Sunday 12 October 2014

ROBERT K. MERTON: Struktur Sosial dan Anomie


Dalam artikelnya yang berjudul “Struktur Sosial dan Anomie,” Robert K. Merton (1938) menggunakan konsep-konsep anomie dan teori penyimpangan di dalam analisa tentang system reward orang Amerika. Merton mengatakan bahwa sebuah keadaan umum anomie menyebarkan masyarakat Amerika karena ada sebuah kontradiksi (“disjunction”) antara tujuan budaya dan cara untuk berhasil. Tujuan budaya keberhasilan (misalnya, memiliki uang banyak, memiliki rumah sendiri, memiliki mobil) disebarkan secara luas bersamaan dengan idiologi yang dimiliki setiap orang yaitu peluang yang sama untuk mencapai tujuan ini. Namun, kenyataannya peluang-peluang itu terdistribusikan dengan adil. Alat utama untuk mencapai keberhasilan, pendidikan dan pekerjaan tidak dapat diperoleh dengan adil. Kualitas pendidikan dan peluang kerja dan reward sangat bervariasi sesuai dengan kelas social. Disequilibrium terjadi ketika tujuan budaya dan cara-caranya tidak disinkronkan, ketika sejumlah besar orang tidak mendapatkan akses ke tujuan budaya dan cara-caranya (menghasilkan hambatan social).
Menurut teori hambatan Merton, masyarakat Amerika mempromosikan tujuan budaya tentang kesuksesan dengan memasukkan 3 aksioma (keyakinan) kepada semua anggotanya.
  1. Setiap orang berjuang demi kesuksesan, karena kesuksesan terbagi secara sama bagi semua orang.
  2. Kegagalan hanyalah jalan memutar sementara hingga mencapai kesuksesan.
  3. Kegagalan sesungguhnya adalah orang yang mengurangi atau menarik mundur ambisinya untuk sukses.
Aksioma-aksioma ini dikalkulasikan ke dalam anggota masyarakat dengan 3 alasan:
1)   Aksioma itu mencegah kecaman dari akar structural social dengan menempatkan kesalahan atas kegagalan itu pada individu.
2)   Aksioma membantu mempertahankan status quo.
3)   Aksioma menciptakan tekanan-tekanan untuk kesesuaian dengan mendefenisikan kegagalan sebagai sesuatu yang bukan Amerika.
Dengan mengetahui dampak dan kekuatannya, bagaimana manusia bereaksi terhadap hambatan-hambatan antara tujuan budaya dan cara-caranya? Merton menyatakan bahwa adaptasi terhadap anomie (yang didefenisikannya kembali menyangkut hambatan) bisa saja terjadi dalam salah satu bentuk dari 5 reaksi yang berbeda: kesesuaian, inovasi, ritualisme, kemunduran, dan pemberontakan (lihat Tabel 8-1).
  1. Kesesuaian—mode adaptasi yang paling umum menyatakan bahwa manusia menerima cara budaya dan tujuan budaya. Pemuda yang menunda kepuasan dengan bekerja keras di sekolah, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk mampu membeli rumah, mobil dan barang mewah, sedang menyesuaikan dengan harapan dan nilai-nilai masyarakat.
  2. Inovasi—menandakan para individu yang menerima tujuan budaya tetapi menganut cara atau alat non-konvensional untuk mendapatkan tujuan, misalnya, mereka mungkin saja mencontek untuk mendapatkan terbaik di sekolah atau di pekerjaan, atau mereka bisa saja menipu atau mencuri untuk memperoleh kekayaan. Di antara banyak pemuda-pemuda di pusat kota, perdagangan obat-obatan bisa saja dipandang seperti bisnis konvensional lain—sebagai cara untuk membuat keuntungan.
  3. Ritualisme—mengacu kepada tipe adaptasi “anggur asam” (Aesop’s Fox, tidak mampu mencapai anggur tersebut, dirasionalkan bahwa dia tidak menginginkan anggur itu karena anggur itu asam). Individu yang dihalangi dari tujuan kesuksesan menyesuaikan diri dengan meninggalkannya; namun, individu it uterus menyesuiakan diri dengan hukum dan norma-norma masyarakat. Konsep Oscar Lewis (1966) tentang “budaya kemiskinan” mengutip model adaptasi ini. Banyak orang dalam lingkungan miskin menyerah tentang “Mimpi Amerika”; namun mereka terus berjuang dan hidup dengan menaati hukum. Banyak pemuda yang bersekolah telah menerima fakta bahwa mereka tidak akan bisa lanjut ke perguruan tinggi. Mereka menerima kegagalan mereka sendiri; tetapi mereka terus “bersekolah,”
  4. Retreatisme (kemunduran)—melibatkan penolakan baik tujuan budaya maupun cara budaya. Beberapa contoh luar biasa dari model adaptasi ini termasuk orang-orang yang keluar (DO) dari arus utama kehidupan dan menjadi consumer penyalahgunaan obat-obatan, atau pemuda yang DO dari kehidupan konvensional untuk bergabung dengan pengikut keagamaan atau beberapa subkultur menyimpang lainnya, atau seorang eksekutif bisnis yang meninggalkan keluarga dan pekerjaannya untuk hidup di antara tuna wisma.
  5. Pemberontakan—adalah penolakan tujuan dan cara yang ada dan pengganti tujuan dan cara yang baru. Individu-individu yang memilih bentuk adaptasi ini seringkali berupaya untuk merusak aturan social yang ada dan mengganti dengan aturan yang baru. Kelompok subversive dan terroris, serta beberapa geng remaja nakal, telah dijelaskan dalam gaya ini. Konotasi negative biasanya dikaitkan dengan kelompok semacam ini dan kegiatan mereka karena terculture (oposisi tertata terhadap cara budaya) juga bisa dipandang sebagai bentuk pemberontak, khususnya selama tahap perkembangannya yang lebih banyak konflik pada tahun 1960-an, pemuda yang menghadapi budaya menolak obsesi dengan kesuksesan moneter dan dorongan untuk nilai. Pemberontakan adalah gerakan kembali ke dasar penghargaan yang lebih besar dari sifat dan focus alamiah tentang badan yang sehat dan lingkungan yang sehat, dan meletakkan perilaku terhadap orang lain. Ketika banyak pemuda dari tahun 60-an dikriminalisasi dan dihukum atas sifat mereka yang tidak sesuai dan memberontak, gerakan ini relative berhasil: Banyak dari nilai-nilai yang melawan budaya ini telah diadopsi secara luas.
Albert K. Cohen: Kejahatan sebagai sebuah Reaksi Terhadap sekolah dan Nilai Kelas Menengah
Seperti Merton, Albert Cohen (1955) mengakui adanya penyangkalan peluang pendidikan, cara yang paling mudah untuk memperoleh kesuksesan, menciptakan frustasi atau hambatan-hambatan. Cohen menyatakan bahwa pemuda kelas bawah tidak mampu berkompetisi secara adil dengan pemuda kelas menengah di system sekolah yang umumnya diarahkan menuju nilai-nilai dan cita-cita kelas menengah dan hal ini menguntungkan siswa dari kelas menengah.
Cohen menyatakan bahwa pemuda dari kelas bawah menciptakan perlawanan sebagai respon terhadap penolakan dan diskriminasi yang mereka alami di sekolah kelas menengah. Kelompok yang melawan budaya menawarkan sebuah nilai-nilai alternative sebagai system dukungan social (misalnya, asosiasi diferensial) dimana mereka bisa memperoleh kembali martabat dan kehormatan mereka yang hilang. Namun, sebagai formasi reaksi terhadap nilai-nilai dan standar kelas menengah dan sebagai mekanisme pertahanan terhadap frustasi, geng ini memperkuat praktik-praktik dan sikap yang negative, non-utiliter, dan hedonis. Penekanan ditempatkan pada gratifikasi menengah, perusakan property, ketidaksediaan dan sikap kasar yang terjadi tiba-tiba. Bagi Cohen, subkultur menyimpang dari siswa kelas bawah menunjukkan solusi yang agak tidak sempurna terhadap masalah ini.


Walter Miller: Keprihatinan Terpusat
Pada tahun 1958 Walter Miller menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Lower-Class Culture as a Generating Milieu of Gang Delinquency.” Berdasarkan kajian antropologinya, Miller menyimpulkan bahwa orang Amerika kelas bawah memiliki sebuah system dan orientasi nilai subkultur yang berbeda. Orientasi nilai ini, yang dirujuk kepada keprihatinan terpusat, termasuk masalah, kegigihan, kecerdasan, kesenangan, takdir, dan otonomi. Ekspressi keprihatinan terpusat ini oleh pemuda kelas bawah mempromosikan kenakalan sebagai alternative perilaku kepada pencapaian status. Sebagai contoh, dengan menjadi “bermasalah dengan hukum,” pemuda kelas bawah mendapatkan sebuah perasaan penting dan tertekan. Kegigihan atau ketangguhan biasanya mengacu kepada kekuatan fisik, kejantanan dan keberanian. Miller menyatakan bahwa penekanan pada ketangguhan bisa saja menjadi sebuah cara untuk memperkuat kembali dominasi pria kelas bawah atau identitas kejantanan pribadi pada sebuah lingkungan keluarga yang didominasi wanita. Kecerdasan tidak dipandang dalam hal persekolahan, tingkat pendidikan atau IQ; sebaliknya kecerdasan disamakan dengan kelicikan, dan bertaruh atau berjudi sebagaimana ditunjukkan dalam meloloskan diri, dan perjudian. Keprihatinan terpusat mengacu kepada keberadaan dua kelompok: orang-orang yang yang mengeksploitasi dan orang-orang yang dieksploitasi. Peran orang yang mengeksploitasi adalah peran yang disukai oleh anggota geng pemuda. Mengikuti jejak langkah yang legitimate menuju sukses adalah bagi penjilat. Kesenangan atau mencapai sebuah kenikmatan adalah pencarian yang berhadiah; kalau tidak maka kelihatan hambar, dunia yang selalu berulang bagi pemuda kelas bawah. Kenikmatan itu biasanya terkait dengan bahaya dan resiko dan termasuk kehidupan malam di kota, perjudian, perkelahian dan hubungan intim dengan wanita. Keberuntungan yang baik sangat penting—mendapatkan hal-hal yang tepat, atau berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat adalah jalan menuju sukses. Akhirnya, sebagai sebuah reaksi terhadap bawahan dari nilai dan struktur otoritas kelas menengah, pemuda kelas bawah menekankan control atau otonomi individu—ketahanan diri. Miller telah mengkaji masalah geng selama beberapa decade (lihat Box 8-1, Youth Gangs and their “Bussiness” of Drug and Crime).
Darwin E. Wolfgang dan Franco Ferracuti: Subkultur Kekerasan
Darwin E. Wolfgang dan Franco Ferracuti dalam artikel mereka “The Subculture of Violence (1967/1982) berupaya untuk menjelaskan kejadian kekerasan yang relatif lebih tinggi di antara pria muda, kelas bawah dan Afrika-Amerika, baik sebagai pelaku kejahatan dan sebagai korban. Dengan menggabungkan beberapa teori, Wolfgang dan Ferrcuti menyatakan bahwa pria Afrika-America dari kelas bawah memiliki sebuah sistem nilai yang menyimpang dari pria Afrika-Amerika dari masyarakat yang lebih luas dalam penekanannya terhadap kekerasan sebagai sebuah bentuk perilaku yang dapat diterima.
Penulis menyebutkan bahwa untuk banyak pemuda Afrika-Amerika yang tinggal di tengah kota dan miskin, kekerasan merupakan bagian normal dari kehidupan baik dalam keluarga maupun komunitas. Beberapa pemuda ini bisa saja percaya mereka harus harus membawa pisau atau senjata api untuk perlindungan atau keselamatan mereka. Pemuda-pemuda lain  bisa saja percaya bahwa perilaku menyerang adalah respon yang pantas atau normal terhadap hinaan verbal. Wolfgang dan Ferrracuti menekankan bahwa subkultur kekerasan menghasilkan angka kejahatan dengan kekerasan yang tinggi yang menggambarkan bukan hanya toleransi dan penerimaan kekerasan pada sisi sang pelaku dan korban, tetapi juga mencurigakan dan sterotipe dengan menyertakan komunitas dan petugas penegak hukum.
Tulisan Wolfgang dan Ferracuti ini telah memberikan inspirasi bagi banyak perdebatan dan kontroversi. Rujukan kepada sebuah subkultur Afrika-Amerika tentang kekerasan telah dipertanyakan menyangkut konseptualisasi dan pengukurannya. Penentangan terhadap tesis subkultur kekerasan dating dari semua sisi. Misalnya, telah disimpulkan “bahwa tidak ada yang melekat di dalam kultur kulit hitam yang mendukung kejahatan. Sebaliknya, tingginya tingkat kejahatan yang dilakukan orang kulit hitam kelihatannya berasal dari kaitan structural di antara pengangguran, perampasan ekonomi, dan gangguan dalam keluarga di komunitas kulit hitam perkotaan” (J. Sampson, 1987: 38). Dalam pemahaman yang paling dramatis atas argument ini, tingkat yang lebih tinggi dari kejahatan di antara Afrika-Amerika yang tinggal di bagian pusat kota dikaitkan dengan rasisme dan diskriminasi ekonomi dan penegakan hukum yang selektif di masyarakat Amerika, yang semuanya mengindikasikan keberadaan sebuah kelas manusia yang sangat lemah (*W. Wilson, 1987).

Richard Cloward dan Lloyd Ohlin: Peluang Diferensial
Richard Cloward dan Lloyd Ohlin, dalam buku mereka “Delinquency and Opportunity” (1960), mengangkat masalah dengan premis dasar Cohen bahwa aspirasi yang tidak berhasil/gagal menyebabkan kenakalan atau perilaku criminal. Mereka juga merasa bahwa keprihatinan terpusat dari Miller atau pemikiran tentang subkultur kekerasan tidaklah cukup untuk menjelaskan sikap criminal atau melanggar hukum. Hanya karena pemuda kelas bawah menolak nilai tertentu atau tidak diijinkan menggunakan cara-cara yang legitimate untuk mencapai tujuan tidak secara otomatis mengarah kepada kenakalan atau penggunaan cara yang tidak legitimate. Dengan merespon Merton, mereka menyatakan bahwa peluang diferensial tidak hanya menandakan model adaptasi yang legal tetapi juga model adaptasi yang tidak legal. Seperti Sutherland, Cloward dan Ohlin menyatakan bahwa akses menuju peluang tidak legitimate seringkali terkait dengan keanggotaan di dalam atau terbukanya dengan nilai dan system keyakinan yang tidak legitimate. Subkultur mendukung sebuah atmosfir yang kondusif terhadap pembelajaran perilaku nakal. Buku Cloward dan Ohlin ini mengarah kepada identifikasi tipe gang yang berbeda. Misalnya, subkultur konflik berorientasi kepada kekerasan dan anggotanya sama dengan anggota geng remaja nakal yang dijelaskan oleh Cohen (jahat, nakal, dll). Subkultur jahat berfungsi sebagai pembelajaran bagi kegiatan penjahat professional; tipe geng seperti ini, khususnya, memiliki kesamaan dengan teori Sutherland. Di sini penjahat dewasa seringkali mengajarkan keahlian mereka (misalnya membuka kunci, menjadi penadah, dll) kepada para pemuda. Contoh lain adalah geng retrearism (bersamaan dengan garis yang dinyatakan Merton yang difokuskan pada kesenangan—biasanya melalui penggunaan obat-obatan dan alcohol—dan seringkai menyertakan perusakan property.
Sebagaimana bisa dilihat, penelitian Cloeard berfungsi sebagai bagian sintesis dari teori pembelajaran Sutherland dan teori anomie Merton dan beberapa geng dan teori-teori subkultur lain. Ketika banyak penelitian mereka berkaitan dengan perilaku geng dan peluang yang tidak legitimate, subkultur, mereka, seperti Shaw dan McKay, menerima banyak bantuan dari pemerintah dan perusahaan swasta untuk melakukan proyek pemuda masyarakat (Mobilization of Youth in New York City).
Teori-teori Cloward dan Ohlin tentang peluang diferensial dan kenakalan remaja diadopsi oleh pemerintahan John F. Kennedy “war on crime.” Tema utama yang diasosiakan dengan kata “war/perang” ini adalah perluasan dari peluang yang legitimate. Penekanan pada peluang yang sama dengan cepat dialihkan kepada mandate kebijakan nasional. Sayangnya, sebelum keefektifan perang terhadap kejahatan ini bisa dinilai, Presiden Kennedy terbunuh, dan Presiden Lyndon B. Johnson, penggantinya, memutuskan untuk beralih ke “perang terhadap kemiskinan” (yang mengalihkan sukungan atas perang terhadap kejahatan) (baca Moynihan, 1969). Karena tidak terlalu banyak didiskusikan, program perang terhadap kemiskinan segera menjadi kehilangan dukungan. Ketika penilaian akhir program ini penuh dengan kontroversi, satu hal yang pasti adalah: Jumlah uang yang dibelanjakan untuk penelitian kejahatan dan program khusus lainnya, implementasi kebijakan dan penilaian tidak parallel pada sejarah Amerika (baca Marris dan Pierre, 1973).

Masalah Kritik dan Kontemporer Terhadap Teori-teori Anomie, Strain dan Subkultur
Kecaman utama terhadap teori-teori ini berasal dari dua asumsi dasar:
(1) Keberadaan kultur orang tua dengan nilai dan tujuan dominan tentang dukungan dan persetujuan yang luas;
(2) Keberadaan subkultur yang menentang aspek-aspek yang berbeda dari kultur orangtua dan sifat-sifat menyimpang atau criminal.
Pertama—belum pernah ada demonstrasi empiris yang sukses tentang keberadaan seorang orang tua atau kultur inti. Pertanyaan tentang dasar fundamental dari persetujuan di dalam masyarakat adalah masalah teoritis utama tentang debat mana yang memanas. Sementara kebanyakan teori kausal tentang kejahatan yang didiskusikan terhadap poin in mengasumsikan bahwa persetujuan umum tentang yang benar dan yang salah memang ada, maka tidak semua mereka menerima keberadaan system kultur yang melekat yang digeneralisasikan tentang nilai dan keyakinan. Para ahli teori yang dibahas di Bab 9 mempertentangkan pemikiran kultur serta persetujuan moral dan menawarkan pandangan alternative.
Kedua—defenisi yang memadai tentang subkultur sebagai sebuah unit penelitian dan analisa memang kurang. Misalnya, bagaimana banyak nilai dan tipe nilai atau struktur atau organisasi atau keanggotaan apa yang berfungsi memisahkan unit-unit subkultur ini? Pertanyaan ini adalah salah satu criteria identifikasi. Walaupun banyak materi yang ditulis tentang subkultur kekerasan di antara pemuda Afrika-Amerika yang tinggal di kota yang tinggal di wilayah Selatan, hingga saat ini tidak ada bukti empiris bahwa subkultur seperti ini ada telah ditawarkan. Penjelasan terakhir tentang variasi regional dalam angka pembunuhan telah merumuskan kembali tesis subkultur kekerasan yang orisinal yang dikembangkan oleh Wolfgang dan Ferracuti dengan memberikan penekanan pada peran senjata api dalam subkultur kekerasan. Masih sedikit dukungan yang diberikan untuk tesis ini. Don Dixon dan Alan Lizotte (1987), misalnya, tidak menemukan dukungan untuk premis bahwa kepemilikan senjata api adalah sebuah karakteristik yang mendefenisikan subkultur kekerasan (p. 104). Mereka juga mendukung “keraguan tentang tesis subkultur kekerasan orang selatan karena nilai-nilai kekerasan mengindikasikan keanggotaan dalam sebuah subkultur kekerasan tidak terkait dengan wilayah ketika factor-faktor structural dikendalikan” (p. 401).
Teori-teori anomie dan subkultur dalam bentuk saat ini selanjutnya dibatasi oleh spesifikasi budaya dan gender. Misalnya, teori Merton, Cohen dan Cloward dan Ohlin menerapkan secara eksklusif ke dalam masyarakat Amerika; teori-teori ini tidak dirancang untuk menjelaskan kejahatan dan kenakalan remaja di negara industry Barat lain (baca McDonough, 1983). Lebih dari itu, teori-teori itu biasanya hanya digunakan untuk kejahatan dan kenakalan remaja yang dilakukan pria. Mengapa tingkat kejahatan untuk wanita yang melakukan kejahatan atau subkultur kekerasan yang relative rendah jarang disebutkan. Misalnya, ketika teori strain digunakan untuk menjelaskan kegiatan criminal yang dilakukan pria kelas bawah, tidak ada upaya untuk menangani pertanyaan tentang mengapa wanita kebal dari strain (kegugupan) (baca Adler, 1975; ..)

0 comments:

Post a Comment