Friday, 19 September 2014

Polda Jatim : Kumpulan Kalimat MOtivasi lucu


Kata Kata Lucu
Kumpulan Kata Kata Bijak Motivasi Cinta Lucu Menghibur


Kumpulan Kata Kata Lucu


1. Kebanyakan orang Inggris, tidak tahu 'Terima Kasih', mereka tahunya 'thank you'


2. 150% Orang di dunia tidak tahu kalau persen cuma sampai 100.

3. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan utang.

4. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti di sate juga.

5. Sedikit bicara banyak bekerja, sedikit bekerja tidak bisa bicara.


6. Kita seharusnya menyukai binatang, Mereka rasanya lezat.


7. Di belakang setiap pria sukses ada seorang wanita hebat, Di belakang setiap pria yang tidak sukses 
terkadang ada dua wanita atau lebih.

8. Cinta itu photogenic, Dia memerlukan tempat gelap untuk berkembang.


9. Masa depan tergantung pada impian kamu, Maka pergilah tidur saja sekarang.


10. Wanita cantik bukan menjadi jaminan kehidupan kita menyenangkan, apalagi yang jelek.


11. Cintailah tetangga, memang rumput tetangga lebih hijau.


12. Jangan salahkan diri anda kalau anda jelek, salahkanlah orangtua anda, karena jelek itu keturunan.

13.  Cinta tidak memandang cakep atau jelek, gak percaya? Tanyakan hal ini sama orang jelek.

14. Kamu tidak dapat mengubah apa yang telah kamu mulai, tetapi kamu dapat mengubah apa yang kamu mau ubah.


15. Jika kamu ingin bersinar seperti matahari, pertama kamu harus terbakar sepertinya.


16. Jangan tertarik kpd seseorang karena parasnya, tapi buat orang lain tertarik dgn keelokan parasmu.


17. Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, karena hanya dengan itu kamu bisa pergi ke tempat-
tempat kamu ingin pergi.


18. Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. olehnya jangan paku dirimu di pintu yang sudah tertutup.

19. Sahabat terbaik adalah uang, karena uang dapat mendatangkan sahabat.


20. Hanya diperlukan waktu semenit untuk menaksir seseorang, makanya taksir orang sebanyak mungkin.


21. Kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, tetapi lebih baik bahagia diatas penderitaan orang lain dari pada menangis

22. Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, dan sangat menyenangkan tidak mencintai orang yang mencintaimu.


23. Masa depan yang cerah selalu tergantung kepada masa lalu yang dilupakan, tetapi masa lalu yang indah tak mudah untuk dilupakan.


24. Memberikan seluruh cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu,olehnya jangan berikan cintamu sekaligus.


25.  Gara gara nila setitik, Rusak susu sebelanga. Gara gara si nona cantik, Lupa aku pake celana.

26. Pekerjaan seberat apapun akan terasa ringan, jika kita tidak mengerjakannya.


27. Jika ada orang yang menyebutmu jelek, janganlah berputus asa, belum tentu orang tersebut berkata bohong.

28. Wanita cantik bukan jaminan kehidupan bahagia dan menyenangkan, apalagi yg jelek.


29. Kebohongan adalah kejujuran yg tertunda


30. Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tetapi punya uang lebih bahagia daripada tidak punya.


31. Sepandai-pandai menyimpan istri muda, akhirnya tua juga.


32. Menahan gelak tawa itu tidak sehat. Gelak tawa akan turun ke bawah dan membasahi celana Anda.


33. Pakaian itu adalah pagar pelindung, Pagar seharusnya melindungi tanpa menghalangi pemandangan yang indah.

34. Dalam pantat yang sehat, terdapat kentut yang kuat.


35. Saya tidak ngiler dengan harta atau tahta. tapi saya ngiler kalo tidur miring.




Kata Kata Lucu

36. Jangan pernah jatuh cinta sama sekampung, karena satu saja sudah repot, bagaimana kalau satu kampung?

37. Hal utama dalam mencari suami adalah menemukan orang yang memiliki kepribadian. Mobil pribadi dan rumah pribadi.


38. Cinta sejati itu cinta yg tak butuh alasan, bego aja mencintai tanpa alasan.


39. Di belakang setiap pria sukses ada seorang wanita hebat. di belakang setiap pria yg tdk sukses ada 2 wanita.


40. Bermimpilah ttg apa yg ingin kamu impikan, jadilah seperti yg kamu inginkan, karena mungkin itu cuma mimpi.


41. Ada 3 cinta yang tak akan pernah habis, 1. Cinta Tuhan kpd umatnya, 2. Cinta org tua kpd anaknya, 3. Cinta fitri

42. nanti kalo naek motor, kamu pegangan ama aku yaah, aku takut kamu jatuh. klo kamu jatuh. nanti aku disangka… buang sampah sembarangan!


43. Kmu berada disudut jalan tersipu malu.Wajah kmu berseri. Dgn penuh segan kmu ulurkan tanganmu. Tanpa ragu seraya berkata. Minta Sedekahnya.

44. Ke bukit sama mendaki, ke lurah bikin KTP.

45. Hidup ini kadang di atas dan kadang di bawah. kadang ayam nginjak tai kita, kadang kita nginjak tai ayam.

46. wanita cantik bukan jaminan kehidupan kita menyenangkan, apalagi yang jelek.

47. Masa depan itu bagaimana nanti. masa depan itu nanti bagaimana jadi bingung.


48. Jangan putus asa, tidak semua orang menilai manusia dari fisiknya


49. Hidup ini kadang di atas dan kadang di bawah. kadang ayam nginjak tai kita, kadang kita nginjak tai ayam.

50. Jadilah diri anda anda sendiri, kalau anda jelek syukurilah kejelekan anda.


51. Pemerintah akan segera mengganti warna tabung gas 3kg jadi kuning , kelabu , merah muda atau biru, karena  warna hijau pasti meledak menurut tukang balon.

52. Sisi positif merokok sebenernya banyak : "Diantaranya positif kanker, positif impoten, positif gangguan kehamilan dan janin..."

53. Matamu indah.. sangat bersinar.. tiapku bicara.. kudengar suara yang merdu.. wajahmu.. selalu kuingat di hari hariku.. sungguh wajahmu mngingatkanku.. pada hewan pliharaanku yang telah tiada.

54. Seekor nyamuk bertanya kepada anaknya
Nyamuk : "Gimana nak rasanya belajar terbang?"
Anak Nyamuk : "Enak mak... keren...!"
Nyamuk : "Kok bisa gitu..?"
Anak Nyamuk : "Habis, tiap terbang orang-orang pada tepuk tangan, Mak...

55. Teganya kau.. aku telpon  kamu tak jawab, aku sms pun kamu tak balas, dasar jahat kau. ok ...ternyata aku sadar sekarang bahwa pulsaku kini habis dan harus di isi dulu.

Diatas adalah sedikit informasi seputar Kata Kata Bijak Lucu yang bisa Espilen Blog bagikan untuk Anda. Bagi Anda yang mungkin sedang bosan ataupun galau, semoga kumpulan kata ini bisa memberikan hiburan yang baik bagi hati dan pikiran Anda. Selain itu, Anda juga bisa membagikan kata mutiara lucu ini ke teman-teman atau sanak saudara agar semuanya turut terhibur.

ADMINISTRASI KEPOLISIAN (SEBAGAI BAGIAN DARI UNSUR PEMBENTUK ILMU KEPOLISIAN)


I. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu Kepolisian di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari aspek historis pembentukan polisi sebagai salah satu bagian dari sistem kenegaraan kita. Seperti kita ketahui, pembentukan polisi di Indonesia sudah dimulai sejak jaman kerajaan dan terus berkembang dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan negara.
Perkembangan ini dapat dimaklumi mengingat sebuah sistem Kepolisian akan senantiasa dipengaruhi oleh sejarah pembentukan negara, sistem ketatanegaraan, serta hukum yang mengaturnya. Demikian pula dengan apa yang terjadi di Indonesia, perkembangan Kepolisian selalu mengikuti tahapan perkembangan sistem ketatanegaraan. Di awali dengan periode pra kemerdekaan yang dipisahkan dalam periode pra penjajahan, peridoe kedatangan / penjajahan Belanda (1596 – 1942), dan periode pendudukan Jepang (1942 – 1945). Periode ini berisikan pembentukan Kepolisian sedari jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai salah satu kerajaan terbesar yang pernah berdiri di nusantara.
Kemudian pada tahun 1945 – 1949, Indonesia memasuki masa periode revolusi fisik. Periode ini merupakan awal cerita terbentuknya organisasi Kepolisian modern di negara kita dengan ditandai proklamasi Polisi sebagai Kepolisian Negara Republik Indonesia (21 Agustus 1945). Periode ini juga ditandai dengan terbentuknya berbagai sub organisasi dibawah Polri seperti Akademi Polisi, Brigade Mobile, Polisi Wanita, Bhayangkari dan sebagainya.
Periode berikutnya adalah periode Republik Indonesia Serikat (1949 – 1950), dimana sistem Kepolisian saat itu menyesuaikan dengan ketatanegaraan RIS. Hal ini ditandai dengan diangkatnya RS.Soekanto sebagai Kepala Polisi Federal serta munculnya istilah Jawatan Kepolisian.
Memasuki perubahan sistem ketatanegaraan pada medio 1950, sistem Kepolisian di Indonesia memasuki tahapan periode Demokrasi Parlementer (1950 – 1959). Sejarah mencatat pada masa ini lahir panji-panji Polri serta diciptakannya Tri Brata Polri. Masa ini kemudian beralih menjadi periode Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Pada masa ini, munculah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepolisian, yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lahirnya undang-undang ini memberikan warna yang cukup signifikan bagi perkembangan ilmu Kepolisian di Indonesia.
Tahapan perkembangan berlanjut pada periode Orde Baru (1966 – 1998). Periode ini ditandai dengan integritas Polri kedalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai dampak dari terbitnya Keputusan Presiden Nomor 290 tanggal 12 Nopember 1964 yang berisikan kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Angkatan Kepolisian RI sebagai bagian dari ABRI. Pada masa inipula, roda organisasi Polri berjalan dengan teratur melalui alih kepemimpinan Polri dari waktu ke waktu. Selain itu pula, masa ini juga dicatat sebagai periode lahirnya peraturan dalam beracara pidana dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pasca reformasi 1998 yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru, periode sistem Kepolisian memasuki tahap periode reformasi. Periode ini ditandai dengan pemisahan Polri dari ABRI (TNI) melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan juga Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tahapan periode ini membentuk Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi sebuah organisasi yang besar dengan berbagai domain yang mengaturnya. Domain inilah yang menjadi unsur-unsur pembentuk dari ilmu Kepolisian sebagai sebuah profesi. Profesi itu sendiri memerlukan adanya upaya pelembagaan (institusionalisasi) dan pembakuan profesi dalam masyarakat sehingga secara sosiologis mendapat pengakuan dari masyarakat dan keberadaannya dirasakan serta bermanfaat bagi masyarakat luas. Hal ini untuk mewujudkan eksistensi ilmu Kepolisian sebagai salah satu bidang ilmu yang bersifat interdisipliner.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian-Pengertian
Pada bagian ini, penulis mencoba menguraikan mengenai pengertian-pengertian dasar yang terkait dengan Kepolisian sebagai sebuah sistem dan organisasi yang ditinjau dari aspek historisnya.
Dalam berbagai literatur, kata “polisi” memiliki substansi dasar sebagai sebuah usaha/kegiatan/tugas dan badan/organ/lembaga yang menjalankan kegiatan tersebut (Kelana,2007:13). Menurut Chalres Reith (1912), ‘police’ diartikan sebagai tugas. Sedangkan menurut Bill Drews dan Gerhard Wacke (1961:11) mengemukakan bahwa ‘polizei’ dapat dipergunakan baik dalam arti formal maupun dalam arti material. Pengertian ‘polizei’ dalam arti formal mencangkup penjelasan tentang organisasi dan kedudukan dari instansi Kepolisian, sedangkan dalam arti material memberikan jawaban terhadap persoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya gangguan keamanan dan ketertiban, baik dalam rangka kewenangan Kepolisian umum maupun melalui ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan / undang-undang tentang Kepolisian secara khusus.
Pemakaian istilah Polisi sebagai tugas, organ, dan pejabat didapatkan pula pada kamus Kramers dan Poerwadarminta, hanya pada Kramers ada tambahan satu lagi yaitu istilah Polisi dipakai untuk menyebutkan “ Ilmu Pengetahuan Kepolisian “ (Kelana,2007:14).
Istilah tugas ini juga berkaitan erat dengan permasalahan keamanan, dimana pengertian keamanan ini menjadi salah satu bagian dari hal ikhwal mengenai Polisi. Istilah keamanan dalam bahasa Indonesia sendiri merupakan salah satu istilah yang merupakan bentuk semantic confusion, yakni istilah yang menimbulkan kerancuan arti. Istilah ini lebih memiliki makna ketika digabungkan dengan padanan kata lain seperti keamanan negara, pertahanan-keamanan, keamanan dalam negeri, keamanan nasional dan lain sebagainya.
Tidak ubahnya dengan tata bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris penggunaan kata security sendiri lebih sering dipadankan dengan kata lain menjadi sebuah kosa kata sendiri seperti security council, national security, world security, international security dan sebagainya.
Penggunaan kata keamanan di Indonesia khususnya dalam aturan perundangan mengenai Kepolisian bermula ketika periode 60-an dimana saat itu Mabes Polri terdapat Badan Pembinaan Keamanan Rakyat (BABIN KAMRA), yang sekarang dibakukan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi istilah keamanan swakarsa (Djamin,2007:66).
Keamanan itu sendiri sangat erat dengan bidang tugas dari polisi, hal ini dikarenakan secara historis keberadaan polisi memang diperuntukan dalam memberikan jaminan keamanan dan ketentraman bagi masyarakat.
B. Ilmu Kepolisian
Pada awal didirikannya Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), fokus utama yang dijadikan target sewaktu itu adalah terciptanya kader-kader polisi yang mampu berpikir dan bertindak secara zelfstanding. Untuk itu kader-kader polisi ini harus dididik secara akademisi untuk menjadi seorang sarjana-sarjana Kepolisian.
Pada periode Parlementer, status keilmuan dari Ilmu Kepolisian mulai menjadi pokok bahasan bersamaan dengan upaya yang dilakukan dalam rangka pemantapan PTIK. Dalam perkembangannya ilmu kepolisian disimpulkan sebagai kelompok Ilmu Pengetahuan Sosial dan ternyata telah memenuhi syarat-syarat untuk diakui sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang dapat berdiri sendiri serta memiliki program studi yang memberikan gelar sarjana bagi para lulusannya (PTIK,1981:89).
Ilmu Kepolisian tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan profesi dan hal ikhwal Kepolisian, namun disegi lain ilmu bersifat komunal dan universal. Komunal memiliki pengertian ilmu pengetahuan merupakan milik masyarakat (public knowledge), setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya.
Sedangkan bersifat universal berarti bahwa ilmu pengetahuan bebas dari ras, keturunan, warna kulit maupun keyakinan agama. Pendalaman ini juga perlu agar terwujud persamaan persepsi tentang hal ikhwal Kepolisian, khususnya mengenai Ilmu Kepolisian (Kelana,2009:3). Di Indonesia sendiri, pembinaan profesi Kepolisian dapat diamati sejak jaman penjajahan Belanda dengan adanya catatan sejarah adanya asosiasi dan perhimpunan profesional antara lain “Persaudaraan Para Komisaris Polisi Hindia Belanda” (Broederschap van Commissarissen van Politei van Nederlandsch-Indie) dan pada tahun 1917 menerbitkan majalah perhimpunan mereka De Nederlandsch-Indische Politiegids (Bachtiar,1993:42).
Dari berbagai peristiwa sejarah diatas, Kelana (2009) memberikan definisi mengenai ilmu kepolisian yaitu ilmu yang membahas tentang segala hal ikhwal Kepolisian dan memanfaatkannya untuk kepentingan kesejahteraan manusia. Sedangkan menurut Prof.Harsja Bachtiar, ilmu Kepolisian didefinisikan sebagai gabungan dari berbagai unsur-unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, ilmu Kepolisian disimpulkan sebagai bidang ilmu yang bersifat mulidisipliner.
Berbeda dengan itu, Prof.Parsudi Suparlan berpendapat bahwa ilmu Kepolisian diartikan sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isyu-isyu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral serta masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya. Keterangan ini memposisikan ilmu Kepolisian lebih bersifat interdisipliner. Pendapat ini selaras dengan pengertian yang disampaikan oleh Prof. Awaloeddin Djamin yang menyatakan bahwa ilmu Kepolisian adalah sama dengan ilmu Administrasi Kepolisian, dimana hal ini dikelompokan menjadi 4 bagian kelompok besar, yaitu :
1. Kelompok Ilmu Sosial
2. Kelompok Ilmu Hukum
3. Kelompok Ilmu Administrasi dan Manajemen
4. Kelompok Ilmu-ilmu pendukung lainnya.
Terkait dengan paradigma interdisipliner ini, Prof.Daud Yusuf (1980) dalam Kelana (2007:138) menyatakan bahwa disiplin Ilmu Kepolisian adalah hasil dari suatu proses yang berkelanjutan dari cara pendekatan dan berpikir interdisipliner, untuk mencapai keterpaduan yang sempurna tentang pengertian ilmiahnya. Pendekatan interdisipliner berlaku 3 (tiga) tahapan , yaitu : (1) Pendekatan Multi-Disipliner; (2) Kros-Disipliner; dan (3) Trans-Disipliner.
Dari pengertian ini akan dapat dirasakan sedemikian luasnya cakupan ilmu Kepolisian ini, hal ini dikarenakan hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi tidak akan mungkin terlepas dari hal ikhwal kepentingan masyarakat, negara, dan penduduk secara individual maupun kelompok.
Hal ini mengandung pengertian bahwa ilmu Kepolisian sangat berkaitan erat dengan berbagai macam disiplin ilmu lainnya atau dengan kata lain, dalam ilmu Kepolisian digunakan berbagai macam teori/pengetahuan dari displin ilmu guna memecahkan masalah publik. Permasalahan inilah yang merupakan wujud keterkaitan hal ikhwal mengenai Polisi baik dilihat dari tugas, wewenang, tanggung jawab, maupun kedudukannya.
Menurut Kelana (2009), terdapat enam lingkup bahasan Ilmu Kepolisian, yaitu :
a. Mempelajari perangkat penata normatif masyarakat dan kepentingan keteraturan norma dan keteraturan sosial dalam masyarakat dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Mempelajari hukum positif dan kepentingan menegakan kewibawaan hukum negara;
c. Mempelajari kepentingan penduduk secara perseorangan, dalam rangka perlindungan hukum, pengayom, dan pelayanan kepada masyarakat; dan
d. Mempelajari konsepsi-konsepsi Kepolisian dan arti fungsional bagi masyarakat, negara, dan penduduk secara perseorangan, yang menghasilkan metoda-metoda pemolisian.
e. Mempelajari tentang sejarah timbulnya Kepolisian, bagaimana perkembangan Kepolisian sejak dahulu sampai sekarang, dan faktor apa saja yang berpengaruh terhadap Kepolisian dari masa ke masa.
f. Mempelajari pendapat dan pemikiran orang diberbagai negara dan masyarakat mengenai Kepolisian sepanjang masa.
g. Mempelajari hubungan Kepolisian dengan fungsi lainnya dalam masyarakat seperti politik dan pemerintahan negara, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya.
h. Mempelajari karakteristik Ilmu Kepolisian dan hubungannya dengan ilmu lainnya dalam rangka pengembangan metodologi Ilmu Kepolisian.
C. Administrasi Kepolisian
Berbicara mengenai administrasi Kepolisian maka kita tidak akan dapat lepas dari pengertian administrasi itu sendiri. Istilah administrasi berasal dari bahasa latin yaitu “Ad” dan “ministrate” yang artinya pemberian jasa atau bantuan, yang dalam bahasa Inggris disebut “Administration” artinya “To Serve”, yaitu melayani dengan sebaik-baiknya. Dalam melihat substansi dari administrasi itu sendiri, maka banyak pendapat ahli yang melakukan pengelompokan administrasi kedalam dua bagian. Secara garis besar pengertian administrasi dapat dibedakan menjadi 2 pengertian yaitu :
a. Administrasi dalam arti sempit. Menurut Soewarno Handayaningrat mengatakan “Administrasi secara sempit berasal dari kata Administratie (bahasa Belanda) yaitu meliputi kegiatan cata-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, keti-mengetik, agenda dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan”(1988:2). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan administrasi dalam arti sempit merupakan kegiatan ketatausahaan yang mliputi kegiatan cata-mencatat, surat-menyurat, pembukuan dan pengarsipan surat serta hal-hal lainnya yang dimaksudkan untuk menyediakan informasi serta mempermudah memperoleh informasi kembali jika dibutuhkan.
b. Administrasi dalam arti luas. Menurut The Liang Gie mengatakan “Administrasi secara luas adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu”(1980:9). Administrasi secara luas dapat disimpulkan pada dasarnya semua mengandung unsur pokok yang sama yaitu adanya kegiatan tertentu, adanya manusia yang melakukan kerjasama serta mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Yulianti, 20 April 2011, URL).
Pendapat lain mengenai administrasi dikemukan oleh Sondang P. Siagian mengemukakan “Administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara 2 orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya” (1994:3). Berdasarkan uraian dan definisi tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa administrasi adalah seluruh kegiatan yang dilakukan melalui kerjasama dalam suatu organisasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan.
Sampai saat ini, memang masih sering terjadi perdebatan mengenai persamaan dan perbedaan mengani administrasi dengan manajemen. Ada beberapa kalangan yang menyamakan pengertian administrasi dan manajemen sebagai satu wadah yang tidak dapat terpisahkan , namun ada pula beberapa pakar yang lebih suka untuk memisahkan pengertian manajemen dengan administrasi ini. Penulis sendiri lebih sependapat untuk melihat pengertian administrasi dan manajemen sebagai sebuah bagian yang memang tidak dapat dipisahkan.
Berkaitan dengan sistem administrasi Kepolisian, terdapat komponen dasar yang menjadi unsur pembentuknya, yaitu Manajemen Operasional, Manajemen Teknologi Kepolisian dan Manajemen Pembinaan.
Unsur pembentuk ini mengacu pada Pasal 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayom, dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Pasal ini pada hakekatnya merupakan pokok pikiran yang menggaris bawahi Tujuan Kepolisian dalam kaitannya dengan tujuan negara dan keamanan dalam negeri. Rumusan Tujuan Kepolisian ini sangatlah penting dalam memberikan arah serta menjadi pedoman bagi penyelenggaraan fungsi Kepolisian. Tujuan ini juga menjadi patokan dalam pembentukan visi dan misi Polri sebagai bagian dari negara dalam sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Keberadaan ilmu Kepolisian yang memiliki cakupan luas dalam hal ikhwal polisi, memberikan dampak bagi terciptanya tugas-tugas manajerial yang secara historis sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya. Dari cakupan berbagai disiplin ilmu inilah, muncul 3 komponen pokok yang membentuk sistem administrasi Kepolisian tersebut.
III. PENUTUP
Keberadaan ilmu administrasi Kepolisian pada hakikatnya selaras dengan kedudukan ilmu Kepolisian dalam disiplin ilmu yang dikenal di Indonesia. Ilmu Kepolisian sendiri, merupakan disiplin ilmu yang mengambil, menghimpun, dan dirumuskan dari berbagai pengetahuan yang terkait dengan hal ikhwal Kepolisian.
Sifat ilmu Kepolisian yang interdisipliner ini, membuat cakupan administrasi Kepolisian menjadi sedemikian penting. Hal ini mengingat, administrasi Kepolisian sangat erat kaitannya dengan kedudukan, fungsi, tugas dan juga tanggung jawab Polisi baik sebagai sebuah organisasi maupun dalam lingkup kehidupan ketatanegaraan di negara kita.
Penjabaran mengenai administrasi Kepolisian sendiri tentu saja sangat bergantung dari perkembangan sebuah negara. Baik dilihat dari sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan, sistem pembentukan sebuah negara serta sistem peraturan yang mengiringi kelangsungan negara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
PTIK,2010. Modul Mata Kuliah Administrasi Kepolisian
Djamin,Awaloeddin.2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta:PTIK Press.
Kelana,Momo.2007. Konsep-Konsep Hukum Kepolisian Indonesia. Jakarta: PTIK Press.
Kelana,Momo.2009. Persepsi Seorang Praktisi Tentang Ilmu Kepolisian Di Indonesia. 

Thursday, 18 September 2014

DADING : BEBERAPA KETENTUAN UMUM DALAM BUKU PERTAMA KUHP Hal 1 sampai 14


BEBERAPA KETENTUAN UMUM
DALAM BUKU PERTAMA KUHP



(PENYERTAAN, GABUNGAN BEBERAPA PERBUATAN YANG DAPAT DIHUKUM, TINDAK PIDANA ADUAN DAN PENGULANGAN)











Brigjen Pol. Drs. H.A.K. MOCH. ANWAR, S.H. (DADING)


PENERBIT   ALUMNI / 1982 / BANDUNG
KOTAK   POS   272


SEDIKIT CATATAN TENTANG PENULIS
Brig.Jen.Pol. Drs. H.A.K, Mochamad Anwar S.H. (Dading) - Sekarang mengajar sebagai dosen luar biasa di P.T.I.K. dan Fakultas Hukum UNKRIS. Di Universitas yang sama penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Rektor. Semenjak 1981 Penulis ditunjuk sebagai anggota team Pengkajian Hukum Pidana BPHN.
Dari sekian banyak pekerjaan yang pernah dijabatnya yang penting adalah Direktur Reserse Ekonomi - Komando Reserse (1971 - 1975), Ketua Team Pemeriksa Khusus Bank-bank untuk seluruh wilayah Indonesia (1973 - 1975), Direktur Reserse Kriminil Komando Reserse dan Anggota MPR Rl sejak 1977 - 1982.
Di sarnpjng pekerjaan-pekerjaan utama di atas ia juga memangku jabatan-jabatan rangkap, yang terpenting adalah : menjadi Hakim Ketua Pengadilan POLRI/ MABAK, Anggota Team Hakim MAHMILUB (1966). Hakim Ketua/MAHAK Komdak VII Jaya (1967-1968), Ketua MAHAKTI (1970-1972) dan menjadi Ketua Sidang Lokakarya Bidang Penyelundupan yang diselenggarakan oleh Bakolak Inpres 6/1971.
Tanda - tanda jasa yang diperolehnya adalah Satya Lencana P.K.  I dan P.K. II; Peringatan Perjuangan Kemerdekaan; Penegak dan Bintang Bhayangkara Nararya dan lain - lain.
Hasil karya tulisnya yang telah diterbitkan Penerbit Alumni :
-     Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP buku II) Jilid I dan II.
-     Segi-segi Hukum Masalah Penyelundupan.
-     Hukum Pidana di bidang Ekonomi.
-     Tindak Pidana di bidang Perbankan.
-     Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP



KATA PENGANTAR CETAKAN PERTAMA

Buku ini disusun berdasarkan pengalaman penulis yang juga mengusahakan   semua   istilah   Belanda diterjemahkan   dalam Bahasa Indonesia.
Buku ini meliputi uraian tentang ketentuan-ketentuan umum yang perlu difahami dan dikuasai khususnya mengenai penyertaan, berhubung di dalam praktek masih dijumpai kekeliruan-kekeliruan dalam penerapan ketentuan-ketentuan tersebut dalam berbagai kasus.
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam penulisan ini telah diusahakan sesederhana mungkin untuk dapat dimengerti secara mudah.
Semoga buku ini berguna dalam usaha peningkatan penguaasaan pengetahuan hukum pidana, khususnya tentang beberapa teori tentang hukum pidana yang dianut oleh KUHP.


Jakarta, 28 Pebruari 1981
       
       Penulis,

























KATA PENGANTAR CETAKAN KE-DUA

Cetakun kedua ini diterbitkan tanpa perubahan maupun tambahan, Ketentuan-ketentuan umum dalam Buku I KUHP itu masih belum dipahami sepenuhnya, berhubung di dalam praktek penerapannya, khususnya mengenai soal PENYERTAAN (a.l. pasal 55 (1) ke-1) masih sering dijumpai kekeliruan-kekeliruan.
Semoga dengan uraian-uraian dalam buku ini soal-soal tersebut dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pemakainya.

Jakarta, 4 Oktober 1982.


     Penulis.






























DAFTAR  ISI
Halaman

KATA PENGANTAR CETAKAN ^ERTAMA v
KATA PENGANTAR CETAKAN KEDUA vi
BAB I. PENYERTAAN 1
1.     Pengertian   1
2.     Istilah pelaku dalam pasal 55 (1) KUHP 7
3.     Mereka yang melakukan perbuatan 10
4.     Mereka yang menyuruh melakukan perbuatan  14
5.     Mereka yang turut serta melakukan perbuatan   17
6.     Pembujukan (Pasal 55 (1) ke-2)  31
7.     Perbuatan pemberian bantuan (Pasal 56)   44
8.  Pengaruh  masalah  pribadi  terhadap  penghukuman peserta (pasal 58) 63
9.  9. Kejahatan dengan alat cetak 68
BAB     II.     GABUNGAN     PERBUATAN-PERBUATAN   /YANG DAPATDIHUKUM     84
1.     Gabungan satu perbuatan 89
2.     Gabungan beberapa perbuatan . 95
3.     Perbuatan lanjutan   100
BAB III. TINDAK PIDANA ADUAN
BAB IV. PENGULANGAN ATAU RESIDIVE 115
BAB V.  PENGGUGURAN HAK ATAS PENUNTUTAN HUKUMAN DAN HAK
ATAS PELAKSANAAN HUKUMAN ..... 121
LAMPIRAN TERJEMAHAN ISTILAH-ISTILAH BELANDA ...... 130
KEPUSTAKAAN 131


BAB I
PENYERTAAN

1.          PENGERTIAN
Pada saat ini hampir setiap tindak pidana yang terjadi dilakukan oleh lebih dari seorang. Jadi pada setiap tindak pidana itu selalu terlibat lebih dari pada seorang yang berarti terdapat orang-orang lain yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana itu di luar seorang pelaku.
Tiap-tiap peserta mengambil bagian atau tiap-tiap peserta memberikan sumbangan ataupun andil dalam bentuk sesuatu perbuatan dari para peserta, tindak pidana itu tidak akan terlaksana atau selesai.
Dalam hal yang demikian secara logis pertanggungjawabannya pun harus "dibagi" di antara para peserta, dengan perkataan lain tiap-tiap peserta harus juga turut dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatannya, berhubung tanpa perbuatannya tidak mungkin tindak pidana itu terselesaikan.
Ajaran penyertaan ini mempersoalkan pertanggungjawaban dari tiap-tiap peserta di dalam pelaksanaan suatu tindak pidana. Karenanya dipersoalkan "bagian" hukuman apa yang harus dijatuhkan kepada tiap-tiap peserta dalam pelaksanaan tindak pidana itu.
Suatu tindak pidana pada umumnya dapat dilaksariakan oleh seorang pelaku saja. Dalam hal ini hanya diperlukan penelitian atas perbuatan-perbuatan pelaku yang memenuhi perumusan tindak piaana atau unsur-unsur dari tindak pidana itu untuk? di-minta pertanggungjawaban dari pelaku tersebut atas' perbuatan-perbuatannya itu. Tetapi lain halnya apabila terdapat beberapa orang yang bersama-sama melaksanakan tindak pidana itu. Para peserta masing-masing melakukan perbuatan-perbuatan yang apabila dijumlahkan merupakan suatu kesatuan sebagai satu perbuatan yang memenuhi perumusan tindak pidana. Penentuan pertanggungjawaban masing-masing peserta atas tindak pidana itu akan menimbulkan persoalan, karena tiap-tiap peserta melaku-karj perbuatan yang berbeda. Meskipun perbuatan-perbuatan itu berbedat, , tetapi secara keseluruhan perbuatan-perbuatan itu memenuhi seluruh unsur dari suatu tindak pidana atau memenuhi perumusan tindak pidana.
Apabila BAB V PENYERTAAN ini tidak terdapat dalam KUHP, maka   peserta-peserta   tersebut  akan   dibebaskan   dari   segala tanggungjawab atas perbuatannya masing-masing dalam pelaksanaan tindak pidana bersama-sama.
Bab PENYERTAAN memungkinkan seorang peserta dapat dihukum atas perbuatannya, walaupun perbuatan tersebut hanya memenuhi sebagian saja dari perumusan tindak pidana, atau peserta itu hanya memberikan sumbangan maupun bantuan dalam bentuk perbuatan-perbuatan tertentu kepada orang lain untuk melaksanakan tindak pidananya.
Dengan demikian ajaran PENYERTAAN ini mempersoalkan PERANAN atau HUBUNGAN tiap-tiap peserta dalam suatu pelaksanaan tindak pidana, sumbangan apa yang diberikan oleh tiap-tiap peserta, agar tindak pidana itu dapat dilaksanakan/diselesaikan (voltooid), serta pertanggungjawabannya atas sumbangan/ bantuan itu.
    Hubungan antar peserta dalam penyelesaian tindak pidana tersebyt dapat bermacam-macam:
a. Bersama-sama melakukan sesuatu kejahatan.
b. Seseorang mempunyai   kehendak  dan  merencanakan  sesuatu kejahatan,  sedangkan  ia mempergunakan  orang  lain  untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.

c. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu dalam melaksanakan tindak pidana tersebut.
Dengan demikian penyertaan terjadi, apabila dalam suatu tindak pidana terlibat beberapa orang atau lebih dari seorang atau terdapat lebih dari seorang peserta dalam pelaksanaan tindak pidana, tindak pidana mana dapat dilakukan/diselesaikan oleh seorang saja.
Karenanya ajaran penyertaan berpokok kepada penentuan per-tanggungjawaban dari pada setiap peserta atas perbuatan-perbuatan masing-masing dalam pelaksanaan tindak pidana (= pertanggungjawaban atas sumbangan yang diberikan oleh tiap-tiap peserta dalam pelaksanaan tindak pidana tersebut). VAN HAMEL menyatakan: PENYERTAAN adalah:       -w,{: •
- "Ajaran   pertanggungjawaban   atau   pembagian   pertang­ gungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri."
Dalam masalah penyertaan ini terdapat:
Seorang pelaku psykhis (atau intelektual) dan peiaku materiil (fisik) dari suatu tindak pidana.
- Tindak  pidana  dilakukan oleh   "dua  atau lebih" orang, dengan catatan:
- Tidak setiap kegiatan dari tiap-tiap orang tersebut menimbulkan pertanggungjawaban secara vhukum pidana ataupun pertanggungjawaban yang sama bagi, orang-orang tersebut.
PENYERTAAN dapat dibagi menurut sifatnya:
- Bantuk penyertaan yang berdiri sendiri. ._.,../,. .,Yang  termasuk jenis mi adalah mereka yang melakukan, dan yang turut serta melakukan tindakan pidana. i Pertanggungjawaban      masing-masing      peserta     dmilai/ dihargai   sendin-sendin   atas   segala   perbuatan/tindakan i ,I,.yang dilakukan: dentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri.
■ : Yang termasuk jenis mi adalah pembujuk, pembantu dan ,;    yang   menyuruh   untuk   melakukan   suatu   tindak   pidana.
Pertanggungjawaban dan peserta yang satu digantungkan ;ijq  npada   perbuatan   peserta   lain.   Apabila   oleh   peserta   lain
. ■, i -dilakukan  perbuatan  yang  dapat  dihukum,  peserta yang ;  » > ssatujuga dapat dihukum.
•    Pasal5b:
>   (1) Dihukum sebagai pembuat/pelaku dari sesuatu tindak pidana:
;;i i,; ke-1. orang yang melakukan. yang menyuruh melaku-; j.'   n.'T       Ran atau yang turut serta melakukan; iisic   ke-2. orang yang dengan pembenan upah, perjanjian, penyalah-gunaan     kekuasaan     atau     martabat, menggunakan paksaan, ancaman atau tipu musli-lif'isisVti'uvJhat atau   karena   memberi   kesempatan,   ikhtiar atau   keterangan,   dengan   sengaja   membujuk ,'gnr»iG    fir supaya perbuatan itu dilakukan.
(2) Terhadap orang-orang yang tersebut dalam ke-2 dapat HiCiiic-dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang rrui/iirsengaja dibujuk serta akibat-akibat perbuatan itu.
KUHP tidak mengadakan perbedaan, tetapi diadakan perincian antara:
a. Pelaku,
b. Pembantu,
hal mana diatur dalam Bab V Bu'ku Fertama KUHP.


Pengertian pelaku dalam pasal 55 ayat 1  KUHP menimbulkan perbedaan pendapat. , ,,.
Terdapat dua pendapat: ,_  ,,,;,-
-    Peserta adalah pelaku.
-    Peserta adalah bukan pelaku. ,i;, ,,:,.,c
Peserta adalah bukan pelaku, karena perbuatannya tidak meme­nuhi semua unsur'dai Tindak pidana, tetapi dianggap sebagai pelaku dalam penghukumannya.
Hoge Raad dalam Arrestnya tertanggal 21.April 1913 (H.J.J913) menyatakan:
-    Peserta adalah bukan pelaku, tetapi hanya hukuman maksimum  yang   dapat  dijatuhkan kepada  peserta  adalah ,v sama dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku penuh.
-    Yang menyuruh melakukan tidak perlu memenuhi semua syarat bagi seorang pelaku. .        .,,,,■,
Arrest H.R.  tanggal  27 Agustus 1932 (H.J.  1932). menyatakan:
- Peserta   adalah  pelaku,   seperti   pendapat  pertama,   dengan
    mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:   ;..       ; , , ■ : .
    - Pasal   55  ayat  1   KUHP menyebut,   bahwa  mereka. Yang melakukan dianggap menjadi pelaku dan "dihukum.sebagai pelaku". -.,.., ,;VmV: ,■
- Beberapa pasal seperti pasal 58 dan 367 KUHP,  menyebut pelaku dan pembantu sebagaimana tersebut dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP, yaitu: .  
■*$&&&
Pasal 55 KUHP: Semua peserta adalah pelaku. –rtgouwl Pasal 56 KUHP: Pembantu adalah peserta.
MVT menyatakan dengan tegas, bahwa semua jenis orang yang disebut dalam pasal 55 KUHP adalah pelaku.
Dikemukakan  oleh  beberapa sarjana,  bahwa istilah pelaku itu hanya'merupakan   istilah   "pengumpul"   (verzamelterm)   yang berarti:
-     Setiap orang yang melakukan sesuatu tanpa mempersoalkan apakah   perbuatan   tersebut   memenuhi   semua   unsur   dari suatu tindak pidana atau tidak.
-     Semua  orang  yang  telah  turut  mengambil  bagian   dengan caranya masing-masing dalam sesuatu tindak pidana dan yang oleh   Undang-undang   disama-ratakan   (op   een   lijn   stellen) dengan mereka yang memenuhi secara sempurna isi dari pada rumusan tindak pidana.
Dengan demikian "Sebagai pelaku dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum" harus ditafsirkan sebagai:
"Mereka yang melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum tanpa'1 mempersoalkan   cara   mereka   mengambil   bagian   dalam pelaksanaan tindak pidana". Yang penting adalah bahwa mereka melakukan sesuatu perbuatan hingga  istilah   pelaku   hanya merupakan  suatu   "verzamelterm" untulC' menyatukan   berbagai   jenis   orang   yang   oleh   Undang-undang   (KUHP)   dimaksudkan,   agar  golongan   yang  satu   ini dihadapkan dengan golongan lain, yaitu pemberi bantuan yang sejalan dengan yang diperoleh dari sejarah dihadapkan dengan jenis peserta lain.
Anselm Von Feuerbach membagi dua macam jenis peserta yaitu:
-     mereka yang  berusaha langsung  agar tindak pidana  itu  di laksanakan.
-     mereka yang membantu usaha mereka, yang tidak langsung berusaha melaksanakan atau menyelesaikan tindak pidana itu.

  1.  


2.  ISTILAH PELAKU DALAM PASAL 55 AYAT 1 KUHP.
Dalam perumusan tiap-tiap tindak pidana sudah dapat diketahui dengan jelas penentuan seorang pembuat atau pelaku. Perumusan dari setiap tindak pidana dibuat sedemikian rupa untuk ditujukan langsung terhadap seorang pelaku tindak pidana yang melakukan pelaksanaan tindak pidana daiam keseluruhan-,
nya secara tersendiri. Tindakan-tindakan seorang pelaku harus memenuhi semua unsur-unsur yang terdapat di dalam perumusan tindak pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
seseorang merupakan pembuat atau pelaku dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, bilamana tindakan-tindakannya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan per­buatan yang dapat dihukum tersebut. Dalam setiap tindak pidana formil unsur-unsur dinyatakan sebagai suatu tingkah laku yang dirumuskan secara terperinci terlepas daripada suatu akibat, hingga untuk menentukan siapa pelaku (orang yang melakukannya) hanya dapat diteliti dengan menjawab - "barang siapa yang melakukan tindakan-tindakan yang sesuai' dengan perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang". Tetapi lain halnya dengan tindak pidana materiil di mana :harus diketahui terlebih dahulu apakah suatu tindakan atau tingkah laku seseorang dapat menimbulkan akibat-akibat yang dilarancj. Hal ini ditentukan dengan ajaran sebab-akibat (Causalitas). Pendapat-pendapat dalam ajaran sebab-akibat ini mempunyai arti prinsipiil bagi penentuan pelaku atau pembuat dalam tindak pidana materiil. Karenanya anggapan ini berlaku juga bagi seluruh ajaran penyertaan. >-!'<
Bila ajaran "EQUIVALENTIE", di mana setiap syarat bagi suatu akibat merupakan sebab dari pada akibat yang diperlukan dalam penyertaan, maka pengertian pelaku atau pembuat akan diperluas dengan menyuruh melakukan, pembujukan, bahkan dengan pemberian  bantuan,  karena tindakan  dari  seorang yang menyuruh melakukan, yang membujuk dan yang memberi bantuan akan merupakan sebab dari timbulnya akibat berdasarkan ajaran equivalensi.
dengan demikian perbuatan seseorang yang menyuruh mela­kukan, yang membujuk dan yang hanya memberikan bantuan dalam sesuatu tindak pidana materiil dapat dinyatakan sebagai pembuat atau pelaku penuh, kecuali apabila undang-undang menetapkan lain. Tetapi dalam ajaran adequate terdapat suatu syarat pokok yang menetapkan, bahwa "sebab" tersebut harus adequate atau seimbang dengan akibatnya, hingga bentuk-bentuk pehyertaan tersebut di atas tidak dapat dianggap sebagai pembuat atau pelaku penuh. Tetapi di antara para pelaku yang melakukan sendiri secara sempurna sesuatu perbuatan yang dapat dihukum di satu pihak dan orang yang menyuruh melaku­kan, yang membujuk dan yang memberikan bantuan, di lain pihak terdapat perbedaan yang prinsipiil sekali.
.   Pembujuk  dan   pelaku   adalah   pengertian-pengertian   yang berbeda sekali. Setiap tindak pidana telah dirumuskan secara tegas untuk memudahkan penentuan pelakunya. Tiada dapat disangkal suatu tindak pidana atau pembujuk adalah bukan pelaku atau pembuat, sebab perumusan tindak pidana telah menetapkan syarat-syarat atau unsur-unsur bagi pelaku-atau pembuat-nya. Dengan demikian pasal 55 KUHP menetapkan bahwa para penyuruh dan pembujuk hanya dipersamakan (op een lijn stellen) dengan seorang pelaku atau pembuat yang memenuhi perumusan tindak pidana, dalam hal mana penyuruh dan pembujuk tidak perlu memenuhi semua syarat/unsur yang diperlukan bagi seorang pelaku atau pembuat. Dengan demikian Bab V Penyertaan dalam KUHP pasal 55 dan pasal 56 memperluas lingkungan orang-orang yang hams diper-tanggungjawabkan menurut hukum pidana atas terjadinya sesualu tindak pidana atau percobaannya.
3.  MEREKA YANG MELAKUKAN PERBUATAN
sjSfj' Mejakqkan berarti, bahwa hanya satu orang memenuhi psrumusan perbuatan itu secara keseluruhan. Pada tindak pidana formil kadang-kadang sulit dinyatakan sebagai melakukan dalam hal dipergunakan orang lain sebagai alat. Tetapi pembatasannya sudan dapat ditetapkan dengan ketentuan, bahwa dalam hal tidak adanya tindakan dari orang orang lain yang dipergunakan dalam penyelesaian suatu tindak pidana.
Terdapat pendapat bahwa yang dimaksudkan dengan pelaku adajah pelaku TUNGGAL, sedangkan yang dimaksudkan dengan peserta adalah pelaku peserta.
Pendapat lain menyatakan, bahwa dengan pengertian demikian Undang-undang memasukkan soal pelaku tunggal dalam ajaran-penyertaan, sedangkan penyertaan baru terjadi apabila beberapa orang turut serta dalam pelaksanaan sesuatu tindak pidana. Perumusan "mereka yang melakukan perbuatan" dimaksudkan ofeh Undang-Undang adalah pelaku peserta, juga termasuk pelaku tunggal,
Tetapi.terhadap pelaku tunggal, ketentuan ini tidak mempunyai arti, sebab dengan sendirinya ia dapat dihukum. Untuk pelaku peserta tidak begitu mudah, sebab Undang-Undang tidak mem-berikan perbedaan daiam ancaman hukuman menurut intensitas dari pada kegiatan bantuannya, Semua pelaku pGserta diancam dengan hukuman yang sama dengan pelaku tunggal. Mereka yang melakukan bersama-sama perbuatan yang dapat dihukum adalah pelaku, tetapi mereka adalah satu sama lain saling menjadi pelaku peserta. Dengan demikian pelaku peserta harus ditafsirkan lain dari pada pelaku.
Dengan demikian tidak akan terdapat 2 (dua] pengertian yang sama disebut di dalam satu ketentuan (Vide NOYONS mengenai pasal  284). Untuk pelaku  peserta disyaratkan perbuatan  pelaksanaan. Dalam tindak pidana formil, perbuatan pelaksanaan terjadi apabila unsur-unsur konstitutif dari tindak pidana itu teiah dipenuhi oleh perbuatan tersebut, termasuk ma'salah yang memperberat hukuman.
Contoh:
- Pencurian dengan kekerasan {Pasal 365 ayat 1).
A melakukan perbuatan pengambilan, sedangkan B meiaku­kan perbuatan pemukulan (kekerasan). A  melakukan  pencurian biasa,  tetapi B tidak melakukan pencurian. Dengan demikian B hanya pelaku peserta.
- Penitupan (Pasal 378)
A meiakukan perbuatan membujuk orang lain urituk menye-rahkan sesuatu, sedangkan B melakukan perbuatan tipu muslihat. Baik A maupun B tidak memenuhi unsur kejahatan penipuan, masing-masing hanya memenuhi sebagiah dari pada unsur-unsur, hingga A maupun B adalah pelaku peserta.
ibila seorang pelaku tidak melakukan perbuatan penyelesaiah atau memiliki sifat pribadi, tetapi kerja-samanya erat sekali, maka dtsebut turut serta melakukan. Contoh:
Tidak memiliki sifat pribadi "telah menikah" dalam pasal 284 KUHP dianggap pelaku peserta. Tunsprudensi menetapkan hal tersebut sebagai pelaku peserta. contoh:
Pengadilan Tulungagung tanggal 5 Januari 1939.
A seorang wanita sebagai penerima komisi menerima gelang emas milik orang lain untuk dtjual.
Bsuapiinya mengetahui hal mi, dan menggadaikan gelang-emas tersebiJt,,sedangkan B tidak memiliki unsur menguasai gelang-emas, tetapi ia melakukan perbuatan pelaksanaan dan diper-salahkan melakukan perbuatan turut serta melakukan peng-gelapan.
Begitu pula dalam MVT mengenai pasal 55 ayat 1 KUHP disebut pelaku peserta dalam perumusan turut serta melakukan dan selalu dipergunakan dalam arti pelaku peserta. D.ajam; .Undang-Undang pengertian pelaku peserta tidak dapat ditemukan, Undang-Undang mengenai hanya pelaku yang ber-hubungan dengan soal dapat dihukumnya pelaku atau pembuat. Hanya dalam beberapa hal terdapai sekumpulan pelaku sebagai masalah memberatkan yang mengakibatkan memperberat hukum-.an, gedangkan beberapa tindak pidana tidak dapat dilakukan tanpa kerja-sama, antara lain permufakatan, pasal 363 ayat 1 ke-4 dan pagat .11.0 ayat 1. (
,Berdasa.rkan yurisprudensi dan pendapal tersebut di atas bebe-rapa sarjana menyatakan, bahwa- yang dimaksudkan dengan melakukan adalah mereka yang melaksanakan sendiri suatu .perbuatan yang dirumuskan dalam ketentuan pidana tanpa turut sertanya.orang lain.
Perumusan ini sebetulnya berkelebihan, sebab bila perumusan ini tidak dicantumkan dalam pasal 55 KUHP, tetap akan dapat diketahui siapa yang menjadi pelaku;
- Dalam  tindak  pidana  formil:  Pembuat adalah   barang   siapa memenuhi perumusan tindak pidana, atau melakukan perbuatan-perbuatan   yang   dilarang oleh   Undang-Undang,   misalnya mengambil.
- Dalam tindak pidana materiil: Pembuat adalah barang siapa menimbulkan akibat yang dilarang, misalnya mati, luka.
- Dalam tindak pidana yang memiliki kualitas: pelaku adalah barang siapa yang memiliki kualitas, misalnya pegawai negeri. Dari uraian ini tersimpul, bahwa pelaku adalah mereka yang memenuhi   semua  unsur  dari  pada  perumusan  tindak  pidana.
"YANG MELAKUKAN" adalah pelaku sempurna/penuh, yaitu yang melakukan sesjatu perbuatan yang memenuhi semua unsur-unsur yang dirumuskan dalam suatu tindak pidana alau yang melakukan perbuatan yang memenuhi perumusan tindak pidana. Pada umumnya dengan mudah sekali diketahui siapa yang dapat dinyatukan sebagai pelaku sempurna dan siapa yang bukan. Tetapi kesulitan timbul dalam hal "Voortdurende delicten", karena tidak ada penjelasan siapa yang berkewajiban mencegah atau menghentikan berlangsungnya suatu situasi yang terlarang dalam hal yang menimbulkan ataupun yang melakukan atau yang melangsungkanpya. Putusan H.R. tanggal 19 Desember 1910:
"Pelaku menurut Undang-undang adalah pada umumnya seseorang yang memiliki kemampuan untuk menghenti-kan  situasi  yang  terlarang, tetapi  ketentuan   ini belum memberikan kepastian siapa."


A: MEREKA YANG MENYURUH MELAKUKAN
Perbuatan menyuruh melakukan perbuatan (feit) adalah suatu bentuk'^penyertaan. Dalam hal ini orang yang telah benar-benar "meiaKukan, tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya,' sedaiigkan orang lain dipertanggungjawabkan atas perbuat-, an yang nyata dilakukan oleh orang yang disuruh melakukan. Yang '■'menyuruh1 melakukan ini tidak ada perumusannya dalam KUHP, hingga" harus   dicari    dalam    riwayat    pembentukan   pasalnya. '■MVT: Perbuatan "menyuruh   melakukan"   terdapat   dalam   hal 'tindak   pidana   itu   terjadi   dengan   perantaraan seorang manusia lain:
—, Yang dipergunakan sebagai alat dalam tangan pelaku.
.".'-Yang  karena tanpa sepengetahuannya terbawa dalam suatu keadaan atau karena terbawa dalam suatu kekeliruan   atau   karena  kekerasan,  sehingga   ia  menyerah. untuk bertindak tanpa maksud ataupun kesalahan (kulpa) maupun tanpa dapat diperhitungkan sebelumnya.
Dari uraian dalam MVT tersebut dapat dikemukakan, bahwa dalam perbuatan menyuruh melakukan tindak pidana ini terdapat seseorang yang mempunyai maksud melakukan sesuatu tindak pidana (kejahatan), akan tetapi ia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya.

Dalam perbuatan menyuruh melakukan ini termuat suatu arti, bahwa perbuatannya karena masalah-masalah tertentu menjadi perbuatan yang dapat dihukum dan selalu harus merupakan perbuatan pelaksanaan. Sebaliknya pada orang "yang menyuruh nya" harus selalu ada niat atau maksud yang disyaratkan dalam perumusan tindak pidana dan niat itu dipergunakan untuk meriggerakkan pelaksanaan tersebut. Seakan-akan yang menyu­ruh melakukan perbuatannya teiah melakukannya sendiri.