Sunday 12 October 2014


PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TEORITIK
TENTANG 
KAUSA KEJAHATAN DI INDONESIA
Usaha untuk melihat perkembangan pemikiran kriminologi di Indonesia lebih merupakan suatu analisis subyektif yang harus dianggap sebagai suatu penjajakan (eksplorasi) saja daripada suatu penelusuran bahan pustaka yang obyektif.

Mengapa “Kausa Kejahatan”.

Dapat digolongkan menjadi tiga bagian besar / mashab tentang kausa kejahatan yang mempengaruhi perkembangan pemikiran teoritik kriminologi, yaitu :
1. mashab klasik, dengan tokohnya Cesare bonesana, Marchese de Beccaria (1738 – 1794), yang kemudian pemikirannya dimodifikasi oleh mashab neo-klasik melalui Code Penal Perancis 1819 (code penal pertama : 1791 dan yang kedua : 1810);
menurut mashab klasik/neoklasik bahwa manusia memiliki kebebasan memilih perilaku (free will) dan selalu bersikap rasional dan hedonistik.
Dengan pendekatan ini kausa kejahatan (dalam arti luas) dilihat sebagai tidak berimbangnya cost/hukuman dan benefit/hasil kejahatan.
Ketidakseimbangan ini perlu diperbaiki melalui sistem peradilan pidana (termasuk sistem pemidanaan) yang akan mengurangi kejahatan.
Caranya melalui studi tentang efektifitas hukum pidana (termasuk efektifitas kerja penegak hukum serta beratnya pidana yang diancamkan dan dijatuhkan).
Oleh karena itu manurut mashab klasik/neoklasik, pemidanaan sebagai cara untuk menanggulangi kejahatan (control of crime) dapat dibenarkan (sebagai pembenaran terhadap hukum pidana dan sistim peradilan pidana yang berlaku di dunia kita sekarang ini).
 2. mashab positivis, dengan pelopornya Cesare Lombroso (1835 – 1909), yang dianggap sebagai awal pemikiran ilmiah kriminologi tentang sebab-musabab kejahatan (crime causation;
menurut mashab ini bahwa perilaku manusia ditentukan sebagian oleh faktor-faktor biologis, tetapi sebagian besar merupakan pencerminan karakteristik dunia sosial-kultural di mana manusia hidup.
Oleh karena itu maka menurut mashab ini penanggulangan kejahatan bukan hanya melalui penjatuhan pidana saja, melainkan harus dilakukan  dengan menyelesaikan kausa-nya terlebih dahulu.
 3. mashab kritikal (critical criminology), yang dimulai dengan masuknya perpektif interaksionis, misalnya Howard S Becker dengan labeling approach to crime (1963) dan kemudian mengembangkan pendekatan sociology of conflict misalnya oleh Richard Quinney (1970) dan Wiliian J Chambliss & Robert B Seidman (1971).
Pendekatan mashab ini ditujukan pada proses-proses sosial yang mendasari dan membentuk dunia di mana manusia ini hidup. Jumlah kejahatan yang terjadi maupun karakteristik para pelaku kejahatannya ditentukan terutama oleh bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dan dilaksanakan  (pelaksanaan penegakan hukum).
Bila pendekatan interaksionisme dalam mashab ini mengupas bagaimana proses diberikannya ‘label kejahatan’ dan penjahat oleh masyarakat.
Maka pendekatan konflik menitik beratkan pada aspek ‘kuasa’ (power) dalam perumusan kejahatan, dalam pengertian bahwa mereka yang mempunyai kuasa yang lebih besar akan lebih mudah menentukan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingannya sebagai kejahatan, juga akan mampu mempengaruhi pelaksanaan (penegakan) hukum pidana.
Kausa kejahatan (dalam arti yang luas) di sini ada di dalam masyarakat sendiri, oleh karena itu penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan membangun masyarakat yang lebih demokratis  (mengurangi prosses konflik kuasa yang tidak wajar dan mengurangi proses diskriminasi terhadap mereka yang kurang kuasa) dan dengan pendekatan yang lebih manusiawi pada pelanggar hukum pemula (mengurangi “labeling” yang menimbulkan krisis jati diri dan “secondary deviance”).
Bagaimanakah di Indonesia ?
Pada dasarnya kriminologi di Indonesia  masih bertitik tolak pada pengertian kausa kejahatan dalam arti sempit (dalam arti mashab positivis). Tokoh kriminologi aliran positivis antara lain seperti Bonger cukup mempengaruhi terutama terlihat dalam pengertian kejahatan (yang digambarkan dengan dua lingkaran bertitik pusat satu ‘immoral and illegal dan illegal but not immoral); dan keyakinan akan kuatnya pengaruh lingkungan khususnya yang berhubungan dengan faktor-faktor ekonomi.
Dengan pendekatan differential association-nya Sutherland, maka pengertian faktor pengaruh lingkungan diperluas dengan adanya aspek “proses belajar” dalam berkenalan dengan kejahatan dan pemahaman terhadap kaitan penegakan hukum pidana dalam mempelajari kausa kejahatan.
Kemudian pemikiran Sellin (culture conflict), Merton (anomie), Cohen (deliquent subculture), Cloward dan Ahlin (illegitimate opportunity structure), Matza (deliquency and drift) dll turut juga mempengaruhi pemikiran kriminologi di Indonesia.
Pendekatan tersebut di atas menyebabkan bertumbuhnya pemikiran kriminologi sosiological theories yang menekankan pada social relations bukan pada karakteristik individu (abnormality or individual deviance).
Selanjutnya berkembang pemikiran untuk mencari hubungan antara keadaan ekonomi dengan kriminalitas didasarkan adanya hubungan negatif (inverse relationship) : bila keadaan ekonomi buruk, maka kejahatan meningkat dan sebaliknya. Serta pendekatan dengan hubungan positif (direct relationship) : kriminalitas sebagai suatu kelanjutan dari kegiatan ekonomi, yang jarang dibicarakan.
Dalam pembahasan tema-tema tersebut di atas, hendaklah perlu diperhatikan juga mengenai analisa statistik kriminal resmi baik dari kepolisian maupun dari Biro Pusat Statistik, yang dalam pelaksanaannya memperhatikan juga perhitungan tidak resmi (melalui penelitian khusus seperti self-report studies atau victim surveys) sehingga dapat dianalisis penyebaran perilaku menyimpang di dalam masyarakat dalam kaitannya dengan pelaksanaan penegakan hukum.
Beberapa kenyataan di masyarakat dewasa ini, menunjukkan adanya tuntutan agar memperberat ancaman pidana terhadap pelaku kejahatan untuk menekan meningkatnya kejahatan. Keyakinan bahwa ancaman yang berat dan tindakan-tindakan yang tidak membeda-bedakan serta kepastian dalam penyelenggaraan peradilan pidana dapat menanggulangi meningkatnya kriminalitas, di mana hal ini mencerminkan pemikiran mashab klasik yang lebih mengutamakan perbaikan “administration of justice” sebagai upaya penangkalan (deterence) kejahatan. Namun demikian sejak tahun 1960-an telah ditegaskan bahwa tujuan pemidanaan yaitu sebagai pembinaan narapidana (treatment approach, yang merupakan pemikiran dalam mashab positivis) dalam proses re-integrasi sosial.
Hal tersebut di atas mengindikasikan ambivalensi  pemikiran antara pemidanaan (mashab klasik) dengan pembinaan (mashab positivis)  yang menunjuk pula bahwa   politik kriminal (criminal policy) tentang hal tersebut belumlah jelas.
Perkembangan selanjutnya yang didorong oleh kesadaran dalam kriminologi Indonesia bahwa kausa kejahatan tidak cukup dengan perbuatannya (mashab klasik) dan atau pelakunya (mashab positivis) yaitu berupa pemahaman tentang proses kriminalisasi (the process of defining spesific people and actions as criminals), yang merupakan pemikiran mashab kritikal, ditandai dengan pengkajian literatur tulisan dari Schur (crimes without victims : deviant behaviour and public policy, 1965); Becker (outsiders – studies in the sociology of deviance, 1963); Quinney (the social reality of crime, 1970); Chambliss & Seidman (Law, Order and Power, 1971).
Dalam pendekatan interaksionis ini dicoba untuk dimengerti arti perbuatannya oleh pelaku kejahatan sendiri mulai dari non-criminal self image hingga criminal image yang disebabkan oleh tekanan status degradation ceremony.
Pendekatan ini juga menerangkan timbulnya secondary deviance yaitu suatu keadaan di mana si- pelaku sebagai reaksi terhadap tekanan-tekanan di atas menempatkan dirinya di sekitar suatu “deviant identity” dan karena itu kemudian menjadi seorang residivis. Dengan pendekatan ini diusahakan juga memahami arti dari peristiwa kejahatan itu baik bagi para aprat penegak hukum, bagi masyarakat pada umumnya dan bagi kelompok tertentu dalam masyarakat tersebut, sehingga kita akan dapat menjelaskan reaksi sosial terhadap kejahatan tersebut.
Pendekatan ketiga mashab tersebut pada realitanya sama-sama dipergunakan dalam masyarakat.

0 comments:

Post a Comment