Sunday, 14 September 2014

cis polda jatim :TEKNIK INTEROGASI DALAM PENYIDIKAN



TEKNIK INTEROGASI DALAM PENYIDIKAN[1]


Post By revida putri 

I.                   PENDAHULUAN
Pemeriksaan memegang peran penting dalam kegiatan penyidikan/interogasi untuk mencari kebenaran meteriil, sebagai suatiu kewajiban penyidik yang ditentukan dalam undang-undang.  Pemeriksaan adalah merupakan salah satu tenik mencari dan menedapatkan keterangan terhadap saksi maupun tersangka dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan cara mengajukan pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada tersangka, atau saksi, guna mendapatkan keterangan, petunjuk-petunjuk dan alat bukti lainnya dan kebenran keterlibatan tersangka dalam rangka pembuatan berita acara pemeriksaan.[3]  Upaya penyidikan ini mengacu pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) Lembaran Negara Tahun 1981 No. 3209 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981, dengan diundangkan KUHAP ini  mengakibatkan perubahan fundamental di dalam sistem peradilan pidana, dengan perubahan fundamental ini mengakibatkan pula perubahan di dalam sistem penyidikan.
Tentu dari perubahan fundamental ini juga mengalami perubahan kultur bagi penegak hukum di lapangan, sehingga diperlukan upaya-uapaya dalam peningkatan kemampuan, kecakapan dan kemahiran dari seluruh aparatur penegak hukum dan dilakukan secara berlanjut. Penyidik sebagai gari terdepan dalam pelaksanaan penegakkan hukum senantiasa diperlukan dalam memperhitungkan akan terjadinya persoalan-persoalan yang tidak dapat dihindari, ketika berlakunya hukum acara sebelum KUHAP ini berlaku. KUHAP merupakan  hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bersifat unifikasi dan kodifikasi yang bertujuan untuk kepentingan nasional, ini adalah merupakan realisasi Eropa kontinental seperti Jerman, Perancis dan Belanda atau negara-negara lain seperti Jepang, yang membedaknnya hanya keadaan dalam menetapkan bentuk juridisnya dengan teknik perundang-undangan, dan tidak mengenai isinya, khususnya yang berkaitan dengan asas-asas Hukum Acara Pidana.
Kita ketahui bahwa sebelum KUHAP ini lahir dalam proses penyelidikan maupun penyidikan masih menggunakan HIR, perlakuan terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam mencari bukti  dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bahkan penyiksaan seseorang mengalami kriminalisasi.[4] Hal ini dilakukan karena semata-mata untuk mengejar pengakuan, tidak didasarkan kepada pembuktian secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan atas kebenarannya. Tindakan ini dapat mengakibatkan cacat pisik dan mental terhadap pelaku tindak pidana, terjadi penyalahgunaan wewenang bahkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
 Penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan hukum pidana merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 3885, Pasal 1 ke 6 menyatakan bahwa:
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut haj asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Tentunya dalam penegakkan hukum, aparat penegak hukum diharapkan tidak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran ini tidak terjadi manakali aparat penegak hukum memiliki pengetahuan tentang hukum, terampil dalam melakukan tugas secara profesional dan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Aparat penegak hukum harus memahami norma-norma yang berlaku pada masing-masing bidang hukum, karena masing-masing bidang hukum mempunyai makna penormaan yang berbeda. Apabila aparat penegak hukum khususnya Kepolisian tidak memahami “domain” masing-masing bidang hukum, maka akan diperalat dan dimanfaatkan oleh pencari keadilan dengan jalan pintas untuk segera mendapatkan prestasi dengan melaporkan ke pihak Kepolisian. Sesuai tugas dan wewenangnya dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168,  menyatakan bahwa:
a.       memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b.      menegakan hukum; dan
c.       memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. [5]
Sebagai pelayan masyarakat Polri tidak boleh menolak laporan atau pengaduan yang disampaikan kepadanya, semua permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat cenderung melaporkan ke kepolisian, tidak terkecuali permasalahan yang dilaporkan menyangkut peristiwa keperdataan maupun permasalahan lainnya. Masyarakat tidak mengerti dan memahami hukum, sehingga setiap permasalahan yang terjadi dilaporkan. Apakah masalah yang dihadapi masuk dalam lingkup hukum perdata atau hukum pidana, ia tetap melaporkan ke Kepolisian dengan harapan cepat  terselesaikan.
Hal ini aparat penegak hukum diharapkan dapat memahamai persoalan-persolan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan masyarakat tentu terdapat norma-norma yang berlaku berupa norma larangan (dwingend recht) seringkali dilanggar, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor lingkungan, ekonomi, keamanan dan geografis maupun karakter masyarakatnya. Sedangkan perkembangan dan kemajuan kejahatan saat ini dipengaruhi pula oleh perkembangan masyarakatnya. Dalam hubungan ini,  I.S. Susanto menulis, wajah kejahatan dipengaruhi oleh bentuk dan karakter masyarakatnya, artinya masyarakat industri akan memiliki wajah kejahatan yang berbeda dengan masyarakat agraris[6]. Dengan kemajuan teknologi dewasa ini pola kehidupan masyarakat akan terpengaruh dan berkembang secara pesat, sehingga dampak yang muncul sangat mempengarui terhadap kondisi dan tatanan kehidupan masyarakat, secara perlahan tanpa disadari atau tidak, pola prilaku maupun pola pikir masyarakat ikut terpengaruh pula.
Dewasa ini perkembangan kejahatan semakin canggih, dengan modus maupun cara-cara dalam melakukan kejahatan semakin modern dengan meninggalkan pola-pola tradisional, pola-pola tradisional saat ini sudah tidak digunakan karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan situasi masyarakat dewasa ini, bahkan dalam kegiatan berinteraksi maupun pergaulan masyarakat sehari-hari dalam melakukan kegiatan cenderung mengikutinya. 
Polri sesuai tugas dan kewenangannya sebagai pelayan masyarakat dan aparat penegak hukum, senantiasa bertindak secara profesional dan proporsional, dan mampu memahami terhadap peraturan perundang-undangan yang ada serta  dalam melakukan proses penyelidikan maupun penyidikan terhadap suatu kasus yang diterimanya. Dalam melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus yang ditangani ternyata tidak ditemukan unsur-unsur pidananya, maka pihak Kepolisian khususnya penyidik dapat untuk menghentikan perkara, dengan mengeluarkan surat ketetapan berupa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), hal tersebut di atur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Penghentian penyidikan adalah merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara yang dilakukan  apabila :
a.                         Tidak terdapat cukup bukti;
b.                         Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana;
c.                         Demi hukum karena :
(1)   Tersangka meninggal dunia;
(2)   Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa;
(3)    Nebis en idem (tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan  hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap).

II.           PEMBAHASAN
1.  Pemeriksaan

a.     Arti Pemeriksaan
Pemeriksaan  adalah kegiatan untuk  mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka, saksi  ahli  dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam  berita acara pemeriksaan.[7] Berita acara pemeriksaan (BAP) adalah catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk  tertentu oleh penyidik atau penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penyidik atau penyidik pembantu dan tersangka serta saksi/ahli yang diperiksa, memuat uraian tindak pidana yang mencangkup/memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan  dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas penyidik/penyidik pembantu dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa.[8]
Berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berkas perkara (BP) sangat berperan penting dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-uandang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yaitu yang dikenal dengan Criminal Justis Sistem, Polri sebagai Penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai Pebutut dan Hakim sebagai pemutus dalam Persidangan. Kita ketahui hasil berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh Penyidik, dapat dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa seseorang dalam proses peradilan yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Apabila hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam berkas (BP) yang dibuat oleh Penyidik, maka dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pun akan mengalami kekliruan, termasuk vonis Hakim yang dijatuhkan terhadap seseorang palaku tindak pidana akan mengalami kesesatan.[9]
b.        Syarat-Syarat Pemeriksaan
Pemeriksa selaku penyidik/penyidik pembantu dalam melakukan pemeriksaan harus memiliki kewenangang untuk melakukan pemeriksaan dalam membuat berita acara pemeriksaan (BAP), memilki pengetahuan yang cukup tentang hukum pidana, hukum acara pidana dan perarturan perundang-undangan lainnya. Mempunyai pengetahuan yang cukup dan mahir dalam melaksanakan fungsi tehnis kepolisian di bidang reserse, mahir dalam taktik dan tehnik dalam melakukan pemeriksaan.
Di samping itu pula memilki kepriabdian yang baik, percaya diri, sabar, tidak gampang terpengaruh, tekun, ulet dan memiliki kemapuan menilai dengan tepat dan bertindak secara cermat serta obyketif tanpa pilih kasih. Seorang penyidik/penyidik selaku pemeriksa hendaknya melihat seseorang yang diperiksa, apakah seorang tersangka maupun seorang saksi dan ahli harus memiliki kemampuan untuk mempersiapkan rencana  pemeriksaan dengan baik efektif dan efesien. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka, saksi dan ahli ditetapkan secara khusus tempat maupu sarana pemeriksaan, sehingga tujuan dari pemeriksaan dapat berjalan sesuai dengan harapan yaitu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.
c.     Pembuatan Berita Acara  Pemeriksaan
Dalam pembuatan beriata acara pemeriksaan, terdapat  persyaratan yang harus dipenuhi yaitu, syarat formal dan materiil[10], pertama, syarat formal dibuat dalam bentuk tertentu dan tertulis  kata-kata Pro Justitia artinya bahwa format berita acara yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu atas dasar untuk keadilan, bukan untuk kepentingan lain. Kemudian setiap lembar dari produk itu ditanda tangani oleh penyidik/penyidik pembantu  dan orang yang diperiksa, baik sebagai saksi, tersangka dan ahli. Kedua, syarat materiil yaitu keseluruhan isi atau meteri menyangkut urang dari peristiwa tindak pidana yang terjadi dan dapat memenuhi unsur-unsur pasal yang dilanggar atau yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana.
d.      Evaluasi
Evaluasi pembuatan berita acara pemeriksaan, senantiasa dilakukan dengan cara: tahap inventarisasi, tahap seleksi dan pengkajian. Hal ini dilakukan agar keterangan para saksi, ahli dapat dijadikan dasar dan memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan kepada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya dilakukan seleksi, siapa saja yang layak untuk dijadikan saksi untuk dimasukan dalam berkas perkara (BP), dan dilakukan pengkajian untuk menguji kebenaran dengan bukti-bukti serta petunjuk-petunjuk yang ada, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan tentang kebenaran dan dapat dipercaya tentang peristiwa pidana yang terjadi dan dapat menentukan pelaku tindak pidana.
2.    Pembuktian
a.        Arti Pembuktian     
Pembuktian adalah suatu proses untuk mencari kebenaran dalam menyelesaikan suatu sengketa atau perselisihan kepentingan, kepentingan-kepentingan tersebut dapat berhubungan dengan hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan hukum tata usaha negara. Pembuktian memegang peranan sangat penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, apabila seseorang didakwa telah melakukan pelanggaran hukum dan hasil pembuktian “tidak cukup“ maka seorang terdakwa wajib dibebaskan, namun apabila dapat dibuktikan maka seorang terdakwa dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi berupa hukuman badan atau denda.
Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, dengan bukti-bukti yang diajukan untuk mencari dan membuktikan kebenaran atau membuktikan kesalahan-kesalahan seseorang, dengan pembuktian yang telah diajukan dalam persidangan, maka seseorang dapat diketahui kesalahan-kesalahan disangkakan kepadanya sebagai dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Dari dua pengertian tersebut, maka proses pembuktian merupakan inti dari penentuan salah atau  tidak seorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, dalam menjalani proses penyidikan atau  pemeriksaan sidang persidangan. Penentuan salah atau tidak seseorang tidak boleh hanya ditentukan oleh pendapat pribadi Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, atau pada pengakuan tersangka/terdakwa, akan tetapi harus melalui proses pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan.
 Menurut M. Yahya Harahap[11] menyatakan bahwa, pembuktian adalah merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang, untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya.
   Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dalam proses persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.
Hari Sangsaka dan Lely Rosita memberikan pengertian pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macm alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.[12] 
Dari uraian tersebut di atas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana  sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981,  Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya termuat dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
b.   Alat Bukti      
Dalam Pasal 184 KUHAP menyatakan, bahwa macam- macam alat-alat bukti sebagai berikut :
Ayat (1) alat  bukti yang  sah :
a.                          Keterangan saksi;
b.                          Keterangan ahli;
c.                          Surat;
d.                         Petunjuak;
e.                          Keterangan terdakwa.
              Ayat (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.              
Pengertian hal-hal secara umum adalah suatu hal yang secara umum diketahui tentang suatu hal atau keadaan yang biasa lazim terjadi dalam penilaian masyarakat, hal demikian yang sudah diketahui umum tidak perlu dibuktikan, yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP.  Macam-macam alat bukti dahulu di atur dalam pasal 295 HIR, yang terdiri dari  sebagai berikut:
a.              Keterangan saksi;
b.             Surat-surat;
c.              Pengakuan;
d.             Tanda-tanda (petunjuk).
                    Dalam pasal 184 KUHAP,  mengandung makna ketentuan yang membatasi hakim, penuntut umum, terdakwa, maupun penasehat hukum dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Tidak boleh sembarangan dalam menilai pembuktian dan terikat pada ketentuan maupun tata cara                                                                       penilian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Alat-alat bukti yang dipergunakan dalam persidangan maupun dalam mempertahankan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pasal 184 KUHAP dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)   Alat Bukti Keterangan Saksi
 Keterangan saksi adalah merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Syarat-syarat agar keterangan saksi dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai berikut:
a.              Harus mengucapkan sumpah atau janji (pasal 160 ayat (3) KUHAP).
-      Pada prinsipnya sumpah diucapkan sebelum memberi keterangan.
-      Pasal 160 (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberi keterangan.
b.                                             Keterangan Saksi yang bernilai sebagai bukti.
      Berdasarkan pasal 1 angka 27, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana :
-    Yang didengar sendiri oleh saksi;
-    Yang dilihat sendiri oleh saksi;
-   Yang dialami sendiri oleh saksi;
-    Menyebut alasan dari pengetahuannya.
c.         Testimonium de auditu (mendengar orang lain tidak bernilai sebagai alat bukti). Pendapat atau rekaan dari hasil pemikiran saksi bukan merupakan alat bukti dan tidak bernilai sebagai alat bukti. Kadangkala dalam praktek pemeriksaan pertanyaan penyidik kepada seorang saksi sudah dimulai dengan bagaimana pendapat saudara dan seterusnya, pertanyaan seperti itu jelas keliru karena saksi tidak boleh bependapat,  yang berpendapat adalah ahli.
d.        Keterangan saksi dalam penyidikan sebagai bahan dasar keterangan saksi di pengadilan. Keterangan saksi dalam  berita acara pemeriksaan pada saat penyidikan harus diulang dan dipertahankan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai keterangan saksi di sidang pengadilan. Tidak ada salahnya jika Jaksa Penuntut Umum membacakan kembali keterangan-keterangan saksi yang penting dan mendukung surat dakwaan  dalam berita acara pemeriksaan  dalam berkas perkara.
e.          Keterangan seorang saksi tidak cukup, tanpa didukung alat bukti yang lain, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. Agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, maka keterangan satu orang saksi harus ditambah dengan alat bukti yang lain yaitu keterangan ahli, surat, pentunjuk atau keterangan terdakwa, dengan ketentuan antara alat bukti tersebut harus saling bersesuaian dan saling menguatkan. Keterangan satu orang saksi tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, maka alat bukti tunggal tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kesalahan tersangka/terdakwa. (unus testis nullus testis). Timbul suatu pertanyaan bagaimana kalau saksi hanya dua orang saja, yang keterangannya saling bersesuaian dan menguatkan tanpa didukung oleh alat bukti keterangan ahli, surat petunjuk dan terdakwa menyangkal. Apakah dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk menentukan kesalahan tersangka/ terdakwa. Dalam praktek, keterangan  dua orang saksi yang saling bersesuaian dan menguatkan, dapat diterima oleh hakim sebagai alat bukti untuk menentukan kesalahan terdakwa.
f.                                              Cara pembuktian keterangan saksi yang bernilai pembuktian :
(1)          Keterangan antara saksi satu dengan yang lainnya saling  bersesuaian dan menguatkan bukan bertentangan dan berdiri sendiri-sendiri.
(2)          Alasan saksi memberi keterangan, pada saat saksi memberi keterangan sesuatu peristiwa atau keadaan tertentu yang tidak pasti, seorang saksi dalam memberi keterangan tidak boleh ragu-ragu, keterangan saksi harus sungguh-sungguh yang dialami sendiri, dilihat sendiri atau didengar sendiri.
(3)          Latar belakang kehidupan saksi, untuk mengetahui latar belakang kehidupan saksi, perlu untuk mengetahui apakah ada pengaruh dengan faktor-faktor kepribadian misalnya suka bohong, pemabuk dan lain-lain terhadap keterangan yang berikan.
(4)        Pada saat penyidikan, keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah, jika tidak hadir di sidang keterangannya dibacakan dan keterangan saksi tersebut mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah.
(5)          Keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah.
Suatu kesaksian agar mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus memenuhi  syarat  sebagai berikut,[13] antara lain :
1.        Syarat  obyektif :
a)        tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa;
b)        tidak boleh ada hubungan keluarga;
c)        mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.
2.        Syarat  formal:
a)        kesaksian harus diucapkan dalam sidang;
b)        kesaksian tersebut harus diucapkan di bawah sumpah;
c)        tidak dikenakan asas unus testis nulun testis.
3.        Syarat  subyektif/material:
a)        saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia ketahui, ia dengar dan ia alami  sendiri;
b)        dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan mengalami sesuatu yang diterangkan tersebut.

2)  Alat Bukti Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yan diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus, tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan yang di atur dalam asal 1 angka 28 KUHAP.
Dalam pasal 120 KUHAP bahwa, dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik, bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya  yang  sebaik-baiknya  kecuali  apabila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan menyimpan  rahasia  dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 133 KUHAP, dalam hal penyidik untuk kepentingan   peradilan menangani seorang koban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat dikirm kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Menurut Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-003/J.A./2/1984, pemeriksaan ahli terhadap otentikasi tanda tangan dan tulisan yang akan digunakan sebagai alat bukti tentang suatu peristiwa pidana, telah disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonsia dan Kepala Kepolisian Rpublik Indonesia sebagai berikut:
a)               Untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus  keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium  Kriminal Mabes Polri;
b)               Untuk tindak pidana militer, keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminal POM ABRI;
c)               Untuk perakara yang bersifat koneksitas dapat diberikan oleh salah satu  Laboratorium Kriminal berdasarkan kesepakatan  antara unsur penegak hukum yang duduk dalam team untuk perakara  koneksitas.                                                  
Pasal 179 KUHAP, setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Dalam memberikan keterangan dengan mengucapkan sumpah atau janji dan memberikan keterangan yang  sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Dari pengaturan tentang keterangan ahli tersebut dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut :
1)                             Permintaan keterangan ahli dilakukan pada tahap penyidikan :
 - Penyidik meminta keterangan ahli dan untuk itu ahli membuat "Laporan hasil pemeriksaan" misalnya; Visum et Repertum, laporan Audit. Dibuat dengan mengingat sumpah waktu menerima jabatan atau pekerjaan.  Laporan ahli tertentu sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
-    Laporan hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan Ahli.
2)                           Keterangan ahli diberikan di sidang pengadilan
Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim ketua sidang karena jabatan, maupun atas permintaan Jakasa Penuntut Umum, terdakwa atau penasihat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk "keterangan lisan" dan "secara langsung" diberikan oleh yang bersangkutan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera, dan    untuk itu ahli yang memberi keterangan lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan keterangan. Jadi dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan tidak dapat diberikan hanya berdasar sumpah atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Tapi harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberikan keterangan. Dengan  dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
3)                           Keterangan ahli sebagai alat bukti
a)                          Keterangan seorang ahli yang mempunyai keahlian khusus.
b)                         Keterangan ahli diperlukan untuk membuat terang perkara
pidana yang  diperiksa sesuai dengan pengetahuannya.
4)                           Dualisme alat bukti keterangan ahli tetap satu alat bukti:
a)             Keterangan ahli dalam bentuk "Laporan" dapat dikategorikan alat bukti surat (Pasal 187 c KUHAP).
b)             Keterangan  ahli  secara  lisan  dan  langsung  baik dalam  berita acara penyidik maupun keterangan dalam sidang pengadilan.
3)   Alat Bukti Surat
        Dalam pasal 187 KUHAP surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a)              Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b)             surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c)              surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d)             surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Yang dimaksud dengan surat dalam pasal 187 huruf a KUHAP adalah: surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk  jabatan”, misalnya berita acara yang dibuat oleh seorang penyidik; surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, sesuai dengan ketentuan undang-undang, misalnya paspor, surat ijin mendirikan bangunan,  surat kartu penduduk, surat ijin mengemudi, surat yang dibuat oleh seorang notaris dan sebagainya, yang kesemuanya bernilai sebagai alat bukti surat.
Macam-macam surat dapat dibedakan,[14]adalah:
-          Surat biasa;
-          Surat otentik;
-          Surat dibawah tangan.
Jika macam-macam surat tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 187 KUHAP,  maka Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP termasuk surat otentik dan pasal 187 huruf d termasuk surat biasa.
Nilai kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata surat autentik atau surat dalam bentuk resmi sebagaimana tersebut pasal 187 huruf a dan b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang “sempurna”, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim. Sedangkan dalam hukum acara pidana tidak mengatur secara khusus tentang nilai kekuatan pembuktian surat. Ditinjau dari segi teori dan di hubungkan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP dapat ditinjau,[15] sebagai berikut:
1)               Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut dalam pasal 187 huruf a,b, dan c merupakan alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk surat-surat di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, dan dibuat oleh pejabat yang berwenang yang memiliki nilai bukti yang sempurna. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai “pembuktian formal  yang sempurna”, dari segi formal ini dititikberatkan dari sudut “teoritis” dikesampingkan oleh beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, yaitu adanya batas minimum pembuktian yang ditentukan oleh pasal 183 KUHAP.
2)                       Ditinjau  dari segi materiil,  semua bentuk surat yang disebut dalam pasal 187 KUHAP “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Nilai kekuatan pembuktian sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian saksi dan alat bukti  keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan yang “bersifat bebas”. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktian, bebas untuk menggunakan atau menyingkirkan.
Dasar alasan ketidakterikatan atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas; antara lain :
a)               asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk  mencari kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (meteriel waarheid), bukan mencari kebenaran formal;
b)               asas keyakinan hakim, asas ini berhubungan erat dengan sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP.
c)               asas batas minimum pembuktian, ditinjau dari segi formal alat bukti surat (autentik) sebagai alat bukti  yang sah dan bernilai sempurna, akan tetapi kesempurnaan tidak berdiri sendiri, melainkan perlu bukti pendukung lainnya.  

4)  Alat Bukti Petunjuk
Dalam pasal 188  KUHAP, pengertiannya alat bukti petunjuk adalah sebagai berikut:
(1)            Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2)            Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; keterangan saksi;  surat; keterangan terdakwa.
(3)            Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang dutentukan dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan alat bukti lainnya. Alat bukti petunjuk dapat digambarkan sebagai alat bukti yang lahir dari kandungan  alat bukti yang lain,[16]  karena :
(1)          selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti yang lain;
(2)          alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian, apabila alat  bukti yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain,  alat bukti petunjuk baru dianggap mendesak mempergunakannya apabila upaya pembuktian dengan alat bukti yang lain belum mencapai batas minimum pembuktian;
(3)          oleh karena itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi pembuktian dengan alat bukti lain sebelum mempergunakan alat bukti petunjuk;
(4)          dengan demikian upaya mempergunakan alat bukti petunjuk baru diperlukan pada tingkat keadaan daya upaya pembuktian  sudah tidak mungkin diperoleh lagi dari alat bukti yang lain.
Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sifat dan kekuatan pembuktian sama dengan  pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat  sifat kekuatan pembuktian yang “bebas”. Hakim tidak terikat  atas kebenaran persesuaian oleh petunjuk, hakim bebas menilai dan mempergunakan dalam pembuktian.
5)                             Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Adalah suatu keterangan terdakwa yang disampaikan di dalam sidang pengadilan. Keterangan terdakwa lebih luas dari pengakuan terdakwa. Pengakukan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban pembuktian, proses pemeriksaan dalam pembuktian selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa mengaku, jaksa penuntut umum  tetap berkewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain, pengakuan terdakwa “bersalah“ sama sekali tidak  menghapuskan  pembuktian. Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa:
(1)            Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang  tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
(2)            Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
(3)            Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
(4)            Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.
Pengakuan terdakwa atau keterangan terdakwa bukan merupakan alat bukti yang sempurna, juga tidak memiliki pembuktian yang menentukan untuk menjatuhkan kesalahan terdakwa, melainkan perlu alat pembuktian yang lain. Dari ketentuan pasal 189 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut  keterangan terdakwa dapat dibagi  dua yaitu ;
(a)              Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang pengadilan (The Confession Outside Court), asas ini menerangkan bahwa keterangan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak mempunyai nilai kekuatan alat bukti, melainkan dapat membantu dan menemukan alat bukti dalam persidangan.
(b)            Keterangan terdakwa yang diberikan dalam sidang pengadilan, baru merupakan alat bukti. Keterangan  terdakwa  tersebut  berisi pernyataan   terdakwa tentang apa yang  ia diperbuat, apa yang ia lakukan  dan apa yang ia alami. 
3.    Sistem Pembuktian  
        Sistem pembuktian ada beberapa ajaran yang berhubungan dengan teori  pembuktian,  dalam teori  dikenal  4 sistem pembuktian yaitu :
a.   Conviction in Time 
Sistem pembuktian Conviction in time adalah sistem pembuktian  yang mengajarkan dalam menentukan kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian pada ”keyakinan” hakim. Hakim dalam menjatuhkan kesalahan terdakwa tidak terikat dengan alat bukti. Dari mana hakim menyimpulkan keyakinan yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan  terdakwa, dalam sistem ini tidak menjadi masalah. Keyakinan boleh diambil dari alat bukti yang dihasilkan dalam persidangan atau tidak mempergunakan alat bukti yang ada dipersidangan. Hakim langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.  Sekalipun kesalahan terdakwa telah cukupbukti, jika hakim tidak yakin maka terdakwa dapat dibebaskan, sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti dengan melihat alat-alat bukti yang sah, terdakwa  bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar “keyakinan” hakim. Sistem ini unsur subyektif sangat dominan. Sistem pembuktian conviction in time ini  dipergunakan dalam sistem peradilan juri, misalnya  di Inggris dan Amerika serikat.     
b.   Conviction in Raisone 
Sistem pembuktian Conviction in Raisone ini masih mendasarkan pada “keyakinan” hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa, akan tetapi hakim dibatasi. Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa berdasar keyakinannya dan menguraikan alasan-alasan yang rasional (reasonable). Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar  alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal, tidak semata-mata   berdasar keyakinan tanpa batas. Sistem pembuktian ini disebut dengan sistem pembuktian bebas.
c.   Sistem Pembuktian Secara Positif 
Sistem pembuktian positif ini menganut sistem pembuktian menurut undang-undang, yang berdasar pada alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang, keyakinan hakim tidak ikut berperan. Dalam menentukan kesalahan seseorang terdakwa didasarkan atas alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang, sudah cukup bagi hakim untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Sistem ini, hakim seolah-olah sebagai robot dalam menjalankan undang-undang, hati nurani hakim tidak ikut dalam menentukan kesalahan terdakwa. Sistem pembuktian positif ini yang dicari adalah kebenaran formal, dan sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukumacara perdata.
d.   Sistem Pembuktian Secara Negatif 
Sistem pembuktian negatif (negatif wettelijk) ini merupakan sistem pembuktian positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (convictioan in time). Dalam sistem pembuktian secara negatif ini hakim dalam mentukan kesalahan terdakwa didasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang dan adanya keyakinan hakim. Terdapat dua komponen dalam sistem pembuktian negatif ini untuk menentukan kesalahan terdakwa[17], yaitu :
1)             pembuktian harus dilakukan menurut  cara dan dengan alat-alat  bukti yang sah menurut undang-undang;
2)               dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif” dan “subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa dan tidak ada yang dominan di antara kedua unsur tersebut.
4.        Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP
Setelah dijelaskan sistem pembuktian yang ada, sistem pembuktian mana yang di anut oleh KUHAP?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita baca pasal 183 KUHAP, yang berbunyi “hakim  tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekuramg-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.                                          
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan tentang persyaratan untuk menyatakan seseorang bersalah menurut KUHAP, yaitu Sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah; hakim memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan  terdakwalah  yang melakukan. Dari uraian di atas jelaslah bahwa KUHAP mengatur sistem pembuktian “negatif wettelijk”.
5.        Penerapan dan Kecenderungan  Sistem Pembuktian KUHAP
Dalam Pelaksanaan sistem pembuktian secara negatif dalam penegakan hukum di Indonesia baik masa HIR maupun setelah KUHAP berlaku, penerapan sistem pembuktian secara negatif sebagaimana diamanatkan dalam pasal 183 KUHAP, pada umumnya telah mendekati  makna dan tujuan pembuktian.
Penutup
Bahwa berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu adalah merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dibuat dalam bentuk format tertentu yang memenuhi syarat formal maupun  syarat materiil. Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu sangat penting karena di buat atas dasar untuk kedilan, yang selanjuya dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan dakwakan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dalam proses peradilan, bukan untuk kepentingan lain.
Berita acara yang telah dibuat, kemudian disusun menjadi satu bendel/berkas (yang dinamakan berkas perkara atau BP), dapat menentukan salah tidaknya seseorang dalam proses peradilan pidana, dengan bukti-bukti yang ada kaitannya dengan peristiwa pidana yang terjadi, dapat dijadikan dasar Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana di depan hakim pengadilan yang memutuskannya.
Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu yang disusun menjadi satu bendel/berkas jika salah dan keliru, maka berkas perkara yang dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, kemudian diputus oleh hakim pengadilan akan terjadi kesesatan, pada akhirnya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.








DAFTAR BACAAN

BUKU

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.

-----------, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

-----------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan penanggulangan     Kejahatan, PT Citra Aditya, Bandung, 2001.

Allot, Anthony, The Limits of Law, dalam Barda Nawawi Arief.

A. Garner, Bryan, Blacks Law Dictionary, Seven Edition, St Paul, Minn,  1999.

Bruggink,J.J.H., Rechtsreflecties, alih bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.

Black, Donal Socilogi Justice, 1986.
    
Englebecht, R.Susilo “Sculd” diartikan kesalahan, M.Budianto dan K.Wantjik Saleh” Sculd” diartikan kekhilafan. Lihat juga P.A.F.  Lamintang, Dasar-Dasar Hukum  Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, 2005.

Hantum, Van, dalam J.E.Sahetapy,.(editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr.D.Schaffmeister, Prof.Dr.  Nico Keijzer dan Mr.  E.PH.  Sitorus, Liberty, Yogjakarta, 1995.

Hamzah, Andi,  Asas-Asas Hukum Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, 2005.

Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook, Sydney, 2002.

J. Noyon-G.E. Langemeyer, Het Wetboek van Strafrecht, Arnhem : S.Gonda-Quint, l954.

JM Van, Bemmelen, Ons Strafrecht, HD-TW & Zoon NV, Haarlem, 1968,

Lamintang, PAF, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, l997.

-----------,Lamintang, P.AF, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan danKejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung,  1991,h.276.

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Mertokusumo, Sudikno,Mengenal Hukum, Liberty, Yogjakarta, 2004.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinika Cipta, Jakarta, 2008.

-----------,Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983

Minarno, Nur Basuki,  Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak  Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Negara, Laksbang Mediatama, Cet ke 1, Surabaya, 2008.

Moris L. Cohen, et.all, Legal Research in a Nut Shell, West Publishing Co., St. Paul, Minn, l992.

Moch. Anwar, H.A.K, Brigjen Polisi Hukum Pidana  Bagian Khusus (KUHP BUKU II) Jilid I, Penerbit  Citra Aditya Bakti, Bandung,  1994.

Packer, H.L., The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968.

Paton, G.W. Text Book Of Jurisprudence, Oxpord.

Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Terbitan kelima, Ghalia, Jakarta, l985.

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002.

Remmelink, Jan,  Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

R. Dye, Thomas, dalam Barda Nawawi Arief, Penetapan Pidana Penjara Dalam Perundang-undangan Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan,UNPAD,1986.

Sahetapy, J.E. (editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keijzer dan Mr. E. PH. Sutorius, Liberty, Yogjakarta, l995.

Smith, Russel G, Crime in the Professions, Ashgate Publishing Limited, England, 2004.

Susanto, I.S, Kejahatan Koorporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,    Semarang, 1995.   

Surakhmad, Wiranto, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan  Teknik, Bandung, 1972.

Schaffmeister, D, D.N. Keijzer  dan E.PH.Sutorius, Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,Cetakan ke II, Bandung, 2007.

Sangsaka, Hari, dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003.

Yahya Harahap, M, Pembahasan  Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.



Undang-undang      
                

Undang-undang  Nomor I Tahun 1946 Jo Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya Peraturan Hukum Pidana.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-  undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman.

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Tahun 1968 .

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Mabes Polri, Jakarta, September 2000.



[1]Disampaikan dalam Rangka Pelatihan Pembuktian  Terkait  Saksi Dalam Proses Peradilan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Airlangga Dan Bank Rakyat Indonesia Angkatan I Tanggal 13 Oktober 2011.
[2] Yahman Praktisi Hukum dan  Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya.
[3]Lihat, Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses  Penyidikan  Tindak Pidana, Mabes Polri, Jakarta,  September 2000, hal. 230.
[4]Suatu Istilah dari perseteruan antara “Cicak dan Buaya” dalam kasus Bibit Candra dan Susno Duadji yang menjadi perhatian Publik, Politisi, maupun para Pakar Hukum serta tidak henti-hentinya menjadi komentar atau pendapat, dalam media cetak maupun media elektronik.
[5] Lihat Pasal 13 Undang-undang Kepolisian RI Nomor 2 Tahun 2002
                 [6]I.S. Susanto, Kejahatan Koorporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. 5.   
[7]Lihat Himpunan Bujuklak,  Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Loc.Cit.
[8]Ibid. hal. 231.
[9]Lihat Kasus Penangkapan dan Penahanan serta Proses Peradilan yang dialami oleh Hambali di Jombang, ternyata ditemukan pelaku yang sebenarnya, hal ini didasarkan atas pengakukan tersangka dalam tekanan pisik maupun  psikis untuk mengejar pengakuan, pembuktian tidak dilakukan secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
[10]Lihat Himpunan Bujuklak,  Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Op.Cit. hal.  235.
[11]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal.273.
[12]Hari Sangsaka  dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 10.
[13]Ibid. hal. 48
[14]Ibid. hal. 60
           [15]M. Yahaya Harahap, Op Cit, hal. 309.
[16]Ibid. hal. 316.

[17]Ibid.hal. 279.

Saturday, 13 September 2014

Cis Polda Jatim : Forensic Comparison and Matching of Fingerprints


cis polda jatim : INTERPOL: Connecting Police for a Safer World


INTERPOL: Connecting Police for a Safer World
By Matteo Vaccani, General Secretariat, INTERPOL


ollowing a tradition lasting more than a decade, the Hartsfield-Jackson Atlanta International Airport entered 2011 as the world’s busiest airport.1 In 2010 alone, it welcomed about 4.5 million international passengers.2
All international travelers are likely accustomed to a routine including a final swipe of their passports through readers by U.S. Customs and Border Protection (CBP) officers. However, they are probably unaware that each single swipe conducted at every U.S. seaport and airport results in the passport number being checked against more than 26 million stolen and lost travel document records shared by almost 160 countries worldwide.
These checks are possible because of access to the Stolen and Lost Travel Document (SLTD) database, developed by the International Criminal Police Organization (ICPO). Created more than 80 years ago, the ICPO counts the United States as one of its founding members. It is better known globally by the acronym INTERPOL.

INTERPOL: Mission and Mandate
Unfortunately, having a famous name does not always translate into a clear understanding of one’s work. When INTERPOL is named by the media, cited in political debates, or portrayed by the entertainment industry, its actual structure and role are seldom clearly understood. In movies, INTERPOL agents are often knocking down doors with all guns blazing or chasing and boarding foreign ships in international waters.
The message in such portrayals is that INTERPOL is a standing, international police force involving operatives who are ready to be deployed to foreign soil to investigate, search, arrest foreign citizens, and seize property.
This represents a major and serious misconception of the nature of INTERPOL, the rationale behind its creation, and the services provided by the organization every day to each of its 188 member countries.
INTERPOL is a recognized international organization created by sovereign countries to serve sovereign countries. INTERPOL came into being and persists to this day because of its members’ will within the legal framework determined by them. INTERPOL and its staff cannot and do not impose its will upon any of the organization’s members worldwide.
The rationale behind the creation of INTERPOL many years ago is even more relevant today. Criminals, whatever their motive and objectives, no longer heed national or regional boundaries. They thrive on traversing them. They seek to exploit them every day.
Criminals may escape conviction or prosecution by crossing borders. They may scan the international environment for nations or regions with limited enforcement capacity to minimize the costs to their illegal enterprises and to maximize profit. They may choose to commit crimes in different jurisdictions to scatter evidence and make investigations virtually impossible for a single national police force to undertake.
INTERPOL was created specifically to address this dilemma: that the walls built to protect have become tools in the hands of those who threaten the safety of citizens around the globe.
In short, INTERPOL exists to connect police in order to prevent and fight crime. It exists to make sure that the national police forces of its member countries can mitigate and address criminal threats to their citizens’ security effectively by working with other foreign national police forces.
There is no INTERPOL supranational police force operating across the globe. Each national force cooperating through INTERPOL maintains sole jurisdiction over criminal matters in its territory. In even simpler terms, INTERPOL does not enforce; it facilitates enforcement by legitimate authorities in their respective sovereign states.

Serving Members: National Sovereignty and Human Rights First
As an organization created to serve its members, INTERPOL finds its natural limits in the national sovereignty of each of them. At the same time, its activities must respect human rights. Both imperatives are explicitly delineated in the organization’s constitution.
The recognized added value of INTERPOL rests on its capacity to connect police from countries that may not enjoy diplomatic relations—a circumstance that is frequently exploited by fugitives. To make this connection possible, specific safeguards are built into the INTERPOL system to encourage member countries to trust the organization’s impartiality. INTERPOL’s effectiveness in helping national police forces against international crime can only be as solid as that confidence.
For this reason, INTERPOL’s constitution strictly forbids “the organization to undertake any intervention or activities of a political, military, religious, or racial character.”3
If these elements were to be identified in a request from any one of the organization’s 188 member countries, no action would be taken by INTERPOL.
Moreover, specific restrictions on the use of INTERPOL databases allow any member country to choose the countries with which it would like to share information. And any information made available to other member countries remains under the exclusive ownership of the contributor. INTERPOL does not assume ownership of such records or data, which can be withdrawn from databases at any moment by their rightful owner.
Additional safeguards concern international wanted status alerts, or Red Notices. First and foremost, national arrest warrants are required for their issuance. Second, it is within the discretion of a member country to decide whether to act upon a particular Red Notice, depending on its national legislation and international obligations vis-à-vis the requesting country. As in all other INTERPOL activities, respect of each country’s sovereignty is paramount.
What emerges from this system is clear: INTERPOL cannot infringe upon the sovereignty of any of the organization’s member countries. It is up to each country to determine when and how to call upon INTERPOL for support or whether to comply with another member country’s request for assistance. This is central to INTERPOL’s mandate.


INTERPOL Structure, Tools, and Services
INTERPOL’s general secretariat headquarters are located in Lyon, France, and comprise more than 500 staff, including police officers from member police forces and more than 90 different nationalities. The organization also has seven regional offices in Argentina, Cameroon, Ivory Coast, El Salvador, Kenya, Thailand, and Zimbabwe and representative offices at the United Nations in New York and at the European Union in Brussels, Belgium.
Yet, INTERPOL’s global structure is also designed around a simple but key reality: Although crime has become transnational, there is no single, universal transnational crime model.
Organized crime syndicates or terrorist cells originate from and embed themselves in local environments with distinctive features and modus operandi familiar only to those in local law enforcement operating in the field.
This unique local knowledge and experience are powerful tools that need to be exploited and shared across borders to become global tools against crime in all its forms. For this reason, INTERPOL’s backbone is its global network of National Central Bureaus (NCBs), staffed by highly trained law enforcement officers and operating strictly under the authority of each member country.
An NCB is the designated contact point for the general secretariat, the regional offices, and other member countries requiring assistance. At the same time, it is the fundamental node of the INTERPOL network, allowing the system to operate on a daily basis and its services to be tailored to the needs of frontline law enforcement.
In the United States, the National Central Bureau in Washington, D.C. (INTERPOL Washington), serves as the statutory representative to INTERPOL on behalf of the attorney general and as the official U.S. point of contact for international investigative cooperation among INTERPOL’s 188 member countries and the more than 18,000 federal, state, local, and tribal law enforcement agencies in the United States.
INTERPOL Washington is comanaged by the U.S. Department of Justice (DOJ) and the U.S. Department of Homeland Security and is staffed by approximately 42 sworn law enforcement and analytical personnel detailed from 24 federal, state, and local law enforcement agencies, along with 77 full-time DOJ employees. Its personnel operate in divisions dedicated to specific investigative areas, including Alien and Fugitive, Economic Crimes, Drugs, Terrorism and Violent Crimes, and Human Trafficking and Child Protection. In addition to its investigative divisions, INTERPOL Washington maintains its State and Local Liaison Division and its 24/7 Operations and Command Center, which support its domestic and international outreach and information sharing efforts, as well as the Office of General Counsel for review of related legal matters.
INTERPOL Washington therefore acts as the key fulcrum in the daily interaction among the United States, INTERPOL’s member countries, and its general secretariat in Lyon, France.

Agencies Detailing Law Enforcement and
Analytical Personnel to INTERPOL Washington
  • Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms, and Explosives
  • Department of Defense/U.S. Marine Corps
  • Department of Justice/Criminal Division
  • Drug Enforcement Administration
  • Environmental Protection Agency
  • Federal Bureau of Investigation
  • Food and Drug Administration
  • Health and Human Services/Office of Inspector General
  • Internal Revenue Service
  • National Oceanic and Atmospheric Administration
  • New York City Police Department
  • U.S. Office of Personnel Management
  • Pinellas County, Florida, Sheriff’s Office
  • U.S. Capitol Police
  • U.S. Citizenship and Immigration Service
  • U.S. Coast Guard
  • U.S. Customs and Border Protection
  • U.S. Department of State
  • U.S. Fish and Wildlife Service
  • U.S. Immigration and Customs Enforcement
  • U.S. Marshals Service
  • U.S. Postal Inspection Service
  • U.S. Secret Service
  • Virginia Polytechnic Institute and State University
For more information, visit http://www.justice.gov/usncb.
Secure Global Communication Network
Effective communication is essential for successful law enforcement. Information needs to be shared securely and rapidly in order to preserve life, capture fugitives, and prevent crime.
As the world’s largest police organization, INTERPOL has made this principle a pillar of its own operational model since its creation by ensuring transmission of police intelligence and the issue of color-coded alerts (or INTERPOL Notices) among its member countriesand their police forces.4
To be effective, communication must be rapid. For this reason, following a major upgrade in its infrastructure in 2003, INTERPOL became the first police organization to employ Internet technology to securely and rapidly exchange police information.
Today, its secure I-24/7 (INTERPOL 24 hours a day, 7 days a week) global police communications system connects, in real time, all 188 INTERPOL member countries. Requests for assistance can be received and forwarded by the general secretariat to the entire membership or to selected members in seconds, ensuring maximum operational effectiveness.
In the year 2000, before the system had been put in place, about three million messages were exchanged every year globally via INTERPOL. In 2010, more than 14 million such messages were exchanged. Prior to the current system, notices were sent by regular mail around the world and could take months to arrive. Today, these notices are issued and distributed globally within a few hours and in all four official languages of the organization—Arabic, English, French, and Spanish.
In addition, specifically designed solutions now allow users deployed to the front lines beyond NCBs worldwide to access INTERPOL’s network and, thus, global police information. This translates into a global pool of authorized users numbering more than 23,000 in 2011 and prompt intelligence-led action by law enforcement in the field.
For example, consider the case of a Canadian national wanted in France for rape and sexual offenses against children. While leaving the Caribbean following a vacation, he was recognized by local police officers from his description in an INTERPOL notice but managed to flee upon questioning.
During his three-hour flight from Barbados to Miami, Florida, on his way to Canada, his status changed from fugitive to future detainee, thanks to rapid and effective communication via INTERPOL. Close coordination between the NCBs in Barbados, France, and the United States ensured that U.S. authorities were notified of his movements and that he was arrested by CBP agents as soon as he set foot in Miami International Airport. This demonstrates international police cooperation at its best.

Constant Support to Policing and Law Enforcement
INTERPOL is often requested to assist member countries in coordinating enforcement actions, establishing contact with foreign counterparts, or providing specialized expertise from its general secretariat or other member countries.
To respond around the clock via a single point of contact to member countries’ requests and promptly act to meet their needs, the organization created its 24/7 Command and Coordination Center (CCC) in the aftermath of 9/11, when it was clear that the nature of modern international crime did not allow for the previous nine-to-five approach from INTERPOL.
Since 2002, INTERPOL’s CCC in Lyon ensures every day that members’ requests and potential hits on INTERPOL’s databases receive appropriate and timely follow-up. Where necessary, INTERPOL notices and alerts are created and circulated globally based on information submitted by member countries.
An example of such assistance in the field is the successful location and arrest in June 2010 of Joran van der Sloot, a Dutch national allegedly involved in the murder of a 21-year-old woman in Peru.
With the suspect’s location unknown, Peru authorities contacted INTERPOL’s CCC to alert the international law enforcement community of his status. The CCC then immediately contacted neighboring countries (Chile, in particular, based on intelligence received); the Netherlands (to run a check on the suspect’s background); and the United States (because of possible extortion charges linked to a 2005 missing person case).
Thanks to such coordination, the suspect was located in the coastal town of Vina del Mar, Chile, less than a week after his disappearance, and was deported back to Peru.
Another case highlighting the need for prompt cross-border coordination and intelligence exchange occurred in 2009. In this instance, Abu Dhabi, United Arab Emirates, requested INTERPOL’s assistance following the theft of gold worth $2 million from Dubai, United Arab Emirates, International Airport. With intelligence indicating that three suspects were already on route to Hong Kong and two others were fleeing to an unknown destination, prompt action was essential to ensure a successful outcome of the case.
Coordination between NCB Abu Dhabi; NCB Doha, Qatar; and NCB Hong Kong while the suspects were still airborne allowed the suspects to be identified and arrested upon landing in Hong Kong, leading to their deportation back to Dubai. In parallel, following a global alert sent by the CCC, NCB London located the two other suspects in London who were en route to Italy, where they were arrested.
Finally, authorities in Dubai indicated that the stolen gold had been shipped to New York from Dubai via the shipping company DHL. By immediately informing INTERPOL Washington, U.S. authorities in New York City seized one of the two packages sent from Dubai.
This single case, which unfolded over only four days, brought together police services across three continents.

An officer with the INTERPOL Major Events Support Team during the 2010 FIFA World Cup South Africa verifies passport data against the INTERPOL Stolen and Lost Travel Documents database.
Highly Specialized Support
In some cases, however, member countries’ needs go beyond remote operational assistance. In these instances, and strictly at the request of member countries, specifically assembled INTERPOL teams are deployed on the ground to support police with highly specialized expertise ranging from investigative and analytical support to disaster victim identification capabilities.
Such assistance is typically provided in the aftermath of major incidents or natural disasters (in these cases, from Incident Response Teams [IRTs]); or in the preparation and implementation of security measures for major international events (in these cases, INTERPOL Major Event Support Teams [IMESTs]). To date, INTERPOL has deployed more than 100 IRTs or IMESTs globally, starting in October 2002 in the aftermath of the terrorist attack in Bali, Indonesia.
The 2010 FIFA World Cup South Africa saw the largest IMEST ever deployed by INTERPOL, at which 50 officers from 32 countries were posted at all airports and border crossings across the country and deployed to hotels at match venues to assist in conducting instant checks against INTERPOL’s databases. More than 600,000 checks were carried out, resulting in nearly 100 hits. IMEST support was also provided to a local police investigation into a suspected fraudulent passport production factory in the capital, leading to the arrest of 21 individuals for distributing counterfeit documents.
These are just a few examples of how around-the-clock assistance—whether remotely via technology or in the physical location of the incident—can be provided by INTERPOL to police around the world. The objective remains the same: mobilizing international resources and expertise to ensure successful law enforcement.

Assistance in Identifying Crimes and Criminals
Borders can act as invaluable opportunities in the hands of criminals. However, they can also be turned into effective weapons for law enforcement when the right piece of intelligence is shared internationally and is accessed by the right officer, at the right time and place.
To achieve this, INTERPOL also acts as a neutral repository of information voluntarily shared among member countries. Its specialized databases contain a wealth of police data that can be accessed by NCBs and other authorized users across the globe so that suspects can be promptly identified and key links between cross-border criminal cases can be established. In short, INTERPOL allows critical law enforcement decisions to be made.
In 2010 alone, more than 42,000 hits were recorded throughout the world following checks against INTERPOL's Stolen and Lost Travel Documents database, which currently contains more than 26 million entries.

INTERPOL’s databases currently contain close to 34 million police records shared within its membership, including stolen and lost travel documents, nominal records, stolen motor vehicles, stolen works of art, fingerprints, DNA profiles, and child sexual exploitation images.
In 2010 alone, approximately 1.7 million checks were conducted, on average, every day against INTERPOL databases. The results were more than 216,000 positive hits worldwide, leading to criminal cases solved, illegal entries into countries prevented, and fugitives apprehended.
The potential is huge. In late January 2010, INTERPOL’s SLTD database helped officers to prevent several passengers in transit towards the United States from entering via Trinidad and Tobago. Checks against global police data revealed that the Swedish passports the passengers were holding had been stolen. In addition, the leader of the group was found to be a fugitive wanted by Dutch police on human trafficking charges and was successfully extradited to the Netherlands.
The same week, records contained in INTERPOL’s global DNA profile database established a link between a 2009 rape case in Salzburg, Austria, and a series of sexual assaults in California in 2004. The response from checks conducted by U.S. authorities five years later was clear: the same individual—an Afghan national arrested in Austria—was the single perpetrator of all those assaults.
Yet there are cases where police data and skilled investigation techniques may not suffice to bring a case to a successful conclusion. The immediate danger that the perpetrator of a heinous crime may reoffend may demand that intelligence be gathered both from law enforcement and the general public.
In several such cases, INTERPOL has been able to successfully combine intelligence in its databases and tips from the public so that dangerous individuals are arrested.
INTERPOL’s Operation Vico is probably the best example. In 2007, images of child sexual abuse by one man were found on the Internet. No further information that could identify him was available. 5 After the material was included in INTERPOL’s databases and all law enforcement avenues were exhausted, a public appeal was launched in a bid to identify the individual. Within 10 days, the subject was identified; located in Thailand (where he had fled from South Korea); and eventually arrested. He is currently serving a six-year sentence in Bangkok, Thailand.
The following year, a similar case involving an unknown man pictured in a series of child abuse images was solved with the same approach. Within 48 hours, three credible tips from the public led to the identification, the location, and the arrest of the suspect—a U.S. citizen from New Jersey—by special agents from U.S. Immigration and Customs Enforcement. The man pleaded guilty and received a 20-year sentence. His arrest also led to the capture of two other sexual abusers and the organizer of their trips to Asia.

Capacity Building
When crime expands beyond national and regional borders, gaps in police capacity might accommodate criminals seeking safe havens. By working through capacity-building initiatives, INTERPOL seeks to bridge the gap between national policing capacity and international policing requirements.
In today’s world, international policing capacity is based on two elements: (1) access to proper policing tools and infrastructure and (2) the development of the skills necessary to maximize value from those instruments.
Policing infrastructure development must follow the enforcement priorities of the recipient country or agency and the nature of the criminal offence. INTERPOL projects are therefore tailored to these needs in order to maximize effectiveness on the ground. This was the case, for example, with the extension of the I-24/7 communication network to the port of Mombasa, Kenya, in order to foster international intelligence sharing within multilateral efforts against maritime piracy.
INTERPOL’s training activities follow a similar approach. In 2010, 141 police training sessions were delivered by INTERPOL, benefiting 4,200 participants representing more than 160 countries. Best practices and state-of-the-art techniques in specific crime areas are identified among INTERPOL’s membership and are shared with member countries.
The long-term benefits of training can be seen only on the ground. For this reason, INTERPOL often implements integrated capacity-building projects combining skills development through training and their application into operations on the ground.
Operations Bia and Cascades are such examples, conducted in Africa (Ivory Coast and Burkina Faso, respectively) in 2009 and 2010, leading to the rescue of more than 150 children who were the victims of human trafficking for forced labor purposes.6 In these and several other operations (ranging from wildlife crime to anticounterfeit raids), INTERPOL played a key support role in the planning phase and in the training the officers received before their deployment.
INTERPOL’s Operation Cascades took place in Burkina Faso in October 2010 and led to the rescue of more than 100 suspected child trafficking victims, many of whom had been forced to work in illegally operated gold mining quarries in the Cascades region.
The Future: Challenges Ahead
The combination of INTERPOL’s strategic priorities, as described and implemented on a daily basis by the organization, aims to provide holistic support to member countries and leverage the unique experience of their respective national police forces against international crime.
Those skills will be dearly needed as law enforcement continues in the twenty-first century. Cross-border crime has traditionally been linked with the search for anonymity and wider reach by criminals around the globe. At the beginning of INTERPOL’s history, this was reflected by the increasing opportunities for physical mobility by criminals at a time when accessible and fast international travel was about to boom. Today, those imperatives are even stronger and more relevant, with global air travel alone expected to increase to 3.3 billion passengers over the next three years.7
But during the past few decades, a similar if not greater revolution has shaken the landscape of international law enforcement. With the widespread proliferation of access to the Internet, virtual mobility has become a new weapon available to criminals.
Victims and perpetrators are increasingly distributed across different continents. Geographical distance is playing an increasingly marginal role in the success of criminal endeavors across all crime types. Cyberspace offers new opportunities to swindle, steal, and abuse without displacement, often in total anonymity.
With the Internet global population estimated to exceed two billion,8 the proliferation of mobile terminals connected to the Internet is also opening the door to a very dangerous overlap between physical and virtual anonymity. An effective response from law enforcement to such a challenge, both nationally and internationally, is more than urgent.
What is needed is for innovation to become an opportunity for police. To do so, INTERPOL is currently undergoing a thorough reorganization of its structure and activities. A new global facility—the INTERPOL Global Complex—will be operational in Singapore starting in 2014, allowing the organization to take its next evolutionary step based around three principles.
First, the facility will allow greater operational reach, with a dedicated CCC component that together with Lyon and Buenos Aires, Argentina, will see INTERPOL’s 24/7 assistance activities accommodate different time zones. Second, it will see new activities focused on the research and development of new policing solutions and digital security, in partnership with the private sector. Finally, it will host INTERPOL’s new dedicated capacity-building pillar, closely connected to the organization’s research and development activities.
Taking these steps will allow INTERPOL and all of its member countries to more effectively face tomorrow’s challenges in the real world and to protect the citizens its members all serve. ■

Notes:
1“Passenger Traffic for Past 12 Months, 12 Months Ending December 2010,” Airports Council International, http://www.aci.aero/cda/aci_common/display/main/aci_content07_c.jsp?zn=aci&cp=1-5-212-218-224_666_2__ (accessed April 12, 2011).
2Kelly Yamanouchi, “Hartsfield-Jackson No. 6 for International Passenger Traffic,” Atlanta Journal-Constitution, March 22, 2011, http://www.ajc.com/business/hartsfield-jackson-no-6-881880.html (accessed April 12, 2011).
3INTERPOL Const. art. III, http://www.interpol.int/Public/ICPO/LegalMaterials/constitution/constitutionGenReg/constitution.asp#gp, (accessed April 13, 2011).
4These notifications are categorized through a color code corresponding to their content. For example, the most well-known is the Red Notice, an international request for the provisional arrest of an individual. For a full list and explanation of notices, please see http://www.interpol.int/public/Notices/default.asp (accessed April 12, 2011).
5INTERPOL, “INTERPOL Seeks Public’s Help to Identify Man Photographed Sexually Abusing Children: Operation Vico,” press release, October 8, 2007,http://www.interpol.int/Public/ICPO/PressReleases/PR2007/PR200745.asp (accessed April 13, 2011).
6INTERPOL, “Burkina Faso Police Rescue More Than 100 Child Trafficking Victims during INTERPOL-Supported Operation,” press release, November 5, 2010,http://www.interpol.int/Public/ICPO/PressReleases/PR2010/PR090.asp (accessed April 13, 2011).
7“IATA Forecasts 3.3 Billion Pax by 2014; Shift Eastward with 1 Billion Expected in Asia,” Centre for Asia Pacific Aviation, February 15, 2011, http://www.centreforaviation.com/news/2011/02/15/iata-forecasts-33-billion-pax-by-2014-growth-shifts-eastward-with-1-billion-pax-expected-in-asia/page1 (accessed April 12, 2011).
8“ITU Statistics, Global Numbers of Internet Users, Total and Per 100 Inhabitants, 2000–2010,” International Telecommunication Union, http://www.itu.int/ITU-D/ict/statistics/material/excel/2010/Internet_users_00-10_2.xls (accessed April 12, 2011).

M. Khoirul Amin Biografi : Pencipta CIS Polda Jatim Dan Solusikamu.com

M. Khoirul Amin Biografi : Pencipta CIS Polda Jatim Dan Solusikamu.com


2014-06-27 01-01-57 5897718bth-79053528-668x668
M. Khoirul Amin SH. S.kom M.Kom
CEO Of Solusikamu.com ” Saya memang Kadang berjalan dengan lambat..Tapi saya tidak Pernah Mundur ”
Solusikamu.com adalah salah satu media dan portal berita yang berisi tentang berbagai macam berita dan artikel solusi atas permasalahan anda. Apapun permasalahan anda, Solusikamu.com akan siap membantu menemukan solusinya. kami tumbuh dari kalangan bawah dan untuk semua kalangan yang ada.. portal ini sengaja dibangun memang untuk berbagi artikel dan pengalaman melalui online… terima kasih atas dukungan semua tim sehingga website solusikamu.com bisa online dan semoga tetap online sampe kapanpun 
Nama : M. Khoirul Amin
Tgl Lahir : 8 Juni 1977
Zodiak : Gemini
Shio : Ular
Bapak Asuh : Irjen Pol Herman S. Sumawiredja
Kakak Asuh : Kombespol Dwi Setyadi, Kombespol M. Iqbal, Kombespol Nasri,  Rudy Wibisono SH. (ITATS ) , AKBP. Chikko Ardwiatto
AKBP. Anwar S.ik , AKBP Daddy Hartadi S.ik , Kompol Bremi S.Ik
Hoby : Bantuin teman hehehe…
BIOGRAFI Ceo Of  Solusikamu.com
  • Leader of Cybernet Teamwork Stikom 1997
  • Ketua Umum LP3i Computer Club Indonesia 1998
  • Ketua Umum Independent Enterprise  – 1999
  • Dosen dan Tim Pengajar pengembangan profesi LP3i  2000
  • Ceo Of 1st Comp ( your system solution ) 2000
  • Tim anggota Pencipta FBI ( Forum belajar Informatika Unitomo ) 2001
  • CEO Of 1st Comp ” your system solution” 2001
  • Manager E.D.P  PT.Buana Elang emas komunikasi – 2002
  • Senior Enginering JTV    – 2003
  • Ketua Tim System Analyst Yayasan Galuh Handayani  2004
  • Pencipta Crime Investigation System Polda Jatim 2006
  • Ketua Tim Cyber Force Polda Jatim 2006
  • Pencipta Sistem Pengawasan Penyidikan Polda Jatim 2007
  • Pencipta Traffic Accident Investigation System Polda jatim 2007
  • Pencipta Traffic Monitoring Aanalyst Polda Jabar 2008
  • MovieBox Rent 1st Disc 2008
  • Pencipta Finger Print Crime Recognition Poltabes surabaya 2010
  • pencipta E-Library Crime Arsip  Ditreskrimum Polda Jatim 2009
  • Pencipta Crime Geografis information system poltabes sby 2010
  • Pencipta SICK ( Sistem Informasi Catatan Kriminal ) 2011
  • pencipta DACAK ( data catatan kriminal )Polda Kalbar  2011
  • Pencipta Sispam kota Polres metro Jakut 2012
  • Ketua Tim Pengawas Kecurangan Pilkada Jatim 2013
  • Direktur PT. Gading Bahana Medinfo 2013
  • Komisaris Gading FM Radio Gaul Community Kelapa Gading Jakarta 2013
  • Ceo Of CIS-AV ( Antivirus Lokal ) 2013
  • Pencipta Sispamlu Polda Metro Jaya 2014
  • Pencipta Crime Index System Analyst Polres Metro Jakut 2014
  • Kepala Departemen dan pengawas Sistem Informasi Teknologi Universitas Itats Surabaya




1380699_1378952765676943_244110447_n 484208_574373779248398_1756008461_n1209187_654161731269602_1834940819_n 540677_1380346338870919_723907135_n1381735_1380341408871412_1460212499_n 1001839_616227145063061_608247986_n1395150_1385771658328387_1771435428_n IMG_19272014-06-09 16-33-18 6bed760f 2014-06-10 19-44-24 8e15c27f 1377396_1380345155537704_719830831_n 2014-06-24 22-30-23 3a5948162014-06-25 20-12-52 fbdd6a35 IMG_20140517_130043 IMG_1553