Sunday 14 September 2014

cis polda jatim : Kebijakan vs Korupsi





Akhir-akhir ini masalah  korupsi  sedang   hangat-hangatnya  dibicarakan  publik,terutama   dalam   media  massa   baik  lokal   maupun   nasional.  Banyak  para   ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro ada pula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.

Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang empirik. Di samping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Hal tersebut dibenarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan tidak mudah memberantas korupsi dalam waktu singkat (Kompas, 28 Maret 2005). Ia beralasan, korupsi di Indonesia merupakan perilaku yang sudah tumbuh subur di masyarakat sejak dulu. Lebih lanjut dikatakan oleh Yudhoyono bahwa faktor utama penyebab suburnya korupsi di Indonesia adalah semakin tipisnya niat dan itikad baik dalam menjalankan setiap amanah yang diberikan. Inilah faktor utama yang mendorong perilaku korup di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Korupsi  adalah  produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.

Pada umumnya korupsi dilakukan oleh pejabat yang memiliki wewenang yang penuh terhadap suatu tugas yang diberikan oleh negara. Sehingga gambaran seorang pejabat di masyarakat kita adalah seorang yang memiliki sumber daya (uang) dan kekuasaan. Sehingga setiap orang akan berusaha untuk mencapai jabatan tersebut hanya demi uang dan kekuasaan. Memang suatu hal yang sangat lumrah dilakukan oleh setiap orang, dimana orang akan berusaha mencapai suatu puncak karier melalui jabatan yang diembannya. Apalagi jabatan tersebut memiliki kewenangan yang penuh dan tanpa batas (unlimited power). Kecendrungan yang terjadi pada pejabat tersebut adalah akan memanfaatkan jabatannya tersebut untuk melakukan hal – hal yang jauh dari yang seharusnya dilakukan oleh jabatan tersebut. Hal – hal tersebut antara lain: ada penyuapan untuk menduduki jabatan tersebut, adanya berbagai kebijaksanaan yang sifatnya subjektif (pendapat pribadi untuk kepentingan sendiri si pejabat), dan sebagainya. 

Dalam tulisan ini, penulis ingin membandingkan salah satu kewenangan yang selalu dijalankan oleh seorang pejabat yaitu membuat kebijakan yang dikaitkan dengan perilaku korup oleh pejabat negara. Hal ini penting karena saat ini penanganan korupsi hanya permukaannya saja, tetapi tidak menyentuh akar permasalahan dari korupsi itu sendiri.

1.               Pengertian korupsi
Menurut perspektif hukum, pengertian korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 31 tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sesuai pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 3 (tiga) bentuk tindak pidana korupsi, yaitu:
a       Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan  memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b       Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang  lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c       Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut

Definisi korupsi secara etimologis diambil dari kata corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency International¸ korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tak wajar dan ilegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk (menggali) keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
a       Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang   secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
b       Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
c       Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
d       Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.

Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut ; harga-harga kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi ; biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran bertambah.

     Tanpa disadari, masyarakat miskin telah membayar 2 kali kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi. Namun oleh negara hak mereka tidak diperhatikan. Kedua, masyarakat kembali membayar negara untuk menikmati berbagai fasilitas pelayanan yang disediakan oleh negara kepada pejabat yang mengawaki pelayanan tersebut. Masyarakat miskin ini yang paling terkena imbasnya. Karena ketidaktahuan mereka mengenai mekanisme pelayanan publik yang ada sehingga mereka harus membayar sejumlah uang (lebih banyak) untuk menikmati pelayanan publik tersebut. Sebagai Contoh paling kasat mata adalah uang pelicin kepada petugas pembuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) agar tidak dipersulit, hal yang jelas-jelas melanggar hukum ini seolah-olah merupakan hal yang wajar-wajar saja. Korupsi menyebabkan alokasi sumberdaya tidak optimal. Proyek jembatan tidak diberikan kepada kontraktor terbaik, jabatan guru tidak diberikan kepada sosok yang tepat, lisensi HPH hutan diberikan kepada pengusaha yang tidak capable dan tidak peduli lingkungan, kursi perguruan tinggi tidak diberikan kepada para siswa terbaik, dll. Resources misallocation ini menyebabkan kinerja perekonomian tidak optimal. Banyak proyek pemerintah ataupun bantuan asing untuk rakyat miskin tidak efektif, karena disunat oleh oknum pejabat pemerintah yang tidak bertanggung jawab. Dalam banyak kasus korupsi, masyarakat miskin sering menjadi korban karena ketidak berdayaan mereka yang disebabkan oleh diantaranya:
a .Tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya pemahaman tentang korupsi & penanggulangannya.
b . Tidak adanya akses terhadap pelayanan hukum yang appropriate (layak) bagi mereka  
c. Perhatian yang rendah dari aparat penegak hukum terhadap mereka-mereka yang berasal dari ekonomi tidak mampu.

Di banyak negara, polisi dan pengadilan merupakan salah satu institusi yang paling korup. Tidak jarang oknum yang bekerja pada kedua institusi tersebut berkolaborasi dengan kelompok-kelompok kriminal tertentu, seperti bisnis prostitusi, bisnis judi dan bisnis obat terlarang. Kolaborasi, yang nyata-nyata merupakan tindakan korupsi ini, membuat pemberantasan aktifitas kriminal tersebut menjadi sulit. Hal ini juga yang nampaknya terjadi di Indonesia.

Pada mulanya birokrasi mempunyai konotasi positif yaitu efisien, rapi & teratur, tetapi saat ini birokrasi mempunyai konotasi sangat negatif yaitu tidak efisien, korup dan lamban. Perubahan makna ini terjadi akibat kinerja lembaga pemerintah yang tidak menggembirakan. Birokrasi membuat orang terpaku pada peraturan yang ada, tidak berfokus pada tujuan yang hendak dicapai , sehingga sangat sulit ditemukan sosok-sosok kreatif yang bisa bertahan dijajaran birokrasi kita. Kondisi ini diperburuk dengan korupsi yang terjadi, sehingga sesuatu yang sudah tidak efisien dan lamban ini menjadi semakin buruk lagi. Akibatnya posisi sebagai pegawai negeri tidak menarik lagi bagi sosok-sosok muda yang cerdas dan kreatif, mayoritas mereka lebih tertarik berkarir di perusahaan swasta.

 2.               Pengertian Kebijakan
Istilah 'kebijakan' yang dimaksud dalam tulisan ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris 'policy' yang dibedakan dari kata 'kebijaksanaan' (wisdom) maupun 'kebajikan' (virtues).  Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Pewitt (1973), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented) dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.


Selain teori diatas kebijakan pun dapat di definisikan sesuai dengan teori yang mengikutinya,antara lain yaitu:
a       Teori Kelembagaan memandang kebijakan sebagai aktivitas kelembagaan dimana struktur dan lembaga pemerintah merupakan pusat kegiatan politik.
b       Teori Kelompok yang memandang kebijakan sebagai keseimbangan kelompok yang tercapai dalam perjuangan kelompok pada suatu saat tertentu. Kebijakan pemerintah dapat juga dipandang sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah
c       Teori Elit memandang Kebijakan pemerintah sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah.
d       Teori Rasional memandang kebijakan sebagai pencapaian tujuan secara efisien melalui sistem pengambilan keputusan yang tetap.
e       Teori Inkremental, kebijakan dipandang sebagai variasi terhadap kebijakan masa lampau atau dengan kata lain kebijakan pemerintah yang ada sekarang ini merupakan kelanjutan kebijakan pemerintah pada waktu yang lalu yang disertai modifikasi secara bertahap.
f        Teori Permainan memandang kebijakan sebagai pilihan yang rasional dalam situasi-situasi yang saling bersaing.
g       Teori kebijakan yang lain adalah Teori Campuran yang merupakan gabungan model rasional komprehensif dan inkremental.

Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002). Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002). 

Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu:
a       kebijakan umum (strategi),
b       kebijakan manajerial, dan
c       kebijakan teknis operasional.
Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.

Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan. Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut (Mustopadidjaja, 2002):
a       Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
b       Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
c       Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
d       Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
e       Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.
f        Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
g       Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.

Ada 2 akibat yang timbul dari penetapan kebijakan, yaitu:
a       kebijakan yang berorientasi pada pelayanan public dalam arti sesuai dengan makna demokrasi. Walaupun sudah berorientasi kepada pelayanan publik tapi bagian ini masih dapat disusupi oleh adanya kepentingan pribadi.
b       kebijakan yang meracuni public/ kebijakan yang ditetapkan hanya untuk kepentingan beberapa kalangan saja, dan hal dampak yang kedua ini sangatlah kontraproduktif terhadap nilai-nilai demokrasi. Hal inilah yang nanti dapat mengakibatkan adanya korupsi dan kolusi. Bentuk yang paling kecil adalah terjadinya pungutan liar atau penyuapan kepada pejabat.

3.               Hubungan Kebijakan dan Korupsi
Di Amerika Serikat, sebuah negara demokrasi yang sudah sangat mapan, political corruption merupakan masalah utama. Peran para lobbyist (para pelobi) yang bekerja untuk kepentingan interest group tertentu sangat mendominasi proses pengambilan kebijakan publik. Saat ini, di Washington DC terdapat sekitar 30.000 lobylist yang terdaftar. Mereka secara aktif melobi para anggota senat dan dewan untuk memperjuangkan kepentingan perusahaan minyak, perusahaan senjata, perusahaan kimia, perusahaan makanan, dan lain-lain. Dalam proses pemilihan anggota senat, dewan dan presiden bisa jadi sangat demokratis. Tetapi dalam proses pengambilan kebijakan belum tentu kepentingan rakyat yang dinomorsatukan. 



Kebijakan dan korupsi adalah merupakan dua hal yang saling berkaitan. Kebijakan ada karena adanya pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seorang pejabat baik itu sesuai prosedur dalam kewenangannya maupun tidak. Sedangkan korupsi merupakan hasil yang diharapkan oleh seorang pejabat dengan adanya pengambilan kebijakan tersebut.
Kebijakan yang benar adalah kebijakan yang diambil berdasarkan proses formulasi pengambilan kebijakan (menurut Mustopadidjaja) yaitu:
a       Pengkajian Persoalan.
      Bertujuan untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
 b       Penentuan tujuan.
      Tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
c       Perumusan Alternatif.
      Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
d       Penyusunan Model.
      Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
e       Penentuan kriteria.
      Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.
f        Penilaian Alternatif.
      Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
g       Perumusan Rekomendasi.
      Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.

Dengan adanya proses yang jelas di atas dapat mencegah terjadinya pengambilan kebijakan yang sifatnya subjektif sehingga dapat berakibat kepada korupsi. Fakta mengungkapkan dan dapat kita jadikan suatu pendapat sementara bagaimana seorang pejabat yang memiliki kewenangan penuh misalnya seorang menteri atau bupati dapat masuk ke dalam penjara setelah hilangnya kekuasaan yang ia miliki. Coba kita bayangkan bagaimana saat ia memegang jabatan tersebut, tidak ada yang dapat mengungkap tindak tanduknya dalam melakukan korupsi. Hal ini menandakan bahwa sebuah jabatan memiliki kekuasaan dan berbagai sumber daya yang dengan kekuasaan dan sumber daya tersebut dapat “membeli” hukum maupun aturan yang ada. Ketika pejabat tersebut sudah tidak menjabat lagi, hilanglah sumber daya dan kekuasaan tersebut.

Kebijakan yang korup selalu berlindung dibalik produk hukum yang dibuat. Produk hukum yang mengandung nilai – nilai korupsi pasti tidak bertahan lama. Karena produk hukum tersebut sarat dengan kepentingan – kepentingan yang sifatnya subjektif si empunya kekuasaan (pejabat yang lama) sehingga pejabat yang baru merubah semua tatanan yang ada dalam lembaga/ organisasi negara tersebut. Hal ini mendatangkan pembiayaan yang cukup besar lagi dari anggaran negara. Perubahan yang dilakukan oleh pejabat yang baru tersebut tidak lepas juga dari adanya kepentingan – kepentingan yang sifatnya pribadi. Sehingga muncul suatu adagium apabila ganti penjabat maka aturannya ganti juga.
Kepentingan yang sifatnya pribadi di atas adalah kepentingan yang bukan berpihak kepada publik (masyarakat), tetapi kepentingan yang berpihak kepada diri sendiri, keluarga ataupun kelompok. Jangan heran di beberapa lembaga pemerintahan saat ini adanya pegawai yang ingin naik jabatan harus mengadakan pendekatan secara impersonal kepada istri pejabat yang bersangkutan atau adik kandungnnya sehingga dapat mengurus untuk naik jabatan/ promosi jabatan. Sistem yang sudah demikian rasionalnya kembali ke sistem kerajaan yaitu harus membawa upeti kepada raja melalui keluarga/ kroni – kroninya.

1.               Cara Menanggulangi Korupsi
Masyarakat saat ini tidak boleh lagi berpangku tangan melihat kondisi bangsa Indonesia, tidak boleh lagi berpangku tangan membiarkan bangsa ini semakin jatuh terperosok dalam jurang korupsi. Harus ada tindakan yang diambil untuk mencegah maupun menanggulangi korupsi yang terjadi di Indonesia. Hal hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:
a       Melakukan pencegahan yang dimulai dari diri sendiri maupun dari lingkungan keluarga dari tindakan korupsi. Pencegahan dari diri sendiri dapat dipupuk dengan keyakinan yang diperoleh dari keyakinan keagamaan bahwa korupsi adalah hal yang dilarang, korupsi adalah penyakit yang harus segera disembuhkan jika tidak ingin semakin meluas. Dalam hal ini peranan orang tua menjadi sangat dominan dalam memberikan contoh kepada anak-anaknya. Orang tua harus bisa meneladankan yang baik dan menanamkan bahwa korupsi adalah hal yang harus dihindari.
b       Keteladanan seorang pemimpin. Seorang pemimpin akan menjadi teladan bagi anak buahnya, apa yang dilakukan seorang pemimpin akan dilakukan juga oleh anak buahnya. Oleh karenanya seorang pemimpin harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk tidak berkompromi dengan apa yang disebut korupsi dan menunjukkan sikap yang anti korupsi baik secara lisan maupun dalam tindakan sehari-hari. Jika seorang pemimpin sudah menampilkan keteladanan yang demikian maka lambat laun korupsi akan berkurang dan dapat dikurangi sedikit demi sedikit.

Dari sistem penegakan hukum, saat ini pemberantasan korupsi dilakukan oleh beberapa institusi, yaitu:
a       KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
b       Kepolisian
c       Kejaksaan

Institusi inilah yang harus benar-benar berkomitmen untuk melakukan pencegahan dan penindakan terhadap korupsi yang sudah terjadi. Maka mereka harus menjadi yang pertama-tama terbebas dari korupsi, agar bisa melakukan penindakan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga lainnya. Perlu diingat bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya dapat dilaksanakan oleh masyarakat dan penegak hukum tetapi juga harus dibarengi dengan adanya perbaikan sistem. 

Kalau berbicara mengenai sistem tentunya kita berbicara mengenai suatu organisasi (Scott, 1961) yang terdiri dari unsur – unsur yaitu :
a        Bagian-bagian dalam organisasi merupakan sebuah sistem, berupa individu dan kepribadiannya, struktur formal, pola interaksi informal, pola status & peranan, lingkungan fisik pekerjaan. Inilah yang disebut sistem organisasi.
b       Konsep sistem fokus pada pengaturan, interakis, pola komunikasi dan hubungan antara bagian-bagian & dinamika hubungan tersebut yang menumbuhkan kesatuan / keseluruhan.

Menurut Weber organisasi formal memberikan sepuluh ciri berikut ini :
a       Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara jabatan-jabatan. Blok-blok bangunan dasar dari organisasi formal adalah jabatan-jabatan.
b       Tujuan atau rencana organisasi terbagi kedalam tugas-tugas; tugas-tugas organisasi disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi.
c       Kewenangan untuk melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan. Yakni, satu-satunya saat bahwa seseorang diberi kewenangan untuk melakukan tugas-tugas jabatan adalah ketika ia secara sah menduduki jabatannya.
d       Garis-garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkis. Hierarkinya mengambil bentuk umum suatu piramida, yang menunjukkan setiap pegawai bertanggung jawab kepada atasannya atas keputusan-keputusan bawahannya serta keputusan-keputusannya sendiri.
e       Suatu sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas, yang ditetapkan secara formal, mengatur tindakan-tindakan dan fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi.
f        Prosedur dalam organisasi bersifat formal dan impersonal – yakni, peraturan-peraturan organisasi berlaku bagi setiap orang. Jabatan diharapkan memiliki orientasi yang impersonal dalam hubungan mereka dengan langganan dan pejabat lainnya.
g       Suatu sikap dan prosedur untuk menerapkan suatu sistem disiplin merupakan bagian dari organisasi.
h       Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan organisasi.
i        Pegawai dipilih untuk bekerja dalam organisasi berdasarkan kualifikasi teknis, alih-alih koneksi politis, koneksi keluarga, atau koneksi lainnya.
j        Meskipun pekerjaan dalam birokrasi berdasarkan kecakapan teknis, kenaikan jabatan dilakukan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja.

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Weber tersebut ditemukan bahwa adanya pemisahan antara jabatan dan pejabat. Jabatan akan langgeng dan pejabat akan terus dilakukan pergantian. Kewenangan yang ada seharusnya melekat pada jabatan bukan pada pejabatnya sehingga akan dapat dicegah terjadinya kewenangan yang tidak terbatas dalam suatu bidang lembaga pemerintahan negara.

Seorang pejabat harus melaksanakan tugas yang diemban oleh jabatannya. Ketika ia melaksanakan sesuatu di luar dari kewenangan jabatannya maka hal tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang yang dapat dimasukkan dalam unsur pidana korupsi pada tahap awal (belum dapat dipidana karena belum menimbulkan kerugian keuangan negara). Pelaksanaan yang jelas antara jabatan dan pejabat dapat mencegah terjadinya tindakan – tindakan korup dari para kroni maupun kelompok dari si pejabat tersebut.

Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tak wajar dan ilegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan kebijakan adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Namun terkadang kebijakan tersebut disalahgunakan oleh beberapa oknum pejabat sehingga kebijakan tersebut merupakan awal dari adanya perilaku korup dari si pejabat dan kroni – kroninya.

Pemberantasan korupsi tidak hanya dapat dilakukan oleh masyarakat dan aparat penegak hukum saja tetapi juga perlu dilakukan oleh pemerintah melalui perbaikan sistem. Kalau kita berbicara mengenai sistem berarti hal tersebut terkait dengan perbaikan sistem organisasi/ lembaga pemerintahan.











0 comments:

Post a Comment