Saturday, 13 February 2016

Pakar Hukum : “Legitimasi Penyidikan dan Sirkus Hukum Kasus Novel Baswedan”


Ramainya pemberitan tentang rencana mendeponering kasus hukum Novel Baswedan, Mengusik beberapa pakar hukum di daerah untuk mengemukakan pendapat hukum nya, adalah ; Dr. Jawade Hafizh, Dekan Fakultas Hukum Unissula Semarang dan dan Dr. Aulia, SH, Mhum, dosen senior hukum acara pidana Universitas Pekalongan sepakat bahwa
bahwa kita percaya adanya Tuhan, tapi dengan mudah
melupakannya. Kita ini menganggap negara hukum,
namun tidak konsekuen dalam melaksanakannya….
 berikut pendapat pakar hukum ketika di diwawancari oleh AKP Herie Purwanto. Wawancara dilaksanakan di Kampus Unissula Semarang, Rabu10/02/2016 dan Universitas Pekalongan, Kamis 11/02/2016 dengan tujuan untuk menggali bagaimana pendapat tentang legitimasi proses penyidikan Kasus Novel Baswerdan, yang hingga minggu-minggu ini masih menjadi trending topik.
Posisi kasus Novel Baswedan, sudah P-21 dan sekarang dalam kewenangan Jaksa Penuntut
Umum untuk dilakukan penuntutan. Namun, ada desakan dari beberapa pihak, termasuk dari eksekutif,
agar perkara tersebut dihentikan. Bahkan, terkini muncul wacana ada barter, Novel Baswedan
dikeluarkan dari KPK dan kasusnya berhenti.
Bagaimana dua pakar hukum ini berpendapat? Dr. Jawade, pakar hukum administrasi negara,
lulusan Program Doktor Ilmu Hukum Undip tahun 2014 ini memberikan pendapatnya, bahwa proses
hukum yang dijalani oleh Novel Baswedan melalui tahap penyelidikan kemudian penyidikan. Penyidik
Bareskrim melimpahkan Berkas Acara Pemeriksaan ke JPU dan oleh JPU dilakukan penelitian secara
formil dan materiil.
Berdasar latar belakang keilmuan di bidang administrasi negara, Dekan Fakultas Hukum
Unissula, yang sering menjadi narasumber di berbagai acara talkshow tentang hukum di radio maupun
TV lokal ini menekankan sudut pandangnya lebih kepada prosesnya, bukan secara materiil atau
unsurnya. Sehingga, disebutkan karena proses penyidikan juga sudah diuji melalui pra peradilan yang
diajukan pihak Novel Baswedan, tahun 2015 yang lalu dan gugatannya ditolak oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, maka tidak perlu diragukan lagi tentang legitimasi proses penyidikannya.
Legitimasi bagi proses penyidikan tersebut, juga telah mematahkan asumsi atau persepsi
sementara pihak yang menganggap Bareskrim Mabes Polri telah mengkriminalisasikan Novel
Baswedan
Pada sisi lain, adanya keinginan dari Presiden agar perkara Novel Baswedan dihentikan, menurut Dr. Jawade, perlu dilihat dalam konteks apa keinginan Presiden tersebut. Sebab, di Indonesia Presidenmempunyai dua fungsi, yaitu sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Dalam kapasitas sebagai kepala Negara kewenangan kaitannya dengan hukum adalah bisa untuk memberikan amnesti,abolisi dan rehabilitasi. Ketiga hak Presiden ini bisa diberikan ketika seseorang sudah menjalani proseshukum, karena tujuannya adalah untuk memaafkan, mengurangi hukuman dan mengembalikan namabaik seseorang.Sedangkan pada perkara Novel, sidang di pengadilanpun belum dimulai, sehingga pada kontekskewenangan sebagai Kepala Negara ini menjadi tidak relevan. Sedangkan harapan Presiden sebagai Kepala Pemerintah, agar kasus dihentikan, perlu dijelaskan kepada publik apa dan mengapa hal tersebut harus dilakukan, sebab apabila tidak ada kejelasan, maka akan menjadi preseden buruk bagi prosespenegakan hukum di Indonesia.
Demikian halnya apabila kasus dihentikan dengan mendasari kewenangan Kejaksaan, yaitukewenangan deponering, tidak serta merta bisa dilaksanakan. Alasan demi kepentingan umum, ataupundengan menggunakan dasar pasal 144 KUHAP, tetap harus berdasarkan pada logika hukum. Bukan karena atas intervensi dari pihak manapun.
Sementaraitu,Dr, AuliaSH,Mhumberpendapatbahwafenomenamasyarakatsekarangdalammemandang kasus Novel Baswedan ibarat sedang “ sakit rindu”, semacam kerinduan pada pimpinanyang adil dan hukum yang adil pula. Hal ini ditandai dengan gerakan melalui media sosial dalam menyuarakan masalah keadilan ini. Pada titik tertentu, masyarakat mempunyai persepsi atau prasangka tertentu terhadap sebuah permasalahan.Sentilan yang ditujukan bagi Criminal Justice System kita adalah, siapa yang menjadi kapten diantara Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, Hakim, Lembaga Pemasyarakat dan Penasihat Hukum?Masing-masing masih cenderung instansi sentris. Paradigma instansi sentris lebih didasarkan padakerangka parsial, belum secara substansi menggerakan hukum dalam sebuah proses yang komprehensip dan integral.Doktor yang mengajar mata kuliah hukum acara pidana pada Fakultas Hukum Universitas Pekalongan ini, lulus S-3 Universitas Brawijaya. Lebih lanjut, seperti melempar pertanyaan :Sebenarnya yang terjadi saat ini, penggunaan hukum atau penegakan hukum? Penegakan hukum jelas,tujuannya tidak lepas dari 3 aspek, yaitu kemanfaatan, kepastian dan keadilan. Namun, yang dirasa oleh masyarakat, sekarang lebih cenderung pada penggunaan hukum. Artinya, hukum dikaitkan dengan kepentingan, sehingga tujuan hukum itu sendiri menjadi bias.Yang ada justru kepentingan tadi. Hukum seolah digerakkan sesuai dengan political will atau kemauan politik penguasa pada saat tertentu.Dalam praktiknya, hukum acara kita bisa diibaratkan sebagai pemain sirkus. Ketika melihatsirkus, yang terjadi adalah masing-masing pemain berusaha menunjukan keahliannya agar dapatmenarik perhatian penontonnya.Dengan menggunakan bahasa kias, Aulia mengandaikan pula, bahwa kita percaya adanya Tuhan,tapi dengan mudah melupakannya. Kita ini menganggap negara hukum, namun tidak konsekuen dalammelaksanakannya. Sehingga yang terjadi yang seperti sekarang ini, kasus Novel Baswedan sepertibelum ada kejelasan, padahal proses penyidikannya sudah on the track.

Korean Penganiaya dan Yang Di lakukan Oleh Novel Baswedan Temui Ketua KPK



Kuasa hukum korban penganiayaan Novel Baswedan, Yuliswan (Dinda Chairina/Kriminalitas.com)
Kuasa hukum korban penganiayaan Novel Baswedan, Yuliswan
Erwansyah Siregar dan Dedi Muryadi, korban penganiayaan Novel Baswedan menyambangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keduanya datang dengan didampingi kuasa hukumnya, Yuliswan untuk bertemu Ketua KPK.
“Kami ingin menyampaikan kepada pihak KPK bahwa ini tindak pidana murni saat Novel menjalankan tugas (sebagai Kasat Reksrim Polres Bengkulu) bukan dalam rangka tugas di KPK,” ujar Yuliswan saat tiba di Gedung KPK, Jumat (12/2).
Jadi, menurut Yuliswan, kliennya ingin bertemu Ketua KPK Agus Rahardjo agar lembaga antirasuah ini tidak hanya mendengarkan keterangan sepihak dari penasihat hukum Novel Baswedan.
“Kalau saya selaku kuasa hukum korban ingin menyampaikan permasalahan yang sebenarnya terjadi, jadi jangan sampai KPK hanya menggunakan keterangan sepihak saja,” imbuhnya.
Korban, lanjut Yuliswan, akan menyerahkan surat-surat yang ditulis tangan oleh yang bersangkutan untuk menyerahkan bukti kasus yang melibatkan penyidik senior KPK itu.
Kendati demikian, Yuliswan enggan merinci surat-surat apa yang dimaksud.
“Intinya kami minta penegakan hukum yang benar dan tidak ada campur tangan dari pihak lain, karena negara kita adalah negara hukum (rechtsstaat),” pungkasnya.
Kasus ini berawal saat korban yang merupakan tersangka pencuri burung walet diduga dianiaya oleh Novel. Korban sekaligus tersangka ditembak di bagian kakinya.
Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus ini sempat dihentikan. Namun, kembali dibuka usai KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka atas dugaan menerima hadiah atau janji saat menjabat sebagai Kabiro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia periode 2003-2006 di Mabes Polri.

Analisis Hukum Kasus Novel Baswedan: Semua Sama di Depan Hukum



Marwan-Mas

Oleh: Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

Salah satu perkara tindak pidana yang saat ini mendapat perhatian publik, adalah adanya rencana Kejaksaan Agung men-deponeer perkara dengan tersangka Novel Baswedan (penyidik KPK) karena desakan sejumlah kalangan dalam masyarakat. 
Perkara itu sebenarnya sudah tuntas “penyidikannya” oleh Bareskrim Polri dan berkas perkara penyidikan (BAP) sudah dilimpahkan ke Penuntut Umum karena dianggap P21. Bahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah menyerahkan perkara itu untuk diperiksa di Pengadilan Negeri Bengkulu.

Memang, kasus ini mendapat perhatian publik, tetapi setelah JPU menyerahkan perkara ke pengadilan dan jadwal persidang juga sudah ditetapkan, tiba-tiba ada berita di media massa menyebutkan bahwa “Surat Dakwaan” yang telah dibuat JPU ditarik kembali oleh pihak Kejaksaan.
Sebetulnya persoalan penyidikan sudah selesai, sehingga secara hukum (hukum acara atau hukum formil) tugas dan tanggung jawab penyidik kepolisian dalam melakukan penegakan hukum sudah selesai. Semua proses dan tahap penyelidikan dan penyidikan dianggap lengkap oleh JPU.
Jika kemudian ada rencana perkara itu akan dihentikan atau dideponeering oleh kejaksaan, hal itu bukan lagi tanggung jawab penyidik kepolisian. Tetapi perlu melihat dasar hukum penghentian atau deponeering suatu perkara oleh kejaksaan.
Deponeering merupakan “kewenangan khusus” bagi Jaksa Agung yang diberikan dalam Pasal 35 huruf-c UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), bahwa: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyenyampingkan perkara demi kepentingan umum”.

Ukuran suatu perkara dideponir oleh Jaksa Agung sesuai Penjelasan Pasal 35 huruf-c UU Kejaksaan, adalah “untuk kepentingan bangsa dan negara daan/atau kepentingan masyarakat luas”. Artinya, mengenyampingkan perkara merupakan pelaksanaan dari “asas oportunitas’, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memerhatikan “saran dan pendapat” dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan perkara tersebut.
Badan-badan kekuasaan atau lembaga negara yang terkait dengan perkara itu, antara lain Polri selaku penyidik, Mahkamah Agung, dan DPR selaku representase rakyat.
Namun, yang perlu dipertanyakan, apakah “makna kepentingan umum dan/atau kepentingan masyarakat luas” sudah terpenuhi?
Apakah kalau perkara itu diproses di pengadilan akan membuat kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas “akan terganggu” dan penyeleggaraan negara ikut terganggu?
Tentu bisa saja ada yang memprediksi akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat kalau dilanjutkan pemeriksaannya di pengadilan. Tetapi pada sisi lain ada yang diabaikan, yaitu “persamaan di depan hukum” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Kata “tidak ada kecualinya” bisa ditafsirkan bahwa siapapun yang melanggar hukum harus diproses, apalagi sudah melalui penyelidikan dan penyidikan dan sudah dinyatakan lengkap oleh JPU, sehingga seharusnya dilanjutkan pemeriksaannya di pengadilan.
Biar pengadilan yang memutuskan apakah dakwaan JPU terbukti atau tidak terbukti sehingga terdakwa dibebaskan. Ini yang disebut memenuhi “kepastian hukum” sebagai salah satu tujuan hukum, selain “keadilan dan kemanfaatan masyarakat”. Tujuan hukum melalui “kepastian hukum” pada hakikatnya sudah dijalankan oleh penyidik Polri, sehingga idealnya diserahkan ke pengadilan untuk menilai apakah terdakwa bersalah atau tidak.
Men-deeponir perkara tersangka Novel Baswedan secara empiris (realitas) sebetulnya belum sepenuhnya menyentuh pada kerugian “kepentingan umum dan/atau merugikan kepentingan masyarakat”. Apalagi kasus itu terkait dengan individu seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Namun, karena ada Kewenangan Khusus Jaksa Agung melakukan deponeering, maka biar Jaksa Agung yang menilai dan menentukan “makna kepentingan umum dan/atau kepentingan masyarakat luas” seperi dimaksud dalam Pasal 35 huruf-c UU kejaksaan.

Penyidik Polri tidak bisa lagi disalahkan, apalagi mengaitkannya bahwa penyidik melakukan “kriminalisasi” terhadap Novel Baswedan. Sebab kriminalisasi itu dianggap telah terjadi, jika seseorang diproses hukum “tanpa ada fakta kasus, tidak cukup alat bukti penetapan tersangka, dan BAP tidak diterima JPU”.
Apalagi tersangka Novel Baswedan sudah melakukan “praperadilan” atas penetapannya sebagai tersangka, tetapi pengadilan menolaknya dan menyatakan bahwa penetapan tersangka Novel Baswedan telah menenuhi ketentuan KUHAP.

Untuk menjawab pertanyaan yang berkembang, apakah penanganan kasus tersangka Novel Baswedan yang akan dideponir oleh Jaksa Agung bisa diterima? Jawabnya, memang bisa saja dilakukan Jaksa Agung sebagai kewenangan khusus, tetapi harus tetap mengkaji dan menafsirkan syarat pemberian deponeering dalam Pasal 35 huruf-c UU Kejaksaan bahwa harus “demi kepentingan umum” dan/atau kepentingan masyarakat.
Tetapi yang pasti, penyidik Polri sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam melakukan penyidikan. Hal itu dibuktikan dengan “diterimanya BAP oleh JPU karena dinilai sudah lengkap (P21)”.

Begitu pula pertanyaan tentang “persamaan setiap orang di dalam hukum”, yang sebetulnya secara konstitusional sudah ditagaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Kita tidak ingin ada sorotan dalam masyarakat bahwa dalam penegakan hukum terjadi diskriminasi, karena hanya orang kecil yang diproses, sedangkan orang yang punya kekusaan diabaikan. Polri telah memaknai sorotan publik selama ini, bahwa “hukum selama ini tumpul ke bawah, tetapi tajam ke atas”.

Penyidik Polri dalam kasus Novel Baswedan selaku salah satu penyidik KPK tidak ingin dikecam oleh publik gara-gara melanggar konstitusional persamaan setiap orang di dalam hukum yang diatur Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Biar masyarakat yang menilai bagaimana integritas penyidik Polri, bahkan Polri secara institusi dalam menyikapi persoalan itu.
Apakah Jaksa Agung akan mengeluarkan ketetapan men-deponeer perkara Novel Baswedan, itu sudah bukan lagi tanggung jawab dan wewenang Polri?
Analisis ini dikaji secara netral, dan tidak melihat bagaimana posisi penyidik Polri dan reaksi publik atas perkara itu, melainkan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan teori hukum. Tentu juga menghormati sikap Presiden Jokowi yang meminta agar setiap proses hukum tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat, sehingga sudah betul sikap Polri menyerahkan persoalan itu kepada Jaksa Agung, apakah akanmengeluarkan diponir terhadap kasus Novel Baswedan.

Deponering Kasus NB, AS dan BW Mengoyak Kesadaran Hukum



bb
Oleh: Dr. Bambang Usadi, MM*
TRIBRATANEWS JATIM

Kasus hukum yang menjerat BW, AS dan NB kembali menjadi sorotan ketika tiba-tiba muncul wacana bahwa kasus yang menjerat mantan komisioner dan penyidik KPK tersebut akan dideponering melalui kewenangan Jaksa Agung. Tidak ketinggalan ICW pun mendesak agar Kejaksaan Agung mendeponering kasus tersebut, meski sebagian komponen masyarakat justru menghendaki agar kasus BW, AS dan NB  diteruskan sampai proses peradilan untuk memastikan tercapainya rasa keadilan dan kepastian hukum, termasuk tujuan terciptanya kesadaran hukum. HMI secara tegas menolak deponering, menuntut keadilan dan meminta Kejagung untuk menuntaskan kasus yang menjerat mantan komisioner KPK tersebut. 
Persoalannya adalah atas dasar apa beberapa pihak di luar kekuasan criminal justice system mendesak dilakukan deponering terhadap kasus BW, AS dan NB?  Apabila alasannya adalah hati nurani, keadilan dan kepastian hukum, maka semestinya hati nurani berdasar kesadaran hukum yang mengkedepankan keadilan dan kepastian hukum,  menuntun lahirnya sikap dan perilaku yang menghormati proses hukum sampai tuntas sehingga menjadi jelas duduk perkara hukumnya atau benar salahnya di depan hukum. Pemberian perlakuan khusus terhadap BW, AS dan NB menyalahi ketentuan hak asasi manusia karena telah nyata memberikan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum sebagaimana ditegaskan konstitusi pasal 28D UUD Tahun 1945 amandemen IV huruf (i) setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sesungguhnya, kewenangan Jaksa Agung dalam melakukan deponering didasarkan Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 jo Pasal 32 huruf e Undang-undang No. 5 Tahun 1991 jo. Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”.  Penjelasan UU No. 16 Tahun 2004 pasal 35 huruf c menegaskan: “Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat. Mengesampingkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas opportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.
Demikian juga dengan ketentuan KUHAP yang mengatur kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan deponering perkara diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c dan pasal 77 KUHAP.  Pasal Pasal 46 ayat (1) huruf c  KUHAP menegaskan: “Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”, dan Penjelasan Pasal 77 KUHAP berbunyi: “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum menjadi wewenang Jaksa Agung”.
Hal yang patut menjadi pertanyaan besarnya berdasarkan pada ketentuan deponering tersebut adalah kepentingan umum apa sesungguhnya yang dimaksud?  Apakah kepentingan pemberantasan tindak pidana korupsi.  Apabila kepentingan ini yang dimaksud, maka justru proses penegakan hukum harus dilanjutkan untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan di KPK dilakukan secara profesional, tidak dilakukan oleh tangan-tangan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pernah bermain kotor dalam penegakan dan ketaatan terhadap hukum.  Sebagaimana diharapkan pasal 29 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, “Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: poin (7) cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik”.
Proses penegakan hukum terhadap BW, AS dan NB juga akan menghindarkan terjadinya preseden buruk terhadap pengabaian tujuan hukum yang utama itu sendiri yakni terwujudnya ketertiban dan keadilan, karena setiap orang nantinya tidak akan khawatir melakukan perbuatan atau tindakan dengan mencurangi hukum, karena ada harapan ketika menduduki jabatan publik yang lebih strategis, kasus hukum lamanya akan diabaikan disebabkan adanya opini dan desakan publik atau atas dasar kepentingan politik. Deponering secara substansial sesungguhnya juga merugikan status hukum pihak yang tersangkut kasus pidana. Pilihan deponering menegaskan bahwa perkaranya memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan serta diperiksa dalam sidang pengadilan, yang berarti bahwa yang bersangkutan menyandang status sebagai tersangka sepanjang masa.
Pembangunan kesadaran hukum seharusnya mampu memposisikan hukum sebagai panglima dalam setiap penyelesaian perkara hukum. Deponering harus tetap diposisikan menjadi kewenangan independen dari Jaksa Agung yang secara profesional dan dilandasi integritas memandang demi kepentingan hukum mengabaikan perkara dan tidak melanjutkannya perkara hukum ke tingkat pengadilan.  Deponering melalui desakan para pihak di luar criminal justice system atau disebabkan adanya deal-deal politik tertentu justru akan semakin memperkeruh dan memperunyam wajah penegakan hukum di Indonesia, karena konsekuensinya justru akan mendorong sebagian orang yang bermasalah dengan hukum nantinya akan memanfaatkan celah pembentukan opini publik untuk mengintervensi proses penegakan hukum, dengan dalih bermacam-macam.
Media, penggiat, tokoh agama dan pengamat hukum termasuk akademisi juga diharapkan berperan membangun budaya hukum yang konstruktif dengan memanfaatkan ruang publik untuk mendidik masyarakat yang sadar hukum dan tidak abai terhadap kewajiban hukum seseorang yang sedang menjalani proses penegakan hukum.  Bagaimanapun masyarakat termasuk media, penggiat, tokoh agama, akademisi dan pengamat hukum tidak mengetahui dan memahami keseluruhan konstruksi dan anatomi kasus pidana yang  menjerat tersangka, sehingga sudah seharusnya menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal justice system yang berwenang.
*Penulis: Brigjen Pol. Dr. Bambang Usadi, MM, Karo Bankum DivKum Polri