chicago menghasilkan teori Kontrol Sosial. Menurut Reiss, terdapat tiga komponen kontrol sosial untuk menjelaskan kenakalan remaja, yaitu: (1) A lack of proper internal controls developed during child­hood (kurangnya kontrol internal yang memadai selama masa anak‑anak); (2) A breakdown of those internal controls (hilangnya kofitrol internal); dan (3)An absence of or conflict in social rules provided by important social group (the family, close other, the school) (tidak adanya norma‑norma sosial atau konflik antara norma‑norma dimaksud di keluarga, lingkungan dekat, sekolah).
Selanjutnya, Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan sosial control. Personal control adalah kemarnpuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma‑norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control ialah kemampuan kelompok sosial atau lembaga di masyarakat melak­sanakan norma‑norma atau peraturan‑ peraturan menjadi efektif
            Kemudian pada tahun 1957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian Commitment Individu sebagai kekuatan yang menentukan dalam membentuk kontrol sosial. Sedangkan Scot Briar dan Irvine Piliavian menyatakan bahwa : “peningkatan komitmen individu dan penyesuaian diri mernegang peranan dalam mengu­rangi penyimpangan sosial”.
Pendekatan lain digunakan Walter Reckless (1961) dengan bantuan rekannya Simon Dinitz. Reckless menyampaikan Contai­ment Theory yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja meru­pakan hasil (akibat) dari interelasi antara dua bentuk kontrol, yaitu internal (inner) dan eksternal (outer). Menurut Reckless, contai­ment internal dan eksternal memiliki posisi netral, berada dalam tarikan sosial (socialpult) lingkungan dan dorongan dari dalam individu.
F. Ivan Nye dalam tulisannya yang berjudul Family Relation­ship and Delinquent Behavior (1958)mengemukakan teori sosial kontrol tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan melainkan penjelasan yang bersifat kasuistis. Ivan Nye tidak menolak adanya unsur‑unsur psikologis di samping unsur subkultur dalam proses terjadinya kejahatan. Sebagian kaum delinkuen, menutut Nye disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang fidak efektif
Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, intemalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. Apabila intemal dan ekstemal kontrol lemah, altematif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen, hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi.
Menurut Nye, manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, disinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melaku­kan pengekangan keinginan (impulse). Selain itu, faktor intemal dan ekstemal kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law‑abiding).
Premis teori Kontrol Sosial yang dikemukakan Nye terdiri dari:
1.  Harus ada kontrol intemal maupun ekstemal.
2 . Manusia diberikan kaidah‑kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran.
3.  Pentinpya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi yang ade quat (memadai), akan engurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang.
4.  Diharapkan remaja mentami hukum (7aw abiding).
Menurut Nye ada empat tipe Kontrol Sosial, yaitu: (1) Direct control imposedfi‑om without by means of restriction and punishment (kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan hukum); (2) Internalized control exercised ftom within through cons­cience (kontrol intemalisasi yang dilakukan dari dalam diri secara sadar); (3) Indirect control related to affectional identification with parent and other non‑criminal persons, (kontrol fidak langsung yang berhubungan dengan pengenalan (identifikasi) yang berpengaruh dengan orang tua dan orang‑orang yang bqan pelaku kriminal lainnya); dan (4) Availability of alternative to goal and values (ketersediaan sarana‑sarana dan nilai‑nilai altematifuntuk mencapai tuiuan).
Konsep kontrol eksternal menjadi dominan setelah David Matza & Gresham Sykes melakukan kritik terhadap teori subkultur dari Albert Cohen. Kritik tersebut menegaskan bahwa kenakalan remaja, sekalipun dilakukan oleh mereka yang berasal dari strata sosial rendah, namun terikat pula pada sistem nilai dominan di dalam masyarakat.
Kemudian, Matza dan Sykes mengemukakan konsep atau teori yang dikenal dengan technique of netralization, yaitu suatu teknik yang memberikan kesempatan bagi seorang individu untuk melonggarkan keterikatannya dengan sistem nilai‑nilai yang dominan sehingga bebas untuk melakukan kenakalan.
Teknik netralisasi ini dirinci Matza dan Sykes, adalah sebagai berikut:
1. Teknik yang disebut denial of responsibility, menunjuk pada anggapan di kalangan remaja nakal yang menyatakan bahwa diriya merupakan korban dari orang tua yang tidak kasih, lingkungan pergaulan buruk atau berasal dari tempat tinggal yang kumuh (slum).
  1. Teknik denial of injwy, menunjuk kepada suatu alasan di kalangan remaja nakal bahwa tingkah laku mereka sesungguh­nya tidak merupakan suatu bahaya yang  berarti. Sehing­ga mereka beranggapan bahwa vandalisme merupakan kela­laian semata dan mencuri mobil sesungguhnya meminjam mobil, perkelahian antara gang merupakan pertengkaran biasa.
  2. Teknik denial ofthe victim, menunjuk kepada suatu keyakinan diri pada remaja nakal bahwa mereka adalah pahlawan sedangkan korban justru dipandang sebagai mereka yang melakukan kejahatan.
4. Teknik yang disebut condemnation of the comdemners, menunjuk pada suatu anggapan bahwa Polisi sebagai hipokrit, munafik, atau pelaku kejahatan terselubung yang melakukan kesalahan atau memiliki perasaan tidak senang pada mereka. Pengaruh teknik ini ialah mengubah subyek menjadi perbuatan kejahatan pusat perhatian, berpaling dari perbuatan yang telah dilakukannya.
5. Teknik appeal to higher loyalties, menunjuk pada anggapan di kalangan remaja nakal bahwa mereka tertangkap di antara tuntutan masyarakat, hukum, dan kehendak kelompok mereka.
Kelima teknik netralisasi tersebut kemudian menurut Matza disebut sebagai penyimpangan atau bond to moral order, yang mengakibatkan seseorang terjeru­mus ke dalam keadaan di mana kenakalan remaja atau penyimpangan tingkah laku sebagai sesuatu yang diperbolehkan.
Versi teori sosial yang paling andal dan sangat populer dikemuka­kan Travis Hirschi (1969). Hirschi, dengan keahlian merevisi teori-­teori sebelumnya tentang kontrol sosial, telah memberikan suatu gambaran jelas mengenai konsep social bond
Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkahlaku seseorang itu mencerminkan pelbagai ragam pandangan tentang kesusilaan morality. Hirschi berpendapat bahwa seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan tingkah lakunya. Selain menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku dimaksud, Hirschi juga menegaskan bahwa tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan (moral) individu terhadap masyarakat.
Pertanyaan dasar yang dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur‑unsur pencegah yang mampu menangkal timbulnya perilaku delinkuen di kalangan anggota masyarakat (utamanya para remaja), yaitu “mengapa kita patuh dan taat pada norma‑ norma masya­rakat atau  mengapa kita tidak melakukan penyimpangan ?” Menurut Travis Hirschi, terdapat empat elemen ikatan sosial (social hond) mengapa individu-individu patuh dan taat pada norma‑norma di dalam masyarakat.
Pertama, Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Kalau attachment ini sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, pera­saan, dan kehendak orang lain. Kaitan attachment dengan penyim­pangan adalah sejauh mana orang tersebut peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan penyimpangan. Attachment sering diartikan secara bebas dengan keterikatan. lkatan pertama yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan dengan sekolah (guru), dan keterikatan dengan teman sebaya.
Kedua, Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem ko~vensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi, dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan yang dilakukan seseorang seperti sekolah, pekedaan, kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa harta benda, reputasi, masa depan, dan sebagainya.
Keliga, Involvement merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka keeil kecenderungannya untuk melakukan penyimpangan. Logika pengertian ini adalah bila orang aktif di segala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut. Sehingga, ia tidak sempat lagi memikirkan hal‑hal yang berten­tangan dengan hukum. Dengan demikian, segala aktivitas yang dapat memberi manfaat akan mencegah orang itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Keempat, Beliefmerupakan aspek moral yang terdapat dalam atan sosial, dan tentunya berbeda dengan ketiga, aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilai‑nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma‑norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut.
Kepatuhan. terhadap norma tersebut tentunya akan mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak mematuh i norma­norma maka lebih besar k‑emungkinan melakukan pelanggaran.
Hubungan antara Attachment dan Commitment seringkali dinyatakan cenderung, berubah‑ubah secaraterbalik. Menurut riset tentang delinkuen, salah satu “masalah” anak remaja dari kelas bawah adalah bahwa dia tidak mampu memutuskan keterikatan dengan orang tua dan kawan sebaya. Keterikatan yang mencegahnya mencurahUn waktu dan energi yang cukup bagi aspirasi pendidikan dan pekerjaan. Menurut riset stratifikasi, anak letakiyang terbebas dari keterikatan ini lebih memungkinkan untuk berpindah‑pindah ke kelas atas.
Kedua tradisi riset demikian menyatakan bahwa orang‑orang yang terikat pada conformity (persesuaian) karena alasan‑alasan instrumental kurang mungkin untuk terikat persesuaian berdasarkan alasan emosional yang lainnya. Apabila mereka yang tidak terikat dikompensasikan atas kekurangan keterikatan berdasarkan komitmen untuk berprestasi, dan apabila yang tidak melakukannya berubah menjadi terikat dengan orang‑orang, kita bisa menyim­pulkan bahwa.baik attachment maupun commitment tidak akan dihubungkan dengan kejahatan.
Pertautan paling jelas antara unsur/elemen commitment dan involvement nampak dalam kornitmen di bidang pendidikan dan pekerjaan serta keterlibatan dalam aktivitas‑aktivitas konvensional. Kita dapat berusaha memperlihatkan bagaimana komitmen mem­batasi kesempatan seseorang untuk melakukan keja.hatan dan dengan demikian dijauhkan dari anggapan (asumsi) banyak teori kontrol bahwa kesempatan‑kesempatan seperti itu secara seder­hana dan aeak.disebarkan melatui populasi yang diperlukan.
Hubungan elemen terakhir dari teori kontrol sosial adalah antara Attachment dan Belief, terdapat hubungan yang kurang lebih berbanding lurus antara keterikatan dengan yang lain dan kepercayaan dalarn keabsahan moral dari peraturan yang ada.
Teori kontrol mempunyai sejumlah kelemahan maupun kelebihan. Adapun kelemahannya adalah : (1) Teori ini hanya berusaha menjelaskan kenakalan remaja, bukan kejahatan orang dewasa; (2) Teori ini menaruh perhatian cukup besar kepada sikap, keinginan, dan tingkah laku yang meskipun menyimpang sering merupakan tingkah laku orang dewasa; (3) Unsur ikatan sosial (social bond) dalarn teori Hirschi seperti valuesbelief, norm, dan attitudes tidak pemah secara jelas didefinisikan; dan (4) Kegagalan dalam menjelaskan peluang kejadian yang menghasil­kan lebih tidaknya social bond
Sedangkan kekuatan dari teori Kontrol Sosial terletak pada aspek : (1) Teori ini dapat diuji secara empiris oleh banyak sarjana seperti Wiatrowski, Griswold; dan (2) Menurut Roberts, teori Kontrol Sosial merupakan salah satu teori kontemporer yang memiliki daya tarik kuat dalam hal mendorong penelitian yang berarti.
Teori Labelling Micholowsky, Edwin Lemert
Teori Labeling banyak di­pegaruhi oleh aliran Chicago, muncul pada awal tahun 1960‑an. Pada dasarnya teori Labeling digali dari buku Crime and the Community, Frank Tannenbaum (1938), kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The Outsider, 1963), Kai T. Erikson (Notes on the Sociology of Deviance; 1964), Edwin Lemert (Human Deviance Social Problem and Social Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavioer, 1971).
Teori ini menggunakan metode baru untuk mengetahui kejahatan dengan menggunakan self report study, berupa interviu terhadap pelaku kejahatan yang tidak tertangkap atau tidak diketahui polisi. Secara yuridis yang disebut penjahat adalah orang yang melanggar hukum dan dinyatakan oleh Hakim melakukan tindak pidana. Namun di dalam masyarakat ada pandangan yang bisa terbentuk pada diri seseorang yang belum tentu bersalah tetapi sudah dicap buruk atau bersalah. Dengan kata lain, seseorang menjadi salah karena proses pemberian julukan, cap, label atau merek oleh masyarakat.
Micholowsky menjelaskan premis-premis teori Labeling sebagai berikut : (1) Kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang; (2) Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat; (3) Umumnya tingkah laku seseorang yang dicap jahat menyebabkan orangnya juga diperlakukan sebagai penjahat; (4) Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi dalam proses interaksi, di mana interaksi tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik antara individu, antar kelompok dan antar individu dan kelompok; (5) Terdapat kecenderungan di mana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.
Teori Labeling perspektif Howard S. Becker menekankan dua aspek, yaitu: (1) Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang‑orang tertentu sampai diberi cap atau label sebagai penjahat; dan (2) Pengaruh daripada label itu sebagai konsekuensi penyimpangan tingkah laku. Dengan demikian reaksi masyarakat terhadap perilaku seseorang bisa menimbulkan perilaku jahat jika orang itu di cap jahat. Terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan.
Edwin Lemert membedakan tiga penyimpangan, yaitu: (1) Individual deviation, di mana timbuInya penyimpangan diaki­batkan oleh karena tekanan psikis dari dalam; (2)Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan; dan (3) Systematic deviation, sebagai pola‑pola perilaku kejahatan terorganisir dalarn sub‑sub kultur atau sistem tingkah laku.
Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance) dan penyimpangan sekunder (secondary deviance). Penyimpangan primer muncul dalam konteks sosial, budaya dan fisikologi yang sangat bervariasi dan hanya mempunyai efek samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada sikap diri dan peran sosial. Penyimpangan sekunder merupakan perilaku menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada penyimpangan primer.
Para ahli teori labeling mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah paling penting, karena merupakan proses interaksi antara orang yang dicap dengan pelabelan, dan pendekatan ini sering disebut teori interaksi. Menurut Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan. Pelanggar hukum itu merupakan perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi orang lain terhadap perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan, siapa korbannya dan persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya.
     Apabila diurai secara gradual premis dasar teori labeling meliputi: (1) Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal; (2) Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang dominan atau kelompok penguasa; (3) Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa; (4) Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tetapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa; dan (5) Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat kategori orang jahat dan orang tidak jahat.
Teori Differential Association (Asosiasi Diferensial)
Teori Differential Association berkembang dari kondisi sosial (social heritage) pada tahun 1920 dan 1930, sejak diperhatikannya data ekologi mazhab Chicago (Chicqgo School) dan data statistik, bahwa kejahatan merupakan dampak dari kondisi sosial, di samping dari faktor biologi atau psikologi. Pada waktu itu di dalam masyarakat AS terjadi depresi, di mana kejahatan timbul sebagai dari “product of situation, opportunity andofcourse values ” (produk situasi, kesempatan dan nilai). Untuk pertama kali seorang ahli sosiologi AS bernama Edwin H. Sutherland, (1934) menjelaskan dalam bukunya berjudul Principles of Criminology tentang teori Differential Association. Asumsi dasar teori ini dipengaruhi oleh William I. Thomas, dari aliran Symbolic Interactionism, George Berbert Mead, Park dan Burgess dan aliran ekologi dari Clifford R. Shaw, Henry D. McKay, dan Culture Conflict dari Thorsten Sellin.
Teori Differential Association berlandaskan kepada : “Ecological and Cultural Transmission Theory, Sym­bolic Interactionism dan Culture Conflict Theory”, dan teori ini terbagi ke dalam dua versi. Versi pertama dikemukakan pada tahun 1939, versi kedua tahun 1947. Versi pertama terdapat dalam buku Principle of Criminology edisi ketiga yang menegaskan premis-premisnya sebagai berikut : First, any person can be trained to adopt and follow any pattern of behavior which he is able to execute. (Pertama, setiap orang akan menerima dan mengikuti pola‑pola prilaku yang dapat dilaksanakan). Second, failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to the inconsistencies and lack of harmony in the influences which direct the individual. (Kedua, kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistens dan ketidakharmonisan). Third, the conflict of cultures is therefore the fundamenta principle in the explanation of crime. (Ketiga, konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan).
Selanjutnya, Edwin H. Sutherland mengartikan Differentia Association sebagai “the contens of the patterns presented in association”. Ini tidak berarti bahwa hanya karena pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan orang berperilaku kriminal, akan tetapi yang penting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain. Kemudian tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua teori Differential Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Dangan kata lain, perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin H. Sutherland menjelaskan terjadinya kejahatan melalui 9 (sembilan) premis sebaga berikut :
1.   Criminal behaviour is learned Negatively, this means thacri . minal behaviour is not inherited (Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari, bukan warisan).
2.   Criminal behaviour is learned in interaction with other persons in a process of communication. This commu­nication is verbal in many respects but includes also the communication of gesture. (Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komu­nikasi. Komunikasi tersebut dapat bersifat lisan atau dengan bahasa tubuh).
3.   The principle part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal groups. Negatively, this means that the interpersonal agencies of communication, such as movies, and newspaper, plays a relatively unim­portant part in the genesis of criminal behaviour. (Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam hubungan personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relatif tidak berperanan penting dalam terjadinya kejahatan).
4. When criminal behaviour is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are some­times very complicated, sometimes very simple. (b) the specific direction of motives, drives, rationalization and attitudes. (Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk: (a) teknik melakukan kejahatan, (b) motif-­motif, dorongan‑dorongan, alasan‑alasan pembenar dan sikap‑sikap tertentu).
5.    The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable on un­favorable. In some societies and individual is surrounded by persons who inveriably define the legal codes as rules to be observed while in other he is surrounded by person whose definitions are favorable to the violation of legal codes. (Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-­definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi oleh orang‑orang yang secara bersa­maan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang‑orang yang melihat aturan hukurn sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.
6.    A person becomes delinquent because of on excess of defivmdi­tion favorable to violation of law over definitions unfavor­able to violation oflaw. (Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola‑pola pikir yang lebih melihat aturan hukurn sebagai pernberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukurn sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi)
7.    Differention Association may vary in ftequency, duration, priority and intensity. (Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya).
8.    The process of learning criminal behaviour by association with criminal and anticriminal patterns incloves all of the mechanism that are involved in any other learning. (Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh lewat hubungan dengan pola‑pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara urnum).
9.    While criminal is an expressions of general need and values, it is not explained by those general needs and values since non‑criminal behaviour is an expression of the same needs and values. (Sernentara perilaku jahat meru­pakan ekspresi dari kebutuhan nilai urnurn, namun tidak dijelas­kan bahwa perilaku yang bukan jahatpun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai‑nilai urnurn yang sama).
Selanjutnya Sutherland ingin menjadikan pandangannya sebagai teori yang dapat menjelaskan sebab‑sebab terjadinya kejahatan. Untuk itu ia melakukan studi tentang White Collar Crime agar teorinya bisa menjelaskan sebab‑sebab kejahatan baik dalam hal kejahatan konvensial maupun kejahatan non konvensional. Dari usaha tersebut hingga kini teori Differential Association mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Kekuatan teori Differential Association bertumpu pada aspek :
1.    Masih relevan untuk menjelaskan sebab‑sebab tim­bulnya kejahatan akibat dari penyakit sosial.
2.    Mampu menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya/melalui proses belajar menjadi jahat.
3.    Teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional.
       Adapun kelemahan teori Differential Association terletak pada aspek :
1. Tidak setiap orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru atau memilih bertingkah laku kriminal. Ini terbukti dari beberapa golongan orang seperti polisi, sipir penjara ataupun krimi­nolog yang telah berhubungan dengan penjahat secara ekstensif nyatanya tidak menjadi penjahat.
2.    Teori ini belum membahas, menjelaskan, dan tidak peduli pada karakter orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut.
3.    Teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang lebih suka melanggar daripada mentaati undang‑undang dan masih belum mampu menjelaskan causa kejahatan yang lahir karena spontanitas.
  1. Dari segi praktis teori ini sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoritik tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frekuensi dan prioritasnya.
Teori Social Reality of Crime Richard Quinney
            Teori ini terdiri dari enam premis dan sejumlah pernyataan yang terdapat di dalam teori tersebut. Premis pertama mendifinisikan kejahatan atau perilaku yang melanggar hukum. Premis kedua sampai kelima merupakan bagian penjelasan. Sedangkan premis yang terakhir atau ke enam merupakan gabungan dari premis pertama sampai dengan premis kelima yang mendiskrepsikan tentang realitas sosial menjadi teori tentang tindak kejahatan. Dengan demikian teori ini bersifat linear.
            Inti maksud dari teori ini ialah di dalam masyarakat itu penuh dengan konflik, kelompok dominan ialah kelompok yang mampu menguasahi agen-agen pemerintah. Dalam penerapan hukum meskipun mereka itu minoritas, mereka bisa merumuskan dan menerapkan aturan untuk melindungi kepentingannya, mengalahkan kelompok yang melawan atau menentang kepentingannya. Adapun premis teori Social Reality of Crime adalah sebagai berikut :

Premis 1, definisi dari kejahatan (perilaku yang melanggar hukum)
Tindak kejahatan adalah perilaku manusia yang diciptakan oleh para pelaku yang berwenang dalam masyarakat yang terorganisasi secara politik atau kualifikasi terhadap perilaku yang melanggar hukum dirumuskan oleh warga‑warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang.
Premis ini merupakan titik tolak yang penting karena apa yang dirumuskan sebagai perilaku yang melanggar hukum dibuat oleh warga‑warga tertentu sebagai takaran terhadap perilaku dari warga‑warga lainnya atau tindak kejahatan merupakan sebuah definisi perilaku yang diberikan kepada orang tertentu oleh orang lain. Kejahatan, misalnya tidaklah inheren di dalarn perilaku tetapi merupakan penilaian yang diberikan orang terhadap perilaku pihak‑pihak yang lain. Maka, semakin banyak dirumuskan tentang perilaku melanggar hukum (definisi kejahatan) merupakan suatu indikator bahwa dalarn masyarakat yang bersangkutan banyak terjadi kejahatan.
Premis 2, formulasi definisi kejahatan
Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan dengan kepentingan kelompok masyarakat yang rnemiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan publik atau perumusan pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku yang bertentangan dengan kepentingan pihak‑pihak yang menjadi perumus. Hal ini dapat dimengerti karena perumusan tadi dari golongan yang telah mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk menjalankan kekuasaan dan wewenang. Akibatnya, semakin banyak terjadi pertentangan antara bagian‑bagian dalam masyarakat semakin besar kecenderungan untuk merumuskan patokan‑patokan perilaku melanggar hukum.
Kemungkinan definisi tindak kejahatan akan meningkat karena faktor­-faktor lain yang menunjang pendefinisian atau perumusan tersebut, yaitu antara lain:
1. Perubahan sosial.
2. Timbulnya kepentingan yang baru.
3. Bertambahnya kepentingan yang perlu dilindungi.
4. Berubahnya pandangan tentang konsepsi kepentingan umum.
Premis 3, penerapan dari definisi tindak kejahatan
Definisi tindak kejahatan diterapkan oleh bagian‑bagian di dalam masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk pelaksanaan dan administrasi hukum pidana.Kepentingan yang berkuasa untuk mencampuri di dalam semua tahap dimana definisi‑defirfisi tindak kejahatan diciptakan. Dengan demikian kepentingan mereka yang berkuasa beroperasi dalam menerapkan definisi tindak kejahatan. Akibatnya difinisi kejahatan manjadi perilaku politik dan tindak kejahatan menjadi perilaku dari kelompok minoritas tanpa dukungan yang memadai untuk mendominasi kontrol kekuasaan dari kekuasaan politik negara.
Tentu saja hukum pidana tidak dilaksanakan langsung oleh kelompok yang berkuasa. Mereka mendelegasikan pelaksanaan dan pengadministrasian dari hukum ke agen hukum yang mendapat otorisasi, yang bagaimanapun mewakili kepentingan mereka. Penetapan perilaku yang melanggar hukum senantiasa disertai pembentukan organ‑organ penegaknya. Akan tetapi penegakannya akan berjalan efektif atau tidak sangat tergantung pada faktor‑faktor sebagai berikut:
1.     Harapan masyarakat atas pelaksanaan dan administrasi hukum dalam arti apakah penegakan hukum tersebut sesuai atau tidak dengan nilai‑nilai masyarakat
2.     Adanya motivasi dari warga masyarakat untuk melaporkan tejadinya perbuatan melanggar hukum kepada organ‑organ penegak hukum tersebut
3.    Kemampuan dan kewibawaan daripada organ‑organ penegak hukum.
Dengan demikian, definisi tindak kejahatan (perilaku melanggar hukum) akan tergantung pada tindakan lembaga hukum atau tergantung pada evaluasi seseorang yang memiliki kewenangan untuk mengevaluasi mengenai definisi tindak kejahatan.
Premis 4, pengembangan pola perilaku dalam hubungannya dengan tindak kejahatan
Pola‑pola perilaku terstruktur secara kelompok sehubungan dengan definisi kejahatan, dan di dalam konteks ini mereka terlibat di dalam tindakan itu memiliki kemungkinan relatif didefinisikan sebagai kriminal.
Pola‑pola perilaku yang biasa dilakukan dalam masyarakat dalam hubungan dengan perumusan mengenai perbuatan melanggar hukum, dan di dalam konteks itulah warga masyarakat berperilaku yang kemungkinan besar dikualifisir sebagai perbuatan melanggar hukum. Biasanya warga masyarakat berperilaku menurut sistem normatif yang dipelajari di dalam kerangka sosial dan budayanya. Oleh karena bukan kualitas perilaku yang dinilai tetapi perbuatan yang berlawanan dengan perilaku yang dianggap melanggar hukum maka apa yang dirumuskan sebagai perbuatan melanggar hukum (definisi tindak kejahatan) adalah secara relatif merupakan pola perilaku warga msyarakat yang merumuskan perbuatan melanggar hukum.
Konsekuensinya adalah warga yang tidak ikut serta merumuskan perbuatan melanggar hukum, pola perilakunya lebih mudah untuk dikualifisir sebagai perbuatan melanggar hukum. Kemudian apakah pola aksi tersebut bersifat melanggar hukum atau tidak tergantung pada faktor‑faktor : (1) struktur kesempatan dalarn masyarakat; (2) pengalarnan belajar; (3) identifikasi pada pihak‑pihak lain; (4) konsepsi diri.
Premis 5, pembentukan konsep penjahat
Konsepsi‑konsepsi tentang tindak kejahatan dibentuk dan diserap ke dalam kelompok-­kelompok masyarakat lewat sarana komunikasi.
Dunia nyata atau realitas ditata sesuai dengan jenis pengetahuan yang mereka kembangkan, ide yang dimunculkan, cara bagaimana mereka menyeleksi informasi yang cocok dengan dunia yang mereka bentuk, dan dengan cara bagaimana mereka menginterpretasikan konsepsi tersebut. Dari bentuk‑bentuk yang berkembang di dalarn masyarakat adalah termasuk apa yang dinyatakan sebagai sebuah tindakan kejahatan. Di mana diternukan konsep tentang tindak kejahatan, di situ diternukan konsep tentang relevansi dari tindak kejahatan, karakteristik dari para pejabat dan hubungan tindak kejahatan dengan tatanan sosial. Konsepsi tentang pebuatan melanggar hukum (tindak kejahatan) kernudian disebarluaskan dengan berbagai alat komunikasi. Hal ini disebabkan karena secara sosiologis penggunaan alat kornunikasi dapat dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan antara lain, patokan-­patokan mengenai apa yang dianggap baik atau buruk.
Sebenarnya konsepsi‑konsepsi tentang perbuatan‑perbuatan melanggar hukum melembaga, karena penanaman gambaran tentang perbuatan tersebut melalui alat komunikasi yang efisien.
Premis 6, Realitas Sosial dari Tindak kejahatan
Realitas sosial dari tindak kejahatan dibentuk oleh aplikasi dan perumusan dari definisi tindak kejahatan, pengembangan dari pola perilaku yang bertalian dengan definisi kejahatan, dan pembentukan dari konsepsi tindak kejahatan (perikelakuan yang melanggar hukum).
Kelima premis tersebut di atas dirangkum membentuk premis ke‑6 (enarn) di mana antara premis‑premis tersebut saling berkaitan membentuk sebuah sistem teori yaitu The Social Reality Of Crime (secara harfiah berarti “realitas sosial dari tindak kejahatan”).
Lower Class Cultur Theory  Walter B Miller
Dalam menganalisa kejahatan budaya kelas bawah, teori yang dapat digunakan adalah Lower Class Culture Theory dari Walter B Miller. Menurutnya, ada enam premis yang dapat dijadikan acuan dalam menganalisa kejahatan budaya kelas bawah, di mana ke 6 premis tersebut bersifat alternatif serta tidak berkesinambungan (linier). Keenam premis tersebut adalah sebagai berikut :
1.          Kesulitan (Trouble)
Kesulitan merupakan ciri utama kebudayaan kelas bawah. Konsep ini punya aneka makna. Kesulitan merupakan suatu situasi atau sejenis perilaku yang disukai untuk membingungkan petugas atau agen dari kelas menengah. Mendapatkan kesulitan dan keluar dari kesulitan mewakili isu utama bagi pria wanita, dewasa dan anak.
Dalan hal ini ada kebiasaan di mana kelompok mencari gara‑gara melakukan kejahatan sebagai upaya untuk mendapat prestasi dari kelompok, karena pengakuan statusnya dalam kelompok diukur oleh kualitas pelanggaran hukurn yang dilakukan. Perilaku ini merupakan ciri khas dari klas bawah karena dengan cara‑cara yang wajar mereka tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dikehendaki karena mereka tidak memiliki sarana. Bagi golongan ini taat kepada hukum atau tidak taat kepada hukum merupakan hal yang sama saja, mereka tidak takut akan sanksi hukuman yang akan dikenakan sebagai akibat dari perbuatannya.
2.         Ketegaran (Touchness)
Konsep ketegaran pada kebudayaan kelas bawah digambarkan dengan memiliki ketangguhan dan keberanian yang diukur dengan berani melawan petugas. Ketegaran pada kebudayaan ini merupakan kombinasi paduan dari beberapa kualitas, antara lain yang penting adalah ketegaran fisik yang dibuktikan dengan menmiliki kekuatan dan daya tahan dan lambang keperkasaan yang digambarkan dengan tato pada tubuh, tega, dingin, tidak peduli, berani menghadapi ancaman fisik. Sedangkan keperkasaan digambarkan sebagai sosok yang keras, brutal, tanpa takut, tidak pamer dan mahir berantem (berkelahi).

3.         Keuletan (Smartness)
Keuletan dikonseptualisasikan pada kebudayaan kelas bawah sebagai, kecerdikan, kelicikan dalam mengungguli dan mengerjai pihak yang lain dan mampu untuk tidak dikerjain. Anak‑anak kelas bawah mempelajari praktek dan penggunaan kemahiran ini dalam situasi di jalanan. Individu‑ individu terus melakukan tindakan mengerjain yang lain melalui aneka bentuk permainan dan perjudian, saling tukar cemoohan, penghinaan dan saling unjuk kekuatan. Kemahiran itu dipelajari dan dipraktekkan dalam konteks kelompok jalanan dan berkembang menjadi budaya.
4.         Gairah yang berlebihan (Exitment).
Ciri karakteristik kehidupan kelas bawah bertalian pula dengan gairah penggunaan alkohol, aneka jenis permainan judi, taruhan angka, taruhan pacuan kuda dan sebagainya. Ekspresi paling nyata yaitu bergadang pada malam hari di keramaian kota. Biasanya setelah mereka minum alkohol, main kartu dengan taruhan kemudian main perempuan. Kegembiraan itu terlihat dari cara bermain bersendau gurau sambil bemyanyi-nyanyi dan tertawa keras yang berkepanjangan.
5.         Nasib/Takdir (Faith)
Kelompok yang merasa kehidupannya dikuasai oleh sutu kekuatan besar merasa bahwa kehidupan ini sudah ditakdirkan, sudah diatur kita tinggal menjalankannya saja. Nasib sial atau mujur bagi individu kelas bawah tidak langsung disamakan dengan kekuatan supernatural atau agarna yang diorganisasikan secara formal. Pemikirannya lebih banyak bertalian dengan kekuatan magis. Bahwa bila sedang bernasib mujur maka memang demikianlah adanya.
6.         Otonomi (Authonomy)
            Kontrol terhadap perilaku individu merupakan suatu yang penting dalam kebudayaan. Bagi kebudayaan kelas bawah memiliki ciri khas tersendiri dengan pola yang berbeda‑beda. Kesenjangan antara apa yang dinilai secara terbuka dengan apa yang diusahakan secara tertutup sering menonjol dibidang ini. Pada tingkat terbuka ada cara penyelesaian yang digunakan melalui kontrol eksternal, sebagai pembatasan perilaku terhadap otoritas yang tidak adil. Pada tingkat yang tertutup keinginan akan kebebasan pribadi dikendalikan melalui kelembagaan. Hal ini menunjukkan disatu pihak mereka menghendaki kebebasan pribadi, dilain pihak mencari lingkungan sosial restriktif di mana ada kontrol ektemal yang tetap terhadap perilaku mereka. Suatu kesenjangan yang sama antara apa yang diinginkan secara terbuka dan tertutup ditemukan dalam bidang dependensi dan independensi.
            Kerisauan otonomi dependensi terurai dengan kesulitan yang dikontrol oleh kekuatan yang sering memaksa, sementara mereka itu berhadapan dengan kekuatan penentu untuk menghambat, sehingga mereka berusaha untuk menyelamatkan diri dengan bersikap acuh terhadap segala sesuatu yang ingin membatasi perilakunya. Solusinya adalah menata perilaku sedemikian rupa oleh seperangkat kontrol yang kuat untuk menghindari perlawanan.

Teori Sub‑Culture
Pada dasarnya, teori sub‑culture membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta perkembangan dari berbagai tipe gang anak-anak remaja. Sebagai social heritage, teori ini dimulai tahun 1950‑an dengan bangkitnya perilaku konsurntif kelas menengah Amerika.
Kondisi masyarakat Amerika Serikat pada saat itu di bidang pendidikan, kelas menengah mengharapkan pendidikan universitas bagi anak‑anak mereka. Kemudian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, keberhasilan Uni Soviet mengorbitkan satelit pertamanya berpengaruh besar dalam sistem pendidikan di AS. Di sisi lain, memunculkan urbanisasi yang membuat daerah pusat kota menjadi kacau-balau dan ini merupakan problem perkotaan yang sangat pelik waktu itu, sehingga kenakalan menjadi problem kelas bawah dan gang merupakan bentuk paling nyata dari dampak masalah tersebut.
Teori sub‑culture sebenarnya dipengaruhi oleh kondisi intelektual (intelectual heritage) aliran Chicago, konsep anomie Robert K. Merton dan Solomon Kobrin yang melakukan pengujian terhadap hubungan antara gang jalanan dengan laki‑laki yang berasal dari komunitas kelas bawah (lower class). Hasil pengujiannya menunjukkan ada ikatan antara hierarki politis dan kejahatan teroganisir. Karena ikatan tersebut begitu kuat sehingga Kobrin mengacu pada “kelompok pengontrol tunggal” (single controlling group) yang melahirkan konsep komunitas integrasi.
Dalam kepustakaan dikenal dua teori sub‑culture yaitu:
1.          Teori Delinquent Sub‑Culture
            Teori ini dikemukakan Albert K. Cohen dalarn bukunya Delinquent Boys (1955) yang berusaha memecahkan masalah kenakalan remaja bagaimana sub‑culture dimulai dengan meggabungkan perspektif teori Disorganivasi Sosial dari Shaw dan McKay, teori Differential Association Edwin H. Sutherland, dan teori Anomie Cohen berusaha menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku delinkuen kalangan remaja di daerah kumuh (slum). Karena itu, konklusi dasarnya menyebutkan bahwa perilaku delinkuen di kalangan remaja, usia muda masyarakat kelas bawah, merupakan cermin ketidak puasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur Amerika.
Kondisi tersebut mendorong adanya konflik budaya yang oleh Cohen disebut sebagai Status Frustration. Akibatnya timbul keterlibatan lebih lanjut anak‑anak kelas bawah dalam gang‑gang dan berperilaku menyimpang yang bersifat nonutilitarian, malicius and negativistic (tidak berfaedah, dengki, dan jahat). Konsekuensi logis dari konteks di atas karena tidak adanya kesempatan yang sama dalam mencari status sosial pada struktur sosial maka para remaja kelas bawah mengalami problem status di kalangan remaja.
            Albert K. Cohen dan James Short melakukan klasifikasi sub‑sub budaya delinkuen, menjadi: (1) A parent male sub‑culture the negativistic sub culture originally identified to delinquent boys; (2) The conflict oriented sub‑culture the culture of a large gang that engages in collective violence; (3) The drug addict sub‑culture groups of youth whose lives revolve around the Purchase sale, use of narcotics; (4)   Semi Profesional theft‑youths who engage in the theft or robbery of merchandise for the purpose of later sale and monetary gain; and (5) Afiddle‑class sub culture‑definquent group that rise because of the pressures Of living in middle‑class environments.

2.         Teori Differential Opportunity
Teori perbedaan kesernpatan (differential opportunity) dikernuka­kan oleh Richard A.Cloward dan Leyod E. Ohlin dalarn bukunya Delinquency and Opportunity: a Theory of Delinquent Gang (1960) yang membahas perilaku delinkuen kalangan remaja (gang) di Arnerika dengan perspektif Shaw dan McKay serta Sutherland. Menurut Cloward, terdapat struktur kesernpatan kedua yang tidak dibahas oleh teori anomi Robert K. Merton yaitu adanya kesern­patan yang tidak sah (the illegitimate opportunity structure). Pada dasarnya, teori Differential Opportunity berorientasi dan membahas masalah penyimpangan di wilayah perkotaan. Penyimpangan tersebut merupakan fungsi dari  perbedaan kesernpatan yang dimiliki anak‑anak untuk mencapai tujuan legal maupun illegal. Untuk itu, Cloward dan Ohlin mengernukakan tiga tipe gang kenakalan Sub‑culture, yaitu: (1)         Criminal Sub‑culture, yaitu bilarnana masyarakat secara penuh berintegrasi, gang akan berlaku sebagai kelornpok para remaja yang belajar dari orang dewasa. Aspek itu berkorelasi dengan organisasi kriminal. Kriminal sub‑culture menekan­kan aktivitas yang menghasilkan keuntungan materi, uang atau harta benda dan berusaha menghindari peng:gunaan ke­kerasan; (2) Retreatist Sub‑culture, di rnana remaja tidak merniliki struktur kesernpatan dan lebih banyak melakukan perilaku menyim­pang (mabuk‑mabukan, penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya); (3) Conflict Sub‑culture, terdapat dalarn suatu masyarakat yang tidak terintegrasi, sehingga suatu organisasi menjadi lemah. Gang sub‑culture dernikian cenderung menunjukkan perilaku yang bebas. Ciri khas gang ini seperti adanya kekerasan, perampasan harta benda, dan perilaku menyim­pang lainnya.

Teori Konflik
Teori konflik memandang bahwa, setiap masyarakat di dalamnya terkandung elemen penyumbang sebagai unsur pemecah (disintegrasi) baik yang dilandasi oleh paksaan maupun ajakan. Teori konflik sosial telah dijumpai sejak abad ke-19. Dalam perjalanannya telah melahirkan teori seperti yang dikemukakan oleh Darwinisme (the struggle for life and survival of the pittest), Hobbes (Struggle for Life),  Marx (Dialectica), W.G. Sumner (materialisme), Vilfredo Pareto (the Lions anf the Foxes) bahkan pakar-pakar setelah itu seperti George Simmel dan Max Weber, Galtung, Habermas masih tertarik pada masalah konflik.
Kini teori konflik berkembang dengan nada positif, teori ini banyak menyumbangkan konsep-konsep baru untuk kelestarian kelompok dalam mempererat hubungan antar manusia maupun masyarakat. Tokoh-tokohnya antara lain Karl Marx, Gerhard Lenski, Randal Collins, C.W. Mills (1956), Lewis A. Coser (1956), J. Bernard (1957), R. Dahrendorf (1956), T.B. Botemore (1956), G. Lenski (1975), R. Collins (1975), Jurgen Habermas (1976), Johan Galtung (1975), R.F. Appelbaum (1978), Anthony Giddens (1987) dan S.N Eisenstadt (1986).
Pengertian konflik sosial menurut Lewis A. Coser (1956) adalah :
 “Konflik sosial merupakan perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status, kekuasaan dan sumber-sumber kekayaan yang persediannya terbatas, di mana pihak-pihak yang berselisihan tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan bahkan menghancurkan lawan mereka”. (dalam K.J. Veeger, 1985 : 211).
Rumusan tersebut senada dengan pemikiran Vander Zanden (1963), yaitu :
“Within social life there are some things defined as ‘good’ that are scarce and divisible, so that the more there is for one party, the less there is for the other. Wealth, power, status and the control of territory are example of this. People typically seek to improve their out come with regard to those things that they define as wortwhile and desireable. Where two groups of people both view themselves as having exclusive and legitimate claim to certain good things, so that each can be realize what it defines as rightful out come only at the expense of the other, conflict usually result”.
            Teori konflik menyangkut bidang makro yang biasa disebut sebagai grand theory hingga bidang mikro. Teori tersebut telah menyusup di berbagai aspek kehidupan baik di aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, hukum dan lain. Demikian pula tidak lepas dalam kehidupan rumah tangga, organisasi, perusahaan, manajemen dan lain-lain.
Teori Konflik Karl Marx
            Karl Marx berpendapat vahwa bentul-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. Sampai pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dalam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produksi. Dengan demikian masyarakat akan terpecah menjadi kelompok-kelompok yang memiliki alat-alat produksi dan yang tidak memiliki alat-alat produksi menjadi kelas sosial. Dalam masyarakat yang telah terbagi-bagi berdasarkan kelas, kelas sosial yang memiliki alat-alat produksi dapat mensub-ordinasikan kelas sosial yang lain dan memaksa kelompok tersebut untuk bekerja memenuhi kepentingan mereka. Dari sini terjadi kelas dominan menjalin hubungan dengan kelas-kelas yang tersub-ordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi.
Teori Konflik Lewis A. Coser.
            Lewis A. Coser mengembangkan proposisi untuk menguji fungsi konflik bagi kelompok sosial dengan berpijak pada sudut pandang G. Simmel, meskipun teori yang dirumuaskannya adalah parsial. Tujuannya untuk menjelaskan bahwa, kondisi-kondisi di mana konflik itu terjadi membantu dalam mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial (salah satu bentuk interaksi sosial) merupakan mekanisme melalui mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya terbentuk dan dipertahankan. Konflik juga dapat menyatukan para anggotanya melalui pengukuhan kembali identitas kelompoknya. Apakah konflik merupakan sumber kohensi ataukah perpecahan kelompok, akan tergantung pada asal mula terjadinya ketegangan isu tentang konflik, atau pada bagaimana cara ketegangan itu ditangani, dan yang paling penting tergantung kepada tipe struktur di mana konflik itu berkembang.
            L. Coser membedakan konflik kelompok dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group); antara nilai inti dan masalah yang lebih bersifat pinggiran; antara konflik yang menghasilkan perubahan-perubahan struktural lawan konflik yang disalurkan melalui lembaga-lembaga penyelamat (safety valves), yaitu suatu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial; antara konflik yang terjadi pada struktur berjaringan longgar dengan yang berjaringan ketat; dan dibedakannya antara konflik realitas dan konflik tidak realitas.

Teori Konflik Ralp Dahrendorf.
            Ralp Dahrendorf menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelasnya dalam masyarakat industri kontemporer. Baginya kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan yang mencakup hak yang absah untuk menguasai orang lain. Kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) lahir dari kepentingan-kepentingan para individu yang mampu berorganisasi. Prosesnya berjalan dari perubahan semu (quasi group), yaitu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai kesadaran kelas (latent) menjadi kelompok kepentingan (manifest), yang mampu memberikan dampak kepada struktur sosial. Lembaga yang terbentuk sebagai hasil dari kelompok kepentingan itu merupakan jembatan di atas mana perubahan sosial terjadi. Menurut Dahrendorf untuk mengatur pertentangan-pertentangan harus melalui institusionalisasi yang efektif dari pada melalui penekanan pertentangan. Jika usaha yang terakhir ini dilakukan, pertentangan yang terpendam bisa meledak dan akan menghancurkan kelompok, atau setidak-tidaknya terjadi desintegrasi.
Teori Konflik Gerhard Lenski.
            Lenski berusaha mempersatukan teori Fungsional dengan teori Konflik ke dalam satu kesatuan teori dalam kerangka evolusioner melalui teori Pelapisan. Dari teori Konflik diperolehnya postulat bahwa konflik sosial melahirkan perbedaan penggunaan kekuasaan dalam sistem stratifikasi dan tingkatannya. Dari teori Fungsional diambilnya pandangan mengenai hakekat manusia serta keharusan tentang adanya perbedaan; kemudian dicobanya menyatukan aspek-aspek posisi konservatif dan radikal tentang bagaimana hak serta privilege diperoleh, serta peranan negara dalam sistem stratifikasi.
            Studi yang dilakukan G. Lenski tentang sistem distribusi dari totalitas masyarakat menunjukkan hubungan sebab-akibat antara teknologi dan struktur sosial yang dihasilkan, serta kelakuan sistem pelapisan yang ada. Dalam masyarakat primitif pelapisan ekonomi agak sedikit karena kurangnya surplus; tetapi masyarakat trsebut memiliki sistem terbuka yang berdasarkan prestise personal. Dalam masyarakat demikian konflik dan paksaan sangat minim. Jika masyarakat mulai berkembang ke tingkat teknologi yang lebih tinggi dan struktur yang lebih kompleks, maka surplus barang-brang ekonomi akan jatuh ke tangan para pemenang persaingan. Di dalam sistem pelapisan konflik dan paksaan, baik di dalam maupun di antara masyarakat memainkan peranan penting. Tetapi perbedaan sosial dalam masyarakat-masyarakat dengan teknologi yang sudah berkembang menunjukkan tanda-tanda menurun sebagai akibat dari pertambahan surplus barang-barang yang tersedia. Menurut Lenski susunan masyarakat atau stratifikasi masyarakat industri yang sudah kompleks kurang kaku jika dibandingkan dengan masyarakat agraris.

Teori Konflik Randal Collins.
            R. Collins mensintesiskan antara analisis mikro dan analisis makro Pandangannya yang umum mengenai struktur sosial, termasuk stratifikasi, bahwa struktur itu terdiri dari definisi-definisi subyektif yang dikembangkan melalui proses interaksi. Sumber-sumber material yang digunakan dalam mengembangkan definisi ini dan meyakinkan yang lainnya untuk menerimanya tersebar secara tidak merata. Tingkat keberhasilannya yang berbeda yang diakibatkan oleh kemampuan individu untuk mengklaim superioritas sosial tercermin dalam tingkat interpersonal dalam gaya penampilannya. Orang yang menguasai sumber- sumber mampu bertindak menguasai dalam pertemuan antar pribadi. Mereka yang kurang menguasai sumber-sumber mungkin terpaksa tunduk, walaupun sikap demikian tidak menunjukkan keihlasan dalam menerima posisi bawahan. R. Collins menganggap penting tentang memberikan dan mematuhi perintah dalam hubungan pekerjaan sebagai suatu faktor yang mempengaruhi orientasi individu pada dirinya sendiri dan pada orang lain, serta terhadap pola-pola normatif sistem sosial itu. Selain itu ia mengakui pentingnya ritus-ritus yang diungkapkan dalam memperkuat komitmen individu terhadap nilai-nilai bersama. Ini dilihat sebagai strategi di mana individu berusaha mempengaruhi satu sama lain untuk memastikan kesetiaan satu sama lain, tetapi motivasi riil yang mendasari nilai bersama dari individu adalah keinginan untuk mempertahankan atau menyempurnakan posisi ekonomis, status atau kekuasaan politik.

Teori Culture Conflict
Teori ini dikemukakan oleh Thorsten Sellin dalam bukunya Culture Conflict and Crime (1938). Fokus utama teori ini mengacu pada dasar norma kriminal dan corak pikiran/sikap. Thorsten Sellin menyetujui bahwa maksud norma‑norma mengatur kehidupan manusia setiap hari, karena norma adalah aturan yang merefieksi­kan sikap yang berbeda dari kelompok satu dengan lainnya. Konsekuensinya, setiap kelompok akan memiliki norma dan setiap norma dari setiap kelompok memungkinkan untuk bertentangan dengan yang lain. Setiap individu bisa saja berperan sebagai penjahat melalui norma yang disetujui kelompoknya, jika norma kelompoknya bertentangan dengan norma yang dominan dalarn masyarakat, persetujuan pada tindakan tersebut sebagai bagian terpenting untuk membedakan antara yang kriminal dan non-kriminal di mana yang satu menghormati perbedaan kehendak/tabiat norma yang lain namun hal itu akan menimbulkan konflik antar budaya.
Secara gradual dan substansial menurut Sellin, semua culture conflict merupakan konflik dalam nilai, kepentingan dan norma. Oleh karena itu konflik kadang‑kadang merupakan hasil sampingan dari proses perkembangan kebudayaan dan peradaban, atau acapkali sebagai hasil berpindahnya norma perilaku budaya satu ke budaya lain, dan mengakibatkan terjadinya konflik mental. Konflik norma tingkah laku dapat timbul karena adanya perbe­daan cara dan nilai yang berlaku di antara kelom­pok. Demikian pula, konflik norma terjadi karena berpindahnya orang desa ke kota. Konflik norma dalam aturan‑aturan budaya yang berbeda dapat terjadi antara lain disebabkan tiga aspek, yaitu:
a.         Bertemunya dua budaya besar.
Konflik budaya dapat terjadi apabila ada benturan aturan pada batas daerah budaya yang berdampingan. Pertemuan tersebut mengakibatkan terjadinya kontak budaya diantara mereka baik dalam kaitan agama, orientasi kerja, cara berdagang dan budaya minum-minuman keras, judi dan lain-lain yang dapat mernperlemah budaya kedua belah fihak.
b.         Budaya besar menguasai budaya kecil.
Konflik budaya dapat juga terjadi apabila satu budaya mem­perluas daerah berlakunya budaya tersebut terhadap budaya lain. Hal ini terjadi biasanya dengan menggunakan norma hukum di mana undang­-undang dari suatu kelompok budaya diperlakukan untuk daerah lain.
c.         Apabila anggota dari suatu budaya pindah kebudaya lain.
Konflik budaya timbul karena orang‑orang yang hidup dalam budaya tertentu kemudian pindah ke lain budaya yang berbeda.
Berdasar asumsi di atas Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder. Konflik primer terjadi manakala norma dari dua kultur saling bertentangan. Pertentangan ini dapat terjadi pada batas areal kultur yang dimiliki masing‑masing; ketika hukum dari kelompok lain muncul ke permukaan daerah/teritorial lain atau ketika orang‑orang dari satu kelompok pindah pada kultur yang lain. Konflik sekunder timbul ketika sebuah kultur kemu­dian terjadi varietas kultur, salah satunya dibentuk dari penor­maan sikap/tabiat. Tipe konflik ini terjadi ketika kesederhanaan kultur pada masyarakat yang homogen berubah menjadi masyarakat yang kompleks.
Teori Culture Conflict atau konflik kebudayaan dapat dikaji dari perspektif social heritage, intellectual heritage,leori serta asumsi dasarnya sehingga diharapkan relatif memadai untuk memahami teori culture conflik. Berangkat dari polarisasi pemikiran di atas maka lebih lanjut dikaji mengenai:
Social Heritage
Banyak kajian dilakukan tentang konflik budaya dan kenakalan. Asumsinya, bahwa keberadaan conduct norm yang legal maupun tidak, berada dalam konflik satu sarna lain. Konflik budaya yang menyertai conduct norm merupakan akibat dari migrasi (perpindahan conduct norm dari satu budaya atau wilayah yang kornpleks ke budaya lainnya). Selain itu dapat terjadi karena kekecewaan masyarakat atas kondisi sosial yang bersifat involusi (kemerosotan peradaban) tanpa ada jalan penyelesaian untuk mencari acuan baru bagi pedoman perilaku.
Masalah ini bisa disebabkan karena urbanisasi dan industrialisasi yang telah menciptakan masyarakat memiliki variasi budaya bersaing dan berpeluang terpecah sebagai ulah dari masing‑masing keluarga, kelornpok persahabatan, dan kelornpok sosial yang menjadi lebih individual, hubungan sosial bersifat renggang, benturan kepentingan bersifat menajam sehingga tidak bisa dihindari timbul konflik diantara warga masyarakat. Perilaku menyimpang pada umumnya terjadi tatkala seseorang berperilaku menurut kemauannya sendiri yang tidak sesuai dengan tatanan budaya yang dominan.
Intellectual Heritage
Teori konflik budaya dipengaruhi oleh kondisi intelektual (intellectual heritage) dari beberapa kaum intelektual, yaitu: (1) Frank Speek menyatakan bahwa konflik budaya dapat terjadi ikibat dari perturnbuhan peradaban; (2) Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa culture conflict merupakan dasar terjadinya kejahatan; (3) Taft menyatakan crime is product of culture; (4) Louis With menyatakan bahwa culture conflict merupakan faktor penting daru timbulnya kejahatan; (5) Clifford Shaw menunjukkan bahwa daerah perkotaan ditandai adanya kemiskinan yang amat sangat, perumahan kumuh tidak layak huni, pengaruh tetangga yang kurang menguntungkan, adanya kelompok gang anak‑anak nakal, menjadi pemicu terjadinya konflik perilaku.
Berangkat dari pemikiran tersebut, konflik budaya menganut prinsip‑prinsip sebagai berikut : (1) masyarakat terdiri dari kelompok‑kelompok yang berbeda; (2)  terjadi perbedaan penilaian dalam kelompok‑kelompok tentang baik dan buruk; (3) konflik antara kelompok budaya mencerminkan kekuasaan politik; (4) hukum dibuat untuk kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan politik; (5) kepentingan utama dari pemegang kekuasaan politik untuk menegakkan hukum adalah guna menjaga dan memelihara kekuasaannya.


KONFIGURASI TEORI KONFLIK
NO
TOKOH
BATASAN KONFLIK
PIHAK YG TERLIBAT
KONSEP PENTING
TUJUAN
UPAYA PENYELE
SAIAN
1.
HobbesUsaha mempertahankan diri agar fihak lain tidak merampas kekuasaan yang dimiliki.Individu versus
IndividuPerjuangan
Persaingan
Pertahanan diri
SuperioritasMempertahan-kan eksistensi diri
Berjuang dengan sgl
cara hgg men-
capai kematian
2.
GaltungKetidakseimbangan dalam

Pemenuhan syarat hidup
(living condition).Kelompok versus
kelompokKesenjangan kesejahteraan
KekerasanPerjuangan menyamakan taraf
kehidupanMenghilangkan kesenjangan
Hidup
3.
MarxPertentangan antara pemilik kapital dengan buruh akibat munculnya kesadaran kelas.Borjuis versus

ProletarEkonomi
Kapital/modal
Alat produksi
Kesadaran kelasMasyarakat  tanpa
pemilikan atau
pemilikan di
tangan negaraRevolusi
4.
DahrendorfPertentangan antara

penguasa dengan yang
dikuasai akibat distribusi
kekuasaan tidak merata.Kelompok semu
(quasi group)
versus kelompok
kepentingan (interes group)Kekuasaan
Otoritas
PosisiMobilisasi wewenang dan
PosisiInstitusionalisasi
5.
SimmelProses memperasatukan

kehidupan sosial, bukan
sekedar lawan dari
persatuanKelompok superordinat
versus kelompok sub-ordinatSuperordinat
Subordinat
Sosiasi
Interaksi timbal-
balikMendekatkan
Identitas/hubungan
antar etnikMempertebal
keyakinan akan
kebenaran prinsip-
prinsip umum
6.
CoserUsaha menghilangkan

Unsur yang memisahkan
Antarhubungan sosial dan
Membangun kesatuan
kembaliKelompok realistis versus
Kelompok ilusifIdentitas kelompok
Katup penyelamat (Savety valve)Konflik untuk
membangun ulang atau
memelihara
strukturMenumbuhkan kasih sayang
lewat hubungan
sosial
7.
SlotkinIntersosialisasi yang

disebabkan oleh suatu
kelompok atau lebih
menyisihkan kelompok yang
lainAntarkelompok
versus inter-
kelompok
Interaksi minimum
& maksimun
Oposisi
Harmoni
Akomodasi
Fusi
Dominasi &
SubordinasiMengembangkan
Hubungan persamaan atau
Dominasi subordinasiMeningkatkan
saling pengertian
antar kelompok


Dielaborasi oleh Bambang Widodo Umar, 1999.

 P e  n  u  t  u  p
Paradigma hukum dalam konteks sosiologi tidak lepas dari faktor struktural maupun personal penerapan hukum. Perkembangan hukum akan memperlihatkan keadaan seperti yang dikatakan Hans Kohn yaitu menjadi kekuatan kearah terbentuknya negara demokrasi yang tidak merdeka, jika dalam penerapannya tidak dikaji secara empiris. Melalui sosiologi hukum dampak penerapan hukum dapat dipahami secara mendalam guna perbaikan dalam perumusan hukum maupun perbaikan prasarana dan sarana hukum. Tanpa landasan pemikiran demikian, dalam penerapan hukum hak-hak individu akan terlampaui. Pengalaman pahit perlu terus dikaji ulang untuk menemukan paradigma baru hukum bagi kehidupan bangsa Indonesia. Di sinilah pentingnya teori sosiologi hukum khususnya bagi para penegak hukum bukan saja sebagai alat polarisasi kekuasaan tetapi juga untuk mengkaji masalah penerapan hukum dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kehidupan manusia seutuhnya.
Daftar Bacaan :
1.   Bottomore and Robert Nisbet. 1978. Emile Dirkheim : A History of Sociological Abalysis, New York: Basic Books.
2.  Edwin H. Sutherland, Criminology Tenth Ed, J.13. Lippincot Company. 1978, hlm. 80‑82 vide pula; Stuarth. Trauband Craig B. Little, Theories aj Deviance, Third Edition, USA: F.E.Peacock Publishers Inc., 1985, hlm. 179‑181.
3.    Frank E. Hagan, Introduction to Criminology Theories, Alethodes, and Criminal Behavior, Chicago: Nelson Hall, 1989, hlm. 443‑444; Frank P. William III dan Marilyn McShane, Op. Cit., him. 52; dan Freda Adla dkk, Criminology: The Shorter Version, Second Edition, USA: Me Graw Hill Inc, 1995, hlm. 124.
4.   George Ritzer, Douglas J. Goodman. Modern Sociological Theory. Sixth Edition by McGraw-Hill. 2003.
5.  Hurst, James. 1956. Law and the Conditions of Freedom in the Nineteenth Century United State. University of Wisconsin Press.