Launching Crime Investigation System Polda Jatim
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Wednesday, 15 October 2014
Tuesday, 14 October 2014
Revida Putri : Tips Cara Ampuh Menyembuhkan Rasa Sakit Akibat Dikhianati " mending jujur walau menyakitkan daripada sembunyi sembunyi tapi ketahuan"
11:19
No comments
" Saya Diam bukan berarti Diam "
mending jujur walau menyakitkan daripada sembunyi sembunyi tapi ketahuan
" I can see you in the dark Place even the light on the hole world is off "
Hati siapa yang tak akan sedih dan hancur berkeping-keping setelah dikhianati oleh kekasih, sahabat, atau orang terdekat. Rasa marah, kesal, dan sedih bisa menumpuk jadi satu ketika kita baru saja dikhianati oleh orang yang paling kita percayai. Tapi, bukan berarti kita tak bisa melanjutkan hidup dan menyembuhkan diri dari rasa sakit akibat dikhianati tersebut.
“Everyone suffers at least one bad betrayal in their lifetime. It’s what unites us. The trick is not to let it destroy your trust in others when that happens. Don’t let them take that from you.” ― Sherrilyn Kenyon, Invincible
Dilansir dari womanitely.com, meskipun memaafkan orang yang baru mengkhianati kita itu bukan perkara mudah tapi kita harus bisa mencari cara untuk menghilangkan perasaan negatif.
UPAYA PENANGGULANGAN VIKTIMISASI STRUKTURAL PADA KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA DI INDONESIA
1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Dampak kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi menyebabkan setiap orang di dunia dengan cepat dapat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia. Krisis ekonomi dan politik di dunia menjadi salah satu faktor pendorong yang mempercepat arus perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup. Kondisi yang demikian dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan baik di dalam negeri maupun di luar negeri untuk meraih keuntungan dari aksi kejahatan yang tidak hanya merugikan individu secara ekonomi namun juga dengan melanggar hak asasi manusia (HAM), seperti kejahatan perdagangan manusia.
Perdagangan manusia merupakan salah satu kejahatan transnasional yang terorganisir, karena sebagian kejahatan dilakukan dengan melibatkan jaringan kejahatan lintas negara. Dipicu dengan semangat pengakuan terhadap hak asasi manusia, berbagai kasus kejahatan kemanusiaan seperti halnya perdagangan manusia menjadi isu global. Sedemikian krusialnya masalah perdagangan manusia sehingga Persatuan Bangsa-Bangsa melalui Kantor Komisi Hak Asasi Manusia (Office of High Commissioner of Human Rigths) mengeluarkan Fact Sheet No. 14 tentang Contemporary Forms of Slavery yang ditujukan untuk penanggulangan perdagangan manusia.
Perdagangan manusia juga merupakan kejahatan yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sementara itu, karakteristik dan letak geografis wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyebabkan wilayah kedaulatan Indonesia tidak dapat terbebas dari aktifitas penyelundupan manusia dimana dalam kejahatan tersebut terkait pula dengan perdagangan manusia didalamnya.
b. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah : “ Bagaimana upaya penanggulangan viktimisasi struktural pada korban perdagangan manusia di Indonesia” .
2. PEMBAHASAN
a. Kondisi riil perdagangan manusia di Indonesia
Definisi perdagangan manusia mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Provent, Suppres and Punish Trafficking in Perons Especially Women and Children Suplemeting the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksud dengan perdagangan manusia adalah:
(a)…. The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of person, by means oh threat or use of force or other for more coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulneralibility or a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other form of sexual explanation, forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (Terjemahan bebas: ” … rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/ pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi yang minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi illegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).
“Perdagangan manusia” mengandung arti sebagai pergerakan manusia meninggalkan daerah asalnya secara terpaksa (karena ada ancaman) maupun tidak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat eksploitasi, menekan dan menindas secara psikologis, fisik, seksual maupun ekonomi di tempat tujuan. Secara singkat, “perdagangan manusia” adalah perdagangan manusia lintas batas di dalam maupun di luar negeri, termasuk penyelundupan manusia ke luar lintas batas negara.
Pengertian Korban dalam UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan manusia adalah:”seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/ atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan manusia”. Selain itu, UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberi pengertian korban sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Dengan semakin berkembangnya teknologi di satu pihak dan semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin karena krisis ekonomi, sehingga para sindikat memanfaatkan situasi ini dengan melakukan berbagai bentuk dan cara untuk menjalankan aktivitas perdagangan manusia, sebagai berikut:
a. Bentuk-bentuk Perdagangan Manusia
Ada berbagai bentuk perdagangan manusia, diantaranya yaitu:
1) Buruh migran, baik di dalam maupun di luar negeri yang tanpa perlindungan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur informal atau melanggar hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran secara signifikan. Buruh migran dieksploitasi sepanjang proses migrasi mulai dari perekrutan hingga proses pra-keberangkatan, selama bekerja dan setelah kembali.
2) Pekerja/ Pembantu Rumah Tangga (PRT). PRT kerap menghadapi bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah pribadi dan tertutup dari sorotan masyarakat umum. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan. Ruang gerak PRT biasanya dibatasi. Mereka dibatasi kemana mereka mau pergi, dan biasanya mereka dikurung dirumah ketika majikan mereka pergi. Karena PRT masuk dalam sektor informal, profesi ini seringkali tidak diatur oleh pemerintah dan berada di luar jangkauan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nasional.
3) Perempuan atau anak yang dipekerjakan sebagai pelacur. Perekrutan untuk industri seks komersial sering berkedok perekrutan untuk dijadikan buruh migran. Banyak perempuan-perempuan yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri atau di luar daerah, dan tidak mengetahui dari bentuk yang sebenarnya dari pekerjaan mereka sampai di tempat tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen mereka, dan mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang berwenang karena takut akan dideportasi dan sebagainya. Perekrut mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para perempuan tidak berani melarikan diri. Korban juga disekap secara paksa dan dijaga secara ketat. Perempuan-perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan di sektor hiburan kemuian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial.
4) Kerja Paksa. Orang yang melakukan kerja yang bukan kehendak sendiri dan tanpa memperoleh imbalan yang layak atau tanpa memperoleh imbalan sama sekali.
5) Pengantin pesanan. Ada kecenderungan yang marak di kalangan laki-laki dari negara industri untuk mencari pengantin dari negara berkembang atau sering disebut dengan pengantin pesanan seperti Taiwan, Hongkong, Jepang, Cina, Australia, Amerika Utara dan Eropa. Kebanyakan perempuan yang banyak dipesan berasal dari AsiaTenggara, Eropa Timur dan Amerika Latin. Meskipun banyak kasus pengantin pesanan yang sukses dan bahagia, namun di sisi lain banyak terjadi kasus penganiayaan dan kekerasan fisik atau praktek-praktek perbudakan.
6) Pedofilia (orientasi seksual yang obyeknya anak-anak). Orang dikatakan pedofil atau melakukan praktek pedofil bila melakukan hubungan seksual seperti sodomi, menyentuh, meraba, memainkan alat kelamin, berfantasi tentang anak-anak kecil. Beberapa aktifitas pedofilia yang masuk dalam kategori perdagangan anak, biasanya menjauhkan anak-anak dari orang tua maupun lingkungan keluarga dengan tujuan tertentu seperti eksploitasi seksual.
7) Tenaga Penghibur. Perempuan atau anak perempuan yang direkrut untuk bekerja di tempat hiburan malam menemani pengunjung. Banyak kasus terjadi dimana perempuan yang direkrut mengalami pelecehan seksual dan ancaman bila tidak mau melayani para pengunjung.
8) Pengemis dan anak jalanan. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia di mana anak-anak direkrut, diculik untuk dijadikan pengemis dan anak jalanan.
b. Modus Operandi
Modus operandi sindikat perdagangan manusia dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Dengan ancaman dan pemaksaan. Biasanya dilakukan oleh trafficker yang telah dikenal dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan kedudukannya yang lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan dan kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak dapat menolak keinginan pelaku.
2) Penculikan. Biasanya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotis oleh anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak berdaya.
3) Penipuan, kecurangan atau kebohongan. Modus tersebut merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan fasilitas yang menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikutinya tanpa mengetahui kondisi kerja yang akan dijalani.
4) Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perdagangan manusia banyak aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membacking sindikat perdagangan manusia. Pemalsuan identitas kerap kali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri, seperti pemalsuan kartu tanda penduduk (KTP) dan akta kelahiran. Dibagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan manusia yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan aman.
5) Rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya dilakukan dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap atau memerkosa.
6) Berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. lbu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barang barangkeperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.
Modus operandi kejahatan ini semakin kompeks dalam bentuknya maupun teknis operasionalnya, baik dilakukan secara perorangan, kelompok, maupun bersindikat. Dari beberapa modus operandi dalam serangkaian kegiatan yang diarahkan untuk perdagangan manusia, khususnya bentuk perdagangan perempuan dan anak dapat dikelompokkan, antara lain:
1) sebagai pembantu rumah tangga, akibat dan krisis ekonomi.
2) untuk komoditas seksual (dilacurkan) dan pomografi.
3) untuk tenaga perahan untuk pekerjaan-pekerjaan dalam kurungan, perbudakan, budak paksa atau tenaga kerja paksa antara lain: pekerja anak untuk perkebunan.
4) sebagai pengemis, pengamen atau pekerjaan jalanan lainnya.
5) Adopsi palsu dan/ atau penjualan bayi, yang sering kali ditemukan didaerah konflik atau daerah miskin.
6) sebagai isteri melalui pengantin pesanan (Mail Order Bride) yang kemudian dieksploitasi.
7) alat untuk melakukan perdagangan narkotika
8) Dipekerjakan di perkebunan dan pabrik-pabrik atau tenaga kasar dengan upah sangat murah.
9) sebagai obyek sasaran eksploitasi seksual oleh orang yang mengidap pedofilia, atau orang-orang yang mempunyai kepercayaan tertentu yang hanya mau melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.
10) sebagai obyek percobaan di bidang ilmu pengetahuan atau obyek pencangkokan organ tubuh.
11) sebagai komoditi dalam pengiriman tenaga kerja imigran.
12) sebagai alat bayar hutang.
Modus operandi dengan jebakan hutang menjadi satu modus utama yang digunakan oleh semua trafficker karena dianggap cukup efektif dalam mengendalikan korbannya. Jeratan hutang dimanfaatkan untuk mengikat korban agar tidak kembali ke daerah asal dan terus bekerja di lokasi yang sudah diatur oleh trafficker. Hutang yang dibebankan kepada korban berdasarkan kalkulasi pengeluaran yang telah dikeluarkan untuk kepentingan pemberangkatan korban dari daerah asal ke daerah tujuan. Dalam kasus-kasus jeratan hutang, biasanya hutang sudah timbul sejak memulai proses perpindahan ke daerah lain untuk tujuan mencari atau bekerja. Tidak hanya masalah korban tidak mempunyai uang untuk membayar semua biaya untuk keperluan bekerja, melainkan para korban juga dikondisikan untuk mempunyai hutang kepada pelaku dengan jumlah yang besar, seperti dompet dan uang dirampas, korban dijanjikan bekerja dengan biaya gratis atau ditanggung pelaku sehingga korban tidak perlu memikirkan atau mempersiapkan biaya. Situasi tersebut menjadikan trafficker mempunyai kendali penuh terhadap diri korban. sehingga mudah memaksakan kehendak dan kepentingannya kepada korban. Akibatnya para korban mengalami kesulitan untuk keluar atau melepaskan diri dari situasi yang mengeksploitasi mereka.
Modus perdagangan manusia yang akhir-akhir ini juga marak adalah menghilangkan dokumen ketika korban sudah sampai ditempat tujuan, supaya mereka masuk lagi ke Indonesia melalui jalan-jalan tikus. Hanya saja ketika mereka tertangkap biasanya tidak diproses hukum, selain pertimbangan bahwa mereka merupakan warga Indonesia. Kalaupun tertangkap, mereka hanya diberi pengarahan bahwa apa yang dilakukannya salah dan dijelaskan mengenai pentingnya dokumen bagi mereka. Mereka biasanya akan diinapkan di kantor polisi semalam atau diserahkan ke Dinas Sosial, yang biasanya kemudian dipulangkan oleh Dinas Sosial secara gratis dengan menggunakan kapal laut. Atau bila mereka mau membiayai kepulangannya sendiri, maka polisi membantu pengurusannya untuk pulang langsung ke daerah asalnya. Bantuan tersebut diperlukan agar mereka tidak dijadikan sasaran pemerasan oleh tekong-tekong di sini. Karena kadang-kadang mereka dikenakan paket biaya pulang mulai dari carter mobil menuju ke pesawat, biaya pesawat, biaya kapal, dan sebagainya.
Modus lainnya adalah perkawinan palsu. Modus ini terungkap dari kasus yang dilakukan oleh orang Malaysia yang melakukan pernikahan dengan orang Indonesia dan tercatat dilakukan di Bekasi. Namun ketika keabsahan pernikahan tersebut- dicek di KUA Bekasi, ternyata buku nikahnya fiktif karena tidak tercatat di KUA. Jadi pernikahan tersebut sebenarnya hanya sebagai modus trafficking yang dilakukan untuk mengelabui petugas penegak hukum, karena realitanya mereka yang menjadi korban pernikahan ini akhirnya dijual ke negara lain..Ada juga modus di mana orang Nigeria mengawini secara resmi perempuan Indonesia yang masih produktif tetapi membutuhkan finansial. Kemudian setelah hamil dan melahirkan, mereka di bawa ke luar negeri. Selanjutnya perempuan tersebut diberi ongkos untuk pulang ke Indonesia tetapi anaknya ditinggal di luar negeri.
Modus operandi tersebut terjadi dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari keluarga, kawan, calo, penyalur tenaga kerja (agen), oknum aparat, sindikat serta pengguna.
b. Viktimisasi struktural perdagangan manusia di Indonesia
Fenomena perdagangan manusia ibarat fenomena gunung es, dimana angka yang tersembunyi di bawah permukaan jauh lebih besar ketimbang yang terlihat di permukaan. Berdasarkan data dari International Organization for Migration (IOM), kasus perdagangan manusia di Indonesia saat ini semakin meningkat, dengan lebih dari 80 persen korbannya adalah perempuan selanjutnya diikuti oleh anak-anak. Kejahatan Perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat terhadap HAM dengan modus operandi yang semakin beragam dan dalam berbagai bentuk, seperti eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, jerat hutang, kawin kontrak dan kawin usia dini.
Berdasarkan studi kasus diatas, maka penulis berpendapat telah terjadi viktimisasi struktural pada perdagangan manusia di Indonesia. Dimana korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Viktimisasi struktural yang terjadi dalam kasus perdagangan manusia ini menurut saya dapat dikategorikan sebagai economically structural victimization dan social structural victimization .
Terkait dengan kejahatan perdagangan manusia, Indonesia telah menjadi salah satu sasaran utama dari para trafficker. Menurut IPEC (suatu organisasi di bawah International Labor Organization) sampai saat ini diperkirakan jumlah total pekerja seks di Indonesia mencapai lebih dari 650.000 orang perempuan dalam usia anak-anak. Anak-anak perempuan banyak diperdagangkan dan dipekerjakan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya serta kota tujuan lainnya seperti: Batam, Bali dan Medan. Bahkan perdagangan manusia ini juga dilakukan secara lintas negara seperti Taiwan, Singapura, Hongkong, Brunei dan lain-lain
Para aktivis pembela buruh migran memasukkan persoalan buruh migran sebagai bagian dari persoalan “perdagangan manusia”, karena pola rekrutmen calon tenaga kerja yang berlangsung di Indonesia selama ini sampai pemberangkatan dan perlakuan di tempat tujuan mengandung semua unsur “perdagangan manusia”. Memanfaatkan kondisi dan praktek sosial di daerah/ negara asal korban untuk menjerat korbannya. Kebiasaan ‘ngenger’ atau merantau, ketidaksetaraan jender, kemiskinan, gaya hidup konsumtif dan bencana alam sering digunakan pelaku untuk menjerat korban keluar dari situasi tersebut dan dengan kekuasaan yang dimilikinya, pelaku mengiming-imingi korban dengan janji-janji muluk dan kemudian memeras korban baik secara fisik maupun seksual.
Negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya agar tidak menjadi korban atau dirugikan dari perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, kesadaran bersama seluruh penyelenggara negara, masyarakat dan aparat penegak hukum, untuk peduli terhadap orang yang menderita, terlanggar haknya, atau menjadi korban dari perbuatan sewenang-wewenang dan tidak manusiawi dari orang lain.
c. Penanggulangan viktimisasi struktural perdagangan manusia di Indonesia
Mengingat begitu seriusnya masalah perdagangan manusia tersebut maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan manusia secara lebih efektif. Perdagangan manusia, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik antara aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing dan kode etik instansi.
Pada kasus penanggulangan viktimisasi struktural perdagangan manusia di Indonesia ini dapat dilakukan dengan kerjasama di antara semua pihak yang bergerak di dalam pencegahan dan penanggulangan perdagangan manusia, khususnya perempuan, antara lain adanya keterbatasan setiap institusi, baik secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional, dibutuhkannya penanganan kasus secara komprehensif dan terpadu bagi pencegahan dan penanganan perdagangan perempuan yang memang memiliki karakteristik yang kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah, lintas negara) sehingga membutuhkan penanganan yang tidak biasa (extraordinary). Oleh karena itu kebutuhan akan kerjasama tidak dapat dihindari. Kerjasama ini pada dasarnya juga bertujuan untuk memberikan kembali hak-hak korban dalam kasus perdagangan manusia.
Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penaggulangan perdagangan manusia secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam hukum. Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan antara aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance (MLA), bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara
Selain upaya represif, dibutuhkan juga upaya preventif dengan menggunakan metode pendekatan secara sosial (Sosia/ CrimePrevention) dalam upaya mencegah “perdagangan perempuan” seperti yang diungkapkan oleh M. Kemal Dermawan bahwa Social Crime Prevention adalah segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran.
Indonesia mempunyai UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia yang disahkan pada tanggal 19 April 2007 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720.
Koordinasi dan kerjasama di antara semua pihak yang bergerak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan sangat diperlukan. Keperluan membangun Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi, antara lain, karena (a) adanya keterbatasan setiap institusi baik secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional, (b) dibutuhkannya penanganan kasus secara komprehensif dan terpadu bagi pencegahan dan penanganan perdagangan perempuan yang memang memiliki karakteristik yang kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah, lintas negara) sehingga membutuhkan penanganan yang tidak biasa (extraordinary).
Terwujudnya Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi tersebut dimungkinkan jika ada dukungan kesediaan dari segenap pelaku pencegahan dan penaggulangan perdagangan perempuan yang telah ada, dukungan legal, serta dukungan dan fasilitasi yang memadai. Kerjasama lintas negara menjadi salah satu kunci pemberantasan tindak pidana penyelundupan manusia. Karena itu, Indonesia perlu mengadopsi ketentuan internasional berkaitan dengan pencegahan dan penindakan pelaku penyelundupan manusia dengan mengesahkan dua protokol internasional terkait. Disamping itu Indonesia juga harus memperkuat payung hukum dengan meratifikasi Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisir, melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2009 dan mengesahkan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara (Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air). Protokol ini merupakan pelengkap bagi Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisir.
Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan-tindakan pencegahan (prevention), menindak dan menghukum(prosecution) dengan tegas pelaku perdagangan orang (trafficker), serta melindungi (protection) korban melalui upaya repatriasi, rehabilitasi, konseling, pendidikan dan pelatihan keterampilan, termasuk menjamin hal-hal yang berkaitan dengan HAM-nya agar mereka bisa mandiri dankembali berintegrasi ke masyarakat. Mengingat bahwa perdagangan orang berkaitan dengan kejahatan terorganisir lintas negara, maka kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun regional serta kerjasama dengan badan-badan dan LSM internasional akan terus dibina dan dikembangkan.
Kerjasama lintas negara menjadi salah satu kunci pemberantasan tindak pidana penyelundupan manusia, karena sifatnya sudah mengglobal. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengadopsi ketentuan internasional berkaitan dengan pencegahan dan penindakan pelaku perdagangan dan penyelundupan manusia. dengan mengesahkan dua protokol internasional. Indonesia juga memperkuat payung hukum dengan meratifikasi Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisir, melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2009 dan mengesahkan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara (Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air). Protokol ini merupakan pelengkap bagi Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisir.
Masalah lainnya adalah masuknya imigran gelap yang berasal dari Timur Tengah dan Asia, seperti : Afganistan, Pakistan, Vietnam dll yang akan menuju ke Australia dan Selandia Baru, dimana Indonesia dijadikan sebagai “wilayah transit”. Meskipun para imigran tersebut sudah ditangani oleh lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM, namun karena cukup banyak imigran yang ditampung di Indonesia telah cukup menimbulkan masalah sosial di sekitar wilayah penampungannya.
3. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat terhadap HAM dengan modus operandi yang semakin beragam dan dalam berbagai bentuk, seperti eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, jerat hutang, kawin kontrak dan kawin usia dini. Dimana sebelumnya korban diiming-imingi dengan tawaran yang menggiurkan. Terkait dengan kejahatan ini yang menjadi masalah paling krusial bagi Indonesia adalah pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) secara illegal yang menimbulkan masalah di luar negeri, seperti: TKI yang terlantar dan menjadi korban kejahatan di tempat kerja, perdagangan wanita dan anak dibawah umur untuk bisnis sex, jual beli bayi, dan mempekerjakan anak dibawah umur secara illegal.
b. Upaya pencegahan dan penanggulangan terpadu terhadap perdagangan manusia, menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap perdagangan perempuan di daerah tujuan dan atau transit belum terlaksana secara efektif, sehingga tindak perdagangan manusia masih banyak terjadi. Dalam rangka menanggulangi perdagangan manusia tersebut diperlukan suatu upaya pencegahan dan penanggulangan terpadu antar institusi terkait, baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional.
c. Kerjasama lintas negara menjadi salah satu kunci dalam upaya pemberantasan tindak pidana penyelundupan manusia. Karena itu, Indonesia perlu mengadopsi ketentuan internasional berkaitan dengan pencegahan dan penindakan pelaku penyelundupan manusia tersebut.
Viktimisasi struktural yang terjadi dalam kasus perdagangan manusia ini menurut saya dapat dikategorikan sebagai economically structural victimization dan social structural victimization , adapun alasannya adalah karena modus operandi dengan jebakan hutang menjadi satu modus utama yang digunakan oleh semua trafficker karena dianggap cukup efektif dalam mengendalikan korbannya. Jeratan hutang dimanfaatkan untuk mengikat korban agar tidak kembali ke daerah asal dan terus bekerja di lokasi yang sudah diatur oleh trafficker. Adapun social struktural victimization karena menyangkut kehidupan social para korban perdagangan manusia pada masyarakat sekitar maupun negara.
Penanganan perdagangan manusia tidak dapat dilakukan oleh institusi Polri sendiri, melainkan harus dilakukan secara terpadu dan sinergis oleh seluruh institusi yang berkewenangan. Melalui pelaksanaan program kemitraan diharapkan terwujud sinergisme antara Polri dengan instansi lintas sektoral dalam penanggulangan dan antisipasi perdagangan manusia. Kemitraan yang diharapkan terwujud adalah kemitraan yang dapat mendukung secara sinergis setiap kegiatan penanggulangan dan antisipasi kejahatan perdagangan manusia baik secara pre-emtif, preventif, maupun represif (penegakan hukum). Dengan demikian akan terwujud kesamaan persepsi dan pola tindak terhadap setiap aktifitas perdaganghan manusia yang dapat menangkal berbagai modus operandi seperti pelanggaran perijinan, penggunaan dokumen palsu, penggunaan illegal permit, atau penyalahgunaan wewenang di berbagai tempat-tempat rawan seperti pelabuhan laut, bandara, jalur pantai, pulau-pulau terluar, stasiun KA/bus/angkot, tempat penampungan, tempat hiburan, dan tempat-tempat rawan lainnya.
Upaya penanggulangan perdagangan manusia harus menjadi perhatian dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Pemerintah harus menjadi the strong leadership dalam menangani kasus ini. Saat ini telah ada upaya yang signifikan dari pemerintah dalam melakukan upaya pencegahan perdagangan manusia. Salah satu capaian dalam kasus ini yaitu terbentuknya Undang-Undang Perdagangan Manusia tahun 2007. Disamping itu dalam pencegahan kejahatan ini Pemerintah tidak hanya berhenti hanya dengan menggelar seminar-seminar, tetapi langsung bertindak ke kantung-kantung rekrutmen. Sedangkan dalam rangka kerja sama internasional, berbagai organisasi Internasional baik formal maupun informal menggelar berbagai pertemuan antar negara dengan menetapkan kesepakatan-kesepakatan internasional baik multilateral maupun bilateral dalam rangka perlindungan individu sebagai korban kejahatan dari pelanggaran hak-hak asasi manusia.
BAHAN BACAAN
BUKU:
- Prof.Adrianus Meliala PhD, Viktimologi (Bunga rampai kajian tentang korban kejahatan),Dep Kriminologi UI.
- Muhammad Mustofa, Kriminologi( Kajian sosiologi terhadap Kriminalitas,perilaku menyimpang dan pelanggaran hukum), Sari Ilmu Pratama 2010
- Dra. Mamik Sri Supatmi, Dasar-dasar Teori sosial kejahatan
- Louise Brown: Sex Slaves, Sindikat perdagangan erempuan di Asia, Yayasan obor Indonesia 2005.
- Sulistyowati Irianto: Perdagangan perempuan dalam jaringan pengedaran narkotika,Yayasan obor Indonesia 2005.
- Penanganan Polri terhadap kasus perdagangan perempuan dan anak
- Drs. Adami Chazawi: Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa
- Drs. Abdul Wahid,SH,MH : Perlindungan terhadap korban kekerasan
- Panduan untuk penegak hukum: Memerangi perdagangan manusia
JURNAL:
- PEREMPUAN 36, Pendampingna korban trafiking untuk pencerahan dan kesetaraan
Pria Ini Bunuh Teman Sekerjanya Dengan Gergaji Kayu

surya/sugiyono
Kapolsek Bungah AKP Moch. Sudirman, melihat tempat kejadian pembunuhan di galangan kayu, Dusun Gunungsari, Desa Indrodelik, Kecamatan Bungah, Selasa (14/10/2014).
Polda Jatim, GRESIK - Suyono (41), warga Desa Sukomulyo, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, dibunuh teman kerjanya Khoirul Anam (37), warga Dusun Catak Gayam, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, Selasa (14/10/2014).
Kejadian tersebut berlangsung di galangan kayu untuk membuat kusen-kusen di Dusun Gunungsari, Desa Indrodelik, Kecamatan Bungah.
Informasi dari Polsek Bungah, Suyono dan Khoirul tidur satu tempat di galangan kayu tersebut.
"Korban tiba-tiba dipukul dengan balok kayu di kepala, kemudian leher dan pergelangan tangan kirinya digergaji," kata Kapolsek Bungah AKP Moch. Sudirman kepada SURYA Online.
Saat ini, polisi masih mendalami motif pembunuhan tersebut dengan menangkap tersangka dan memintai keterangan saksi-saksi.
Satlantas Polres Magetan Siagakan Pemburu Bus Ugal -ugalan

Polda jatim, MAGETAN - Polisi Lalu Lintas (Polantas) Polres Magetan siagakan regu pemburu, yang akan mengejar bus ugal ugalan dan berkecepatan tinggi mulai masuk wilayah Kecamatan Maospati hingga perbatasan wilayah Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi.
"Kami siapkan dua regu pemburu di jalur jalan antar provinsi, Magetan - Solo,"kata Kepala Satuan Polisi Lalu Lintas (Kasat Lantas) Polres Magetan AKP Sudarhanto kepada Surya, Selasa (14/10/2014).
Dikatakan AKP Sudarhanto, penempatan regu pemburu dijalur padat antar provinsi yang masuk wilayah hukumnya itu sebagai tindak lanjut banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas yang memakan banyak korban jiwa dengan melibatkan angkutan bus antar kota antar provinsi dan antar kota dalam provinsi itu.
Dalam sehari kemarin, kecalakaan lalu lintas yang melibatkan bus angkutan umum di wilayah jalur jalan Provinsi Jatim ada dua kasus, memakam delapan jiwa manusia, ke-tujuh meninggal dunia, seluruhnya penumpang bus Harapan Jaya yang terpental setelah sopir bus yang menjalankan kendaraannya dengan kecepatan tinggi dan tidak bisa menguasainya saat berada di tikungan tajam wilayah Kabupaten Sidoarjo.
Kedua, kasus kecelakaan yang terjadi pas ditengah jembatan Maospati, Kecamatan Maospati, Kabupaten Magetan, bus Mira melanggar kendaraan bermotor hingga pengendaranya tewas ditempat kejadian dan menjadikan arus jalan Madiun - Solo macet beberapa saat.
"Kedua regu itu masing masing kami tempatkan di pertigaan Maospati jurusan Barat, Kabupaten Magetan dan satu regu di Pos Baluk, Karangrejo, Magetan yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Ngawi,"kata AKP Sudarhanto pindahan dari Polda Jatim ini.
Kedua regu pemburu ini seluruhnya menggunakan motor besar dengan kapasitas mesin tinggi. Regu pemburu itu selain akan menghentikan, juga akan menindak pengemudi bus yang ugal ugalan.
"Jelas kami akan menindak pengemudi yang menjalankan bis dengan ugal ugalan,"kata AKP Sudarhanto, sembari mengatakan hingga Selasa (14/10) siang ini, belum ada bus yang melanggar kecepatan dan ugal ugalan lewat di wilayah hukumnya.
Gerbong Mutasi Kembali Mengangkut Pejabat Polda Jatim
Polda Jatim SURABAYA - Gerbong mutasi di jajaran Polri kembali bergulir di Polda Jawa Timur. Berdasarkan TR Mabes Polri ST/1883/VIII/2014 tertanggal 28 Sepetember 2014 sejumlah jabatan strategis Polri dirotasi.
Di antaranya jajaran Kapolres di Polda Jatim yang dimutasi yakni Kapolres Malang AKBP Adi Deriyan akan menjabat sebagai Wadir Um Polda Jabar. Posisi Kapolres Malang akan diisi AKBP Aris Haryanto sebelumnya Kapolres Pacitan.
Selanjutnya Kapolres Sidoarjo AKBP Marjuki melanjutkan tugas ke Baintelkam Polri. Jabatannya diisi AKBP Anggoro Sukartono sebelumnya Kapolres Nganjuk. Sedangkan jabatan Kapolres Nganjuk diisi AKBP M Anwar Nasir sebelumnya Kapolres Sorong Polda Papua.
Sedangkan AKBP Hadi Utomo yang baru menjabat Ka SPKT Polda Jatim akan menjabat Kapolres Situbondo mengantikan AKBP Erthel Stephen yang dimutasi sebagai Kapolres Kediri Kabupaten. Untuk Kapolres Kediri AKBP Dheny Hariady dipromosikan menjadi Wakasat Brimob Polda Sumut.
Kapolres Sampang AKBP Imran Edwin Siregar menempati pos baru sebagai Wadir Intel Polda Jatim. Jabatan Kapolres Sampang diisi AKBP Yudo Nugroho Sugianto sebelumnya Kaden I Sat Brimob Polda Jatim.
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Awi Setiyono membenarkan mutasi sejumlah pejabat Polri di lingkup Polda Jatim.
"Kami kira itu sesuatu yang biasa dan wajar," tutur Awi Setiyono.
Monday, 13 October 2014
"Harddisk" Eksternal Terkencang di Dunia

External storage Lacie Little Big Disk
KOMPAS.com — Perangkat media penyimpanan eksternal biasanya lebih lamban dari saudaranya yang tertanam di dalam komputer. Namun, hal tersebut tampaknya tak berlaku untuk produk bernama Little Big Disk dari Lacie ini.
Dikutip dari The Inquirer, Little Big Disk yang diumumkan pada awal pekan ini diklaim sebagai media penyimpanan eksternal terkencang di dunia. Kecepatan transfer datanya terbilang fantastis, yaitu mencapai 1.375 MB per detik.
Dalam konfigurasi paralel, dengan dua koneksi Thunderbolt 2 paralel ke komputer Apple Mac Pro, angka itu bisa ditingkatkan hampir dua kali lipat menjadi 2.600 MB per detik. Data sebesar 1TB (1.000 GB) pun bisa ditransfer dalam waktu kurang dari tujuh menit.
Rahasia kecepatan Little Big Disk terletak pada jenis media yang digunakannya. Perangkat external storage ini tidak mengandalkan harddisk biasa, tetapi sepasang solid state drive (SSD) 500 GB dalam konfigurasi RAID 0.
Kedua SSD menghasilkan kapasitas total sebesar 1TB (500 GB + 500 GB) dan tersambung ke interface PCIe berkecepatan tinggi. Koneksi ke komputer dilakukan melalui kabel Thunderbolt 2.
Untuk apa kecepatan setinggi itu? Lacie mempromosikan Little Big Disk sebagai media penyimpanan yang ideal untuk penyuntingan video 4K, terutama untuk editing di lapangan. Perangkat ini disebut memungkinkan pengguna melakukan editing dan pemutaran video 4K dalam waktu bersamaan.
Kemampuan Little Big Disk harus ditebus dengan harga sangat tinggi. Untuk membeli tiap unit external storage berkapasitas 1 TB ini, peminat harus merogoh kocek sebesar 1.300 dollar AS atau sekitar Rp 14,8 juta.
Dikutip dari The Inquirer, Little Big Disk yang diumumkan pada awal pekan ini diklaim sebagai media penyimpanan eksternal terkencang di dunia. Kecepatan transfer datanya terbilang fantastis, yaitu mencapai 1.375 MB per detik.
Dalam konfigurasi paralel, dengan dua koneksi Thunderbolt 2 paralel ke komputer Apple Mac Pro, angka itu bisa ditingkatkan hampir dua kali lipat menjadi 2.600 MB per detik. Data sebesar 1TB (1.000 GB) pun bisa ditransfer dalam waktu kurang dari tujuh menit.
Rahasia kecepatan Little Big Disk terletak pada jenis media yang digunakannya. Perangkat external storage ini tidak mengandalkan harddisk biasa, tetapi sepasang solid state drive (SSD) 500 GB dalam konfigurasi RAID 0.
Kedua SSD menghasilkan kapasitas total sebesar 1TB (500 GB + 500 GB) dan tersambung ke interface PCIe berkecepatan tinggi. Koneksi ke komputer dilakukan melalui kabel Thunderbolt 2.
Untuk apa kecepatan setinggi itu? Lacie mempromosikan Little Big Disk sebagai media penyimpanan yang ideal untuk penyuntingan video 4K, terutama untuk editing di lapangan. Perangkat ini disebut memungkinkan pengguna melakukan editing dan pemutaran video 4K dalam waktu bersamaan.
Kemampuan Little Big Disk harus ditebus dengan harga sangat tinggi. Untuk membeli tiap unit external storage berkapasitas 1 TB ini, peminat harus merogoh kocek sebesar 1.300 dollar AS atau sekitar Rp 14,8 juta.
Sunday, 12 October 2014
Samsung Produksi SSD untuk Percepat Transisi

SSD 3D V-NAND Samsung
Samsung Electronics telah memperkenalkan teknologi memori flashtriple-level-cell (TLC) 3D V-NAND sejak beberapa lama. Namun, raksasa Korea ini berencana mengombinasikannya dengan teknologi 3D V-NAND 3-Bit untuk membuat SSD yang lebih terjangkau.
Sebelumnya, di ajang IFA 2014 Berlin lalu, Samsung telah memamerkan prototipe SSD berbasis memori flash NAND (SSD 850 EVO) yang diklaim dibuat dengan ongkos produksi murah dengan performa dan ketahanan yang lebih lama.
Kini, dikutip KompasTekno dari situs Business Wire (8/10/2014), Samsung dikabarkan telah mulai memproduksi memori flash 3D V-NAND Multi Level Cell (MLC) 3-bit.
"Dengan tambahan lini SSD baru dengan densitas tinggi yang murah dan kencang, kami yakin 3-bit V-NAND akan bisa mempercepat transisi penyimpanan data dari hard disk ke SSD," demikian terang Jaesoo Han, Senior Vice President, Memory Sales & Marketing, Samsung Electronics.
V-NAND 3-bit ini menjadi generasi SSD V-NAND kedua Samsung yang menggunakan 32 lapisan cell yang ditumpuk secara vertikal per chip dalam memori NAND. Masing-masing chip akan menyediakan kapasitas penyimpanan 128 gigabit.
Dalam struktur chip V-NAND buatan Samsung, setiap cell terhubung secara elektrik dengan lapisan non-konduktif melalui teknologi Charge Trap Flash (CTF). Setiap rak celldisusun secara vertikal menumpuk satu sama lain membentuk apa yang disebut dengan multibillion-cell chip oleh Samsung.
Dengan menggunakan teknologi 3-bit per cell, serta susunan cell yang ditumpuk-tumpuk sebanyak 32 lapisan itu, maka Samsung mengklaim bisa meningkatkan efisiensi jumlah memori yang dihasilkan.
Jika dibandingkan dengan memori flash 3-bit planar NAND dengan teknologi 10 nanometer, maka memori V-NAND 3-bit ini memiliki produktivitas yang meningkat dua kali lipat.
Samsung berharap dengan SSD baru generasi keduanya itu, makin banyak konsumen yang menggunakan memori penyimpanan SSD, baik dari kalangan pengguna PC rumahan hingga server-server perusahaan besar.
ROBERT K. MERTON: Struktur Sosial dan Anomie
Dalam artikelnya yang berjudul “Struktur Sosial dan Anomie,” Robert K. Merton (1938) menggunakan konsep-konsep anomie dan teori penyimpangan di dalam analisa tentang system reward orang Amerika. Merton mengatakan bahwa sebuah keadaan umum anomie menyebarkan masyarakat Amerika karena ada sebuah kontradiksi (“disjunction”) antara tujuan budaya dan cara untuk berhasil. Tujuan budaya keberhasilan (misalnya, memiliki uang banyak, memiliki rumah sendiri, memiliki mobil) disebarkan secara luas bersamaan dengan idiologi yang dimiliki setiap orang yaitu peluang yang sama untuk mencapai tujuan ini. Namun, kenyataannya peluang-peluang itu terdistribusikan dengan adil. Alat utama untuk mencapai keberhasilan, pendidikan dan pekerjaan tidak dapat diperoleh dengan adil. Kualitas pendidikan dan peluang kerja dan reward sangat bervariasi sesuai dengan kelas social. Disequilibrium terjadi ketika tujuan budaya dan cara-caranya tidak disinkronkan, ketika sejumlah besar orang tidak mendapatkan akses ke tujuan budaya dan cara-caranya (menghasilkan hambatan social).
Menurut teori hambatan Merton, masyarakat Amerika mempromosikan tujuan budaya tentang kesuksesan dengan memasukkan 3 aksioma (keyakinan) kepada semua anggotanya.
- Setiap orang berjuang demi kesuksesan, karena kesuksesan terbagi secara sama bagi semua orang.
- Kegagalan hanyalah jalan memutar sementara hingga mencapai kesuksesan.
- Kegagalan sesungguhnya adalah orang yang mengurangi atau menarik mundur ambisinya untuk sukses.
Aksioma-aksioma ini dikalkulasikan ke dalam anggota masyarakat dengan 3 alasan:
1) Aksioma itu mencegah kecaman dari akar structural social dengan menempatkan kesalahan atas kegagalan itu pada individu.
2) Aksioma membantu mempertahankan status quo.
3) Aksioma menciptakan tekanan-tekanan untuk kesesuaian dengan mendefenisikan kegagalan sebagai sesuatu yang bukan Amerika.
Dengan mengetahui dampak dan kekuatannya, bagaimana manusia bereaksi terhadap hambatan-hambatan antara tujuan budaya dan cara-caranya? Merton menyatakan bahwa adaptasi terhadap anomie (yang didefenisikannya kembali menyangkut hambatan) bisa saja terjadi dalam salah satu bentuk dari 5 reaksi yang berbeda: kesesuaian, inovasi, ritualisme, kemunduran, dan pemberontakan (lihat Tabel 8-1).
- Kesesuaian—mode adaptasi yang paling umum menyatakan bahwa manusia menerima cara budaya dan tujuan budaya. Pemuda yang menunda kepuasan dengan bekerja keras di sekolah, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk mampu membeli rumah, mobil dan barang mewah, sedang menyesuaikan dengan harapan dan nilai-nilai masyarakat.
- Inovasi—menandakan para individu yang menerima tujuan budaya tetapi menganut cara atau alat non-konvensional untuk mendapatkan tujuan, misalnya, mereka mungkin saja mencontek untuk mendapatkan terbaik di sekolah atau di pekerjaan, atau mereka bisa saja menipu atau mencuri untuk memperoleh kekayaan. Di antara banyak pemuda-pemuda di pusat kota, perdagangan obat-obatan bisa saja dipandang seperti bisnis konvensional lain—sebagai cara untuk membuat keuntungan.
- Ritualisme—mengacu kepada tipe adaptasi “anggur asam” (Aesop’s Fox, tidak mampu mencapai anggur tersebut, dirasionalkan bahwa dia tidak menginginkan anggur itu karena anggur itu asam). Individu yang dihalangi dari tujuan kesuksesan menyesuaikan diri dengan meninggalkannya; namun, individu it uterus menyesuiakan diri dengan hukum dan norma-norma masyarakat. Konsep Oscar Lewis (1966) tentang “budaya kemiskinan” mengutip model adaptasi ini. Banyak orang dalam lingkungan miskin menyerah tentang “Mimpi Amerika”; namun mereka terus berjuang dan hidup dengan menaati hukum. Banyak pemuda yang bersekolah telah menerima fakta bahwa mereka tidak akan bisa lanjut ke perguruan tinggi. Mereka menerima kegagalan mereka sendiri; tetapi mereka terus “bersekolah,”
- Retreatisme (kemunduran)—melibatkan penolakan baik tujuan budaya maupun cara budaya. Beberapa contoh luar biasa dari model adaptasi ini termasuk orang-orang yang keluar (DO) dari arus utama kehidupan dan menjadi consumer penyalahgunaan obat-obatan, atau pemuda yang DO dari kehidupan konvensional untuk bergabung dengan pengikut keagamaan atau beberapa subkultur menyimpang lainnya, atau seorang eksekutif bisnis yang meninggalkan keluarga dan pekerjaannya untuk hidup di antara tuna wisma.
- Pemberontakan—adalah penolakan tujuan dan cara yang ada dan pengganti tujuan dan cara yang baru. Individu-individu yang memilih bentuk adaptasi ini seringkali berupaya untuk merusak aturan social yang ada dan mengganti dengan aturan yang baru. Kelompok subversive dan terroris, serta beberapa geng remaja nakal, telah dijelaskan dalam gaya ini. Konotasi negative biasanya dikaitkan dengan kelompok semacam ini dan kegiatan mereka karena terculture (oposisi tertata terhadap cara budaya) juga bisa dipandang sebagai bentuk pemberontak, khususnya selama tahap perkembangannya yang lebih banyak konflik pada tahun 1960-an, pemuda yang menghadapi budaya menolak obsesi dengan kesuksesan moneter dan dorongan untuk nilai. Pemberontakan adalah gerakan kembali ke dasar penghargaan yang lebih besar dari sifat dan focus alamiah tentang badan yang sehat dan lingkungan yang sehat, dan meletakkan perilaku terhadap orang lain. Ketika banyak pemuda dari tahun 60-an dikriminalisasi dan dihukum atas sifat mereka yang tidak sesuai dan memberontak, gerakan ini relative berhasil: Banyak dari nilai-nilai yang melawan budaya ini telah diadopsi secara luas.
Albert K. Cohen: Kejahatan sebagai sebuah Reaksi Terhadap sekolah dan Nilai Kelas Menengah
Seperti Merton, Albert Cohen (1955) mengakui adanya penyangkalan peluang pendidikan, cara yang paling mudah untuk memperoleh kesuksesan, menciptakan frustasi atau hambatan-hambatan. Cohen menyatakan bahwa pemuda kelas bawah tidak mampu berkompetisi secara adil dengan pemuda kelas menengah di system sekolah yang umumnya diarahkan menuju nilai-nilai dan cita-cita kelas menengah dan hal ini menguntungkan siswa dari kelas menengah.
Cohen menyatakan bahwa pemuda dari kelas bawah menciptakan perlawanan sebagai respon terhadap penolakan dan diskriminasi yang mereka alami di sekolah kelas menengah. Kelompok yang melawan budaya menawarkan sebuah nilai-nilai alternative sebagai system dukungan social (misalnya, asosiasi diferensial) dimana mereka bisa memperoleh kembali martabat dan kehormatan mereka yang hilang. Namun, sebagai formasi reaksi terhadap nilai-nilai dan standar kelas menengah dan sebagai mekanisme pertahanan terhadap frustasi, geng ini memperkuat praktik-praktik dan sikap yang negative, non-utiliter, dan hedonis. Penekanan ditempatkan pada gratifikasi menengah, perusakan property, ketidaksediaan dan sikap kasar yang terjadi tiba-tiba. Bagi Cohen, subkultur menyimpang dari siswa kelas bawah menunjukkan solusi yang agak tidak sempurna terhadap masalah ini.
Walter Miller: Keprihatinan Terpusat
Pada tahun 1958 Walter Miller menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Lower-Class Culture as a Generating Milieu of Gang Delinquency.” Berdasarkan kajian antropologinya, Miller menyimpulkan bahwa orang Amerika kelas bawah memiliki sebuah system dan orientasi nilai subkultur yang berbeda. Orientasi nilai ini, yang dirujuk kepada keprihatinan terpusat, termasuk masalah, kegigihan, kecerdasan, kesenangan, takdir, dan otonomi. Ekspressi keprihatinan terpusat ini oleh pemuda kelas bawah mempromosikan kenakalan sebagai alternative perilaku kepada pencapaian status. Sebagai contoh, dengan menjadi “bermasalah dengan hukum,” pemuda kelas bawah mendapatkan sebuah perasaan penting dan tertekan. Kegigihan atau ketangguhan biasanya mengacu kepada kekuatan fisik, kejantanan dan keberanian. Miller menyatakan bahwa penekanan pada ketangguhan bisa saja menjadi sebuah cara untuk memperkuat kembali dominasi pria kelas bawah atau identitas kejantanan pribadi pada sebuah lingkungan keluarga yang didominasi wanita. Kecerdasan tidak dipandang dalam hal persekolahan, tingkat pendidikan atau IQ; sebaliknya kecerdasan disamakan dengan kelicikan, dan bertaruh atau berjudi sebagaimana ditunjukkan dalam meloloskan diri, dan perjudian. Keprihatinan terpusat mengacu kepada keberadaan dua kelompok: orang-orang yang yang mengeksploitasi dan orang-orang yang dieksploitasi. Peran orang yang mengeksploitasi adalah peran yang disukai oleh anggota geng pemuda. Mengikuti jejak langkah yang legitimate menuju sukses adalah bagi penjilat. Kesenangan atau mencapai sebuah kenikmatan adalah pencarian yang berhadiah; kalau tidak maka kelihatan hambar, dunia yang selalu berulang bagi pemuda kelas bawah. Kenikmatan itu biasanya terkait dengan bahaya dan resiko dan termasuk kehidupan malam di kota, perjudian, perkelahian dan hubungan intim dengan wanita. Keberuntungan yang baik sangat penting—mendapatkan hal-hal yang tepat, atau berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat adalah jalan menuju sukses. Akhirnya, sebagai sebuah reaksi terhadap bawahan dari nilai dan struktur otoritas kelas menengah, pemuda kelas bawah menekankan control atau otonomi individu—ketahanan diri. Miller telah mengkaji masalah geng selama beberapa decade (lihat Box 8-1, Youth Gangs and their “Bussiness” of Drug and Crime).
Darwin E. Wolfgang dan Franco Ferracuti: Subkultur Kekerasan
Darwin E. Wolfgang dan Franco Ferracuti dalam artikel mereka “The Subculture of Violence (1967/1982) berupaya untuk menjelaskan kejadian kekerasan yang relatif lebih tinggi di antara pria muda, kelas bawah dan Afrika-Amerika, baik sebagai pelaku kejahatan dan sebagai korban. Dengan menggabungkan beberapa teori, Wolfgang dan Ferrcuti menyatakan bahwa pria Afrika-America dari kelas bawah memiliki sebuah sistem nilai yang menyimpang dari pria Afrika-Amerika dari masyarakat yang lebih luas dalam penekanannya terhadap kekerasan sebagai sebuah bentuk perilaku yang dapat diterima.
Penulis menyebutkan bahwa untuk banyak pemuda Afrika-Amerika yang tinggal di tengah kota dan miskin, kekerasan merupakan bagian normal dari kehidupan baik dalam keluarga maupun komunitas. Beberapa pemuda ini bisa saja percaya mereka harus harus membawa pisau atau senjata api untuk perlindungan atau keselamatan mereka. Pemuda-pemuda lain bisa saja percaya bahwa perilaku menyerang adalah respon yang pantas atau normal terhadap hinaan verbal. Wolfgang dan Ferrracuti menekankan bahwa subkultur kekerasan menghasilkan angka kejahatan dengan kekerasan yang tinggi yang menggambarkan bukan hanya toleransi dan penerimaan kekerasan pada sisi sang pelaku dan korban, tetapi juga mencurigakan dan sterotipe dengan menyertakan komunitas dan petugas penegak hukum.
Tulisan Wolfgang dan Ferracuti ini telah memberikan inspirasi bagi banyak perdebatan dan kontroversi. Rujukan kepada sebuah subkultur Afrika-Amerika tentang kekerasan telah dipertanyakan menyangkut konseptualisasi dan pengukurannya. Penentangan terhadap tesis subkultur kekerasan dating dari semua sisi. Misalnya, telah disimpulkan “bahwa tidak ada yang melekat di dalam kultur kulit hitam yang mendukung kejahatan. Sebaliknya, tingginya tingkat kejahatan yang dilakukan orang kulit hitam kelihatannya berasal dari kaitan structural di antara pengangguran, perampasan ekonomi, dan gangguan dalam keluarga di komunitas kulit hitam perkotaan” (J. Sampson, 1987: 38). Dalam pemahaman yang paling dramatis atas argument ini, tingkat yang lebih tinggi dari kejahatan di antara Afrika-Amerika yang tinggal di bagian pusat kota dikaitkan dengan rasisme dan diskriminasi ekonomi dan penegakan hukum yang selektif di masyarakat Amerika, yang semuanya mengindikasikan keberadaan sebuah kelas manusia yang sangat lemah (*W. Wilson, 1987).
Richard Cloward dan Lloyd Ohlin: Peluang Diferensial
Richard Cloward dan Lloyd Ohlin, dalam buku mereka “Delinquency and Opportunity” (1960), mengangkat masalah dengan premis dasar Cohen bahwa aspirasi yang tidak berhasil/gagal menyebabkan kenakalan atau perilaku criminal. Mereka juga merasa bahwa keprihatinan terpusat dari Miller atau pemikiran tentang subkultur kekerasan tidaklah cukup untuk menjelaskan sikap criminal atau melanggar hukum. Hanya karena pemuda kelas bawah menolak nilai tertentu atau tidak diijinkan menggunakan cara-cara yang legitimate untuk mencapai tujuan tidak secara otomatis mengarah kepada kenakalan atau penggunaan cara yang tidak legitimate. Dengan merespon Merton, mereka menyatakan bahwa peluang diferensial tidak hanya menandakan model adaptasi yang legal tetapi juga model adaptasi yang tidak legal. Seperti Sutherland, Cloward dan Ohlin menyatakan bahwa akses menuju peluang tidak legitimate seringkali terkait dengan keanggotaan di dalam atau terbukanya dengan nilai dan system keyakinan yang tidak legitimate. Subkultur mendukung sebuah atmosfir yang kondusif terhadap pembelajaran perilaku nakal. Buku Cloward dan Ohlin ini mengarah kepada identifikasi tipe gang yang berbeda. Misalnya, subkultur konflik berorientasi kepada kekerasan dan anggotanya sama dengan anggota geng remaja nakal yang dijelaskan oleh Cohen (jahat, nakal, dll). Subkultur jahat berfungsi sebagai pembelajaran bagi kegiatan penjahat professional; tipe geng seperti ini, khususnya, memiliki kesamaan dengan teori Sutherland. Di sini penjahat dewasa seringkali mengajarkan keahlian mereka (misalnya membuka kunci, menjadi penadah, dll) kepada para pemuda. Contoh lain adalah geng retrearism (bersamaan dengan garis yang dinyatakan Merton yang difokuskan pada kesenangan—biasanya melalui penggunaan obat-obatan dan alcohol—dan seringkai menyertakan perusakan property.
Sebagaimana bisa dilihat, penelitian Cloeard berfungsi sebagai bagian sintesis dari teori pembelajaran Sutherland dan teori anomie Merton dan beberapa geng dan teori-teori subkultur lain. Ketika banyak penelitian mereka berkaitan dengan perilaku geng dan peluang yang tidak legitimate, subkultur, mereka, seperti Shaw dan McKay, menerima banyak bantuan dari pemerintah dan perusahaan swasta untuk melakukan proyek pemuda masyarakat (Mobilization of Youth in New York City).
Teori-teori Cloward dan Ohlin tentang peluang diferensial dan kenakalan remaja diadopsi oleh pemerintahan John F. Kennedy “war on crime.” Tema utama yang diasosiakan dengan kata “war/perang” ini adalah perluasan dari peluang yang legitimate. Penekanan pada peluang yang sama dengan cepat dialihkan kepada mandate kebijakan nasional. Sayangnya, sebelum keefektifan perang terhadap kejahatan ini bisa dinilai, Presiden Kennedy terbunuh, dan Presiden Lyndon B. Johnson, penggantinya, memutuskan untuk beralih ke “perang terhadap kemiskinan” (yang mengalihkan sukungan atas perang terhadap kejahatan) (baca Moynihan, 1969). Karena tidak terlalu banyak didiskusikan, program perang terhadap kemiskinan segera menjadi kehilangan dukungan. Ketika penilaian akhir program ini penuh dengan kontroversi, satu hal yang pasti adalah: Jumlah uang yang dibelanjakan untuk penelitian kejahatan dan program khusus lainnya, implementasi kebijakan dan penilaian tidak parallel pada sejarah Amerika (baca Marris dan Pierre, 1973).
Masalah Kritik dan Kontemporer Terhadap Teori-teori Anomie, Strain dan Subkultur
Kecaman utama terhadap teori-teori ini berasal dari dua asumsi dasar:
(1) Keberadaan kultur orang tua dengan nilai dan tujuan dominan tentang dukungan dan persetujuan yang luas;
(2) Keberadaan subkultur yang menentang aspek-aspek yang berbeda dari kultur orangtua dan sifat-sifat menyimpang atau criminal.
Pertama—belum pernah ada demonstrasi empiris yang sukses tentang keberadaan seorang orang tua atau kultur inti. Pertanyaan tentang dasar fundamental dari persetujuan di dalam masyarakat adalah masalah teoritis utama tentang debat mana yang memanas. Sementara kebanyakan teori kausal tentang kejahatan yang didiskusikan terhadap poin in mengasumsikan bahwa persetujuan umum tentang yang benar dan yang salah memang ada, maka tidak semua mereka menerima keberadaan system kultur yang melekat yang digeneralisasikan tentang nilai dan keyakinan. Para ahli teori yang dibahas di Bab 9 mempertentangkan pemikiran kultur serta persetujuan moral dan menawarkan pandangan alternative.
Kedua—defenisi yang memadai tentang subkultur sebagai sebuah unit penelitian dan analisa memang kurang. Misalnya, bagaimana banyak nilai dan tipe nilai atau struktur atau organisasi atau keanggotaan apa yang berfungsi memisahkan unit-unit subkultur ini? Pertanyaan ini adalah salah satu criteria identifikasi. Walaupun banyak materi yang ditulis tentang subkultur kekerasan di antara pemuda Afrika-Amerika yang tinggal di kota yang tinggal di wilayah Selatan, hingga saat ini tidak ada bukti empiris bahwa subkultur seperti ini ada telah ditawarkan. Penjelasan terakhir tentang variasi regional dalam angka pembunuhan telah merumuskan kembali tesis subkultur kekerasan yang orisinal yang dikembangkan oleh Wolfgang dan Ferracuti dengan memberikan penekanan pada peran senjata api dalam subkultur kekerasan. Masih sedikit dukungan yang diberikan untuk tesis ini. Don Dixon dan Alan Lizotte (1987), misalnya, tidak menemukan dukungan untuk premis bahwa kepemilikan senjata api adalah sebuah karakteristik yang mendefenisikan subkultur kekerasan (p. 104). Mereka juga mendukung “keraguan tentang tesis subkultur kekerasan orang selatan karena nilai-nilai kekerasan mengindikasikan keanggotaan dalam sebuah subkultur kekerasan tidak terkait dengan wilayah ketika factor-faktor structural dikendalikan” (p. 401).
Teori-teori anomie dan subkultur dalam bentuk saat ini selanjutnya dibatasi oleh spesifikasi budaya dan gender. Misalnya, teori Merton, Cohen dan Cloward dan Ohlin menerapkan secara eksklusif ke dalam masyarakat Amerika; teori-teori ini tidak dirancang untuk menjelaskan kejahatan dan kenakalan remaja di negara industry Barat lain (baca McDonough, 1983). Lebih dari itu, teori-teori itu biasanya hanya digunakan untuk kejahatan dan kenakalan remaja yang dilakukan pria. Mengapa tingkat kejahatan untuk wanita yang melakukan kejahatan atau subkultur kekerasan yang relative rendah jarang disebutkan. Misalnya, ketika teori strain digunakan untuk menjelaskan kegiatan criminal yang dilakukan pria kelas bawah, tidak ada upaya untuk menangani pertanyaan tentang mengapa wanita kebal dari strain (kegugupan) (baca Adler, 1975; ..)
Subscribe to:
Posts (Atom)