Sunday, 12 October 2014

KRIMINOLOGI BUDAYA (KB)


Jeff Ferrell
Universitas Kristen Texas
Selama dua decade terakhir, kriminologi budaya telah muncul sebagai sebua perspektif yang berbeda tentang kejahatan dan control kejahatan. Sebagaimana namanya, KB menekankan peran budaya—yaitu, gaya dan symbol, subkultur kejahatan, dinamika media massa bersama dan factor-faktor terkait—dalam membentuk sifat criminal, tindakan criminal, dan bahkan peradilan pidana. Pakar KB mempertahankan pendapat mereka bahwa factor-faktor ini harus dipertimbangkan/diperhitungkan jika kita akan memahami kejahatan dalam bentuk-bentuknya yang manapun; sebagai sebuah momentum viktimisasi di jalan atau di rumah, sebagai sebuah kegiatan kolektif atau kelompok, atau sebuah sebuah isu perhatian sosial terhadap politisi atau public.
Para pakar KB, misalnya, mengkaji cara-cara dimana subkultur criminal merekrut dan mendapatkan anggota melalui pengalaman bersama dan tertutup, gaya pakaian yang berbeda, dan cara bicara yang eksklusif. Mereka meneliti cara-cara dimana petugas polisi menunjukkan wewenang dan otoritas mereka melalui seragam polisi dan bahasa khusus dan cara-cara dimana otoritas peradilan pidana disimbolkan di pengadilan atau penjara. Para pakar KB seringkali berfokus pada teknologi media dan media massa dan proses dimana pertunjukkan televisi, film yang popular, dan laporan surat kabar mengkomunikasikan citra tertentu dari kejahatan, criminal/penjahat, dan peradilan pidana dan sangat mempengaruhi persepsi public tentang mereka. Sama juga halnya dengan mereka melihat cara-cara dimana para politisi dan legislator mendefenisikan beberapa kejahatan karena lebih penting dari kejahatan lainnya dan kemudian menerjemahkan defenisi itu ke dalam hukum dan kebijakan penegakan hukum. Para KB mengatakan bahwa fokus yang luas terhadap budaya dan komunikasi memungkinkan pakar, siswa dan public untuk mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih dalam dan lebih kritis tentang kejahatan dan peradilan pidana. Dari pandangan ini, masalah subyek kriminologi bukan sekedar penjahat dan apa yang mereka lakukan; sebaliknya, masalah subyek ini harus menyertakan cara-cara dimana kejahatan dirasakan oleh orang lainnya; makna-makna khusus bahwa kejahatan yang datang kepada penjahat, korban, lembaga pencegah kejahatan dan warga sehari-hari; dan konsekuensi dari makna dan persepsi ini untuk kegiatan criminal, kebijakan control kejahatan dan bahkan politik masyarakat temporer.
Memang penting bahwa para KB memaksudkan perspektif ini untuk mempeluas masalah subyek dan pendekatan analitis dari kriminologi konvensional—namun pakar KB juga meminta KB untuk memberikan sebuah alternative yang berbeda bagi kriminologi konvensional dan pada saat-saat tertentu untuk secara langsung menghadapi apa yang mereka anggap sebagai kelemahan dan keterbatasannya saat ini. Sebagaimana telah dikatakan, perbedaan antara KB dan bentuk-bentuk kriminologi yang lebih konvensional sebagian adalah satu masalah subyek; selama beberapa decade terakhir, kriminologi konvensional sebagian besar telah menghilang dari analisa komponen-komponen kehidupan sosial—media, gaya, simbolisme dan makna—yang dikatakan para pakar KB sangat penting untuk sebuah kriminologi yang dikembangkan secara maksimal—atau sebagaimana dibahas dalam bab ini, memasukkan mereka kembali—ke dalam kriminologi.
Tetapi, sebagaimana akan kita lihat, ketegangan antara perpspektif KB dan KK (kriminologi konvensional) berlangsung lebih dalam daripada sekedar masalah subyek. Para pakar KB mengutarakan bahwa banyak teori-teori kriminologi kontemporer yang lebih popular tidak cukup bisa menjelaskan kejahatan dengan tepat karena teori-teori itu tidak menyertakan pemahaman apapun tentang budaya, komunikasi dan makna. Sebaliknya mereka berpendapat bahwa sebagian besar metode penelitian yang digunakan secara luas di dalam KK dirancang dengan cara sedemikian rupa bahwa mereka tidak terelakkan lagi tidak memperhatikan fitur-fitur yang paling penting dari kejahatan, budaya, dan kehidupan sosial. Dan mereka menjelaskan bahwa banyak kegagalan-kegagalan saat ini adalah hasil dari identifikasi yang berlebihan dari KK dengan peradilan pidana, dan ketergantunganya yang berlebihan terhadap pinjaman pemerintah dan defenisi hukum tentang kejahatan. Dalam pemahaman ini, KB dirancang tidak hanya untuk mengkaji kejahatan, tetapi untuk mengkaji dan mengkritik praktek-praktek yang aksiomatik dari kriminologi kontemporer.
Teori
KB telah berkembang dari sebuah sintesis dua orientasi teoritis utama, yang satu sebagian besar Inggris, dan lainnya adalah Amerika. Pada tahun 1970-an, para pakar yang bergabung dengan Sekolah Kajian Budaya Birmingham, National Deviancy Conference, dan “kriminologi baru” di Inggris (S. Cohen 1972: Taylor, Walton & Young, 1973) mulai meneliti dinamika budaya yang khas melalui kewenangan mana yang dilaksanakan dan dipertahankan. Dalam konteks ini mereka juga meneliti dimensi-dimensi idiologis dari kejahatan dan control kejahatan—yaitu, cara-cara dimana isu-isu kejahatan dan keprihatinan seringkali tumpang tindih menjadi agenda politik yang lebih luas—dan mereka menggabungkanya semua ini menjadi kemunculan pola-pola ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Dengan mengkonsepkan kembali sifat control sosial dan perlawanan terhadapnya, para pakar ini mendokumentasikan praktek-praktek budaya yang terkait dengan kelas sosial, menyelidiki dunia-dunia yang menyenangkan dan budaya-budaya terlarang sebagai tempat penyimpangan dan merekam kampenye mediasi dan idiologi-idiologi yang sangat penting bagi control hukum dan control sosial. Dengan cara ini mereka mulai mengkonseptualisasikan beberapa dari banyak kaitan antara proses-proses budaya dan criminal.
Selama waktu yang hampir bersamaan, titik awal kedua dari KB muncul di kalangan sosiolog dan kriminolog Amerika yang menggunakan teori interaksionisme dan teori labeling di dalam kajian mereka tentang kejahatan dan penyimpangan (Becker, 1963). Para pakar ini berpendapat  bahwa sifat dan konsekuensi kejahatan tidak melekat dalam tindakan criminal individu; sebaliknya sifat dan konsekuensi itu sebagian besar ditentukan oleh reaksi orang lain terhadap sebuah tindakan atau seseorang—yaitu, dengan persepsi orang lain dan dengan makna yang mereka lekatkan kepada tindakan atau individu itu. Dengan membunuh orang lain, misalnya, bisa berarti banyak hal terhadap banyak orang: pembunuhan, pembelaan diri, kepahlawanan, atau kegialaan. Sama halnya dengan politisi atau petugas polisi atau keluarga korban pada akhirnya membuat pembunuhan itu menjadi sebuah symbol sesuatu yang lain; penurunan moralitas, bahayanya senjata pai, atau kebutuhan atas hukum yang lebih kuat. Realitas sosial kejahatan—ketakutan tentang kejahatan, model-model untuk menghadapi kejahatan, bahaya-bahaya sosial yang dicederai oleh kejahatan, bahkan pengalaman intuitif dari kejahatan sebagaimana pelaku atau korban yang kemudian dipandang sebagai bagian dari proses politik dan budaya yang sedang berjalan. Seperti rekan mereka di Inggris, pakar teori labeling dan interaksionis simbolis Amerika mulai menghubungkan kejahatan, budaya dan kekuasaan. Secara signifikan, mereka juga mulai mendokumentasikan kaitan-kaitan ini melalui penelitian etnografis di dalam dunia pengguna narkoba, dunia pelacuran dan “dunia luar” lainnya (Becker, 1963), yang menghasilkan serangkaian studi kasus yang mengungkapkan bagaimana penjahata dan pejuang anti kejahatan sama-sama membangun makna dan merundingkan komunikasi yang simbolis.
Di dalam decade berikutnya, kedua orientasi ini berkembang, dengan pakar teori budaya Inggris dan “kriminolog baru” memberikan kepada pakar Amerika kritik-kritik teoritis yang canggih tentang control idiologis dan pakar interaksionis Amerika yang menawarkan inspirasi etnografis kepada pakar Inggris. Pada pertengahan tahun 1960-an, kedua orientasi ini disintesiskan untuk pertama kali menjadi “kriminologi budaya” yang khas (Ferrel & Sanders, 1995) yang, ketika membangun khususnya di atas kedua fundasi kembar ini, juga menyatukan pekerjaan peneliti subkultur, pakar teori postmodern, geografi budaya, dan pakar teori politik progressif. Dengan meneliti lebih jauh komponen simbolis kejahatan, KB baru ini berfokus terutama pada dua dinamika:
1)   cara-cara dimana pelaku kejahatan memasukkaan atau menyatukan komponen-komponen budaya dari gaya, pakaian dan bahasa, dan
2)   cara-cara dimana pelaku budaya seperti seni dan music seringkali dikriminalisasi oleh otoritas hukum dan pelaku moral (Becker, 1963).
Dengan menghormati sejarah informal dari ko-evolusi trans-Atlantik, KB yang lebih formal ini juga telah berlanjut mengintegrasikan hasil karya akademisi dari AS, Inggris dan setelah itu.
Para pakar KB saat ini menggunakan berbagai model teoritis yang memasukkan dan memperluas orientasi intelektual ini. Di kalangan yang lebih berpengaruh di sini adalah konsep ‘‘edgework’’, sebagaimana dikembangkan oleh Steve Lying  (1990, 2005), Jeff Ferrel (1996), dan lain-lain (Ferrel, Milovanovic & Lying, 2001). Pakar-pakar teori ini berpendapat bahwa tindakan-tindakan luar biasa dan seringkali beresiko melanggar hukum—penulisan graffiti, balapan jalanan, BASE (building, antenna, span, earth) melompat (misalnya melompat dari bangunan, jembatan, tebing dengan parasut)—paling baik bisa dipahami bukan sebagai momen di luar control yang merusak diri sendiri tetapi sebagai sebuah situasi dimana peserta menyatakan kembali sebuah pemahaman tentang dirinya melalui percampuran resiko dan keahlian indah dan mendebarkan. Jenis konsep ‘edgework’ memungkinkan peserta untuk mengembangkan jenis keahlian yang sangat baik yang saat ini seringkali tidak ada dari kebosanan kehidupan sehari-hari dan pekerjaan rutin, dan konsep ini memaksa peserta untuk menguji keahlian ini dalam situasi yang bermakna yang sangat bermasalah. Campuran keahlian dan resiko ini menyebabkan peserta bergerak lebih dekat ke edge (tepian), semakin berkilau keahlian seseorang sebagai pembalap jalanan atau penulis graffiti, maka semakin banyak resiko yang muncul—dan semakin banyak resiko yang diambil seseorang maka akan pasti semakin berkilau keahlian seseorang. Dengan cara ini, para pakar KB berupaya masuk ke dalam apa yang dinamakan Jack Katz (1988) “seduction of crime” (godaan kejahatan)—yaitu di dalam makna pengalaman dan godaan bagi peserta—manakala juga melihat pengalaman edgework ini sebagai sebuah respon terhadap sebuah kekuatan sosial yang lebih besar dan bersifat de-humanisasi. Konsep edgework ini juga membantu menjelaskan dinamika ironis antara kejahatan dan peradilan pidana. Mengingat bahwa edgework menghasilkan sebuah tindakan kejutan yang memancing adrenalin ketika peserta mencampurkan keahlian dan resiko, strategi penegakan hukum yang agressif yang dirancang untuk menghentikan edgework illegal ini seringkali hanya meningkatkan resiko dan juga memperkuat pengembangan lebih jauh lagi keahlian itu—sehingga memperkuat pengalaman yang dicari peserta dan diupayakan pihak otoritas untuk dicegah.
Dua teori KB lain sepertinya sama membahas kaitan antara pengalaman, emosi, persepsi dan kondisi sosial yang lebih luas. Mike Presdee (2000) menyatakan bahwa kejahatan kontemporer seperti pengguna narkoba, ritual geng, pembakaran, dan bersenang-senang dengan mobil curian bisa dipahami melalu sebuah teori carnival. Carnival dalam banyak sejarah masyarakat adalah sebuah waktu dari vulgaritas yang berlebihan, konyol dan berbahaya yang diritualisasikan; walaupun demikian karena carnival diritualisasikan dan begitu melekat dengan periode dan tempat tertentu, maka carnival juga mengandung keinginan yang berbahaya, berfungsi sebagai sebuah tipe keselamatan emosional sementara setelah suasana normal pulih. Sekarang Presdee berpendapat bahwa carnival sebagian besar telah hancur, dinyatakan melanggar hukum di beberapa masyarakat dan diubah menjadi keanehan yang diatur secara legal dan dikomersilkan di tempat lain. Akibatnya beberapa sisa-sisa dari carnival sekarang dibeli, dijual dan dikonsumsi dalam beberapa bentuk pornografi sadomasokis atau merendahkan realitas pertunjukkan televisi, tetapi yang lain-lain dianggap sebagai kejahatan, yang semuanya lebih berbahaya karena sekarang menjadi potongan yang longgar dari kebijakan di dalam sebuah ritual komunitas.
Jack Young (1999) melebarkan fokus ini dalam membahas eknomi kontemporer dan dinamika budaya dan hubungan keduanya denga kriminalitas. Teorinya tentang exclusion/inclusion mencatat bahwa masyarakat kontemporer didefenisikan dengan peningkatan ekonomi dan eksklusi legal dari porsi besar populasi dari masyarakat utama yang “terhormat.” Hilangnya jutaan pekerjaan, berlangsungnya pekerjaan dengan gaji yang rendah, dan kemunduran ekonomi di banyak kota, tingkat penahanan missal di AS—semuanya berfungsi mengeluarkan banyak orang miskin, minoritas etnis, dan bahkan bekas kelas menengah dari masyarakat utama yang nyaman. Namun demikian pada saat yang sama, kelompok ini dan lainnya cenderung semakin disertakan (inclusion) secara budaya; walaupun kekuasaan media massa dan periklanan massa, mereka belajar untuk menginginkan barang-barang consumer dan symbol-simbol gaya hidup sukses yang sama sebagaimana diinginkan orang lainnya. Level frustasi yang semakin meningkat, kebencian/perlawanan, ketidakamanan, dan penghinaan adalah akibatnya—dan dengan mereka, seperti dijelaskan Young, kejahatan balas dendam dan serta frustasi. Mengulangi pendapat yang disuarakan oleh Robert K. Merton (1938) dengan formulasi terkenalnya tentang adaptasi kepada sifat-sifat yang dipancing secara sosial, Young menyatakan bahwa sifat yang diperberat antara eksklusi ekonomi dan inklusi budaya membantu kita memahami semua sikap-sikap kejahatan, dari orang-orang yang memiliki nafsu jahat kepada orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan atau manfaat ekonomi.
Sebuah model teoritis akhir khususnya berfokus pada interplay (interaksi) antara media, kejahatan dan peradilan pidana dalam masyarakat kontemporer. Teori Ferrel, Hayward dan Young (2008) tentang media loop and spiral  menyatakan bahwa kita sekarang jauh melampaui pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang seberapa akuratnya media melaporkan kejahatan atau apakah citra media menyebabkan kejahatan copycat (peniruan kata-kata atau perilaku orang lain). Sebaliknya, mereka mengatakan, kehidupan sehari-hari saat ini sudah sangat menyatu dengan teknologi media dan citra media bahwa sebuah pemisahan yang jelas antara sebuah kejadian dan citra yang ditengahinya jarang ada, dan begitu juga para kriminolog dihadapkan dengan sebuah efek____dimana kejahatan dan citra kejahatan itu berputar ke belakang satu sama lain. Ketika anggota geng melakukan penganiayaan dengan kekerasan sambil merekamnya dan memasukkannya ke dalam dunia maya, ketika pertunjukkan TV realitas menjebak peserta mereka di dalam penganiayaan sesungguhnya dan penangkapan, ketika petugas polisi mengubah strategi penegakan hukum mereka di jalan karena mereka mobil polisi mereka memiliki kamera atau kehadiran kamera-kamera baru, kemudian kejahatan dan media telah menjadi terpadu. Lebih dari itu _____ ini seringkali menghasilkan kembali diri mereka selama waktu itu, merentang sepanjang spiral kejahatan, peradilan pidana dan media. Videotape kegiatan polisi, misalnya, seringkali menjadi dasar penuntutan kasus di pengadilan, yang kemudian diliput di media lokal dan nasional; sama halnya dengan citra kriminalitas yang seringkali berfungsi selama sepanjang waktu sebagai bukti hukum, hiburan yang dipasarkan, dan makanan ternak untuk pelaporan berita. Karena hal inilah, maka para pakar KB berpendapat, bahwa kriminologi yang bermanfaat dari kekerasan dan kejahatan sehari-hari harus juga menjadi KB dari media dan representasi.
Metode-metode
Orientasi teoritis KB saling jalin-menjalin dengan metode penelitiannya. Sebagaimana telah terlihat KB dan berbagai teorinya berfokus pada makna kejahatan, sebagaimana dibangun pada situasi tertentu dan lebih umum; pada emosi dan pengalaman yang menganimasikan kejahatan dan peradilan pidana; dan pada peran representase yang dimediasi dan simbolisme budaya dalam pembentukan persepsi kejahatan dan penjahat. Pakar KB membutuhkan metode-metode yang bisa membawa mereka ke dalam situasi dan pengalaman kriminal tertentu dan yang bisa menyesuaikan diri mereka dengan emosi. Makna dan simbolisme. Mereka juga membutuhkan metode yang bisa menmbus sinamika teknologi media dan media massa dan yang bisa menangkap sesuatu dari ______ dan spiral yang menyatukan kejahatan dan citranya.
Dari sudut pandang KB, misalnya, penelitian survei dan analisa statistik tentang hasil-hasil survei—metode-metode yang paling luas digunakan dalan KK—melarang oleh disain mereka keterlibatan mendalam apapun dengan makna, emosi dan proses-proses sosial dimana emosi dan makna dihasilkan. Metode ini memaksa kompleksitas pengalaman dan emosi manusia menjadi pilihan-pilihan sederhana yang diatur sebelumnya oleh peneliti dan sehingga mengurangi peserta penelitian terhadap kategori-kategori penghitungan dan tabulasi silang yang dikontrol secara cermat. Metode ini menghilangkan peneliti dari orang-orang dan situasi-situasi yang akan dikaji, yang menciptakan satu tipe penelitian jarak jauh yang abstrak yang tidak menyertakan dinamika penting dari kejahatan dan peradilan—ambiguitas, kejutan, kemarahan—dari proses-proses penelitian kriminologi (Kane, 2004). Walaupun demikian yang lebih buruknya lagi, para pakar KB ini berpendapat metode semacam ini seringkali digunakan secara tepat karena metode ini benar-benar menghasilkan temuan yang aman dan statistik abstrak di dalam pelayanan lembaga politik atau organisasi peradilan pidana, sehingga kehilangan ilmu pengetahuan yang mandiri dan kritis yang dipandang oleh pakar KB sangat perlu untuk analisa dan penelitian kriminologi yang baik.
Daripada mengandalkan metode semacam ini, maka para pakar KB seringkali beralih kepada metode penelitian etnografi: penelitian lapangan mendalam dan jangka panjang dengan orang-orang yang akan dikaji.
Para pakar KB yang sangat tenggelam di dalam kehidupan para penjahat, korban kejahatan, atau petugas polisi bisa menjadi bagian dari proses dimana orang-orang tersebut membuat makna dan bisa menyaksikan cara-cara dimana mereka membuat pemahaman tentang pengalaman mereka melalui kode-kode simbol dan bahasa bersama. Dengan berbagi dengan mereka tentang situasi dan pengalaman mereka dan rentan terhadap tragedi mereka dan kemenangan mereka, para pakar KB ini belajar sesuatu dari emosi-emosi yang melalui pengalaman mereka tentang kejahatan, viktimisasi dan peradilan pidana.
Bagi pakar KB. Tujuan untuk emndapatkan pengetahuan emosional dan budaya yang dalam terdapat di dalam konsep criminological verstehen. Sebagaimana dikembangkan oleh sosiolog Max Weber, konsep verstehen berarti pemahaman subyektif atau appresiatif atas tindakan dan motivasi orang lain—sebuah pemahaman yang dirasakan mendalam yang sangat penting untuk sepenuhnya memahami kehidupan mereka. Ketahuilah bahwa di sini metode-metode KB kenyataannya bertentangan dan sebagai kebalikan dari metode KK. Daripada “obyektifitas” dari survei-survei yang ditentukan sebelumnya dan analisa statistik yang menghasilkan hasil-hasil penelitian yang akurat, sebagaimana diasumsikan secara umum, kenyataannya ini adalah subyektifitas emosional yang memastikan keakurasian dalam penelitian; tanpa hal ini maka peneliti bisa saja mengamati sebuah kejadian atau informasi yang terlarang tetapi akan memperoleh sedikit pemahaman tentang maknanya atau konsekuensinya bagi pelaku-pelaku yang terlibat.
Perbedaan yang mirip bisa dilihat dalam pendekatan pakar KB terhadap penelitian media. Para pakar KK paling sering mengkaji media dan kejahatan dengan menggunakan metode “content analysis”—yaitu pengukuran kategori isi statis di dalam teks media. Walaupun demikian para pakar KB berpendapat bahwa interaksi yang cair di kalangan media, kejahatan dan peradilan pidana tidak bisa ditangkap dalam  kesimpulan kuantitatif dari frekuensi kata tekstual atau tipe sumber. Selanjutnya content analysis secara teratur digunakan dengan niat yang secara obyektif membuktikan tingkat perbedaan antara sifat “nyata” dari sebuah isu kejahatan dan representasi media yang “bias” dari isu kejahatan itu—tetapi pendekatan ini melupakan dinamika yang lebih kompleks dari celah dan spiral media dan multiplicitas audien dan interpretasi yang akan membingungkan kenyataan dan representase itu sebagaimana sebuah isu kejahatan berjalan di atas jalurnya.
Dalam content analysis tradisional ini, para pakar KB menggunakan dua metode alternatif:
  1. Metode ethnographic content dari David Altheide (1987)—sebuah pendekatan yang mengkonseptualisasikan analisa tersebut sebagai sebuah penelitian untuk makna dan proses ambil dan serahkan intellektual antara peneliti dan peserta penelitian. Metode ini dirancang untuk menghasilkan keterlibatan yang mendalam dengan teks itu dan maknanya. Metode ini juga dirancang untuk mendekati teks media bukan sebagai sebuah entitas tunggal tetapi sebagai sebuah proses budaya yang terjadi yang memasukkan berbagai dinamika media, politik, dan budaya. Seperti content analysis konvensional, metode ini memungkinkan para peneliti untuk mengdentifikasi dan menganalisa pola-pola tekstual, tetapi juga membuka jalan menuju media yang memiliki celah dan cair yang semakin mendefenisikan kejahatan dan peradilan.
  2. Pendekatan kedua melangkah satu langkah lebih jauh dan kenyataanya kembali ke ethnografi; pekerjaan lapangan dengan penjahat, pekerja peradilan pidana atau lainnya ketika mereka melakuka interaksi dengan media massa, mengembangkan citra kehidupan mereka sendiri, atau bahkan menemukan media alternatif mereka sendiri (Snyder, 2009).
Aplikasi-aplikasi

Perspektif KB telah diaplikasikan ke dalam sejumlah bidang subyek di dalam kriminologi; dimana para pakar KB telah menyelidiki dinamika simbolisme, makna, dan representasi yang sangat banyak dari berbagai situasi kejahatan dan peradilan pidana.
Beberapa karya yang sangat dikenal dalam KB telah menggunakan metode etnografi untuk menggali subkultur terlarang dan interaksi mereka dengan otoritas hukum dan media. Perhatian yang besar ini terhadap dinamika subkultur tertentu telah memungkinkan para pakar KB untuk menghadapi media dan stereotipe peradilan pidana dari subkultur ini dan untuk memperdalam pengetahuan tentang mereka. Ferrel (1996, 2001, 2006), misalnya telah melaksanakan etnografi partisipatori jangka panjang dari 3 subkultur perkotaan:
(1) Penulis graffiti hip-hop,
(2) Aktivis politik level jalanan, dan
(3) Pemungut sampah (pemulung).
Dalam tiap kasus, temuan Ferrel telah berfungsi memanusiakan anggota subkultur, mengungkapkan cara-cara dimana anggota itu telibat dalam tindakan kolektif yang bermakna dan menentang validitas kampanye peradilan pidana yang agressif terhadap mereka. Sebaliknya, Mark Hamm (1997, 2002) yang menggunakan penelitian etnografi jangka panjang di kalangan berbagai subkultur yang terkait dengan para ektrismis dan teroris sayap kanan telah mengungkapkan dimensi yang tersembunyi dari strategi dan idiologi mereka dan juga sangat membantu memperkuat upaya hukum untuk mengontrol mereka. Dari perspektif pakar KB, maka, sebuah pemahaman yang dalam tentang sebuah nilai dan praktek subkultur bisa membantu membentuk lebih banyak respon hukum dan public yang tepat terhadap mereka, apakah respon-respon itu akhirnya menjadi lebih toleran atau lebih menghukum. Dengan gaya yang sama, peneliti lain telah menggunakan perspektif KB di dalam studi etnografi yang mendalam tentang pembalap jalanan, para pemuda pelaku tawuran, petugas polisi, komunitas imigran, pemakai narkoba dan geng pemuda.
Keith Hayward (2004) khususnya telah mengembangkan sebuah analisa KB yang komprehensif tentang kejahatan perkotaan dan control sosial perkotaan di dalam konteks budaya konsumerisme. Berdasarkan dan dengan merevitalisasi tradisi yang telah berlangsung lama dari teori kriminologi dan pengetahuan perkotaan, Hayward telah mengungkapkan banyak cara dimana budaya konsumerisme telah merasuki kehidupan perkotaan dan ruang perkotaan, saling jalin-menjalin dengan praktek, baik dari control hukum dan kejahatan dan dalam banyak cara yang mendefenisikan kota itu sendiri. Dengan mata para pakar KB untuk makna yang disituasikan dan interaksi simbolisme, dia juga telah mendokumentasikan keberadaan dua jenis kehidupan kota yang berbeda di dalam wilayah perkotaan yang luas; di satu sisi, kota dari perencana perkotaan dan otoritas hukum yang teratur dan rasional, dan di sisi lain, kota yang ambigu dan spontan dari para ekonomi di bawah tanah dan subkultur perkotaan yang illegal.
Serangkaian kajian KB telah meneliti interaksi kejahatan, media dan representasi. Banyak kajian ini telah menyelidiki dinamika kompleks dimana media menggunakannya untuk membangun sebuah keprihatinan kejahatan atau isu peradilan pidana dan cara-cara dimana dinamika media ini sebaliknya jalin-menjalin dengan persepsi public dan kebijakan peradilan pidana. Dengan cara ini, para pakar KB telah meneliti, sebagai contoh, kampanye media massa yang mengelilingi kebijakan penghukuman “three strikes and you’re out” dan gerakan-gerakan “get smart on crime,” dan mereka telah menganalisa representasi tentang pelecehan seksual anak, penggunaan narkoba regional, penjahat wanita, dan kontroveri music popular. Perspektif KB juga telah diaplikasikan kepada jangkauan bentuk-bentuk media popular yang luas, termasuk music heavy metal, music bluegrass, buku komik dan karton, pertunjukkan televisi (contoh, CSI [Crime Scene Investigation]) dan filem-filem tentang penjara dan pemolisian. Para pakar KB juga telah meneliti media dan representasi di luar batas-batas konvensional dari media massa, yang berfokus khususnya pada cara-cara dimana representase, kejahatan dan subkultur penjahat yang dimediasikan semakin saling terkunci. Sebagai contoh para pakar KB telah secara cermat mengkaji simbolisme kultur dari kuil yang dibangun sebagai kenangan dari kejadian 11 September 2001, serangan terhadap AS dan pengingat simbolis yang ditawarkan oleh kuil di sisi jalan terhadap korban dari tragedy otomotif. Mereka juga telah mendokumentasikan cara-cara dimana graffiti, yang menggabungkan periklanan, dan pesan politik digabungkan di dalam ruang kota bersama dan cara-cara dimana subkultur criminal semakin didefenisikan oleh kemampuan mereka untuk menemukan media miliki mereka dan juga mengkomunikasikan melampaui satu lokalitas apapun.
Perbandingan-Perbandingan
Ada 2 perbandingan yang bermanfaat diteliti:
  1. Perbandingan antara KB dan beberapa perspektif kriminologi yang lebih konvensional, dan
  2. Perbandingan antara KB dan pendekatan lain yang, seperti KB, berupaya untuk membedakan diri mereka dari kriminologi utama.
Dari sudut pandang pakar KB, realitas kejahatan dan viktimisasi tidak pernah obyektif atau dibuktikan sendiri tetapi selalu dalam dalam proses dibangun, dinterpretasikan, dan diargumentasikan—dan mengikuti apa yang dikatakan dalam teori labeling, proses ini tidak terelakkan lagi sedang terjadi. Maka, bagi pakar KB masalah subyek kriminologi adalah bukan realitas yang obyektif, “jelas” dan bisa diukur dari kejahatan atau peradilan kejahatan tetapi sebaliknya proses budaya yang kompleks dimana realitas ini dibangun dan dibaut bermakna. Dalam pemahaman ini, sebagai contoh, tingkat KDRT bukanlah fakta yang obyektif yang bisa diukur tetapi melainkan realitas yang berpindah yang dipengaruhi oleh bagaimana pasangan RT mendefenisikan kekerasan dan bagaimana mereka memilih untuk melaporkannya kepada polisi, diskresi polisi dalam merespon pengaduan tentang KDRT itu, berbagai perundang-undangan menyangkut KDRT, visibilitas yang lebih besar atau lebih sedikit tentang KDRT di media—dan lebih jauh lagi, interaksi di kalangan semua factor-faktor ini. Karena itu para pakar KB harus memiliki metode-metode seperti etnografi atau etnografi content analysis yang bisa meletakkan mereka di dalam proses interaksi yang sedang terjadi dimana penjahat dan korban kejahatan, petugas polisi dan reporter berita secara bersama membuat kejahatan itu menjadi logis.
Salah satu pendekatan kriminologi utama, kenyataannya, adalah salah satu yang paling popular secara politis dan paling luas digunakan di dalam peradilan pidana—yang juga sangat kontras dengan orientasi KB. Model Broken Windows (Wilson & Kelling, 2003) tentang sebab akibat kejahatan dan pencegahan kejahatan menyatakan bahwa jendela yang rusak, graffiti, dan pemandangan umum yang sama tentang property yang ditelantarkan dan kejahatan tindak pidana ringan berfungsi sebagai undangan terhadap kriminalitas lebih yang besar. Menurut model ini, pemandangan semacam ini menunjukkan kepada public dan penjahat yang potensial sebagai ketiadaan kepedulian public dan kegagalan sebuah control sosial; akibatnya, public mulai putus asa, penjahat melihat tanda ini sebagai dorongan untuk melakukan kejahatan yang lebih besar atau serius, dan begitu juga dengan sebuah spiral dari ketiakpedulian yang lebih jauh dan kejahatan meningkat. Karena diadopsi secara luas oleh politisi dan pejabat peradilan pidana, logika dari model the broken windows telah melahirkan kampanye agressif polisi terhadap kejahatan kehidupan dengan kualitas skala kecil, seperti penulisan graffiti, dan pengemisan, dan strategi penegakan hukum polisi yang menargetkan populasi perkotaan marjinal seperti tunawisma.
Pakar KB, di sisi lain, berpendapat bahwa walaupun model the broken windows ini bisa saja menawarkan sebuah preteks pengetahuan yang nyaman bagi kampanye peradilan pidana semacam itu, namun model ini sama sekali tidak memadai sebagai sebuah teori kejahatan—dan lebih dari itu, ketidakmemadaiannya itu langsung berasal dari kesalahannya dalam memahami tanda-tanda KB utama seperti simbolisme dan makna. Dari sudut pandang kritis ini, model the broken windows hanya mengasumsikan makna dari simbolisme sehari-hari dan menyalahkan sidat persepsi publikd daripada penyelidikan atau pemahaman yang sesungguhnya terhadap simbolisme itu. Pakar KB di dalam penelitian etnografi mereka menemukan bahwa makna simbolis dari fenomena semacam the broken windows dan graffiti jalanan ternyata lebih kompleks daripada sekedar undangan terhadap kejahatan yang lebih besar atau tanda-tanda control sosial yang diasumsikan pakar teori the broken windows. Para pakar KB berpendapat bahwa pekerjaan kriminolog adalah menyelidiki lingkungan perkotaan ini dan meneliti berbagai makna ini dan bukan, sebagaimana di dalam model the broken windows, memberlakukan persepsi yang diasumsikan dan konsekuensi-konsekuensi di dalam pelayanan politik tertentu dan agenda peradilan pidana.
Dalam jenis kritik ini, KB jelas bertentangan dengan lebih banyak pendekatan kriminologi utama, tetapi juga mengungkapkan kesamaan dengan berbagai perspektif kriminologi alternative lainnya. Pertama adalah Teori Subkultur—yang secara luas digunakan baik oleh pakar Kb maupun kriminilog utama. Sebagaimana dikembangkan oleh Al Cohen (1955) dan lainnya, teori subkultur ini pada umumnya berpendapat bahwa kriminolog harus memahami banyak kasus perilaku criminal sebagaimana berada berakar di dalam realitas bersama dari subkultur criminal. Karena hal ini, para kriminolog harus meneliti dinamika kultur tertentu yang mendefenisikan subklutur tersebut—aturan berbicara dan bersikap, gaya berpakaian, emosi bersama, masalah umum—dan sebaliknya harus menyelidiki cara-cara dimana kriminalitas subkultur ini bisa saja menawarkan sebuah solusi kolektif (jika tidak sempurna) kepada anggotanya untuk menyelesaikan masalah mereka. Pendekatan subkultur ini jelas menawarkan banyak kesamaan dengan KB; pendekatan ini sama halnya menawarkan sebuah kritik yang sama tentang model-model kriminologi yang akan tidak memperhatikan, atau sekedar mengasumsikan kelembutan makna, simbolisme dan gaya yang membentuk subkultur criminal.
Pendekatan kriminologi lainnya—Convict criminology—yang secara lebih terbuka setujua dengan KB dalam hal sikap kritis mereka terhadap kriminologi utama dan peradilan pidana. Pendekatan ini sebagian besar ini muncul dari pakar/sarjana yang pernah dipenjara dan yang telah mentransformasikan pemenjaraan mereka sendiri ke dalam sebuah kritik terhadap SPP; pendekatan ini menggunakan penelitian etnografi dan pendekatan lain untuk membangun sebuah analisa budaya yang kritis tentang pemenjaraan massal, kebijakan peradilan pidana yang telah menghasilkannya, dan jenis-jenis penelitian penjara utama dan stereotip media yang mendukungnya. Kriminologi feminis (KF) sepertinya setuju dengan KB dalam analisa tentang jenis-jenis asumsi budaya yang membuat baik kriminologi dan peradilan pidana lebih condong kepada kelompok-kelompok istimewa, serta sebuah kritik terhadap distorsi media tentang penjahat wanita dan korban kejahatan (Chesney-Lind & Irvin, 2008).
Arah Di Masa Depan
Model-model teoritis pakar KB seperti konsep “edgework” dan “seduction of crime” memfokuskan perhatian pada dinamika terdekat dan tertentu yang membentuk pengalaman dan emosi criminal. Akibatnya, pakar KB telah mengembangkan gagasan “instant ethnograhphy” (Ferrel dkk., 2008)—yaitu keterlibatan segera dan mendalam dari seorang peneliti dalam momen-momen melepaskan diri dari krminalitas atau perbuatan melanggar hukum—dan mulai menggunakan metode ini dalam mengkaji pelompat-pelompat BASE dan kelompok lain.
Gagasan baru—liquid etnoghraphy(Ferrel dkk., 2008)—telah berkembang dari pemikiran kembali yang sama tentang penelitian etnigrafi. Etnografi biasanya berfokus pada satu kelompok atau subkultur tunggal yang bisa didefenisikan yang menempati sebuah lokasi berbeda. Namun saat ini kelompok dan subkultur seringkali berpindah, bergerak menuju lokasi baru atau bercampur dengan kelompok baru atau ekonomi global dan migrasi global yang mengaburkan batas-batas dan indentitas yang berbeda. Lebih jauh lagi, sebagaimana telah terlihat dengan konsep celah media dan spiral, kelompok sosial saat ini lebih cenderung dibaurkan dengan citra mereka sendiri, sebagai representasi dari kelompok yang datang membentuk kelompok itu sendiri dan mengalir di kalangan media alternative, media massa, dan institusi lainnya. Maka pendekatan liquid etnoghraphy adalah sebuah tipe etnografi yang disesuaikan dengan situasi-situasi ini—yaitu etnografi yang sensitive terhadap dinamika komunitas transitory; membaur dalam di dalam interaksi yang sedang terjadi dari citra-citra itu; dan sadar tentang ambiguitas, sifat yang berpindah dari kehidupan sosial kontemporer.
Sadar dengan masalah ini dan sensitive terhadap isu gaya dan representase, pakar KB meresponnya dengan semakin melakukan percobaan dengan gaya-gaya keilmuan baru dan model-model komunikasi alternative, dengan tujuan membaut kriminologi semakin terlibat bagi siswa, pembuat kebijakan dan public. Dalam panjangnya laporan, pakar KB dari waktu ke waktu menerbitkan manifesto—teks tertulis yang singkat dan tajam yang mengkomunikasikan ide-ide dan isu-isu utama secara tepat. Daripada mengandalkan bentuk-bentuk penulisan akademik tradisional, pakar KB kadang-kadang menulis cerita-cerita pendek yang memuat tema-tema KB, atau dikenal dengan nama true fiction—yaitu cerita-cerita mencampurkan sejumlah isu-isu kejahatan aktuak yang sedang terjadi ke dalam sebuah bentuk narasi yang lebih menarik pembaca.
Kesimpulan
Kriminologi budaya (KB) menekankan peran yang sangat penting dari simbolisme, makna, dan emosi dalam membentuk realitas kompleks dari kejahatan dan control kejahatan untuk semua pihak-pihak yang terlibat: criminal, korban, agen control kejahatan, politisi, media, dan public. KB di dalam cara ini dirancang untuk beroperasi sebagai sebuah tantangan ganda: terhadap asumsi public yang sederhana tentang kejahatan dan peradilan pidana dan terhadap teori-teori dan metode-metode kriminologi utama yang tidak menyertakan kekuatan-kekuatan budaya. Saat ini, kata pakar KB, tidak akan ada kajian yang bermanfaat terhadap kejahatan kalau tidak menyertakan kajian terhadap budaya.

0 comments:

Post a Comment