Thursday, 25 September 2014

PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DAN TUGAS POKOK POLRI



JUDUL:
OPTIMALISASI PERAN POLRES DALAM MENGANTISIPASI KEGIATAN PILKADES SERENTAK DI KABUPATEN X GUNA MEMELIHARA STABILITAS KAMTIBMAS DALAM RANGKA TERWUJUDNYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT



BAB I
PENDAHULUAN

1.              Latar Belakang
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta terciptannya kemanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) yang kondusif.[1]  Tugas yang diamanatkan kepada Polri baik yang tercantum dalam konstitusi negara dan Undang-Undang turunannya merupakan tugas berat yang harus dilaksanakan dalam rangka mewujudkan stabilitas di bidang kemanan dalam negeri.  Stabilitas kamtibmas ini merupakan kondisi yang harus diprioritaskan pencapaiannya mulai dari lingkup daerah sampai dengan lingkup Nasional, sehingga pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan Nasional dapat terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan karena stabilitas keamanan adalah merupakan suatu modal sosial (social capital), yaitu suatu bentuk investasi untuk mendapatkan sumber daya baru dalam masyarakat diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, saling kepercayaan dan saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. Hal ini sejalan dengan pandangan Fukuyama (1999) menyatakan bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern, serta merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi.[2]
Proses pemilihan kepala desa (pilkades)  merupakan dampak logis diterapkannya otonomi daerah dalam konteks perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia. Agenda ini merupakan salah satu kegiatan lokal yang dilaksanakan sejalan dengan perkembangan otonomi daerah yang dipayungi oleh Undang-Undang RI No. 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang  No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.[3] Secara rinci proses pemilihan Kepala Desa ini kemudian diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa,   Peraturan Daerah Kab. Bekasi  Nomor 2 tahun 2008 tentang Pemerintahan Desa, Peraturan Bupati Nomor 34.C Tahun 2011 tentang pedoman pelaksanaan pemilihan Kepala Desa Kab. Bekasi. Selain mempunyai efek positif dalam proses pendidikan sipil bagi masyarakat, ternyata pilkades ini juga membawa dampak negatif utamanya terhadap situasi kamtibmas. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan pilkades tidak sepenuhnya dapat berjalan dengan aman dan tertib. Banyaknya potensi konflik dalam proses pilkades yang tidak jarang berakhir dengan kericuhan dan kekerasan sampai dengan tindak anarkis. Oleh karena itu diperlukan tindakan kepolisian secara tepat pada tingkat KOD dalam upaya mengantisipasi munculnya gangguan kamtibmas dalam proses pilkades tersebut.
Dalam beberapa bulan mendatang, tepatnya pada tanggal 9 September 2012, Kabupaten X akan mengadakan pilkades secara serempak di 147 (seratus empat puluh tujuh) desa yang berada di 23 kecamatan.  Beberapa permasalahan yang muncul menjelang pelaksanaannya mengindikasikan kemungkinan munculnya gangguan kamtibmas yang eskalasinya bisa meningkat dari potensi gangguan hingga ancaman faktual. Secara empiris, pilkades di Kabupaten X mempunyai sejarah berlangsung tidak aman, diantaranya terjadi pada tahun 2006 dimana tujuh rumah dirusak dan dibakar oleh massa pendukung kepala desa yang kalah.[4]  Secara paralel, kejadian yang serupa juga terjadi di daerah yang berbeda sehingga dapat menjadi suatu pelajaran bagi Polres X untuk mengantisipasi berkembangnya situasi anarkis dalam pilkades guna memelihara stabilitas kamtibmas.  Oleh karena itu dalam era keterbukaan dan reformasi yang berkembang saat ini, Polres X dituntut untuk lebih bersikap proaktif dan persuasif guna mencegah terjadinya aksi anarkis dalam kegiatan pilkades serentak di Kabupaten X guna memelihara stabilitas kamtibmas dalam rangka terwujudnya kepercayaan masyarakat.  Hal ini sejalan dengan program Revitalisasi Polri dalam rangka menciptakan pelayanan prima Polri yang diindikasikan melalui transformasi Polri menjadi organisasi yang melayani, proaktif, transparan dan akuntabel.[5]

2.              Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, yang menjadi permasalahan dalam penulisan Naskah Karya Perorangan ini adalah belum optimalnya peran polres dalam mengantisipasi kegiatan pilkades serentak di Kabupaten X guna memelihara stabilitas kamtibmas dalam rangka terwujudnya kepercayaan masyarakat.

3.              Pokok Persoalan
Untuk memudahkan dalam pembahasan permasalahan diatas maka dirumuskan pokok-pokok persoalan dalam Naskah Karya Perorangan ini sebagai berikut:
a. Bagaimana bentuk ancaman yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X?
b. Bagaimana upaya optimalisasi peran Polres X dalam rangka mencegah terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X?

4.              Ruang Lingkup
Penulisan naskah karya perorangan (NKP) ini dibatasi pada  peran Polres dalam rangka mencegah terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X dari sudut pandang optimaliasi kegiatan secara internal dan eksternal (stakeholders).


BAB II
PEMBAHASAN

5.              Fakta-Fakta
Kabupaten X adalah salah satu kabupaten di Jawa Barat,  yang memiliki batas wilayah di sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah barat    dengan DKI Jakarta dan Kota Bekasi serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang. Kabupaten X berada pada koordinat 1060 58’ 5”  –  1070 17’ 45” BT dan 05054’ 50” – 060 29’ 15” LS.  Suhu rata-rata berada pada 28 derajat sampai 32 derajat celcius dengan curah hujan rata-rata 86,37mm (tahun 2006).  Secara administratif Kabupaten X yang dikepalai oleh seorang Bupati ini memiliki jumlah penduduk 2.193.776 jiwa (data tahun 2008) dengan kepadatan 1.465 jiwa/km2 yang menempati areal seluas 127.388 ha yang dibagi dalam 23 Kecamatan dan 187 Desa.   Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 sampai 13 Kecamatan dengan jumlah desa yang paling sedikit yaitu kecamatan Cikarang Pusat, Bojongmangu dan Muaragembong, sedangkan kecamatan yang memiliki jumlah desa terbanyak adalah Kecamatan Pebayuran. Kecamatan dengan wilayah terluas adalah Muaragembong (14.009 Ha) atau 11,00 % dari luas kabupaten secara keseluruhan.[6]
a.          Dinamika bentuk ancaman yang dapat mengakibatkan terjadinya terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X
Berbagai kalangan menilai Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) 2012 di 147 desa Kabupaten X diprediksi berpotensi sengketa hingga berujung konflik horisontal.[7] Hal ini didasarkan pada beberapa indikasi yang muncul seperti belum lengkapnya aturan yang menjadi payung hukum dilaksanakannya pilkades di wilayah kabupaten X, semakin singkatnya waktu persiapan dikarenakan bertabrakan dengan bulan suci Ramadhan, dan faktor-faktor sosial lainnya terkait dengan pelaksanaan pilkades.  Selain itu, secara empiris menggambarkan bahwa peristiwa kekerasan terkait dengan pilkades memang pernah terjadi di wilayah ini, disamping peristiwa kekerasan lainnya terkait dengan Pilkades.[8]
Selain itu, dinamika sosial lainnya yang cukup kompleks di wilayah kabupaten X ini dapat menjadi suatu kondisi yang berpotensi memicu konflik, seperti banyaknya partai politik sebagai kepanjangan organisasi politik di tingkat nasional yaitu berjumlah 37 partai, ditambah dengan 118 lembaga swadaya masyarakat, dan 83 organisasi kemasyarakatan lainnya. Heterogenitas masyarakat kabupaten X ditambah dengan dengan padatnya arus Urbanisasi juga memberikan warna tersendiri dalam rangka jelang proses Demokrasi ditingkat Desa dalam rangka Pilkades.
Berdasarkan hasil pengamatan di Polres X baik berupa observasi maupun wawancara dengan personel Polres X serta hasil analisis dari data dan dokumen yang diperoleh pada saat pengamatan didapat fakta-fakta terkait dengan dinamika sosial dan hukum yang diindikasikan dapat menjadi pemicu terjadinya gangguan kamtibmas sebagai berikut:
1)   Lemahnya Payung Hukum
Berbagai kalangan menilai Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) 2012 di 147 desa Kabupaten X diprediksi berpotensi sengketa hingga berujung konflik horisontal.[9] Hal itu lantaran payung hukum yang dimiliki di ajang demokrasi desa kali ini dianggap lemah.  Banyak masalah Pilkades yang muncul hingga kini yang tidak disebutkan dalam Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Bupati (Perbup), hal ini yang dapat memicu sengketa dan konflik di Pilkades kali ini. Sebagai contoh adalah jika terjadi suara yang sama serta deadlock sedangkan calon Kadesnya banyak dan terjadi pemilihan ulang maka mekanisme dan payung hukum mana yang akan dipergunakan Panitia Pilkades. Karena hal ini tidak disebutkan di Perda maupun Perbup.
Selain itu penggunaan  anggaran pelaksanaan Pilkades yang bersumber dari uang rakyat, seperti  Dana Alokasi Desa (DAD) sebesar 10 persen juga belum ada dasar dan payung hukumnya sehingga rawan penyimpangan yang dilakukan oleh pengguna anggaran yakni Panitia Pilkades. Meskipun desa mempunyai otonomi untuk mengelola rumah tangganya sendiri, namun Pemkab X memiliki kewajiban untuk mengatur standarisasi penggunaan anggaran tersebut.  Ketiadaan aturan ini berpotensi menimbulkan gangguan kamtibmas pasca berlangsungya pilkades.
2)   Proses Pergantian BPD
Hampir bersamaan dengan proses Pilkades, rata-rata anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang bertanggungjawab melaksanakannya belum memiliki pengetahuan yang memadai dalam pelaksanaan Pilkades karena baru saja dilantik.  Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang baru dilantik tersebut  rata-rata ditenggarai kurang mengerti aturan dan mekanisme Pilkades sehingga berpotensi melahirkan konflik karena anggota baru tersebut rata-rata kurang mengerti aturan dan mekanisme Pilkades.
3)   Permasalahan Anggaran
Pilkades yang akan berlangsung secara serempak di 147 desa ini terancam terganggu karena hingga kini masih banyak desa yang belum menerima dana Pilkades. Melihat fakta yang ada maka setidaknya ada dua resiko yang bisa terjadi terkait dengan permasalahan anggaran dan dapat memicu terjadinya gangguan kamtibmas, yaitu keterlambatan anggaran dan ketidaktersediaan anggaran jika pilkades harus berlangsung dalam dua putaran.  Sebagai contoh adalah keterlambatan proses anggaran di Kecamatan Tambelang dimana ada 5 desa yang proses anggarannya terlambat hingga belum dicairkan oleh pihak Pemkab X.  Selain itu jika Pilkades dilaksanakan hingga dua putaran, jelas akan menimbulkan masalah karena anggaran yang tersedia direncanakan hanya untuk satu putaran.
4)   Singkatnya Waktu Persiapan
Waktu persiapan pilkades di wilayah kabupaten X semakin singkat dikarenakan adanya permasalahan pergantian BPD sebagaimana dijelaskan sebelumnya, juga karena bersamaan waktunya dengan bulan suci Ramadhan dimana panitia Pilkades dan warga setempat cenderung akan menghentikan kegiatan persiapan akan memfokuskan diri untuk beribadah. Jika permasalahan singkatnya persiapan ini ini tidak diantisipasi dan pengawasan dari pihak pemerinah daerah, maka dapat saja Pilkades tidak berjalan tidak sesuai dengan rencana hingga berpotensi menimbulkan gangguan kamtibmas.
5)   Pembiaran Pelanggaran dalam Pilkades
Pada beberapa desa diketahui telah terjadi pelanggaran dalam proses persiapan pilkades, tetapi tidak ada tindakan yang diambil terkait pelanggaran tersebut dan terkesan dibiarkan saja oleh panitia. Sebagai contoh adalah yang terjadi di Desa Sukaindah dimana Ketua BPD, Jamaludin mengatakan bahwa tahapan Pilkades di wilayahnya telah menyalahi aturan. Pihak panitia Pilkades telah meloloskan salah satu bakal calon yang diketahui bernama Dede Suryadi, yang diduga baru 2 bulan berdomisili di Desa Sukaindah.  Sementara berdasarkan aturan  minimal itu enam bulan menetap, baru boleh mengikuti Pilkades.  Pembiaran pelanggaran seperti ini berpotensi menjadi bom waktu yang akan meledak pasca berlangsungnya Pilkades.
6)   Konflik Hukum Pasca Pilkades
Sengketa pilkades yang terjadi pasca berlangsungnya pilkades, baik dalam bentuk gugatan perdata maupun proses pidana berpotensi menimbulkan gangguan kamtibmas hingga skala konflik horisontal antar sesama masyarakat yang diakibatkan oleh ketidakpuasan dari calon maupun pendukungnya.  sengketa dan konflik itu bisa  dipicu akibat kurang lengkapnya payung hukum yang mengatur pelaksanaan Pilkades tahun 2012.
b.          Upaya optimalisasi peran Polres X dalam rangka mencegah terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X
Berdasarkan hasil pengamatan, maka didapat fakta-fakta sehubungan dengan belum optimalnya Peran Polres dalam rangka mencegah terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X sebagai berikut:
1)         Upaya ke dalam (Internal)
a)          Pre-emtif
Kegiatan preemtif dalam rangka terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X mengedepankan fungsi teknis Bimmas melalui kegiatan pemolisian masyarakat dan Intelkam melalui kegiatan deteksi dini.  Fakta yang ditemukan adalah walaupun telah ada kegiatan polmas dan deteksi dini yang diemban oleh kedua fungsi tersebut yang terlihat dari dokumen perencanaan kegiatan, tetapi berdasarkan wawancara ditemukan permasalahan terkait dengan inkonsistensi terhadap eksekusi rencana yang sudah dibuat.  Personel di lapangan juga kurang mempunyai inisiatif dalam rangka merespon isu-isu yang berkembang, khususnya hal-hal yang dapat memicu terjadinya aksi anarkis masyarakat, dan cenderung menunggu perintah-perintah yang bersifat top-down.  Hal ini tergambar dari tidak ter-update-nya data-data sehubungan dengan kegiatan pilkades di wilayah hukum Polres X serta lemahnya informasi yang dihasilkan karena kurang valid atau disajikan tidak tepat waktu (terlambat).
Polres X juga belum dapat menumbuhkan peran serta masyarakat untuk proaktif dalam rangka berperan dalam upaya menjaga stabilitas keamanan dilingkungannya.  Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat akan peran sentralnya dalam kegiatan pemeliharaan kamtibmas serta kurangnya kepercayaan masyarakat kepada Polri sehingga enggan untuk melaporkan potensi gangguan di lingkungannya.
b)         Preventif
Kegiatan preventif yang mengedepankan fungsi sabhara melalui kegiatan pengaturan, penjagaan dan patroli yang didukung oleh fungsi intelkam dan lalu lintas sudah rutin dilakukan tetapi belum optimal karena:
1) Kegiatan belum efektif dan efisien karena tidak didasarkan pada informasi yang valid.  Hal ini menyebabkan kegiatan kurang terencana dan hasilnya tidak optimal.
2) Kegiatan kurang terkoordinasi dengan baik karena masing-masing fungsi menjalankan tugasnya sendiri-sendiri sehingga belum ada upaya sinergi yang terbangun dalam pelaksanaan tugas preventif.

2)         Upaya ke luar (Eksternal)
Disamping fakta terkait belum optimalnya peran Polri secara internal, maka ditemukan pula belum efektifnya peran Polres X dalam rangka mencegah terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X terhadap unsur eksternal seperti pihak Pemerintah Daerah dan pimpinan daerah lainnya.  Walaupun agenda pilkades ini menempatkan pihak Pemerintah daerah sebagai penanggungjawab kegiatan, Polres X sebagai penanggungjawab kemanan juga mempunyai tanggungjawab untuk berupaya mensinergikan upaya pengamanannya.  Oleh karena itu, Polres X dituntut untuk lebih proaktif melakukan kerjasama dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan untuk meastikan bahwa proses pilkades dapat berjalan dengan lancar.

a.          Analisis SWOT
1)         Kekuatan
a)       Rata-rata anggota Polres X mempunyai pemahaman dan penguasaan terhadap karakteristik daerah utamamya dari segi sosial budayanya.
b)       Disiplin dan komitmen anggota Polres X relatif cukup baik sehingga mendukung pelaksanaan tugas utamanya saat melaksanakan pengamanan di sejumlah lokasi di Kecamatan maupun di pelosok Desa.
c)       Pemahaman anggota Polres X terhadap paradigma baru Polri relatif cukup baik.

2)         Peluang
a)       Adanya anggaran pembinaan keamanan/hukum dari pemerintah daerah yang belum dioptimalkan atau disinergikan dengan tugas pokok Polres X.
b)       Komitmen dari pemerintah daerah, KPUD, DPRD, Pimpinan Daerah lainnya serta instansi terkait lainnya untuk menciptakan suasana tertib dan damai di wilayah Polres X.

3)         Kelemahan
a)       Minimnya SDM dan sarana/prasarana penunjang operasional Polres baik berupa alat utama, alat khusus, alat komunikasi maupun kendaranaan bermotor yang menyebabkan pelaksanaan kegiatan pengamanan kurang optimal.
b)       Masih kurangnya pemahaman anggota Polres X mengenai peraturan perundangan terkait pilkades sehingga tidak mampu memberikan penjelasan kepada msyarakat

4)         Kendala
a)       Masih rendahnya kesadaran untuk bekerjasama dan berkoordinasi
b)       Lemahnya peraturan dan perundang-undangan tingkat daerah yang memayungi proses Pilkades secara keseluruhan
c)       Lokasi geografis kabupaten X yang luas menyulitkan Polres X dalam melakukan pergeseran pasukan jika terjadi peningkatan eskalasi gangguan kamtibmas.

b.          Analisis Manajemen
1)         SDM
a)       Secara umum, jumlah anggota Polres X masih sangat kurang karena dari DSPP yang berjumlah 2.496 personel baru tersedia 1.605 personel, atau baru terdukung sekitar 64 persen.
b)       Kompetensi anggota Polres X secara umum masih lemah karena berdasarkan data yang ada jumlah personel yang telah memiliki pendidikan kejuruan sangat rendah.   Kemampuan atau kompetensi personel Polres X umumnya didapat secara otodidak (pengalaman) bukan dari pendidikan formal hal ini mengindikasikan rendahnya kualitas personel Polres X.

2)   Sistem dan Metode
a)       SOP internal khususnya terkait dengan penanganan pilkades belum ada baik yang mengatur kegiatan internal Polres maupun kegiatan Polres X ke pihak eksternal
b)       SOP yang ada belum diharmonisasikan serta belum mendapat pengesahan dari pimpinan

6.              Upaya Optimalisasi
Upaya atau langkah yang dapat dilakukan dalam mengoptimalisasikan peran Polres X upaya optimalisasi peran Polres X dalam rangka mencegah terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X, adalah :
a.          Bidang Pembinaan
1)         SDM
a)       Mendatakan kembali personel dan mengusulkan penambahan personel guna memenuhi DSP guna menghadapi tantangan tugas Polri khususnya di wilayah Polres X dikemudian hari.
b)       Mendatakan jumlah satuan keamanan swasta (SATPAM) yang berada di lingkungan perusahaan, pabrik, lingkungan baik perumahan maupun sentra ekonomi, instansi pemerintah, dan perumahan pribadi guna pemanfaatan dan sinergi konsep pengamanan wilayah.
c)       Melakukan sosialisasi dan pelatihan internal Polres X untuk menambah kompetensi personel.

2)         Sistem dan Metode
a)       Menyempurnakan SOP internal mengenai rencana pengamanan terkait dengan dinamika seputar kegiatan pilkades.
b)       Membentuk Tim khusus dengan melibatkan unsur internal seperti fungsi Intelejen, fungsi Reskrim, fungsi Lantas, dan fungsi Samapta, dan eksternal (stakeholders) untuk melakukan kajian secara komprehensif terkait dengan pembuatan rencana pengamanan wilayah Polres X khususnya terkait rencana pilkades serentak di 147 desa Kabupaten X.
c)       Menyempurnakan SOP Internal (internal dan antar fungsi) dan SOP kerjasama dan koordinasi dengan pihak diluar Polres.

b.          Bidang Operasional
1)         Preemtif
a)       Melakukan pendataan terhadap daerah-daerah yang rawan terkait dengan kegiatan pilkades
b)      Mengarahkan fungsi intelkam untuk mengefektifkan proses deteksi dini dengan menanmkan agen informasi disetiap desa yang terlibat dalam pilkades khususnya BPD tanpa terlibat dalam kegiatan politik praktis.
c)       Melaksanakan sosialisasi tentang peraturan-peraturan terkait dengan Pilkades.
d)      Memberikan pembinaan dan pelatihan pengamanan unjuk rasa kepada seluruh anggota Polres X guna meningkatkan kemampuan teknis dan taktis anggota dalam melaksanakan pengamanan.
e)       Melakukan edukasi pasif dengan pemasangan poster, leaflet di tempat umum yang berisi pesan/informasi yang berisi ajakan kepada masyarakat agar bersikap toleran dan menghindari aksi anarkis dalam kegiatan pilkades.
f)       Meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan Instansi terkait lainnya seperti:
(1)         Secara proaktif berinisiatif untuk mengintensifkan sarana pertemuan dan koordinasi dengan unsur Forpimda, parpol, ormas, tokoh agama dan tokoh masyarakat dan mengupayan dihasilkannya  konsensus untuk mewujudkan pilkades yang aman yang harus dipatuhi oleh semua pihak.[10] 
(2)         Melakukan penggalangan terhadap para calon Kades dan pendukungnya untuk bersikap siap menang dan siap kalah.
(3)         Mendorong dan menghimbau pemerintah daerah dan DPRD untuk segera membuat payung hukum terkait dengan Pilkades, seperti aturan penggunaan APBDes dalam pilkades, dan aturan-aturan lainnya.
(4)         Menghimbau kepada BPD untuk bersikap profesional dan adil dalam pelaksanaan tugasnya sebagai panitia Pilkades.
(5)         Melaksanakan koordinasi dengan Pemda terkait pelibatan kekuatan Pemda dalam kegiatan pengamanan Pilkades dalam garis komando dari Polres X
(6)         Berkoordinasi dengan media massa dan menhimbau untuk tidak memuat pemberitaan yang bernada provokatif.
2)         Preventif
a)       Berupaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya menumbuhkan daya cegah, daya tangkal dan daya lawan masyarakat terhadap setiap bentuk gangguan kamtibmas yang terjadi dilingkungannya terkait dengan aksi anarkis sebagai dampak dari kegiatan pilkades dengan mengedepankan fungsi Bhabinkamtibmas.
b)       Mengoptimalkan penggalangan terhadap tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, LSM, ormas dan aktivis mahasiswa serta unsur elemen masyarakat lainnya yang memiliki potensi dalam pengerahan kekuatan massa agar dapat menahan diri untuk tidak berbuat anarkis dengan mengedepankan fungsi Intelkam.
c)       Mengatur pelaksanaan kegiatan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli dialogis (turjagwali) di lokasi-lokasi  kegiatan pilkades dengan mengedepankan fungsi Sabhara dan Lalu Lintas.
d)       Melaksanakan kegiatan pembentukan opini untuk mengajak masyarakat mensukseskan kegiatan pilkades.
e)       Menggelar jaring komunikasi dan elektronika dalam rangka mendukung pelaksanaan operasi sehingga komando dan pengendalian dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

3)          Represif
a)   Melakukan tindakan represif secara cepat dan tepat terhadap proses tindak pidana, misalnya tindakan perusakan atau penganiayaan..
b)   Melakukan kontrol dan pengawasan ketat terhadap proses penyelidikan dan penyidikannya.


BAB III
PENUTUP

7.              Kesimpulan
Dinamika bentuk ancaman yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan kamtibmas dalam pelaksanaan pilkades cukup bervariasi namun berdasarkan hasil analisis resiko yang dilakukan penulis kemunculannya relatif rendah.  Namun demikian, hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa konsekuensi jika resiko tersebut muncul cukup tinggi karena dapat mengganggu situasi kamtibmas yang cukup serius.  Adapun bentuk ancaman yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X yaitu: 1) Lemahnya payung hukum, 2) Adanya proses pergantian BPD yang berdekatan dengan proses pilkades, 3) Permasalahan anggaran pilkades, baik karena keterlambatan, ketidaktersediaan, hingga kosongnya payung hukum terkait penggunaan APBDes, 4) Singkatnya waktu persiapan karena bertabrakan dengan bulan suci Ramadhan, 5) Terjadinya pembiaran pelanggaran dalam pilkades, dan 6) Kemungkinan munculnya konflik hukum pasca pilkades.
Upaya optimalisasi peran Polres X dalam rangka mencegah terjadinya gangguan kamtibmas dalam kegiatan Pilkades serentak di Kabupaten X dapat dilakukan melalui dua kegiatan yaitu; pertama, optimalisasi kegiatan bidang pembinaan yang meliputi bidang SDM (Sumber daya manusia) serta Sistem dan metode; dan kedua, melalui kegiatan optimalisasi bidang fungsi teknis (operasional) melalui upaya di bidang preemtif, preventif, dan represif.

8.              Rekomendasi
a.                  Menghimbau kepada pejabat yang berwenang baik formal dan non-formal untuk melaksanakan koordinasi dan kerjasama dalam rangka memperoleh kesepakatan tertulis dalam rangka terlaksananya pilkades secara aman.
b.                  Mengusulkan dan menghimbau kepada Stakeholder terutama Pemkab untuk:
1)   Segera menerbitkan peraturan sebagai payung hukum pelaksanaan Pilkades
2)   Memperpanjang masa bhakti BPD sampai dengan pelaksanaan pilkades selesai
3)   Melakukan sosialisasi aturan terkait pilkades kepada BPD dan melakukan pengawasan dan asistensi terkait pelaksanaan pilkades
c. Mengusulkan kepada Kapolda untuk menyiagakan kekuatan Polda dan Polres sekitar untuk mem-backup kegiatan pilkades Polres X.


[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[2] Fukuyama, Francis. 1995. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta: Penerbit Qalam
[3] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548).  Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)
[4] Terjadi di desa Bantar Sari, Kecamatan Pebayuran, Bekasi pada hari Minggu tanggal 17 September 2006. Republika, Pilkades Rusuh, Tujuh Rumah Diamuk Massa, http://www.arsip.net/id/link.php?lh= BFNaB18HBVMH, diakses pada tanggal 5 Agustus 2012. 
[5] Paparan Kapolri Jend. Pol. Timur Pradopo, Revitalisasi Polri Menuju Pelayanan Prima Guna Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat.
[6] Geografis dan Demografis Kabupaten X, http://bekasikab.go.id/www/html/3tno.php, diakses pada tanggal 5 Agustus 2012.
[7] Bekasi Ekspres News, Kabupaten Bekasi Rawan Sengketa Pilkades, http://www.bekasiekspresnews. com/?p=4719, diakses pada tanggal 5 Agustus 2012.
[8] Pikiran Rakyat, Konflik Politik Bayangi Pilkada Kab. Bekasi, http://library.unud.ac.id/kliping/wp-content/uploads/2012/dnod/Konflik_Politik_Bayangi_Pilkada_Kab_Bekasi.htm, diakses pada tanggal 5 Agustus 2012.
[9] Bekasi Ekspres News, Payung Hukum Lemah, Pilkades Berpotensi Sengketa, http://www.bekasiekspresnews. com/?p=6059, diakses pada tanggal 5 Agustus 2012.
[10] Konsensus adalah sebuah frasa untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antarkelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk mendapatkan konsensus pengambilan keputusan. konsensus yang dilakukan dalam gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi terhadap konsensus politik praktis akan tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan lebih mudah dilakukan dalam memengaruhi konsensus politik. konsensus bisa pula berawal hanya merupakan sebuah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok kepada kelompok yang lebih besar karena bedasarkan kepentingan (seringkali dengan melalui sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai pada tingkat konvergen keputusan yang akan dikembangkan, http://id.wikipedia.org/wiki/Konsensus, diakses pada tanggal 25 Juli 2012.

Polda Jatim : POLISI SIPIL DAN PARTNERSHIP BUILDING



JUDUL:
OPTIMALISASI STRATEGI PEMOLISIAN MASYARAKAT
GUNA MEMBANGUN KEMITRAAN DALAM RANGKA TERWUJUDNYA
PERAN SERTA MASYARAKAT MEMELIHARA KAMTIBMAS DI POLRES X

BAB I   PENDAHULUAN

1.          Latar belakang

Saat ini Polri telah berada Pada tahapan kedua Grand Strategi Polri 2005 – 2025 yaitu tahap membangun kemitraan dengan msyarakat atau Partnership Building.  Tujuan  dari dilaksanakannya tahapan Partnership Building ini adalah membangun kepercayaan masyarakat dan membangun kemitraan dengan masyarakat guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai salah satu tujuan dari pelaksanaan tugas pokok Polri. Penetapan Partnership Building dalam tahapan kedua grand strategy Polri merupakan cerminan dari komitmen Polri untuk menerapkan paradigma atau setidaknya suatu model atau gaya pemolisian yang baru yang mengedepankan pola pemolisian yang proaktif, menitikberatkan kemitraan dengan masyarakat, melaksanakan kegiatan yang bersifat problem solving, dan lebih mengutamakan pencegahan.[1] 
Penerapan ini secara logis merupakan pengejawantahan dari keinginan masyarakat pasca reformasi tahun 1998 agar Polri mengubah paradigma lama kepolisian secara diametral dari polisi yang militeristik ke polisi sipil yang demokratis.  Disamping itu, penerapan strategi kemitraan ini juga didorong oleh fakta empiris yang membuktikan bahwa strategi konvensional kepolisian yang biasanya diidentifikasi dengan kegiatan yang reaktif, pemberantasan kejahatan dan kegiatan yang terfokus pada upaya penegakkan hukum tidak cukup berhasil dalam mengendalikan perkembangan dinamika perubahan sosial masyarakat.  Hal ini kemudian melandasi pemikiran bahwa kejahatan yang ada dalam masyarakat tidak berkurang atau habis dengan diperanginya kejahatan tersebut.[2]
Dengan diletakkannya Partnership Building sebagai tahapan kedua dalam Grand Strategy Polri, menandakan bahwa hal ini merupakan tahapan yang sangat penting dan menjadi landasan atau pondasi utama sebelum Polri beralih ke tahapan ketiga yaitu Strive for Excelence.  Kegagalan Polri dalam menterjemahkan visi, misi dan strategi Polri di bidang pembangunan kemitraan ke dalam kebijakan, sasaran hingga tataran operasional seperti program kerja dan action plan akan membawa resiko yang serius dan konsekuensi yang berdampak besar bagi organisasi Polri.  Oleh karena itu, Komitmen pimpinan Polri untuk mengimplementasikan paradigma baru kepolisian yang bercirikan polisi yang demokratis yaitu: 1) berdasarkan pada supremasi hukum; 2) memberikan jaminan dan perlindungan HAM; 3) adanya transparansi; 4) adanya pertanggungjawaban publik; 5) pembatasan dan pengawasan kewenangan kepolisian; dan 6) berorientasi pada masyarakat.[3]
Community Policing atau pemolisian masyarakat merupakan salah satu strategi yang seringkali diasosiasikan sebagai kegiatan kepolisian yang berkarakter polisi sipil dan dipandang sebagai pola-pola pemolisian kontemporer yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini.[4] telah luas dikemukakan memiliki setidaknya tiga dimensi yang harus diterapkan secara holistik untuk dapat memberikan hasil yang maksimal yaitu 1) dimensi paradigma atau cara berfikir atau setidak-tidaknya suatu gaya (style) kepolisian[5]; 2) dimensi strategi atau kebijakan; dan 3) dimensi teknis atau operasional kepolisian.[6]  Kelemahan yang nyata dan mendasar yang ditemukan dalam pengamatan pada Polres X sangat mungkin pula ditemukan pada Polres lainnya adalah terputusnya hubungan diatara tiga dimensi tersebut sehingga pelaksanaan pemolisian masyarakat menjadi tidak optimal.

2.          Permasalahan

Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka permasalahan yang dibahas dalam naskah ini adalah “mengapa strategi pemolisian masyarakat guna membangun kemitraan dalam rangka terwujudnya peran serta masyarakat dalam harkamtibmas di Polres X belum optimal?”

3.          Pokok-pokok Persoalan

Dari permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, maka pokok persoalan yang akan digali dalam tulisan ini adalah dalam rangka menjawab pertanyaan berikut:
a.           Apakah tiga dimensi community policing dalam implementasi pemolisian masyarakat di Polres X sudah dikaitkan satu sama lain dan telah bersinergi (mendukung satu sama lain)?[7]
b.           Faktor apakah yang mempengaruhi belum optimalnya implementasi pemolisian masyarakat di Polres X dari pendekatan unsur-unsur manajemen?

4.          Ruang Lingkup

Penulisan naskah karya perorangan ini dibatasi pada strategi pemolisian masyarakat dalam ruang lingkup Polres X

 

 

 





BAB II PEMBAHASAN

5.          Fakta-Fakta

a.                  Temuan Terkait Dimensi Community Policing

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara singkat, berikut adalah temuan yang terkait dengan implementasi tiga dimensi pemolisian masyarakat di Polres X yaitu:
1)   Bahwa anggota pengemban tugas pemolisian masyarakat pada tingkat menengah dan tingkat bawah belum memahami filosophy pemolisian masyarakat sebagai paradigma baru Polri dan menganggap bahwa pemolisian masyarakat sama saja dengan pola pelaksanaan tugas babinkamtibmas di masa lalu.
2)   Belum ada keterkaitan yang erat antara tiga dimensi pemolisian masyarakat mulai dari tataran visi atau filosphy, tataran kebijakan yang kemudian mengkait hingga tataran teknis operasional pelaksanaan pemolisian masyarakat.
3)   Dalam tataran strategi, Polres X belum menerapkan skala prioritas dalam pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT (OHA dan ES) Polres X sehingga pemolisian masyarakat sebagai salah satu strategi utama dalam membangun kemitraan antara Polri dengan masyarakat belum optimal.
4)   Dalam tataran teknis operasional pemolisian masyarakat belum mensinergikan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh Polres X sehingga pelaksanaannya masih sangat parsial dan belum terkoordinasi dengan baik.  Selain itu beberapa pelaksanaan teknis pemolisian masyarakat yang pelaksanaannya salah sasaran seperti:
(a)     Pembentukan Pos Polisi di polres X yang dianggap sama atau sejajar dengan konsep Koban di Jepang adalah kurang tepat mengingat Pos Polisi terlalu banyak dibebani model tugas kepolisian konvensional selain itu juga tidak disertai dengan pemberian anggaran yang memadai dan bertumpu pada ‘partisipasi masyarakat[8] sehingga tidak optimal dalam melaksanakan kegiatan pemolisian masyarakat dan bahkan sebaliknya menurunkan keinginan masyarakat untuk menjadi mitra karena merasa dirugikan dan tidak merasakan manfaat atas hubungan kemitraan tersebut.[9]
(b)     Kegiatan pemolisian di Polres masih bercirikan pada paradigma lama yang berupaya membagi habis bidang tugas pemolisian masyarakat berdasarkan faktor-faktor spatial atau geografis. Konsep atau metode bagi habis wilayah berdasarkan otoritas kewenangan atau pendekatan penegakkan hukum merupakan warisan dari metode lama kepolisian yang bernuansa militer yang membagi habis wilayah kerjanya.

b)   Temuan terkait kegiatan Community Policing melalui Pendekatan Unsur-Unsur  Manajemen
1)         Sumber Daya Manusia.  Sumber daya manusia yang dimiliki Polres X, khusunya personel yang mengemban tugas pemolisian masyarakat masih memiliki kekurangan baik dari segi kuantitatif, ataupun dari sisi kualitatif dengan jabaran diantaranya sebagai berikut:
(a)     Bahwa rasio Perbandingan  antara Polri dan Penduduk (1:511) cukup ideal, akan tetapi apabila dilihat dari jumlah personel yang ada di Polres X belum memenuhi kekuatan ideal sesuai daftar susunan personel (DSP), sehingga pelaksanaan tugas dan sebaran pelayanan Polri masih belum menjangkau sampai komunitas terkecil. Petugas Polri yang bertugas di bidang pemolisian masyarakat rata-rata berjumlah satu orang di setiap kelurahan.[10]
(b)     Tingkat pendidikan dan pelatihan yang dimiliki oleh personel Polres X, khususnya di bidang pemolisian masyarakat dalam upaya meningkatkan profesionalisme pelaksanaan tugas masih belum tersinkronisasi antara materi diklat yang disuguhkan dengan kebutuhan riil seorang pelaksana fungsi pemolisian masyarakat.[11] 
2)   Anggaran. Dukungan anggaran belum dapat memenuhi kebutuhan anggaran pemolisian masyarakat Polres X sehingga prioritas hanya untuk kegiatan operasional dan mengesampingkan kebutuhan pengadaan dan fasilitas, materiil dan kesejahteraan personel akibatnya sering terjadi penyalahgunaan wewenang.
3)   Sistem dan Metode. Ditemukan fakta bahwa personel pengemban fungsi pemolisian masyarakat di Polres X yang sangat terbatas jumlahnya ini ini masih dilibatkan dalam plotting kegiatan pengendalian unjuk rasa.  Karena intensitas unjuk rasa yang sangat tinggi maka para pengemban fungsi pemolisian masyarakat di wilayah Polres X akhirnya hampir setiap hari melaksanakan tugas pengamanan unjuk rasa. Sementara itu kegiatan di bidang pemolisian masyarakat sendiri hampir tidak dilaksanakan.

6.          Analisis

Bahwa berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisis SWOT terhadap OHA (Organization Health Audit) dan ES (Environmental Scanning)  Polres X dapat diketahui bahwa akar penyebab dari fakta-fakta temuan di atas secara hipothesis adalah sebagai berikut:
a.                  Bahwa manajer tingkat menengah (Kapolres) belum memahami sepenuhnya hakikat pemolisian masyarakat yang memiliki 3 (tiga) dimensi yaitu dimensi filosophy atau falsafah, dimensi kebijakan dan strategy, serta dimensi teknis operasional.  Ketidakmengertian ini pada akhirnya tergambar dari gagalnya manajer tingkat menengah mendefinisikan kegiatan riil pemolisian masyarakat serta gagal memberikan pemahaman yang benar tentang pemolisian masyarakat kepada para manajer tingkat bawah sebagai pengemban tugas pemolisian masyarakat.
b.                  Masih berkaitan dengan hal di atas, manajer tingkat menengah belum mampu atau gagal menciptakan kebijakan terintegrasi di bidang pemolisian masyarakat dan mendorong manajer pada tingkatan di bawahnya untuk membangun lalu melaksanakan program di bidang pemolisian masyarakat secara terintegrasi dan selalui konsisten mengacu pada 3 (tiga dimensi) pemolisian masyarakat.[12]  Sebaliknya para manajer, baik tingkat menengah (Kapolres) maupun manajer di bawahnya tidak mampu menggerakkan program pemolisian masyarakat yang sudah diprogramkan sesuai dengan tuntunan Perkap tetapi terjebak dalam rutinitas kegiatan kepolisian yang reaktif dan metode konvensional lainnya.
c.                  Manajer tingkat menengah (Kapolres) dan manajer di bawahnya belum optimal menerapkan manajemen stratejik dalam lingkup Polres X dalam rangka mengidentifikasi kekuatan dan peluang  organisasi dalam rangka meminimalisasi kelemahan dan mencegah terjadinya ancaman dengan menuangkannya ke dalam pola kerja yang terintegrasi diantara kekuatan-kekuatan di dalam Polres X dengan peluang-peluang yang ada di luar organisasi, tetapi dapat dimanfaatkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
d.                  Hal ini terlihat dari belum sinerginya kekuatan-kekuatan yang ada dalam internal Polres X yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung agen pelaksana kegiatan pemolisian masyarakat.  Kegiatan yang pernah dilaksanakan seperti kring serse (fungsi serse) dan kring intel (fungsi intel) saat ini hampir mati suri.  Seyogianya kekuatan-kekuatan ini disinergikan dalam rangka mendukung pelaksanaan pemolisian masyarakat.  Hipotesis gagalnya implementasi pemolisian masyarakat yang dilaksanakan oleh Pos Polisi disebabkan karena tidak dikendalikan oleh profesionalisme dan kode moral yang eksplisit.  Hal ini diindikasikan dengan tidak dicukupinya anggaran Pos Polisi tersebut sehingga mendorong para petugas untuk ‘mencari dana sendiri’ yang berasal dari ‘partisipasi masyarakat’.[13]  Dilanggarnya kode moral dan profesionalisme inilah yang menyebabkan gagalnya program pemolisian masyarakat.
e.                  Kebijakan membagi habis wilayah biasa dilakukan oleh militer melalui konsep teritorial. Dengan sumber daya terbatas di Polres X, maka kegiatan pemolisian masyarakat yang berbasis pada konsep spatial menjadi sangat tidak efektif dan efisien.  Sebaliknya, konsep penugasan pemolisian masyarakat harus lebih selektif melalui pendekatan skala prioritas dan skala ancaman di wilayah Polres X.
f. Kurangnya sumber daya manusia di Polres X dari sisi kuantitatif lebih diperberat dengan tingginya kegiatan rutin reaktif berupa pengamanan unjuk rasa.[14]
g.                  Kompetensi petugas pengemban kegiatan pemolisian masyarakat setidaknya harus sejajar atau setara dengan masyarakat atau komuniti yang dinaunginya.  Berdasarkan hasil pengamatan, dalam wilayah Polres X masyarakat atau anggota komuniti yang ada pada umumnya memiliki pendidikan yang relatif cukup baik, hal ini kurang diimbangi dengan kondisi petugas Polres X yang rata-rata berpendidikan SLTA.
h.                  Penganggaran kurang profesional karena tidak mencerminkan prioritas kebijakan Polri yaitu dalam rangka mengoptimalkan paradigma baru kepolisian guna membangungun kemitraan dengan masyarakat.  Perencanaan anggaran kurang dapat menerapkan konsep anggaran berbasis kinerja (performance based budget) sehingga perencanaan dan penentuan program pemolisian masyarakat kurang tajam.
i. Tingginya frekwensi unjuk rasa di wilayah hukum Polres X menjadi salah satu penyebab terbengkalainya kegiatan-kegiatan di bidang pemolisian masyarakat.  Selain itu banyaknya obyek vital, kegiatan masyarakat dan personel VVIP yang perlu diamankan juga memperberat beban pekerjaan yang harus dilakukan oleh Polres X.

7.              Upaya Optimalisasi

Harus disadari bahwa tidak ada satu resep yang manjur yang dapat menyembuhkan seluruh permasalahan yang ditemukan dalam strategi pemolisian masyarakat guna guna membangun kemitraan dalam rangka terwujudnya peran serta masyarakat dalam harkamtibmas di Polres X.  Hal ini disebabkan karena adanya komplikasi diantara permasalahan-permasalahan tersebut disamping keterbatasan yang dimilki oleh Polres X.  Tetapi secara konseptual, upaya optimalisasi ini harus dilaksanakan agar tujuan pelaksanaan tahap 2 Grand strategy Polri dapat terlaksana.  Hal ini dilakukan melalui melalui upaya-upaya internal sebagai berikut:

a.                  Dipelopori oleh manajer tingkat menegah di Polres X (Kapolres) dan seluruh manajer di bawahnya, memahami kembali kegiatan pemolisian masyarakat sebagai paradigma baru Polri sebagai kegiatan dalam rangka membangun kemitraan Polri dan Masyarakat.
b.                  Melakukan harmonisasi diantara 3 dimensi pemolisian masyarakat yaitu pada tataran filosophy atau paradigma, pada tataran strategi atau kebijakan, hingga tataran operasional.  Dilakukan melalui sinkronisasi produk-produk dan kegiatan dalam tiga tataran pemolisian masyarakat tersebut.
c.                  Menerapkan Skala prioritas dalam pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT (OHA dan ES) Polres X.
d.                  Mensinergikan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh Polres X sehingga pelaksanaannya tidak  parsial dan terkoordinasi dengan baik (Serse, Intel, dan Patroli).
e.                  Merevitalisasi tugas pokok dan fungsi dari Pos Polisi di jajaran Polres X dan mendukung semua kegiatannya dengan anggaran yang memadai.
f. Menerapkan prioritas pemolisian masyarakat terhadap komuniti atau kelompok interest.  Sebagai contoh adalah komuniti Pedagang Grosir Tanah Abang, komuniti pedagang Blok A Tanah Abang,  komuniti pekerja bongkar muat (PBM) Gambir, komuniti pecinta motor besar, komuniti pecinta Harley Davidson, komuniti pekerja seni IKJ dll.
g.                  Tidak melibatkan petugas pengemban pemolisian masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pengamanan unjuk rasa atau pengamanan lainnya.
h.                  Membuat SDM atau personil memahami, dilakukan melalui pembinaan, pendidikan dan pelatihan agar para petugas polisi memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup tentang Polmas.  Selain itu, melakukan seleksi terhadap petugas pemolisian masyarakat secara lebih ketat dengan lebih kedepankan pada persyaratan moral daripada persyaratan teknis.
i. Upaya eksternal meliputi:
1)   Melakukan kerjasama dengan pemangku kepentingan lain seperti pemerintah daerah, DPRD, LSM yang membidangi pencegahan kejahatan, dll.
2)   Membuka dan menjalin hubungan kemitraan dengan tokoh-tokoh baik tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pengusaha, media massa dan lainnya dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program Polmas.
3)   Mendorong pembentukan Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) sebagai wadah kerjasama antara polisi dengan masyarakat
4)   Membangun koordinasi dan kerjasama antara FKPM dengan Polri setempat guna  memantau, mengawasi/mengendalikan, memberikan bimbingan teknis dan arahan serta melakukan penilaian atas keefektifan program Polmas.
5)   Meningkatkan program-program sosialisasi yang dilakukan petugas Polmas dan setiap petugas pada satuan-satuan fungsi guna menigkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan stabilitas kamtibmas.

 

BAB III PENUTUP

8.          Kesimpulan

Bahwa strategi pemolisian masyarakat guna membangun kemitraan di Polres X belum optimal dilaksanakan sehingga berdampak pada terganggunya upaya pembangunan kemitraan antara Polri dengan masyarakat.  Hal ini disebabkan salah satunya karena paradigma kepolisian yang baru yaitu yang bercorak polisi sipil yang demokratis masih belum terinternalisasi dalam diri setiap anggota Polri.  Petugas masih seringkali mengacu pada penerapan strategi kepolisian konvensional yang reaktif dan hanya menekankan pada upaya penegakkan hukum.  Oleh karena itu perubahan paradigma kepolisian melalui kegiatan pemolisian masyarakat  sangat penting untuk disukseskan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan Grand Strategy Polri tahap ke-2 yaitu Partnership building.
Faktor yang menyebabkan belum optimalnya strategi Polmas diantaranya adalah karena tidak dipahaminya paradigma polisi sipil melalui kegiatan pemolisian masyarakat serta tidak sinkronnya kegiatan pemolisian masyarakat dalam tataran filosophy, kebijakan dan operasional.  Disamping itu kegiatan ini juga masih belum menerapkan skala prioritas dalam pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT. Kemudian upaya sinergi diantara unit-unit di Polres X dalam rangka mendukung pelaksanaan Polmas juga belum diaksanakan.  Konsep spatial dalam penerapan kegiatan Polmas juga menjadi salah satu penghambat dilaksanakannya kegiatan ini secara optimal dikarenakan wilayah yang luas membutuhkan SDM yang banyak.
Maka upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengoptimalkan strategi Polmas guna mewujudkan paradigma polisi sipil dalam rangka membangun kemitraan dengan masyarakat dilakukan dengan cara yaitu secara internal memahami kembali kegiatan pemolisian masyarakat sebagai paradigma baru Polri dalam rangka membangun kemitraan Polri dan Masyarakat.  Kemudian Melakukan harmonisasi diantara 3 dimensi pemolisian masyarakat yaitu pada tataran filosophy atau paradigma hingga tataran strategi atau kebijakan dan tataran operasional.  Selanjutnya diperlukan pula upaya menerapkan Skala prioritas dalam pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT agar kegiatan Polmas ini dapat efektif dan efisien.  Upaya lainnya adalah mensinergikan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh Polres X sehingga pelaksanaannya menjadi terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik (Serse, Intel, dan Patroli).
Upaya eksternal yang dapat dilakukan adalah Melakukan kerjasama dengan pemangku kepentingan lain seperti pemerintah daerah, DPRD, LSM yang membidangi pencegahan kejahatan lalu  membuka dan menjalin hubungan kemitraan dengan tokoh-tokoh masyaraka, disamping itu juga lebih kepada membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial termasuk pengusaha, media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan instansi lintas sektoral , Pemda, DPRD, dan unsur Muspida lainnya dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program Polmas.

9.         Rekomendasi

a.                  Mengusulkan kepada Kapolda melalui Karo Personalia untuk menambah jumlah personel Polres X mengingat tingginya frekwensi kegiatan masyarakat yang perlu diamankan seperti unjuk rasa, kegiatan olang raga dan kegiatan personel VVIP lainnya.
b.                  Mengusulkan kepada Kapolda melalui Karo Rena untuk mengalokasikan dukungan anggaran yang memadai bagi kegiatan pemolisian masyarakat dan Pos Polisi.



[1] Chrysnanda Dwi Laksana, Bahan Ajaran Sespimmen Polri Dikreg ke-52 T.A. 2012, Polisi Sipil sebagai paradigma Baru Polri
[2] Parsudi Suparlan, Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 6.
[3] Chrysnanda Dwi Laksana, Membangun Polri sebagai Polisi Sipil dalam Masyarakat yang Demokratis
[4] Chrysnanda Dwi Laksana, Bahan Ajaran Sespimmen Polri Dikreg ke-52 T.A. 2012, Polisi Sipil sebagai paradigma Baru Polri
[5] Adrianus Meliala, Beberapa Masalah Substansial Terkait Polmas dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 66 menambahkan bahwa dimensi paradigma atau cara berfikir atau setidak-tidaknya suatu gaya (style) kepolisian ini mengandung kompleksitas atau kerumitan dalam penuangannya.
[6] Adrianus Meliala, Beberapa Masalah Substansial Terkait Polmas dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 66. 
[7] Dalam Perkap Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaran Tugas Polri, Pasal 1 angka 4 huruf a, dijelaskan bahwa policing diartikan sebagai segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi kepoisian tidak hanya menyangkut operasional tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian mulai dari tataran manajemen puncak sampai dengan manajemen lapis bawah.
[8] Parsudi Suparlan, Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 25
[9] Ada 107 Polmas dan 38 Pos Polisi dan 14 titik pelayanan samapta di seluruh wilayah Polres X
[10] Rencana Kerja Polres Metro X tahun Anggaran 2012 menyebutkan bahwa Personel Polres Metropolitan Jakarta Pusat sebanyak : 1817 orang terdiri dari; Polri  1776 orang dengan kepangkatan; Pamen 47 orang, Pama  126 orang, Bintara 1.603 orang. Sedangkan PNS 41 orang dengan penggolongan; Gol. III  21 orang, Gol. II / I  20 orang.
[11] Hal ini terlihat juga dari masih rendahnya keterampilan dan kemampuan personel Polri dilapangan terutama dalam segi penguasaan ketentuan dan perundang-undangan, penguasaan teknologi komunikasi berbasis computer,teknologi dan bio kimia di bidang kriminalitas modern dalam menghadapi kualitas dan kuatintas kejahatan yang semakin canggih serta masih tingginya proses birokrasi yang tidak efisien dalm penyelesaian perkara.
[12] Adrianus Meliala, Beberapa Masalah Substansial Terkait Polmas dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 66.
[13] Parsudi Suparlan, Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 24 - 25
[14] Pada saat pengamatan dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2012 ada 10 titik lokasi unjuk rasa dan 1 kegiatan pengamanan Waskita (Wakil Presiden)

Polda Jatim : MANAJEMEN RESERSE DAN PELAYANAN PRIMA




JUDUL
OPTIMALISASI KEGIATAN PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA CURANMOR GUNA MENINGKATKAN PENGUNGKAPAN PERKARA DALAM RANGKA TERCIPTANYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT

Polda Jatim : Investigasi Korupsi




Apakah yang disebut investigasi?
Trend istilah investigasi lebih lazim dikenal dalam terminologi jurnalistik. Ada beberapa
definisi investigasi yang bisa dipakai seperti:
Robert Greene dari Newsday