Monday, 8 September 2014

MORAL DAN HUKUM



Oleh :
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.

            Moral berhubungan dengan manusia sebagai individu sedangkan hukum(kebiasaan, sopan santun) berhubungan dengan manusia sebagai makluk sosial.
            Antara hukum dan moral terdapat perbedaan dalam hal tujuan, isi, asal cara menjamin pelaksanaannya dan daya kerjanya.
1.      Perbedaan antara moral dan hukum dalam hal tujuan:
a.       Tujuan moral adalah menyempurnaan manusia sebagai individu.
b.      Tujuan hukum adalah ketertiban masyarakat
2.      Perbedaan antara moral dan hukum dalam han isi :
a.       Moral yang bertujuan penyempuraan manusia berisi atau memberi peraturan-peraturan yang bersifat batiniah(ditujukan kepada sikap lahir).
b.      Hukum memberi peraturan-peraturan bagi perilaku lahiriah.
Perbedaan diatas pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Kant. Batasan perbedaan tersebut jangan dilihat terlalu tajam, karena hukum tidak semata-mata (mutlak) memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah saja, demikian pula moral tidak hanya memperhatikan perilaku batiniah saja.
Penjelasan bahwa hukum menghukum mereka yang melakukan delik hanya apabila perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan, yaitu kalau ada kesalahan. Itupun masih dibedakan ada kesenjangan atau kelalaian atau tidak. Demikian pula hukum memberikan akibat pada perbuatan yang dilakukan dengan iktikat baik atau tidak.
Apabila perbuatan lahiriah orang itu sesuai dengan peraturan hukum, maka tidak akan ditanya mengenai batinnya. Hukum sudah puas dengan perilaku lahiriah yang sesuai dengan peraturan hukum(cogitationis poenam nemo patitur: niemand worldt gestraft voor wat hij denkt).
Apabila seseorang berbuat bertentangan dengan hukum maka baru akan dipertimbangkan juga sikap batinnya. Perbuatan akan ditentukan oleh motief(alasan): contoh pria-wil. Oorzaak: tujuan, motief.
Moral sebaliknya selalu menanyakan tentang sikap sikap batin dan tidak puas dengan sikap lahir saja.
Kalau yang diperhatikan hanya perbuatan yang memenuhi tuntutan hukum maka ada perbedaan tajam antara hukum dan moral.
Tetapi kalau hubungan dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum, maka moral dan hukum itu saling bertemu. Dalam hal perbuatan melawan hukum, moral dan hukum itu saling bertemu. Disini moral dan hukum mempunyai bidang bersama. Perbedaan antara hukum dan moral disini ialah bahwa jalan menuju ke bidang bersama itu bertentangan arah, yaitu bagi hukum dari luar(dari perbuatan lahir) ke dalam(ke batiniah). Bagi moral dari dalam keluar(gierke).
Pandangan ini agak terlalu jauh. Pertemuan antara moral dan hukum dapat juga terjadi diluar perbuatan melaan hukum.
Seringkali hukum harus menghukum perbuatan yang timbul dari motif yang dibenarkan oleh moral. Ini merupakan akibat perbedaan dalam tujuan antara hukum dan moral. Sebab syarat untuk adanya kehidupan bersama yang lebih baik dengan yang baik dengan yang ditentukan oleh moral bagi manusia sebagai individu. Contoh : pembunuhan atas perintah komandan; sumpah diganti janji.
3.      Perbedaan antara moral dan hukum dalam hal asalnya :
Menurut Kant ada dua antara lain :
a)      Moral itu otonom
b)      Hukum itu heteronom(moral objektif atau positif)
Didalam hukum ada kekuasaan luar(kekuasaan diluar “aku”) yaitu masyarakat yang memaksakan kehendak. Kita tunduk pada hukum diluar kehendak kita. Hukum mengikat kita tanpa syarat. Sebaliknya perintah batiniah(moral) itu merupakan syarat yang ditentukan oleh manusia sendiri. Moral mengikat kita karena kehendak kita.
Hukum bertujuan tatanan kehidupan bersama yang tertib. Tujuan ini hanya dapat dicapai apabila diatas dan diluar manusia individual ada kekuasaan yang tidak memihak yang mengatur bagaimana mereka harus bertindak satu sama lain.
Moral bertujuan penyempurnaan manusia. Tujuan ini hanya dapat ditentukan oleh masing-masing untuk dirinya sendiri.
Banyak yang menyangkal sifat otonom dari moral.
Disamping ada moral objektif atau moral positif(kebiasaan, sopan santun) ada moral otonom. Yang terakhir ini adalah moral yang sesungguhnya.
4.      Perbedaan hukum dan moral dalam cara menjamin pelaksanaannya.
Hukum sebagai peraturan tentang perilaku yang bersifat heteronom berbeda dengan moral dalam cara menjamin pelaksanaannya.
Moral berakar dalam hati nurani manusia, berasal dari kekuasaan dari dalam diri manusia. Disini tidak ada kekuasaan luar yang memaksa manusia mentaati perintah moral. Paksaan lahir dan moral tidak mungkin disatukan. Hakikat perintah moral adalah bahwa harus dijalankan dengan sukarela. Satu-satunya perintah kekuasaan yang ada dibelakang moral adalah kekuasaan hati nurani manusia. Kekuasaan ini tidak asing juga pada hukum, bahkan mempunyai peranan penting.
Pada umumnya peraturan-peraturan hukum dilaksanakan secara sukarela oleh karena kita dalam hati nurani kita merasa wajib. Hukum dalam pelaksaannya terdapat dukungan moral.
Dasar kekuasaan batiniah dari hukum ini dapat berbeda. Dapat terjadi karena isi peraturan hukum memenuhi keyakinan batin kita. Akan tetapi dapat juga isi peraturan hukum kita mematuhinya.
Dibelakang hukum masih ada kekuasaan disamping hati nurani kita. Masyarakat yang menerapkan peraturan-peraturan hukum itu mempunyai alat kekuasaan untuk melaksanakan pelaksanaanya kalau tidak dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum tidak seperti moral yang hanya tergantung pada kekuasaan batiniah, tetapi masih dipaksakan juga oleh alat-alat kekuasaan lahir/luar.

5.      Perbedaan hukum dan moral dalam daya kerjanya.
Antara hukum dan moral ada perbedaan dalam daya kerjanya.
Hukum mempunyai 2 daya kerja : memberika hak dan kewajiban yang bersifat normatif dan atributif. Moral hanya membebani manusia dengan kewajiban semata-mata Bersifat normatif. Perbedaan ini merupakan penjabaran dari perbedaan tujuan.
Hukum bertujuan tatanan kehidupan bersama yang tertib dan membebani manusia dengan kewajiban demi manusia lain. Moral yang bertujuan penyempurnaan manusia mengarahkan peraturan-peraturannya kedapa manusia sebagai individu demi manusia itu sendiri.
Hukum menuntut legalitas: yang dituntut adalah pelaksaan atau pentaatan kaedah semata-mata.
Moral (kesusilaan) menuntut moralitas: yang dituntut adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib.
Kewajiban adalah beban kontraktual sedangkan tanggung jawab adalah beban moral.

NOTARIS DALAM HUKUM PERDATA NASIONAL




Oleh
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,S.H.

            Symposium ini diadakan dalam rangkan menyongsong era hukum dalam repelita IV dengan tema “Fungsi Notaris Dalam Pembangunan”.
            Kepada penulis makalah ini dibebani tugas untuk menyajikan makalah berjudul “Notaris Dalam Hukum Perdata Nasional”.
            Lembaga notariat seperti kita ketahui semua telah ada sejak zaman hindia belanda dan sampai sekarang lembaga tersebut tetap ada dan diperlukan adanya.
            Apakah fungsi notaries dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan hukum perdata nasional?
            Tugas notaris seperti yang tercantum dalam pasal 1 Reglement op het Notarisambt (S 1860 no.3) adalah sebagai pejabat umum yang semata-mata diberi wewenang untuk membuat akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau yang diminta oleh yang berkepentingan.
            Orang datang kepada notaris untuk dibuatkan akta. Pada umumnya membuat akta dianggap meruapakan perbuatan yang mudah. Kegiatan notaris dianggap merupakan kegiatan routine, sehingga tidak ada bedanya dengan tukang. Pada umumnya tugas notaris ini diremehkan orang, dianggap ringan dan mudah karena “hanya membuat akta otentik saja”. Hal itu dapatlah dikatakan merupakan pendapat umum, bahkan di antara para notaris ada yang berpendapat demikian.
            Dalam kenyataannya tidaklah (seharusnya) demikian. Pekerjaan notaris tidak dapat disamakan dengan tukang yang menjalankan tugas routine. Pekerjaan seorang notaris tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang dipikirkan orang.
            Memang pasal 1 tersebut menentukan bahwa tugas notaris adalah membuat akta otentik. Tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut tentang cara-caranya. Mungkin karena itulah orang beranggap bahwa membuat akta itu merupakan kegiatan routine, sehingga dianggap mudah.
             Akta adalah surat resmi yang sengaja dibuat sejak semula untuk pembuktian dikemudian hari, yaitu apabila terjadi sengketa dan kemudian sampai menjadi perkara di pengadilan diajukan barang bukti dari adanya suatu perbuatan hukum atau perjanjian.
             Jadi akta otentik mempunyai funsi sebagi alat bukti terutama di pengadilan, yaitu bukti adanya suatu perbuatan hukum atau perjanjian. Perjanjian sendiri sudah sah apabila telah memenuhi persyaratan mengenai sahnya perjanjian. Tetapi untuk sahnya surat sebagai alat bukti di persyaratannya (lihat putusan MA 13 Maret 1971 no. 589 K/Sip/1970).
            Dengan demikian notaris harus menguasai hukum pembuktian perdata khusunya, hukum acara perdata umumnya.
            Isi akta otentik adalh perbuatan hukum atau perjanjian, sehingga membuat akta otentik pada hakekatnya adalah merumuskan perbuatan hukum atau perjanjian. Ini merupakan kegiatan dalam bidang hukum perdata.
Apakah yang dimaksud dengan hukum perdata nasional? Mengenai pergertian “hukum nasional” sendiri belum ada persesuaian pendapat. Ada yang mengatakan bahwa hukum nasional adalah hukum yang dihasil oleh pembentuk undang-undang nasional, jadi merupakan produk nasional. Sudah tentu yang dimaksudkan disini adalah hukum dalam arti keseluruhan peraturan perundang-undangan. Dewasa ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman penjajahan, sehingga menurut pendapat ini belumlah dapat dikatakan bahwa sudah mempunyai (sistem) hukum nasional.
Hukum tidak hany berupa kaedah hukum atau perundang-undangan saja. Peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan. Dalam melaksanakan undang-undang sering diadakan penemuan hukum, dan hasil penemuan hukum ini adalah hukum juga. Sejak 1945 dalam melaksanakan hukum hakim harus berkeblat dan tidak boleh bertentangan dengan UUD dan Pancasila. Peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari zaman hindia belanda maupun yang merupakan legislative nasional dilaksanakan sesuai dengan UUD dan Pancasila. Dengan demikian pelaksanaan dan penemuan hukumnyadijiwai oleh Pancasila. Dengan demikian pula maka hasil penemuan hukum yang merupakan hukum juga berjiwa dan bersifat nasional. Jadi sejak 1945 kita telah mempunyai hukum nasional.
Demikian pula dengan hukum perdata yang berlaku sekarang adalah hukum perdata nasional, meskipun sifatnya dewasa ini masih pluralistis : hukum perdata adat, hukum perdata islam dan hukum perdata tertulis (BW). Meskipun hukum perdata tertulis (BW) itu berasal dari zaman penjajahan, namun pelaksanaannya oleh hakim-hakim bangsa Indonesia sejak 1945 disesuaikan dengan UUD dan Pancasila. Hukum hakim (judge-made-law) yang merupakan hukum juga sejak 1945 sudah berjiwa nasional. Dengan demikian maka hukum perdata tertulis (BW) itu termasuk hukum perdata nasional.
Pada suatu saat pluralisme dalam hukum perdata itu akan hapus karena proses akultulrasi. Pertanyaan yang mungkin timbul ialah apakah materi hukum perdata adat dan hukum perdata islam dapat dibuat akta oleh notaris?
Lalu lintas hukum makin pesat. Hukum berkembang, kepastian hukum sangat didambakan dalam penegakan hukum di samping keadilan dan kemanfaatan (doelmatigheid). Yang ideal ialah bahwa dalam penegakan hukum itu tidak terlalu menitik beratkan kepada salah satu. Terutama di pengadilan diperlukan pembuktian mengenai perbuatan-perbuatan hukum atau perjanjian. Dengan makin banyak orang yang melek huruf maka acara perdata di pengadilan makin banyak berlangsung secara tertulis. Surat atau akta otentik akan lebih menyederhanakan dan memudahkan beracara di pengadilan. Maka tidak ada keberatanya untuk dibuatkan aktanya mengenai materi hukum perdata adat dan islam.
Apakah Tugas Notaris dalam Hukum Perdata ?
Telah diketahui bahwa tugas notaris adalah membuat akta, sedangkan membuat akta pada hakekatnya adalah merumuskan perbuatan hukum atau perjanjian. Karena tugas notaris membuat akta otentik tentang perbuatan hukum atau perjanjian, ia harus menguasai hukum perdata. Tidak berlebih kalau dikatakan bahwa hukum perdata termasuk bidang hukum yang yuridis sukar. Kalau hukum pidana itu pada hakekatnya dapatlah dikatakan subsumptie, maka hukum perdata itu pada hakekatnya adalah penemuan hukum.
Perlu diingat bahwa kaedah hukum atau undang-undang seperti BW itu pada hakekatnya merupakan pedoman belaka tentang perilaku manusia : siapa hutang harus melunasi hutangnya, siapa membeli harus membayar harga barang. Sebagai pedoman undang-undang itu sifatnya pasif, beku, “mati”, merupakan das sollen. Pedoman itu dapatlah dikatakan tidak mempunyai arti kalau tidak terjadi suatu peristiwa. Pedoman itu tidak hidup atau aktif kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. “ siapa membeli harus membayar” itu bunyi peraturan sebagai pedoman, tetapi kalau tidak ada seseorang yang membeli sesuatu, maka dapat dikatakan ketentuan itu tidak hidup. Undang-undang itu memerlukan terjadinya peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit itu akan mengaktivir undang-undnag : das sein akan mengaktivir das sollen. Peristiwa konkrit yang masih “mentah” masih mengandung unsure-unsur yang tidak relevant bagi hukum, oleh karena itu masih harus disaring, diteliti dan diarahkan agar undang-undang yang bersangkutan dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tersebut. Disini dilakukan penemuan hukum.
Seorang client datang pada notaris tidak lain untuk membuat aktnya mengenai perjanjian. Si client pada umumnya tidak tahu atau tidak memperdulikan hukum atau peraturan. Si client hanya mengemukakan kepada notaris peristiwanya yang masih “mentah”, baik yang relevant untuk hukum maupun yang tidak. Ia mempercayakan kepada notaris untuk dibuatkan aktanya dan hanya berkepentingan akan akibat hukumnya : ia berkepentingan bahwa ia mendapat akta otentik tentang perbuatan hukum atau perjanjian yang dikemukakan kepada notaris, ia berkepentingan agar kelak tidak dirugikan oleh akta otentik yang dibuat oleh notaris. Apa yang dikemukakan oleh client kepada notaris adalah peristiwa (das sein). Notaris harus memahami peristiwanya dan jeli untuk dapat menemukan hukumnya : hubungan hukum apa yang terdapat dalam peristiwa tersebut, sehingga ia kemudian dapat menerapkan undang-undang atau pasalnya terhadap peristiwa tersebut.
Menemukan  hukum tidak selamanya mudah karena undang-undang itu tidak lengkap. Tidak ada undang-undang yang lengkap-selengkap-lengkapnya. Untuk menemukan hukum notaris harus menguasai metode penemuan hukum dan sumber penemuan hukum serta sistem hukum. Tidak jarang terjadi ada sarjana hukum yang berpetualang di bidang hukum :  mencoba menciptakan konstruksi-konstruksi hukum baru atau menemukan hukum dengan menyimpang dari sitem hukum.
Jadi tidaklah cukup bagi notaris hanya menguasai kaedah-kaedah hukum atau peraturan perundang-undangan saja. Ia harus pula mahir dalam penemuan hukum. Ia harus kreatif dan terampil menemukan hukumnya dari peristiwa yang dihadapkan kepadanya. Tidak ada dua peristiwa yang sama. Peristiwa yang diajukan pada umumnya selalu masih “mentah” dan menjadi tugas notarislah untuk menjaringnya dan kemudian merumuskan menjadi peristiwa hukum. Penemuan hukum ini merupakn pekerjaan yang tidak mudah. Di samping hakim, notaris adalah penemuan hukum atau pencipta hukum. Akta yang dibuatnya berisi hukum yang ditemukan atau diciptakannya dari atau berdasakan peristiwa yang diajukan oleh client padanya. Apa yang dihasilkan dari penemuan hukum oleh notaris adalah penemuan hukum oleh hakim. Sedangkan apa yang dihasilkan oleh ilmuwan sarjana hukum bukanlah hukum, tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, melainkan ilmu.
Disamping harus menguasai kaedah hukum atau peraturan perundang-undang yang bersangkutan dan penemuan hukum notaris harus mendalami juga sistem hukum. Jangan sampai dalam membuat akta atau melakukan penemuan hukum notaris menyimpang dari sistem hukum. Harus diingat bahwa sistem hukum itu mengenal unsure-unsur, pembagian, mempunyai sifat keajegan (konsistensi) lengkap dan mempunyai konsep-konsep fundamental.
Jadi tidaklah tepat kalau dikatkan bahwa tugas notaris itu mudah dan merupakan routine. Tugas notaris dalam hukum perdata nasional adalah membuat akta dengan merumuskan peristiwa hukum dari peristiwa konkrit yang masih “mentah” dengan jalan penemuan hukum. Penemuan hukum bukanlah merupakan kegiatan routine, karena tidak ada peristiwa yang sama dan untuk penemuan hukum diperlukan kreativitas. Tugas itu harus disertai dengan pengetahuan tehnis, yaitu penguasa tentang peraturan-peraturan, sistem dan penemuan hukum.
Pengetahuan tehnis tersebut diatas harus pula disertai dengan sikap mental yang tinggi.

Artikel Hukum / Garis-Garis Besar Hukum Pidana



(dikutip dari berbagai sumber)
A.    PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Pengertian hukum pidana secara tradisional adalah Hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan. Sedangkan Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan bahwa, Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
  1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
  2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.
Sementara C.S.T. Kansil memberikan definisi, Hukum pidana Read Moreadalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum“. Adapun yang termasuk kepentingan umum menurut C.S.T kansil adalah:
  1. Badan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya;
  2. Kepentingan umum tiap manusia yaitu, jiwa, raga, tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.

B.    RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA
Hukum pidana objektif (ius peonale) adalah seluruh garis hukum mengenai tingkah laku yang diancam dengan pidana jenis dan macam pidana, serta bagaimana itu dapat dijatuhkan dan dilaksakan pada waktu dan batas daerah tertentu. Artinya, seluruh warga dari daerah (hukum) tersebut wajib menaati hukum pidana dalam arti objektif tersebut. ius peonale ialah semua peraturan yang mengandung/memuat larangan/ancaman dari peraturan yang sudah ada ancaman hukuman. Hukum pidana objektif ini terbagi menjadi dua, yaitu:
  1. Hukum pidana material, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung rumusan: perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum, hukum apakah yang dapat dijatuhkan;
  2. Hukum pidana formal, yaitu disebut juga sebagai hukum acara, memuat peraturan-peraturan bagaimana cara negara dan alat-alat kelengkapannya melakukan hak untuk menghukum (mengancam, menjatuhkan, atau melaksanakan).
Hukum pidana subjektif (ius puniendi) merupakan hak dari penguasa untuk mengancam suatu pidana kepada suatu tingkah laku sebagaimana digariskan dalam hukum pidana objektif, mengadakan penyidikkan, menjatuhkan pidana, dan mewajibkan terpidana untuk melaksanakan pidana yang dijatuhkan. Persoalan mengenai apakah dasarnya atau darimana kekuasaan penguasa tersebut, jawabannya menurut E.Y Kanter terletak pada falsafah dari hukum pidana.
Hukum pidana umum (alegemen strafrecht) adalah hukum pidana yang berlaku untuk tiap penduduk, kecuali anggota militer, nama lain dari hukum pidana umum adalah hukum pidana biasa atau hukum pidana sipil (commune strafrecht). Akan tetapi dilihat dari segi pengkodifikasiannya maka KUHP pun disebut sebagai hukum pidana umum, dibanding dengan perundang-undangan lainnya yang tersebar.
Hukum pidana khusus adalah suatu peraturan yang hanya ditujukkan kepada tindakkan tertentu (tindak pidana subversi) atau golongan tertentu (militer) atau tindakan tertentu, seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi, dan lain-lain. Menurut Samidjo, S.H. hukum pidana khusus dapat disebut :
  1. Hukum pidana militer;
  2. Hukum pidana fiskal (pajak);
  3. Hukum pidana ekonomi;
  4. Hukum pidana politik; dll.
Jika suatu perbuatan termasuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur pula dalam peraturan pidana khusus, yang khusus itulah yang dikenakan, Adagium untuk itu adalah, “Lex specialis derograt lex generalis”  jadi, hukum pidana khusus lebih diutamakan daripada hukum pidana umum. Hal dapat kita lihat pada KUHPl yang ditentukan dalam pasal 63 ayat 2 KUHP dan pasal 103 KUHP.
Hukum pidana militer merupakan ketentuan-kententuan pidana yang tercantum dalam KUHP militer atau disebut KUHPT, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara dan dikenal juga KUHDT, Kitab Undang-undang Displin Tentara. Hukum pidana fiskal (pajak) merupakan ketentuan-ketentuan pidana yang tercatum dalam undang-undang mengenai pajak. Hukum pidana ekonomi merupakan ketentuan yang mengatur pelanggaran ekonomi yang dapat mengganggu kepentingan umum. Hukum pidana politik merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur kejahatan-kejahatan politik, misalnya menghianati rahasia negara, intervensi, pemberontakan, sabotase.
Dilihat dari ruang lingkupnya hukum pidana dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  1. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis;
  2. Hukum pidana sebagai hukum positif;
  3. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik;
  4. Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif;
  5. Hukum pidana material dan hukum pidana formal;
  6. Hukum pidana kodifikasi dan hukum pidana tersebar;
  7. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus;
  8. Hukum pidana umum (nasional) dan hukum pidana setempat.
C.    HUBUNGAN HUKUM PIDANA DENGAN ILMU LAIN
Hukum pidana adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-norma hukum pidana. Dalam ruang lingkup sistem ajaran hukum pidana, yamg dinamakan disiplin hukum pidana sebenarnya mencakup ilmu hukum pidana, politik hukum pidana, dan filsafat hukum pidana. Ilmu hukum pidana mencakup beberapa cabang ilmu, ilmu hukum pidana merupakan cakupan dari ilmu-ilmu sosial dan budaya. Ilmu-ilmu hukum pidana tersebut mencakup ilmu tentang kaedah dan ilmu tentang pengertian yang keduanya disebut sebagai dogmatika hukum pidana serta ilmu tentang kenyataan.
Politik hukum pidana mencakup tindakkan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut didalam kenyataan. Politik hukum pidana merupakan pemilihan terhadap nilai-nilai untuk mencegah terjadinya delikuensi dan kejahatan. Filsafat hukum pidana pada hakekatnya merenungkan nilai-nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin saja bisa bertentangan.
Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana positif, yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan sistematisasi kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan yang benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif, yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
Sosiologi hukum pidana memusatkan perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu, serta efektifitasnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ruang lingkup sosiologi hukum pidana dipisahkan menjadi, sebagai berikut :
  1. Proses mempengaruhi antara kaidah-kaidah hukum pidana dan warga masyarakat;
  2. Efek dari proses kriminalisasi serta deskriminalisasi;
  3. Identifikasi terhadap mekanisme produk dari hukum pidana;
  4. Identifikasi terhadap kedudukkan serta peranan para penegak hukum;
  5. Efek dari peraturan-peraturan pidana terhadap kejahatan, terutama pola perilakunya.
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti delikuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial. Jadi, ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum pidana, penyimpangan terhadap hukum atau pelanggarannya, dan reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kriminologi mencakup tiga bagian pokok yaitu:
  1. Sosiologi hukum pidana, yang meneliti dan menganalisis kondisi-kondisi tempat hukum pidana berlaku;
  2. Etiologi kriminal, yang meneliti serta mengadakan analisis terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan;
  3. Penologi, yang ruang lingkupnya mencakup pengendalian terhadap kejahatan.
Kriminologi merupakan teori tentang gejala hukum. Dari pengertian ini nampak adanya hubungan antara hukum pidana dengan kriminologi bahwa keduanya sama-sama bertemu dalam kejahatan, yaitu perbuatan/tingkah laku yang diancam pidana. Adapun perbedaan hukum pidana dan kriminologi terletak pada objeknya. Objek hukum pidana menunjuk pada apa yang dipidana menurut norma-norma hukum pidana yang berlaku. Sedangkan objek kriminologi tertuju pada manusia yang melanggar hukum pidana dan kepada lingkungan manusia-manusia tersebut. Dengan demikian, wajarlah bila batasan luas kedua objek ilmu itu tidak sama. Hal ini melahirkan kejahatan sebagai objek hukum pidana dan kejahatan sebagai objek kriminologi.
Hukum pidana memperhatikan kejahatan sebagai peristiwa pidana yang dapat mengancam tata tertib masyarakat, sedangkan kriminologi mempelajari kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang melibatkan individu sebagai manusia.
Dengan demikian, hukum pidana melihat bahwa perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana disebut sebagai kejahatan, sedangkan kriminologi melihat bahwa perbuatan bertentangan dengan hati nurani manusia disebut kejahatan. Titik tolak sudut pandang hukum pidana memiliki dua dimensi yaitu, unsur kesalahan dan unsur melawan hukum. Demikian pula kriminologi memiliki dua dimensi, yaitu faktor motif (mental, psikologi, penyakit, herediter) dan faktor sosial yang memberikan kesempatan bergerak. Hukum pidana menekankan pada pertanggungjawaban, sedangkan kriminologi menekankan pada accountabillity, apakah perbuatan tersebut selayaknya diperhitungkan pada pelaku, juga cukup membahayakan masyarakat. Dalam kriminologi, unsur kesalahan tidak relevan. Interaksi hukum pidana dan kriminoligi disebabkan hal-hal berikut:
  1. Perkembangan hukum pidana akhir-akhir ini menganut sistem yang memberikan kedudukkan penting bagi kepribadian penjahat dan menghubungkan dengan sifat dan berat-ringannya (ukuran) pemidanaannya;
  2. Sejak dulu telah ada perlakuan khusus bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang-orang gila dan anak-anak yang menyangkut perspektif-perspektif dan pengertian-pengertiannya. Kriminologi terwujud sedemikian rupa dalam hukum pidana sehingga Criminale science sekarang menghadapi problema-problema dan tugas-tugas yang sama sekali baru dan berhubungan erat dengan kriminologi. Kriminologi tidak tergantung pada perspektif-perspektif dan nilai-nilai hukum pidana. Hubungan yang erat dengan kriminalitas merupakan syarat utama, sehingga berlakunya norma-norma hukum pidana dapat diawasi oleh kriminologi.
Dalam hubungan dengan dogmatik hukum pidana, kriminologi memberikan kontribusinya dalam menentukkan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat dihukum.

cis polda jatim : Violent Crime Scene Analysis: Modus Operandi, Signature, and Staging part 4


Shelton’s M.O. consisted of entering the victim’s dwelling through a window
or patio entrance that faced a wooded area or bushes offering concealment.
He wore a ski mask, stocking, or scarf. He convinced the victims that he
was not there to rape but to rob them. However, when he had the victim under
control, he would return to the rape mode. The victim would comply because
she had seen his propensity for violence by his earlier actions, such as
throwing her on the floor or holding a knife to her throat. In addition,
Shelton would say to the victims, “Keep your eyes down,” “Cover your eyes,”
or “Don’t look at me and I won’t kill you (hurt your kids).” Before he left,
he would verbally intimidate them with such warnings as “Don’t call the police
or I’ll come back and kill you.” These characteristics served as Shelton’s
M.O., whereas his former actions were his signature that linked him to 28
sexual assaults.
Nathaniel Code: Serial Killer
Nathaniel Code, Jr., killed eight times on three separate occasions. The
first homicide, a 25-year-old black female, occurred on August 8, 1984. Code
stabbed her nine times in the chest and slashed her throat.
Approximately a year later, on July 19, 1985, Code killed four people–a
15-year-old girl, her mother, and two of their male friends. Code nearly
severed the girl’s head from her body. He asphyxiated the mother and draped
her body over the side of the bath tub. Code then shot one of the males in
the head, leaving him in a middle bedroom; the other male, who was found
in the front bedroom, was shot twice and had his throat slit.
The last killing took place on August 5, 1987. The victims were Code’s
grandfather and his 8-year-old and 12-year-old nephews. The boys died of
ligature strangulation. Code stabbed his grandfather five times in the chest
and seven times in the back.
The changes in Code’s M.O., exhibited from case to case, show how the M.O.
is refined. For example, in the first murder, Code gagged the victim with
material found at the scene; the next time, he brought duct tape.
Code also kept his victims under surveillance to obtain information on them,
especially with the second killings. In that case, he brought a gun to the
scene to dispose of the males, who posed the greatest threat to him. Since
the last victims, an elderly man and two children, posed little threat to
him, Code did not use a gun on them. All eight killings occurred in single
family dwellings. In each dwelling, the air conditioners and/or televisions
were on, which drowned out the noise as he entered through a door or window.
Code quickly gained and maintained control of the victims by separating them
in different rooms.
Nathaniel Code had a very distinctive “calling card,” one aspect of which
were the injuries inflicted on the victims. Code employed a very bloody method
of attack and overkill. He could have simply murdered each victim with a
single gunshot wound–a clean kill involving very little “mess.” Instead,
Code slaughtered his victims by slashing their throats with a sawing motion
that resulted in deep wounds. Although brutal, the attack didn’t satisfy
his ritual; all victims sustained additional injuries, with the exception
of the 15-year-old girl. One male victim suffered gunshot wounds to the chest,
while another received multiple stab wounds to the chest. Code wounded nearly
all the victims far beyond what was necessary to cause death (overkill).
The physical violence and bloody overkill satisfied Code’s need for domination,
control, and manipulation. He positioned each victim face down, which supports
this theory. Code even forced the mother to witness her daughter’s death
as part of this ritual of control, which was formed from his rage. In fact,
forensic tests found the daughter’s blood on the mother’s dress. If the victim’s
response threatened his sense of domination, Code reacted with anger and
the excessive violence that led to overkill.
The last signature aspect of Code’s crimes probably best illustrates his
unique “calling card”–the ligatures. Code used both an unusual configuration
and material. In all three cases, he bound the victims with electrical appliance
or telephone cords acquired at the scene. Code could have brought rope or
used his duct tape, but the use of these cords satisfied some personal need.
Using a handcuff-style configuration, he looped the cord around each wrist
and then the ankles, connecting them to the wrists by a lead going through
the legs.
The dissimilarities of these cases involves the M.O., not the signature aspect.
The use of a gun with threatening males present reveals an adaptive offender.
At the time of the grandfather’s homicide, additional financial stressors
affected Code, evidenced by the theft of money from his grandfather’s residence.
These financial stressors influenced Code’s M.O., not his “calling card.”

Violent Crime Scene Analysis: Modus Operandi, Signature, and Staging

Physical characteristics, age, and even sex do not enhance or diminish the
ritual driven by rage. Code’s ritual of anger required control and domination
of his victims, so victimology was not as important. Code, like Ronnie Shelton,
the serial rapist, selected victims he could control, manipulate, and on
whom he could project his anger.

Importance Of Offender Signature

Understanding and recognizing the signature aspects is vital in the apprehension
and prosecution of an offender, especially a serial offender. No one appreciates
the importance of recognizing an offender’s “calling card” more than David
Vasquez.
In 1984, Vasquez pled guilty to the murder of a 34-year-old Arlington, Virginia,
woman. The woman had been sexually assaulted and died of ligature strangulation.
The killer left her lying face down with her hands tied behind her back.
He used unique knots and excessive binding with the ligatures, and a lead
came from the wrists to the neck over the left shoulder. The body was openly
displayed so that discovery offered significant shock value.
The offender spent considerable time at the crime scene. He made extensive
preparations to bind the victim, allowing him to control her easily. His
needs dictated that he move her around the house, exerting total domination
over her. It appeared that he even took her into the bathroom and made her
brush her teeth. None of this behavior was necessary to perpetrate the crime;
the offender felt compelled to act out this ritual.
Vasquez had a borderline I.Q. Believing this would make it difficult to prove
his innocence, his lawyers convinced him that he would probably receive the
death sentence if the case went to trial. Instead, Vasquez opted for life
imprisonment by pleading guilty.
Three years later, in 1987, police discovered a 44-year-old woman lying nude
and face down on her bed. A rope bound her wrists behind her back, and a
ligature strand tightly encircled her neck with a slip knot at the back.
It continued over her left shoulder, down her back, and then was wrapped
three times around each wrist. Forensics revealed that she died of ligature
strangulation, and that she had been sexually assaulted. The offender left
the body exposed and openly displayed. He appeared to have spent a considerable
amount of time at the crime scene. This homicide occurred 4 blocks from the
1984 murder.
David Vasquez had been imprisoned 3 years when the 1987 murder occurred.
At the request of the Arlington, Virginia, Police Department, the National
Center for the Analysis of Violent Crime (NCAVC) conducted an extensive analysis
of these two murders, a series of sexual assaults, and several other killings
that occurred between 1984 and 1987. Eventually, the NCAVC linked these offenses
through analogous signature aspects of another local suspect. Physical evidence
later corroborated this connection and determined that the “calling card”
left at the 1984 homicide did not belong to David Vasquez. As a result of
this finding, the Commonwealth of Virginia released Vasquez from prison and
exonerated him of the crime.

Staging

When investigators approach a crime scene, they should look for behavioral
“clues” left by the offender. This is when investigators attempt to find
answers to several critical questions. How did the encounter between the
offender and victim occur? Did the offender blitz (ambush) the victim, or
did he use verbal means (the con) to capture her? Did the offender use ligatures
to control the victim? What was the sequence of events? Was the victim sexually
assaulted before or after death? When did the mutilation take place–before
or after death? Did the offender place any item at the crime scene or remove
something from the crime scene?
As investigators analyze crime scenes, facts may arise that baffle them.
These details may contain peculiarities that serve no apparent purpose in
the perpetration2 of the crime and obscure the underlying motive
of the crime. This confusion may be the result of a crime scene behavior
called staging. Staging occurs when someone purposely alters the crime scene
prior to the arrival of the police.
Reasons for Staging
Principally, staging takes place for two reasons–to direct the investigation
away from the most logical suspect or to protect the victim or victim’s family.
It is the offender who attempts to redirect the investigation. This offender
does not just happen to come upon a victim, but is someone who almost always
has some kind of association or relationship with the victim. This person,
when in contact with law enforcement, will attempt to steer the investigation
away from himself, usually by being overly cooperative or extremely distraught.
Therefore, investigators should never eliminate a suspect who displays such
distinctive behavior.

Violent Crime Scene Analysis: Modus Operandi, Signature, and Staging

The second reason for staging, to protect the victim or the victim’s family,
occurs for the most part in rape-murder crimes or autoerotic fatalities.
This type of staging is performed by the family member or person who finds
the body. Since perpetrators of such crimes leave their victims in degrading
positions, those who find the bodies attempt to restore some dignity to the
victim. For example, a husband may redress or cover his wife’s body, or in
the case of an autoerotic fatality,3 a wife may cut the noose
or the device suspending the body of her husband.
Basically, these people are trying to prevent future shock that may be brought
about by the position, dress, or condition of the victim. In addition, they
will often stage an autoerotic fatality to look like a suicide, perhaps even
writing a suicide note. They may even go so far as to the make it appear
to be a homicide.
For both types of crime scene investigations, rape-murders and autoerotic
fatalities, investigators need to obtain an accurate description of the body’s
condition when found and to determine exactly what the person who found the
body did to alter the crime scene. Scrutiny of forensic findings, crime scene
dynamics, and victimology will probably reveal the true circumstances surrounding
the deaths.
Finally, at some crime scenes, investigators must discern if the scene is
truly disorganized or if the offender staged it to appear careless and haphazard.
This determination not only helps to direct the analysis to the underlying
motive but also helps to shape the offender profile. However, recognition
of staging, especially with a shrewd offender, can be difficult. Investigators
must examine all factors of the crime if they suspect it has been staged.
This is when forensics, victimology, and minute crime scene details become
critical to determine if staging occurred.
“Red Flags”
Offenders who stage crime scenes usually make mistakes because they arrange
the scene to resemble what they believe it should look like. In so doing,
offenders experience a great deal of stress and do not have the time to fit
all the pieces together logically. As a result, inconsistencies in forensic
findings and in the overall “big picture” of the crime scene will begin to
appear. These inconsistencies can serve as the “red flags” of staging, which
serve to prevent investigations from becoming misguided.
To ensure this doesn’t happen, investigators should scrutinize all crime
scene indicators individually, then view them in context with the total picture.
Crime scene indicators include all evidence of offender activity, e.g., method
of entry, offender-victim interaction, and body disposition.
When exploring these issues, investigators should consider several factors.
For example, if burglary appears to be the motive, did the offender take
inappropriate items from the crime scene? In one case submitted to the National
Center for the Analysis of Violent Crime (NCAVC), a man returning home from
work interrupted a burglary in progress. The startled burglars killed him
as he attempted to flee. But, an inventory of the crime scene determined
that the offenders did not steal anything, although it did appear that they
started to disassemble a large stereo and TV unit.
Further examination of the crime scene revealed that they left smaller, and
easily transported, items of far greater value (jewelry, coin collection,
etc.). The police subsequently determined that the victim’s wife paid the
burglars to stage the crime and kill her husband. She, in fact, was having
an affair with one of the suspects.
Another factor to consider is the point of entry. Did the point of entry
make sense? For example, did the offender enter the house through a second-story
window, even though there was an easier, less conspicuous entrance that could
have been used? Why did the offender increase his chance of being seen by
potential witnesses who might alert authorities?
Investigators should also consider whether the offender put himself at high
risk by committing the crime during the daylight hours, in a populated area.
If the crime scene is a place of residence, they should also evaluate any
obvious signs of occupancy, such as lights on in the house, vehicles in the
driveway, etc.

Violent Crime Scene Analysis: Modus Operandi, Signature, and Staging

Case Scenario
The following case scenario brings to light some “red flags” that investigators
should look for at a crime scene.
One Saturday morning, in a small Northeastern city, an unknown intruder attacked
a man and his wife. By placing a ladder against the house, the suspect made
it appear that he had climbed to a second-story window, removed the screen,
and entered the residence. All this occurred in a residential area during
a time when neighbors were doing their weekend chores and errands.
The husband claimed that he heard a noise downstairs, so he went with a gun
to investigate. A struggle with the intruder ensued, during which the husband
was left unconscious by a blow to the head.
Presumably, the intruder then went upstairs and killed the wife by manual
strangulation. He left the body with a nightgown pulled up around the victim’s
waist, implying that he sexually assaulted her. The couple’s 5-year-old daughter
remained unharmed, asleep in the next room.
While processing the crime scene, detectives noted that the ladder made no
impression in the moist soil near the house, although it did when they tried
to climb the ladder. Also, the intruder positioned the ladder with the rungs
facing away from the house, and many of the rungs on the wooden ladder had
rotted, making it impossible for it to support anyone weighing over 50 pounds.
In addition, the crime scene raised questions that could not be answered
logically. Why didn’t the offender choose to enter the residence through
a first-story window to decrease the possibility of detection by both the
occupants and neighbors? Why did the offender want to burglarize the residence
on a Saturday morning when there was a good chance that he would be seen
by neighbors? Why did the intruder choose a residence that was obviously
occupied (several vehicles were in the driveway)?
Inside the residence, other inconsistencies became apparent. For example,
if the intent was murder, the intruder did not seek his victim(s) immediately,
but went downstairs first. He also did not come equipped to kill because,
according to the one witness, the husband, he never displayed a weapon. Also,
the person posing the most threat, the husband, received only minor injuries.
By analyzing the crime scene, which revealed excessive offender activity,
it became apparent that there was no clear motive for the crime. Therefore,
based on the numerous inconsistencies found at the crime scene, NCAVC criminal
investigative analysts concluded that the husband staged the homicide to
make it appear to be the work of an intruder. He was eventually convicted
of his wife’s murder.
Forensic “Red Flags”
Forensic results that don’t fit the crime should also cause investigators
to consider staging. Personal assaults should raise suspicion, especially
if material gain appears to be the initial motive. These assaults could include
the use of a weapon of opportunity, manual or ligature strangulation, facial
beating (depersonalization), and excessive trauma beyond that necessary to
cause death (overkill). In other words, do the injuries fit the crime?
Sexual and domestic homicides usually demonstrate forensic findings of a
close-range, personal assault. The victim, not money or property, is the
primary focus of the offender. However, this type of offender will often
attempt to stage a sexual or domestic homicide that appears to be motivated
by personal gain. This does not imply that personal assaults never happen
while a property crime is being committed, but usually these offenders prefer
quick, clean kills that reduce the time spent at the scene.

Violent Crime Scene Analysis: Modus Operandi, Signature, and Staging

Forensic red flags are also raised when there are discrepancies between
witness/survivor accounts and forensics results. For example, in one case,
an estranged wife found her husband in the tub with the water running. Initially,
it appeared as if he slipped and struck his head on a bathroom fixture, which
resulted in his death by drowning. However, toxicological reports from the
autopsy showed a high level of Valium in the victim’s blood. Also, the autopsy
revealed several concentrated areas of injury or impact points on the head,
as if the victim struck his head more than once.
Subsequently, investigators learned that the wife had been with the victim
on the evening of his death. She later confessed that she laced his dinner
salad with Valium, and when he passed out, she let three men into the house.
These men had been hired by the wife to kill the victim and to make it look
like an accident.
Often, investigators will find forensic discrepancies when an offender stages
a rape-murder, that is, positioning the body to infer sexual assault. And
if the offender has a close relationship with the victim, he will only partially
remove the victim’s clothing, never leaving her completely nude. However,
despite the position of the body and the removal of some of the victim’s
clothes, an autopsy can confirm or deny whether any form of sexual assault
took place, thereby determining if the crime scene was staged.
If investigators suspect a crime has been staged, they should look for signs
of association between the offender and the victim. Or, as is frequently
the case with domestic violence, the involvement of a third party, who is
usually the one who discovers the victim. For example, in the case involving
the husband who staged his wife’s murder to make it look like the crime was
committed by an intruder, the husband did not immediately check on his wife
and daughter once he regained consciousness. Instead, he remained downstairs
and called his brother, who went upstairs and discovered the victim. Offenders
will often manipulate the discovery of victims by a neighbor or family member,
or conveniently be elsewhere when the victim is discovered.

Conclusion

Violent crime scenes require investigators to be “diagnosticians.” They must
be able to analyze crime scenes for the messages they emit and understand
the dynamics of human behavior displayed at crime scenes. Investigators must
also be able to recognize the different manifestations of behavior, so they
can ask the right questions to get valid answers.
By approaching each crime scene with an awareness of these factors, investigators
can steadily improve their ability to read the true story of each violent
crime scene. By doing so, they will be more knowledgeable and better equipped
to apprehend the violent crime offender.

Footnotes

  1. SA Douglas has qualified as an expert in criminal investigative analysis and has provided testimony in the area of signature crime analysis during the following court proceedings: State of Ohio v. Ronnie Shelton, State of Louisiana v. Nathaniel Code, and State of Delaware v. Steven B. Pennell.
  2. P.E. Dietz, M.D. and R.R. Hazelwood, “Atypical Autoerotic Fatalities,” Medicine and Law, 1, 1982, 301-319.
  3. Ibid.

cis polda jatim : Violent Crime Scene Analysis: Modus Operandi, Signature, and Staging part 3


In another situation, a rapist enters the house, orders the woman to phone
her husband, and tells her to use some ploy to get him to come home. Once
the husband arrives, the rapist ties him to a chair and forces him to watch
the assault on his wife.
The rapist who used the cup and saucer developed an effective modus operandi
to control the husband. However, the other rapist went beyond just committing
the rape. He satisfied his fantasies fully by not only raping the wife but
also by humiliating and dominating the husband. His personal needs compelled
him to perform this signature aspect of the crime.
In Michigan, a bank robber makes the bank tellers undress during the robbery.
In Texas, another bank robber also forces the tellers to undress, but he
also makes them pose in sexually provocative positions as he takes photographs.
Do both of these crimes demonstrate a signature aspect?
The Michigan robber used a very effective means to increase his escape time,
i.e., causing the tellers to dress before they called the police. When
interviewed, they offered vague, meager descriptions because their embarrassment
prevented them from having eye contact with the robber. This offender developed
a very clever M.O.
However, the Texas robber went beyond the required action to commit his crime
successfully. He felt compelled to enact the ritual of requiring the tellers
to pose so that he could snap photographs. He left his signature on the crime.
The act of robbing the bank itself did not gratify his psychosexual needs.

Linking Cases

When attempting to link cases, the M.O. plays an important role. However,
as stated previously, the M.O. should not be the only criteria used to connect
crimes, especially with repeat offenders who alter their M.O. through experience
and learning. Usually, first offenses differ considerably from subsequent
offenses. However, the signature aspect stays the same, whether it is the
first offense or one committed 10 years later. The ritual may evolve, but
the theme remains constant.
The signature aspect should receive greater consideration than victim
similarities, although these should never be discounted when attempting to
link cases to a serial offender. Physical similarities of victims are often
not important, especially when linking crimes motivated by anger. The offender
expresses anger through rituals, not by attacking a victim who possesses
a particular characteristic or trait.

Cases Linked By Offender Signature

Ronnie Shelton: Serial Rapist
Ronnie Shelton committed as many as 50 rapes. When convicted of 28 of them,
he received a prison sentence in excess of 1,000 years.1 Both
his verbal communication and sexual assaults manifested his signature.
Verbally, Shelton was exceptionally degrading and exceptionally vulgar. In
addition, he would make such comments as “I have seen you with your boyfriend,”
“I’ve seen you around,” or “You know who I am.” Thoughts of Shelton lurking
around their neighborhoods terrorized the victims.
However, it was the sexual assault itself that occupied the central position
in Shelton’s ritual. He would rape his victims vaginally, then withdraw and
ejaculate on their stomachs or breasts. Shelton would also frequently masturbate
over the victims or between their breasts or force them to masturbate him
manually. Then, he would use their clothing to wipe off the ejaculation.
He also forced many of his victims to have oral sex with him and then insisted
that they swallow the ejaculation. The combination of these acts displayed
Shelton’s signature.