Thursday 25 September 2014

Polda Jatim : POLISI SIPIL DAN PARTNERSHIP BUILDING



JUDUL:
OPTIMALISASI STRATEGI PEMOLISIAN MASYARAKAT
GUNA MEMBANGUN KEMITRAAN DALAM RANGKA TERWUJUDNYA
PERAN SERTA MASYARAKAT MEMELIHARA KAMTIBMAS DI POLRES X

BAB I   PENDAHULUAN

1.          Latar belakang

Saat ini Polri telah berada Pada tahapan kedua Grand Strategi Polri 2005 – 2025 yaitu tahap membangun kemitraan dengan msyarakat atau Partnership Building.  Tujuan  dari dilaksanakannya tahapan Partnership Building ini adalah membangun kepercayaan masyarakat dan membangun kemitraan dengan masyarakat guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai salah satu tujuan dari pelaksanaan tugas pokok Polri. Penetapan Partnership Building dalam tahapan kedua grand strategy Polri merupakan cerminan dari komitmen Polri untuk menerapkan paradigma atau setidaknya suatu model atau gaya pemolisian yang baru yang mengedepankan pola pemolisian yang proaktif, menitikberatkan kemitraan dengan masyarakat, melaksanakan kegiatan yang bersifat problem solving, dan lebih mengutamakan pencegahan.[1] 
Penerapan ini secara logis merupakan pengejawantahan dari keinginan masyarakat pasca reformasi tahun 1998 agar Polri mengubah paradigma lama kepolisian secara diametral dari polisi yang militeristik ke polisi sipil yang demokratis.  Disamping itu, penerapan strategi kemitraan ini juga didorong oleh fakta empiris yang membuktikan bahwa strategi konvensional kepolisian yang biasanya diidentifikasi dengan kegiatan yang reaktif, pemberantasan kejahatan dan kegiatan yang terfokus pada upaya penegakkan hukum tidak cukup berhasil dalam mengendalikan perkembangan dinamika perubahan sosial masyarakat.  Hal ini kemudian melandasi pemikiran bahwa kejahatan yang ada dalam masyarakat tidak berkurang atau habis dengan diperanginya kejahatan tersebut.[2]
Dengan diletakkannya Partnership Building sebagai tahapan kedua dalam Grand Strategy Polri, menandakan bahwa hal ini merupakan tahapan yang sangat penting dan menjadi landasan atau pondasi utama sebelum Polri beralih ke tahapan ketiga yaitu Strive for Excelence.  Kegagalan Polri dalam menterjemahkan visi, misi dan strategi Polri di bidang pembangunan kemitraan ke dalam kebijakan, sasaran hingga tataran operasional seperti program kerja dan action plan akan membawa resiko yang serius dan konsekuensi yang berdampak besar bagi organisasi Polri.  Oleh karena itu, Komitmen pimpinan Polri untuk mengimplementasikan paradigma baru kepolisian yang bercirikan polisi yang demokratis yaitu: 1) berdasarkan pada supremasi hukum; 2) memberikan jaminan dan perlindungan HAM; 3) adanya transparansi; 4) adanya pertanggungjawaban publik; 5) pembatasan dan pengawasan kewenangan kepolisian; dan 6) berorientasi pada masyarakat.[3]
Community Policing atau pemolisian masyarakat merupakan salah satu strategi yang seringkali diasosiasikan sebagai kegiatan kepolisian yang berkarakter polisi sipil dan dipandang sebagai pola-pola pemolisian kontemporer yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini.[4] telah luas dikemukakan memiliki setidaknya tiga dimensi yang harus diterapkan secara holistik untuk dapat memberikan hasil yang maksimal yaitu 1) dimensi paradigma atau cara berfikir atau setidak-tidaknya suatu gaya (style) kepolisian[5]; 2) dimensi strategi atau kebijakan; dan 3) dimensi teknis atau operasional kepolisian.[6]  Kelemahan yang nyata dan mendasar yang ditemukan dalam pengamatan pada Polres X sangat mungkin pula ditemukan pada Polres lainnya adalah terputusnya hubungan diatara tiga dimensi tersebut sehingga pelaksanaan pemolisian masyarakat menjadi tidak optimal.

2.          Permasalahan

Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka permasalahan yang dibahas dalam naskah ini adalah “mengapa strategi pemolisian masyarakat guna membangun kemitraan dalam rangka terwujudnya peran serta masyarakat dalam harkamtibmas di Polres X belum optimal?”

3.          Pokok-pokok Persoalan

Dari permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, maka pokok persoalan yang akan digali dalam tulisan ini adalah dalam rangka menjawab pertanyaan berikut:
a.           Apakah tiga dimensi community policing dalam implementasi pemolisian masyarakat di Polres X sudah dikaitkan satu sama lain dan telah bersinergi (mendukung satu sama lain)?[7]
b.           Faktor apakah yang mempengaruhi belum optimalnya implementasi pemolisian masyarakat di Polres X dari pendekatan unsur-unsur manajemen?

4.          Ruang Lingkup

Penulisan naskah karya perorangan ini dibatasi pada strategi pemolisian masyarakat dalam ruang lingkup Polres X

 

 

 





BAB II PEMBAHASAN

5.          Fakta-Fakta

a.                  Temuan Terkait Dimensi Community Policing

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara singkat, berikut adalah temuan yang terkait dengan implementasi tiga dimensi pemolisian masyarakat di Polres X yaitu:
1)   Bahwa anggota pengemban tugas pemolisian masyarakat pada tingkat menengah dan tingkat bawah belum memahami filosophy pemolisian masyarakat sebagai paradigma baru Polri dan menganggap bahwa pemolisian masyarakat sama saja dengan pola pelaksanaan tugas babinkamtibmas di masa lalu.
2)   Belum ada keterkaitan yang erat antara tiga dimensi pemolisian masyarakat mulai dari tataran visi atau filosphy, tataran kebijakan yang kemudian mengkait hingga tataran teknis operasional pelaksanaan pemolisian masyarakat.
3)   Dalam tataran strategi, Polres X belum menerapkan skala prioritas dalam pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT (OHA dan ES) Polres X sehingga pemolisian masyarakat sebagai salah satu strategi utama dalam membangun kemitraan antara Polri dengan masyarakat belum optimal.
4)   Dalam tataran teknis operasional pemolisian masyarakat belum mensinergikan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh Polres X sehingga pelaksanaannya masih sangat parsial dan belum terkoordinasi dengan baik.  Selain itu beberapa pelaksanaan teknis pemolisian masyarakat yang pelaksanaannya salah sasaran seperti:
(a)     Pembentukan Pos Polisi di polres X yang dianggap sama atau sejajar dengan konsep Koban di Jepang adalah kurang tepat mengingat Pos Polisi terlalu banyak dibebani model tugas kepolisian konvensional selain itu juga tidak disertai dengan pemberian anggaran yang memadai dan bertumpu pada ‘partisipasi masyarakat[8] sehingga tidak optimal dalam melaksanakan kegiatan pemolisian masyarakat dan bahkan sebaliknya menurunkan keinginan masyarakat untuk menjadi mitra karena merasa dirugikan dan tidak merasakan manfaat atas hubungan kemitraan tersebut.[9]
(b)     Kegiatan pemolisian di Polres masih bercirikan pada paradigma lama yang berupaya membagi habis bidang tugas pemolisian masyarakat berdasarkan faktor-faktor spatial atau geografis. Konsep atau metode bagi habis wilayah berdasarkan otoritas kewenangan atau pendekatan penegakkan hukum merupakan warisan dari metode lama kepolisian yang bernuansa militer yang membagi habis wilayah kerjanya.

b)   Temuan terkait kegiatan Community Policing melalui Pendekatan Unsur-Unsur  Manajemen
1)         Sumber Daya Manusia.  Sumber daya manusia yang dimiliki Polres X, khusunya personel yang mengemban tugas pemolisian masyarakat masih memiliki kekurangan baik dari segi kuantitatif, ataupun dari sisi kualitatif dengan jabaran diantaranya sebagai berikut:
(a)     Bahwa rasio Perbandingan  antara Polri dan Penduduk (1:511) cukup ideal, akan tetapi apabila dilihat dari jumlah personel yang ada di Polres X belum memenuhi kekuatan ideal sesuai daftar susunan personel (DSP), sehingga pelaksanaan tugas dan sebaran pelayanan Polri masih belum menjangkau sampai komunitas terkecil. Petugas Polri yang bertugas di bidang pemolisian masyarakat rata-rata berjumlah satu orang di setiap kelurahan.[10]
(b)     Tingkat pendidikan dan pelatihan yang dimiliki oleh personel Polres X, khususnya di bidang pemolisian masyarakat dalam upaya meningkatkan profesionalisme pelaksanaan tugas masih belum tersinkronisasi antara materi diklat yang disuguhkan dengan kebutuhan riil seorang pelaksana fungsi pemolisian masyarakat.[11] 
2)   Anggaran. Dukungan anggaran belum dapat memenuhi kebutuhan anggaran pemolisian masyarakat Polres X sehingga prioritas hanya untuk kegiatan operasional dan mengesampingkan kebutuhan pengadaan dan fasilitas, materiil dan kesejahteraan personel akibatnya sering terjadi penyalahgunaan wewenang.
3)   Sistem dan Metode. Ditemukan fakta bahwa personel pengemban fungsi pemolisian masyarakat di Polres X yang sangat terbatas jumlahnya ini ini masih dilibatkan dalam plotting kegiatan pengendalian unjuk rasa.  Karena intensitas unjuk rasa yang sangat tinggi maka para pengemban fungsi pemolisian masyarakat di wilayah Polres X akhirnya hampir setiap hari melaksanakan tugas pengamanan unjuk rasa. Sementara itu kegiatan di bidang pemolisian masyarakat sendiri hampir tidak dilaksanakan.

6.          Analisis

Bahwa berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisis SWOT terhadap OHA (Organization Health Audit) dan ES (Environmental Scanning)  Polres X dapat diketahui bahwa akar penyebab dari fakta-fakta temuan di atas secara hipothesis adalah sebagai berikut:
a.                  Bahwa manajer tingkat menengah (Kapolres) belum memahami sepenuhnya hakikat pemolisian masyarakat yang memiliki 3 (tiga) dimensi yaitu dimensi filosophy atau falsafah, dimensi kebijakan dan strategy, serta dimensi teknis operasional.  Ketidakmengertian ini pada akhirnya tergambar dari gagalnya manajer tingkat menengah mendefinisikan kegiatan riil pemolisian masyarakat serta gagal memberikan pemahaman yang benar tentang pemolisian masyarakat kepada para manajer tingkat bawah sebagai pengemban tugas pemolisian masyarakat.
b.                  Masih berkaitan dengan hal di atas, manajer tingkat menengah belum mampu atau gagal menciptakan kebijakan terintegrasi di bidang pemolisian masyarakat dan mendorong manajer pada tingkatan di bawahnya untuk membangun lalu melaksanakan program di bidang pemolisian masyarakat secara terintegrasi dan selalui konsisten mengacu pada 3 (tiga dimensi) pemolisian masyarakat.[12]  Sebaliknya para manajer, baik tingkat menengah (Kapolres) maupun manajer di bawahnya tidak mampu menggerakkan program pemolisian masyarakat yang sudah diprogramkan sesuai dengan tuntunan Perkap tetapi terjebak dalam rutinitas kegiatan kepolisian yang reaktif dan metode konvensional lainnya.
c.                  Manajer tingkat menengah (Kapolres) dan manajer di bawahnya belum optimal menerapkan manajemen stratejik dalam lingkup Polres X dalam rangka mengidentifikasi kekuatan dan peluang  organisasi dalam rangka meminimalisasi kelemahan dan mencegah terjadinya ancaman dengan menuangkannya ke dalam pola kerja yang terintegrasi diantara kekuatan-kekuatan di dalam Polres X dengan peluang-peluang yang ada di luar organisasi, tetapi dapat dimanfaatkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
d.                  Hal ini terlihat dari belum sinerginya kekuatan-kekuatan yang ada dalam internal Polres X yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung agen pelaksana kegiatan pemolisian masyarakat.  Kegiatan yang pernah dilaksanakan seperti kring serse (fungsi serse) dan kring intel (fungsi intel) saat ini hampir mati suri.  Seyogianya kekuatan-kekuatan ini disinergikan dalam rangka mendukung pelaksanaan pemolisian masyarakat.  Hipotesis gagalnya implementasi pemolisian masyarakat yang dilaksanakan oleh Pos Polisi disebabkan karena tidak dikendalikan oleh profesionalisme dan kode moral yang eksplisit.  Hal ini diindikasikan dengan tidak dicukupinya anggaran Pos Polisi tersebut sehingga mendorong para petugas untuk ‘mencari dana sendiri’ yang berasal dari ‘partisipasi masyarakat’.[13]  Dilanggarnya kode moral dan profesionalisme inilah yang menyebabkan gagalnya program pemolisian masyarakat.
e.                  Kebijakan membagi habis wilayah biasa dilakukan oleh militer melalui konsep teritorial. Dengan sumber daya terbatas di Polres X, maka kegiatan pemolisian masyarakat yang berbasis pada konsep spatial menjadi sangat tidak efektif dan efisien.  Sebaliknya, konsep penugasan pemolisian masyarakat harus lebih selektif melalui pendekatan skala prioritas dan skala ancaman di wilayah Polres X.
f. Kurangnya sumber daya manusia di Polres X dari sisi kuantitatif lebih diperberat dengan tingginya kegiatan rutin reaktif berupa pengamanan unjuk rasa.[14]
g.                  Kompetensi petugas pengemban kegiatan pemolisian masyarakat setidaknya harus sejajar atau setara dengan masyarakat atau komuniti yang dinaunginya.  Berdasarkan hasil pengamatan, dalam wilayah Polres X masyarakat atau anggota komuniti yang ada pada umumnya memiliki pendidikan yang relatif cukup baik, hal ini kurang diimbangi dengan kondisi petugas Polres X yang rata-rata berpendidikan SLTA.
h.                  Penganggaran kurang profesional karena tidak mencerminkan prioritas kebijakan Polri yaitu dalam rangka mengoptimalkan paradigma baru kepolisian guna membangungun kemitraan dengan masyarakat.  Perencanaan anggaran kurang dapat menerapkan konsep anggaran berbasis kinerja (performance based budget) sehingga perencanaan dan penentuan program pemolisian masyarakat kurang tajam.
i. Tingginya frekwensi unjuk rasa di wilayah hukum Polres X menjadi salah satu penyebab terbengkalainya kegiatan-kegiatan di bidang pemolisian masyarakat.  Selain itu banyaknya obyek vital, kegiatan masyarakat dan personel VVIP yang perlu diamankan juga memperberat beban pekerjaan yang harus dilakukan oleh Polres X.

7.              Upaya Optimalisasi

Harus disadari bahwa tidak ada satu resep yang manjur yang dapat menyembuhkan seluruh permasalahan yang ditemukan dalam strategi pemolisian masyarakat guna guna membangun kemitraan dalam rangka terwujudnya peran serta masyarakat dalam harkamtibmas di Polres X.  Hal ini disebabkan karena adanya komplikasi diantara permasalahan-permasalahan tersebut disamping keterbatasan yang dimilki oleh Polres X.  Tetapi secara konseptual, upaya optimalisasi ini harus dilaksanakan agar tujuan pelaksanaan tahap 2 Grand strategy Polri dapat terlaksana.  Hal ini dilakukan melalui melalui upaya-upaya internal sebagai berikut:

a.                  Dipelopori oleh manajer tingkat menegah di Polres X (Kapolres) dan seluruh manajer di bawahnya, memahami kembali kegiatan pemolisian masyarakat sebagai paradigma baru Polri sebagai kegiatan dalam rangka membangun kemitraan Polri dan Masyarakat.
b.                  Melakukan harmonisasi diantara 3 dimensi pemolisian masyarakat yaitu pada tataran filosophy atau paradigma, pada tataran strategi atau kebijakan, hingga tataran operasional.  Dilakukan melalui sinkronisasi produk-produk dan kegiatan dalam tiga tataran pemolisian masyarakat tersebut.
c.                  Menerapkan Skala prioritas dalam pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT (OHA dan ES) Polres X.
d.                  Mensinergikan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh Polres X sehingga pelaksanaannya tidak  parsial dan terkoordinasi dengan baik (Serse, Intel, dan Patroli).
e.                  Merevitalisasi tugas pokok dan fungsi dari Pos Polisi di jajaran Polres X dan mendukung semua kegiatannya dengan anggaran yang memadai.
f. Menerapkan prioritas pemolisian masyarakat terhadap komuniti atau kelompok interest.  Sebagai contoh adalah komuniti Pedagang Grosir Tanah Abang, komuniti pedagang Blok A Tanah Abang,  komuniti pekerja bongkar muat (PBM) Gambir, komuniti pecinta motor besar, komuniti pecinta Harley Davidson, komuniti pekerja seni IKJ dll.
g.                  Tidak melibatkan petugas pengemban pemolisian masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pengamanan unjuk rasa atau pengamanan lainnya.
h.                  Membuat SDM atau personil memahami, dilakukan melalui pembinaan, pendidikan dan pelatihan agar para petugas polisi memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup tentang Polmas.  Selain itu, melakukan seleksi terhadap petugas pemolisian masyarakat secara lebih ketat dengan lebih kedepankan pada persyaratan moral daripada persyaratan teknis.
i. Upaya eksternal meliputi:
1)   Melakukan kerjasama dengan pemangku kepentingan lain seperti pemerintah daerah, DPRD, LSM yang membidangi pencegahan kejahatan, dll.
2)   Membuka dan menjalin hubungan kemitraan dengan tokoh-tokoh baik tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pengusaha, media massa dan lainnya dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program Polmas.
3)   Mendorong pembentukan Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) sebagai wadah kerjasama antara polisi dengan masyarakat
4)   Membangun koordinasi dan kerjasama antara FKPM dengan Polri setempat guna  memantau, mengawasi/mengendalikan, memberikan bimbingan teknis dan arahan serta melakukan penilaian atas keefektifan program Polmas.
5)   Meningkatkan program-program sosialisasi yang dilakukan petugas Polmas dan setiap petugas pada satuan-satuan fungsi guna menigkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan stabilitas kamtibmas.

 

BAB III PENUTUP

8.          Kesimpulan

Bahwa strategi pemolisian masyarakat guna membangun kemitraan di Polres X belum optimal dilaksanakan sehingga berdampak pada terganggunya upaya pembangunan kemitraan antara Polri dengan masyarakat.  Hal ini disebabkan salah satunya karena paradigma kepolisian yang baru yaitu yang bercorak polisi sipil yang demokratis masih belum terinternalisasi dalam diri setiap anggota Polri.  Petugas masih seringkali mengacu pada penerapan strategi kepolisian konvensional yang reaktif dan hanya menekankan pada upaya penegakkan hukum.  Oleh karena itu perubahan paradigma kepolisian melalui kegiatan pemolisian masyarakat  sangat penting untuk disukseskan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan Grand Strategy Polri tahap ke-2 yaitu Partnership building.
Faktor yang menyebabkan belum optimalnya strategi Polmas diantaranya adalah karena tidak dipahaminya paradigma polisi sipil melalui kegiatan pemolisian masyarakat serta tidak sinkronnya kegiatan pemolisian masyarakat dalam tataran filosophy, kebijakan dan operasional.  Disamping itu kegiatan ini juga masih belum menerapkan skala prioritas dalam pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT. Kemudian upaya sinergi diantara unit-unit di Polres X dalam rangka mendukung pelaksanaan Polmas juga belum diaksanakan.  Konsep spatial dalam penerapan kegiatan Polmas juga menjadi salah satu penghambat dilaksanakannya kegiatan ini secara optimal dikarenakan wilayah yang luas membutuhkan SDM yang banyak.
Maka upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengoptimalkan strategi Polmas guna mewujudkan paradigma polisi sipil dalam rangka membangun kemitraan dengan masyarakat dilakukan dengan cara yaitu secara internal memahami kembali kegiatan pemolisian masyarakat sebagai paradigma baru Polri dalam rangka membangun kemitraan Polri dan Masyarakat.  Kemudian Melakukan harmonisasi diantara 3 dimensi pemolisian masyarakat yaitu pada tataran filosophy atau paradigma hingga tataran strategi atau kebijakan dan tataran operasional.  Selanjutnya diperlukan pula upaya menerapkan Skala prioritas dalam pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT agar kegiatan Polmas ini dapat efektif dan efisien.  Upaya lainnya adalah mensinergikan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh Polres X sehingga pelaksanaannya menjadi terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik (Serse, Intel, dan Patroli).
Upaya eksternal yang dapat dilakukan adalah Melakukan kerjasama dengan pemangku kepentingan lain seperti pemerintah daerah, DPRD, LSM yang membidangi pencegahan kejahatan lalu  membuka dan menjalin hubungan kemitraan dengan tokoh-tokoh masyaraka, disamping itu juga lebih kepada membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial termasuk pengusaha, media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan instansi lintas sektoral , Pemda, DPRD, dan unsur Muspida lainnya dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program Polmas.

9.         Rekomendasi

a.                  Mengusulkan kepada Kapolda melalui Karo Personalia untuk menambah jumlah personel Polres X mengingat tingginya frekwensi kegiatan masyarakat yang perlu diamankan seperti unjuk rasa, kegiatan olang raga dan kegiatan personel VVIP lainnya.
b.                  Mengusulkan kepada Kapolda melalui Karo Rena untuk mengalokasikan dukungan anggaran yang memadai bagi kegiatan pemolisian masyarakat dan Pos Polisi.



[1] Chrysnanda Dwi Laksana, Bahan Ajaran Sespimmen Polri Dikreg ke-52 T.A. 2012, Polisi Sipil sebagai paradigma Baru Polri
[2] Parsudi Suparlan, Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 6.
[3] Chrysnanda Dwi Laksana, Membangun Polri sebagai Polisi Sipil dalam Masyarakat yang Demokratis
[4] Chrysnanda Dwi Laksana, Bahan Ajaran Sespimmen Polri Dikreg ke-52 T.A. 2012, Polisi Sipil sebagai paradigma Baru Polri
[5] Adrianus Meliala, Beberapa Masalah Substansial Terkait Polmas dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 66 menambahkan bahwa dimensi paradigma atau cara berfikir atau setidak-tidaknya suatu gaya (style) kepolisian ini mengandung kompleksitas atau kerumitan dalam penuangannya.
[6] Adrianus Meliala, Beberapa Masalah Substansial Terkait Polmas dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 66. 
[7] Dalam Perkap Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaran Tugas Polri, Pasal 1 angka 4 huruf a, dijelaskan bahwa policing diartikan sebagai segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi kepoisian tidak hanya menyangkut operasional tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian mulai dari tataran manajemen puncak sampai dengan manajemen lapis bawah.
[8] Parsudi Suparlan, Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 25
[9] Ada 107 Polmas dan 38 Pos Polisi dan 14 titik pelayanan samapta di seluruh wilayah Polres X
[10] Rencana Kerja Polres Metro X tahun Anggaran 2012 menyebutkan bahwa Personel Polres Metropolitan Jakarta Pusat sebanyak : 1817 orang terdiri dari; Polri  1776 orang dengan kepangkatan; Pamen 47 orang, Pama  126 orang, Bintara 1.603 orang. Sedangkan PNS 41 orang dengan penggolongan; Gol. III  21 orang, Gol. II / I  20 orang.
[11] Hal ini terlihat juga dari masih rendahnya keterampilan dan kemampuan personel Polri dilapangan terutama dalam segi penguasaan ketentuan dan perundang-undangan, penguasaan teknologi komunikasi berbasis computer,teknologi dan bio kimia di bidang kriminalitas modern dalam menghadapi kualitas dan kuatintas kejahatan yang semakin canggih serta masih tingginya proses birokrasi yang tidak efisien dalm penyelesaian perkara.
[12] Adrianus Meliala, Beberapa Masalah Substansial Terkait Polmas dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 66.
[13] Parsudi Suparlan, Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 24 - 25
[14] Pada saat pengamatan dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2012 ada 10 titik lokasi unjuk rasa dan 1 kegiatan pengamanan Waskita (Wakil Presiden)

0 comments:

Post a Comment