1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Dampak kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi menyebabkan setiap orang di dunia dengan cepat dapat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia. Krisis ekonomi dan politik di dunia menjadi salah satu faktor pendorong yang mempercepat arus perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup. Kondisi yang demikian dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan baik di dalam negeri maupun di luar negeri untuk meraih keuntungan dari aksi kejahatan yang tidak hanya merugikan individu secara ekonomi namun juga dengan melanggar hak asasi manusia (HAM), seperti kejahatan perdagangan manusia.
Perdagangan manusia merupakan salah satu kejahatan transnasional yang terorganisir, karena sebagian kejahatan dilakukan dengan melibatkan jaringan kejahatan lintas negara. Dipicu dengan semangat pengakuan terhadap hak asasi manusia, berbagai kasus kejahatan kemanusiaan seperti halnya perdagangan manusia menjadi isu global. Sedemikian krusialnya masalah perdagangan manusia sehingga Persatuan Bangsa-Bangsa melalui Kantor Komisi Hak Asasi Manusia (Office of High Commissioner of Human Rigths) mengeluarkan Fact Sheet No. 14 tentang Contemporary Forms of Slavery yang ditujukan untuk penanggulangan perdagangan manusia.
Perdagangan manusia juga merupakan kejahatan yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sementara itu, karakteristik dan letak geografis wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyebabkan wilayah kedaulatan Indonesia tidak dapat terbebas dari aktifitas penyelundupan manusia dimana dalam kejahatan tersebut terkait pula dengan perdagangan manusia didalamnya.
b. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah : “ Bagaimana upaya penanggulangan viktimisasi struktural pada korban perdagangan manusia di Indonesia” .
2. PEMBAHASAN
a. Kondisi riil perdagangan manusia di Indonesia
Definisi perdagangan manusia mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Provent, Suppres and Punish Trafficking in Perons Especially Women and Children Suplemeting the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksud dengan perdagangan manusia adalah:
(a)…. The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of person, by means oh threat or use of force or other for more coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulneralibility or a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other form of sexual explanation, forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (Terjemahan bebas: ” … rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/ pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi yang minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi illegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).
“Perdagangan manusia” mengandung arti sebagai pergerakan manusia meninggalkan daerah asalnya secara terpaksa (karena ada ancaman) maupun tidak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat eksploitasi, menekan dan menindas secara psikologis, fisik, seksual maupun ekonomi di tempat tujuan. Secara singkat, “perdagangan manusia” adalah perdagangan manusia lintas batas di dalam maupun di luar negeri, termasuk penyelundupan manusia ke luar lintas batas negara.
Pengertian Korban dalam UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan manusia adalah:”seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/ atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan manusia”. Selain itu, UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberi pengertian korban sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Dengan semakin berkembangnya teknologi di satu pihak dan semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin karena krisis ekonomi, sehingga para sindikat memanfaatkan situasi ini dengan melakukan berbagai bentuk dan cara untuk menjalankan aktivitas perdagangan manusia, sebagai berikut:
a. Bentuk-bentuk Perdagangan Manusia
Ada berbagai bentuk perdagangan manusia, diantaranya yaitu:
1) Buruh migran, baik di dalam maupun di luar negeri yang tanpa perlindungan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur informal atau melanggar hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran secara signifikan. Buruh migran dieksploitasi sepanjang proses migrasi mulai dari perekrutan hingga proses pra-keberangkatan, selama bekerja dan setelah kembali.
2) Pekerja/ Pembantu Rumah Tangga (PRT). PRT kerap menghadapi bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah pribadi dan tertutup dari sorotan masyarakat umum. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan. Ruang gerak PRT biasanya dibatasi. Mereka dibatasi kemana mereka mau pergi, dan biasanya mereka dikurung dirumah ketika majikan mereka pergi. Karena PRT masuk dalam sektor informal, profesi ini seringkali tidak diatur oleh pemerintah dan berada di luar jangkauan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nasional.
3) Perempuan atau anak yang dipekerjakan sebagai pelacur. Perekrutan untuk industri seks komersial sering berkedok perekrutan untuk dijadikan buruh migran. Banyak perempuan-perempuan yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri atau di luar daerah, dan tidak mengetahui dari bentuk yang sebenarnya dari pekerjaan mereka sampai di tempat tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen mereka, dan mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang berwenang karena takut akan dideportasi dan sebagainya. Perekrut mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para perempuan tidak berani melarikan diri. Korban juga disekap secara paksa dan dijaga secara ketat. Perempuan-perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan di sektor hiburan kemuian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial.
4) Kerja Paksa. Orang yang melakukan kerja yang bukan kehendak sendiri dan tanpa memperoleh imbalan yang layak atau tanpa memperoleh imbalan sama sekali.
5) Pengantin pesanan. Ada kecenderungan yang marak di kalangan laki-laki dari negara industri untuk mencari pengantin dari negara berkembang atau sering disebut dengan pengantin pesanan seperti Taiwan, Hongkong, Jepang, Cina, Australia, Amerika Utara dan Eropa. Kebanyakan perempuan yang banyak dipesan berasal dari AsiaTenggara, Eropa Timur dan Amerika Latin. Meskipun banyak kasus pengantin pesanan yang sukses dan bahagia, namun di sisi lain banyak terjadi kasus penganiayaan dan kekerasan fisik atau praktek-praktek perbudakan.
6) Pedofilia (orientasi seksual yang obyeknya anak-anak). Orang dikatakan pedofil atau melakukan praktek pedofil bila melakukan hubungan seksual seperti sodomi, menyentuh, meraba, memainkan alat kelamin, berfantasi tentang anak-anak kecil. Beberapa aktifitas pedofilia yang masuk dalam kategori perdagangan anak, biasanya menjauhkan anak-anak dari orang tua maupun lingkungan keluarga dengan tujuan tertentu seperti eksploitasi seksual.
7) Tenaga Penghibur. Perempuan atau anak perempuan yang direkrut untuk bekerja di tempat hiburan malam menemani pengunjung. Banyak kasus terjadi dimana perempuan yang direkrut mengalami pelecehan seksual dan ancaman bila tidak mau melayani para pengunjung.
8) Pengemis dan anak jalanan. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia di mana anak-anak direkrut, diculik untuk dijadikan pengemis dan anak jalanan.
b. Modus Operandi
Modus operandi sindikat perdagangan manusia dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Dengan ancaman dan pemaksaan. Biasanya dilakukan oleh trafficker yang telah dikenal dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan kedudukannya yang lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan dan kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak dapat menolak keinginan pelaku.
2) Penculikan. Biasanya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotis oleh anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak berdaya.
3) Penipuan, kecurangan atau kebohongan. Modus tersebut merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan fasilitas yang menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikutinya tanpa mengetahui kondisi kerja yang akan dijalani.
4) Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perdagangan manusia banyak aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membacking sindikat perdagangan manusia. Pemalsuan identitas kerap kali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri, seperti pemalsuan kartu tanda penduduk (KTP) dan akta kelahiran. Dibagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan manusia yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan aman.
5) Rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya dilakukan dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap atau memerkosa.
6) Berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. lbu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barang barangkeperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.
Modus operandi kejahatan ini semakin kompeks dalam bentuknya maupun teknis operasionalnya, baik dilakukan secara perorangan, kelompok, maupun bersindikat. Dari beberapa modus operandi dalam serangkaian kegiatan yang diarahkan untuk perdagangan manusia, khususnya bentuk perdagangan perempuan dan anak dapat dikelompokkan, antara lain:
1) sebagai pembantu rumah tangga, akibat dan krisis ekonomi.
2) untuk komoditas seksual (dilacurkan) dan pomografi.
3) untuk tenaga perahan untuk pekerjaan-pekerjaan dalam kurungan, perbudakan, budak paksa atau tenaga kerja paksa antara lain: pekerja anak untuk perkebunan.
4) sebagai pengemis, pengamen atau pekerjaan jalanan lainnya.
5) Adopsi palsu dan/ atau penjualan bayi, yang sering kali ditemukan didaerah konflik atau daerah miskin.
6) sebagai isteri melalui pengantin pesanan (Mail Order Bride) yang kemudian dieksploitasi.
7) alat untuk melakukan perdagangan narkotika
8) Dipekerjakan di perkebunan dan pabrik-pabrik atau tenaga kasar dengan upah sangat murah.
9) sebagai obyek sasaran eksploitasi seksual oleh orang yang mengidap pedofilia, atau orang-orang yang mempunyai kepercayaan tertentu yang hanya mau melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.
10) sebagai obyek percobaan di bidang ilmu pengetahuan atau obyek pencangkokan organ tubuh.
11) sebagai komoditi dalam pengiriman tenaga kerja imigran.
12) sebagai alat bayar hutang.
Modus operandi dengan jebakan hutang menjadi satu modus utama yang digunakan oleh semua trafficker karena dianggap cukup efektif dalam mengendalikan korbannya. Jeratan hutang dimanfaatkan untuk mengikat korban agar tidak kembali ke daerah asal dan terus bekerja di lokasi yang sudah diatur oleh trafficker. Hutang yang dibebankan kepada korban berdasarkan kalkulasi pengeluaran yang telah dikeluarkan untuk kepentingan pemberangkatan korban dari daerah asal ke daerah tujuan. Dalam kasus-kasus jeratan hutang, biasanya hutang sudah timbul sejak memulai proses perpindahan ke daerah lain untuk tujuan mencari atau bekerja. Tidak hanya masalah korban tidak mempunyai uang untuk membayar semua biaya untuk keperluan bekerja, melainkan para korban juga dikondisikan untuk mempunyai hutang kepada pelaku dengan jumlah yang besar, seperti dompet dan uang dirampas, korban dijanjikan bekerja dengan biaya gratis atau ditanggung pelaku sehingga korban tidak perlu memikirkan atau mempersiapkan biaya. Situasi tersebut menjadikan trafficker mempunyai kendali penuh terhadap diri korban. sehingga mudah memaksakan kehendak dan kepentingannya kepada korban. Akibatnya para korban mengalami kesulitan untuk keluar atau melepaskan diri dari situasi yang mengeksploitasi mereka.
Modus perdagangan manusia yang akhir-akhir ini juga marak adalah menghilangkan dokumen ketika korban sudah sampai ditempat tujuan, supaya mereka masuk lagi ke Indonesia melalui jalan-jalan tikus. Hanya saja ketika mereka tertangkap biasanya tidak diproses hukum, selain pertimbangan bahwa mereka merupakan warga Indonesia. Kalaupun tertangkap, mereka hanya diberi pengarahan bahwa apa yang dilakukannya salah dan dijelaskan mengenai pentingnya dokumen bagi mereka. Mereka biasanya akan diinapkan di kantor polisi semalam atau diserahkan ke Dinas Sosial, yang biasanya kemudian dipulangkan oleh Dinas Sosial secara gratis dengan menggunakan kapal laut. Atau bila mereka mau membiayai kepulangannya sendiri, maka polisi membantu pengurusannya untuk pulang langsung ke daerah asalnya. Bantuan tersebut diperlukan agar mereka tidak dijadikan sasaran pemerasan oleh tekong-tekong di sini. Karena kadang-kadang mereka dikenakan paket biaya pulang mulai dari carter mobil menuju ke pesawat, biaya pesawat, biaya kapal, dan sebagainya.
Modus lainnya adalah perkawinan palsu. Modus ini terungkap dari kasus yang dilakukan oleh orang Malaysia yang melakukan pernikahan dengan orang Indonesia dan tercatat dilakukan di Bekasi. Namun ketika keabsahan pernikahan tersebut- dicek di KUA Bekasi, ternyata buku nikahnya fiktif karena tidak tercatat di KUA. Jadi pernikahan tersebut sebenarnya hanya sebagai modus trafficking yang dilakukan untuk mengelabui petugas penegak hukum, karena realitanya mereka yang menjadi korban pernikahan ini akhirnya dijual ke negara lain..Ada juga modus di mana orang Nigeria mengawini secara resmi perempuan Indonesia yang masih produktif tetapi membutuhkan finansial. Kemudian setelah hamil dan melahirkan, mereka di bawa ke luar negeri. Selanjutnya perempuan tersebut diberi ongkos untuk pulang ke Indonesia tetapi anaknya ditinggal di luar negeri.
Modus operandi tersebut terjadi dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari keluarga, kawan, calo, penyalur tenaga kerja (agen), oknum aparat, sindikat serta pengguna.
b. Viktimisasi struktural perdagangan manusia di Indonesia
Fenomena perdagangan manusia ibarat fenomena gunung es, dimana angka yang tersembunyi di bawah permukaan jauh lebih besar ketimbang yang terlihat di permukaan. Berdasarkan data dari International Organization for Migration (IOM), kasus perdagangan manusia di Indonesia saat ini semakin meningkat, dengan lebih dari 80 persen korbannya adalah perempuan selanjutnya diikuti oleh anak-anak. Kejahatan Perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat terhadap HAM dengan modus operandi yang semakin beragam dan dalam berbagai bentuk, seperti eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, jerat hutang, kawin kontrak dan kawin usia dini.
Berdasarkan studi kasus diatas, maka penulis berpendapat telah terjadi viktimisasi struktural pada perdagangan manusia di Indonesia. Dimana korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Viktimisasi struktural yang terjadi dalam kasus perdagangan manusia ini menurut saya dapat dikategorikan sebagai economically structural victimization dan social structural victimization .
Terkait dengan kejahatan perdagangan manusia, Indonesia telah menjadi salah satu sasaran utama dari para trafficker. Menurut IPEC (suatu organisasi di bawah International Labor Organization) sampai saat ini diperkirakan jumlah total pekerja seks di Indonesia mencapai lebih dari 650.000 orang perempuan dalam usia anak-anak. Anak-anak perempuan banyak diperdagangkan dan dipekerjakan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya serta kota tujuan lainnya seperti: Batam, Bali dan Medan. Bahkan perdagangan manusia ini juga dilakukan secara lintas negara seperti Taiwan, Singapura, Hongkong, Brunei dan lain-lain
Para aktivis pembela buruh migran memasukkan persoalan buruh migran sebagai bagian dari persoalan “perdagangan manusia”, karena pola rekrutmen calon tenaga kerja yang berlangsung di Indonesia selama ini sampai pemberangkatan dan perlakuan di tempat tujuan mengandung semua unsur “perdagangan manusia”. Memanfaatkan kondisi dan praktek sosial di daerah/ negara asal korban untuk menjerat korbannya. Kebiasaan ‘ngenger’ atau merantau, ketidaksetaraan jender, kemiskinan, gaya hidup konsumtif dan bencana alam sering digunakan pelaku untuk menjerat korban keluar dari situasi tersebut dan dengan kekuasaan yang dimilikinya, pelaku mengiming-imingi korban dengan janji-janji muluk dan kemudian memeras korban baik secara fisik maupun seksual.
Negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya agar tidak menjadi korban atau dirugikan dari perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, kesadaran bersama seluruh penyelenggara negara, masyarakat dan aparat penegak hukum, untuk peduli terhadap orang yang menderita, terlanggar haknya, atau menjadi korban dari perbuatan sewenang-wewenang dan tidak manusiawi dari orang lain.
c. Penanggulangan viktimisasi struktural perdagangan manusia di Indonesia
Mengingat begitu seriusnya masalah perdagangan manusia tersebut maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan manusia secara lebih efektif. Perdagangan manusia, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik antara aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing dan kode etik instansi.
Pada kasus penanggulangan viktimisasi struktural perdagangan manusia di Indonesia ini dapat dilakukan dengan kerjasama di antara semua pihak yang bergerak di dalam pencegahan dan penanggulangan perdagangan manusia, khususnya perempuan, antara lain adanya keterbatasan setiap institusi, baik secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional, dibutuhkannya penanganan kasus secara komprehensif dan terpadu bagi pencegahan dan penanganan perdagangan perempuan yang memang memiliki karakteristik yang kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah, lintas negara) sehingga membutuhkan penanganan yang tidak biasa (extraordinary). Oleh karena itu kebutuhan akan kerjasama tidak dapat dihindari. Kerjasama ini pada dasarnya juga bertujuan untuk memberikan kembali hak-hak korban dalam kasus perdagangan manusia.
Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penaggulangan perdagangan manusia secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam hukum. Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan antara aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance (MLA), bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara
Selain upaya represif, dibutuhkan juga upaya preventif dengan menggunakan metode pendekatan secara sosial (Sosia/ CrimePrevention) dalam upaya mencegah “perdagangan perempuan” seperti yang diungkapkan oleh M. Kemal Dermawan bahwa Social Crime Prevention adalah segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran.
Indonesia mempunyai UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia yang disahkan pada tanggal 19 April 2007 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720.
Koordinasi dan kerjasama di antara semua pihak yang bergerak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan sangat diperlukan. Keperluan membangun Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi, antara lain, karena (a) adanya keterbatasan setiap institusi baik secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional, (b) dibutuhkannya penanganan kasus secara komprehensif dan terpadu bagi pencegahan dan penanganan perdagangan perempuan yang memang memiliki karakteristik yang kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah, lintas negara) sehingga membutuhkan penanganan yang tidak biasa (extraordinary).
Terwujudnya Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi tersebut dimungkinkan jika ada dukungan kesediaan dari segenap pelaku pencegahan dan penaggulangan perdagangan perempuan yang telah ada, dukungan legal, serta dukungan dan fasilitasi yang memadai. Kerjasama lintas negara menjadi salah satu kunci pemberantasan tindak pidana penyelundupan manusia. Karena itu, Indonesia perlu mengadopsi ketentuan internasional berkaitan dengan pencegahan dan penindakan pelaku penyelundupan manusia dengan mengesahkan dua protokol internasional terkait. Disamping itu Indonesia juga harus memperkuat payung hukum dengan meratifikasi Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisir, melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2009 dan mengesahkan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara (Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air). Protokol ini merupakan pelengkap bagi Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisir.
Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan-tindakan pencegahan (prevention), menindak dan menghukum(prosecution) dengan tegas pelaku perdagangan orang (trafficker), serta melindungi (protection) korban melalui upaya repatriasi, rehabilitasi, konseling, pendidikan dan pelatihan keterampilan, termasuk menjamin hal-hal yang berkaitan dengan HAM-nya agar mereka bisa mandiri dankembali berintegrasi ke masyarakat. Mengingat bahwa perdagangan orang berkaitan dengan kejahatan terorganisir lintas negara, maka kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun regional serta kerjasama dengan badan-badan dan LSM internasional akan terus dibina dan dikembangkan.
Kerjasama lintas negara menjadi salah satu kunci pemberantasan tindak pidana penyelundupan manusia, karena sifatnya sudah mengglobal. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengadopsi ketentuan internasional berkaitan dengan pencegahan dan penindakan pelaku perdagangan dan penyelundupan manusia. dengan mengesahkan dua protokol internasional. Indonesia juga memperkuat payung hukum dengan meratifikasi Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisir, melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2009 dan mengesahkan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara (Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air). Protokol ini merupakan pelengkap bagi Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisir.
Masalah lainnya adalah masuknya imigran gelap yang berasal dari Timur Tengah dan Asia, seperti : Afganistan, Pakistan, Vietnam dll yang akan menuju ke Australia dan Selandia Baru, dimana Indonesia dijadikan sebagai “wilayah transit”. Meskipun para imigran tersebut sudah ditangani oleh lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM, namun karena cukup banyak imigran yang ditampung di Indonesia telah cukup menimbulkan masalah sosial di sekitar wilayah penampungannya.
3. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat terhadap HAM dengan modus operandi yang semakin beragam dan dalam berbagai bentuk, seperti eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, jerat hutang, kawin kontrak dan kawin usia dini. Dimana sebelumnya korban diiming-imingi dengan tawaran yang menggiurkan. Terkait dengan kejahatan ini yang menjadi masalah paling krusial bagi Indonesia adalah pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) secara illegal yang menimbulkan masalah di luar negeri, seperti: TKI yang terlantar dan menjadi korban kejahatan di tempat kerja, perdagangan wanita dan anak dibawah umur untuk bisnis sex, jual beli bayi, dan mempekerjakan anak dibawah umur secara illegal.
b. Upaya pencegahan dan penanggulangan terpadu terhadap perdagangan manusia, menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap perdagangan perempuan di daerah tujuan dan atau transit belum terlaksana secara efektif, sehingga tindak perdagangan manusia masih banyak terjadi. Dalam rangka menanggulangi perdagangan manusia tersebut diperlukan suatu upaya pencegahan dan penanggulangan terpadu antar institusi terkait, baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional.
c. Kerjasama lintas negara menjadi salah satu kunci dalam upaya pemberantasan tindak pidana penyelundupan manusia. Karena itu, Indonesia perlu mengadopsi ketentuan internasional berkaitan dengan pencegahan dan penindakan pelaku penyelundupan manusia tersebut.
Viktimisasi struktural yang terjadi dalam kasus perdagangan manusia ini menurut saya dapat dikategorikan sebagai economically structural victimization dan social structural victimization , adapun alasannya adalah karena modus operandi dengan jebakan hutang menjadi satu modus utama yang digunakan oleh semua trafficker karena dianggap cukup efektif dalam mengendalikan korbannya. Jeratan hutang dimanfaatkan untuk mengikat korban agar tidak kembali ke daerah asal dan terus bekerja di lokasi yang sudah diatur oleh trafficker. Adapun social struktural victimization karena menyangkut kehidupan social para korban perdagangan manusia pada masyarakat sekitar maupun negara.
Penanganan perdagangan manusia tidak dapat dilakukan oleh institusi Polri sendiri, melainkan harus dilakukan secara terpadu dan sinergis oleh seluruh institusi yang berkewenangan. Melalui pelaksanaan program kemitraan diharapkan terwujud sinergisme antara Polri dengan instansi lintas sektoral dalam penanggulangan dan antisipasi perdagangan manusia. Kemitraan yang diharapkan terwujud adalah kemitraan yang dapat mendukung secara sinergis setiap kegiatan penanggulangan dan antisipasi kejahatan perdagangan manusia baik secara pre-emtif, preventif, maupun represif (penegakan hukum). Dengan demikian akan terwujud kesamaan persepsi dan pola tindak terhadap setiap aktifitas perdaganghan manusia yang dapat menangkal berbagai modus operandi seperti pelanggaran perijinan, penggunaan dokumen palsu, penggunaan illegal permit, atau penyalahgunaan wewenang di berbagai tempat-tempat rawan seperti pelabuhan laut, bandara, jalur pantai, pulau-pulau terluar, stasiun KA/bus/angkot, tempat penampungan, tempat hiburan, dan tempat-tempat rawan lainnya.
Upaya penanggulangan perdagangan manusia harus menjadi perhatian dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Pemerintah harus menjadi the strong leadership dalam menangani kasus ini. Saat ini telah ada upaya yang signifikan dari pemerintah dalam melakukan upaya pencegahan perdagangan manusia. Salah satu capaian dalam kasus ini yaitu terbentuknya Undang-Undang Perdagangan Manusia tahun 2007. Disamping itu dalam pencegahan kejahatan ini Pemerintah tidak hanya berhenti hanya dengan menggelar seminar-seminar, tetapi langsung bertindak ke kantung-kantung rekrutmen. Sedangkan dalam rangka kerja sama internasional, berbagai organisasi Internasional baik formal maupun informal menggelar berbagai pertemuan antar negara dengan menetapkan kesepakatan-kesepakatan internasional baik multilateral maupun bilateral dalam rangka perlindungan individu sebagai korban kejahatan dari pelanggaran hak-hak asasi manusia.
BAHAN BACAAN
BUKU:
- Prof.Adrianus Meliala PhD, Viktimologi (Bunga rampai kajian tentang korban kejahatan),Dep Kriminologi UI.
- Muhammad Mustofa, Kriminologi( Kajian sosiologi terhadap Kriminalitas,perilaku menyimpang dan pelanggaran hukum), Sari Ilmu Pratama 2010
- Dra. Mamik Sri Supatmi, Dasar-dasar Teori sosial kejahatan
- Louise Brown: Sex Slaves, Sindikat perdagangan erempuan di Asia, Yayasan obor Indonesia 2005.
- Sulistyowati Irianto: Perdagangan perempuan dalam jaringan pengedaran narkotika,Yayasan obor Indonesia 2005.
- Penanganan Polri terhadap kasus perdagangan perempuan dan anak
- Drs. Adami Chazawi: Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa
- Drs. Abdul Wahid,SH,MH : Perlindungan terhadap korban kekerasan
- Panduan untuk penegak hukum: Memerangi perdagangan manusia
JURNAL:
- PEREMPUAN 36, Pendampingna korban trafiking untuk pencerahan dan kesetaraan