Saturday 13 February 2016

Analisis Hukum Kasus Novel Baswedan: Semua Sama di Depan Hukum



Marwan-Mas

Oleh: Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

Salah satu perkara tindak pidana yang saat ini mendapat perhatian publik, adalah adanya rencana Kejaksaan Agung men-deponeer perkara dengan tersangka Novel Baswedan (penyidik KPK) karena desakan sejumlah kalangan dalam masyarakat. 
Perkara itu sebenarnya sudah tuntas “penyidikannya” oleh Bareskrim Polri dan berkas perkara penyidikan (BAP) sudah dilimpahkan ke Penuntut Umum karena dianggap P21. Bahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah menyerahkan perkara itu untuk diperiksa di Pengadilan Negeri Bengkulu.

Memang, kasus ini mendapat perhatian publik, tetapi setelah JPU menyerahkan perkara ke pengadilan dan jadwal persidang juga sudah ditetapkan, tiba-tiba ada berita di media massa menyebutkan bahwa “Surat Dakwaan” yang telah dibuat JPU ditarik kembali oleh pihak Kejaksaan.
Sebetulnya persoalan penyidikan sudah selesai, sehingga secara hukum (hukum acara atau hukum formil) tugas dan tanggung jawab penyidik kepolisian dalam melakukan penegakan hukum sudah selesai. Semua proses dan tahap penyelidikan dan penyidikan dianggap lengkap oleh JPU.
Jika kemudian ada rencana perkara itu akan dihentikan atau dideponeering oleh kejaksaan, hal itu bukan lagi tanggung jawab penyidik kepolisian. Tetapi perlu melihat dasar hukum penghentian atau deponeering suatu perkara oleh kejaksaan.
Deponeering merupakan “kewenangan khusus” bagi Jaksa Agung yang diberikan dalam Pasal 35 huruf-c UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), bahwa: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyenyampingkan perkara demi kepentingan umum”.

Ukuran suatu perkara dideponir oleh Jaksa Agung sesuai Penjelasan Pasal 35 huruf-c UU Kejaksaan, adalah “untuk kepentingan bangsa dan negara daan/atau kepentingan masyarakat luas”. Artinya, mengenyampingkan perkara merupakan pelaksanaan dari “asas oportunitas’, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memerhatikan “saran dan pendapat” dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan perkara tersebut.
Badan-badan kekuasaan atau lembaga negara yang terkait dengan perkara itu, antara lain Polri selaku penyidik, Mahkamah Agung, dan DPR selaku representase rakyat.
Namun, yang perlu dipertanyakan, apakah “makna kepentingan umum dan/atau kepentingan masyarakat luas” sudah terpenuhi?
Apakah kalau perkara itu diproses di pengadilan akan membuat kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas “akan terganggu” dan penyeleggaraan negara ikut terganggu?
Tentu bisa saja ada yang memprediksi akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat kalau dilanjutkan pemeriksaannya di pengadilan. Tetapi pada sisi lain ada yang diabaikan, yaitu “persamaan di depan hukum” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Kata “tidak ada kecualinya” bisa ditafsirkan bahwa siapapun yang melanggar hukum harus diproses, apalagi sudah melalui penyelidikan dan penyidikan dan sudah dinyatakan lengkap oleh JPU, sehingga seharusnya dilanjutkan pemeriksaannya di pengadilan.
Biar pengadilan yang memutuskan apakah dakwaan JPU terbukti atau tidak terbukti sehingga terdakwa dibebaskan. Ini yang disebut memenuhi “kepastian hukum” sebagai salah satu tujuan hukum, selain “keadilan dan kemanfaatan masyarakat”. Tujuan hukum melalui “kepastian hukum” pada hakikatnya sudah dijalankan oleh penyidik Polri, sehingga idealnya diserahkan ke pengadilan untuk menilai apakah terdakwa bersalah atau tidak.
Men-deeponir perkara tersangka Novel Baswedan secara empiris (realitas) sebetulnya belum sepenuhnya menyentuh pada kerugian “kepentingan umum dan/atau merugikan kepentingan masyarakat”. Apalagi kasus itu terkait dengan individu seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Namun, karena ada Kewenangan Khusus Jaksa Agung melakukan deponeering, maka biar Jaksa Agung yang menilai dan menentukan “makna kepentingan umum dan/atau kepentingan masyarakat luas” seperi dimaksud dalam Pasal 35 huruf-c UU kejaksaan.

Penyidik Polri tidak bisa lagi disalahkan, apalagi mengaitkannya bahwa penyidik melakukan “kriminalisasi” terhadap Novel Baswedan. Sebab kriminalisasi itu dianggap telah terjadi, jika seseorang diproses hukum “tanpa ada fakta kasus, tidak cukup alat bukti penetapan tersangka, dan BAP tidak diterima JPU”.
Apalagi tersangka Novel Baswedan sudah melakukan “praperadilan” atas penetapannya sebagai tersangka, tetapi pengadilan menolaknya dan menyatakan bahwa penetapan tersangka Novel Baswedan telah menenuhi ketentuan KUHAP.

Untuk menjawab pertanyaan yang berkembang, apakah penanganan kasus tersangka Novel Baswedan yang akan dideponir oleh Jaksa Agung bisa diterima? Jawabnya, memang bisa saja dilakukan Jaksa Agung sebagai kewenangan khusus, tetapi harus tetap mengkaji dan menafsirkan syarat pemberian deponeering dalam Pasal 35 huruf-c UU Kejaksaan bahwa harus “demi kepentingan umum” dan/atau kepentingan masyarakat.
Tetapi yang pasti, penyidik Polri sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam melakukan penyidikan. Hal itu dibuktikan dengan “diterimanya BAP oleh JPU karena dinilai sudah lengkap (P21)”.

Begitu pula pertanyaan tentang “persamaan setiap orang di dalam hukum”, yang sebetulnya secara konstitusional sudah ditagaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Kita tidak ingin ada sorotan dalam masyarakat bahwa dalam penegakan hukum terjadi diskriminasi, karena hanya orang kecil yang diproses, sedangkan orang yang punya kekusaan diabaikan. Polri telah memaknai sorotan publik selama ini, bahwa “hukum selama ini tumpul ke bawah, tetapi tajam ke atas”.

Penyidik Polri dalam kasus Novel Baswedan selaku salah satu penyidik KPK tidak ingin dikecam oleh publik gara-gara melanggar konstitusional persamaan setiap orang di dalam hukum yang diatur Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Biar masyarakat yang menilai bagaimana integritas penyidik Polri, bahkan Polri secara institusi dalam menyikapi persoalan itu.
Apakah Jaksa Agung akan mengeluarkan ketetapan men-deponeer perkara Novel Baswedan, itu sudah bukan lagi tanggung jawab dan wewenang Polri?
Analisis ini dikaji secara netral, dan tidak melihat bagaimana posisi penyidik Polri dan reaksi publik atas perkara itu, melainkan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan teori hukum. Tentu juga menghormati sikap Presiden Jokowi yang meminta agar setiap proses hukum tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat, sehingga sudah betul sikap Polri menyerahkan persoalan itu kepada Jaksa Agung, apakah akanmengeluarkan diponir terhadap kasus Novel Baswedan.

0 comments:

Post a Comment