Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan
Sebagaimana umum diketahui bahwa dalam rangka demokratisasi dan
pembatasan kekuasaan, dikenal adanya prinsip pemisahan kekuasaan (separtation
of power). Teori yang paling populer mengenai soal ini adalah gagasan pemisahan
kekuasaan negara (separation of power) yang dikembangkan oleh seorang sarjana
Perancis bernama Montesquieu. Menurutnya, kekuasaan negara haruslah dipisah-pisahkan
ke dalam fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan judikatif. Fungsi legislatif
biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau ‘legislature’, fungsi
eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi judikatif dengan lembaga
peradilan.
Tetapi dalam praktek, teori Montesquieu ini oleh sebagian sarjana
dianggap utopis. Hal ini terbukti karena kenyataan bahwa tidak satupun negara
di Eropah, dan bahkan Perancis sendiri yang tidak menerapkan teori itu seperti
yang semula dibayangkan oleh Montesuieu. Oleh para sarjana, negara yang
dianggap paling mendekati ide Montesquieu itu hanya Amerika Serikat yang
memisahkan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan judikatif secara ketat
dengan diimbangi mekanisme hubungan yang saling mengendalikan secara seimbang
Jika dikaitkan dengan prinsip demokrasi atau gagasan kedaulatan rakyat, maka
dalam konsep pemisahan tersebut dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang
ada di tangan rakyat dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan ke dalam ketiga cabang kekuasaan
negara itu secara bersamaan. Agar ketiga cabang kekuasaan itu dijamin tetap
berada dalam keadaan seimbang, diatur pula mekanisme hubungan yang saling
mengendalikan satu sama lain yang biasa disebut dengan prinsip ‘checks and
balances’.
Dalam perkembangannya, penerapan
konsep pemisahan kekuasaan itu meluas ke seluruh dunia dan menjadi paradigma
tersendiri dalam pemikiran mengenai susunan organisasi negara modern. Bahkan,
ketika UUD 1945 dulu dirancang dan dirumuskan, pemahaman mengenai paradigma
pemikiran Montesquieu ini juga diperdebatkan di antara para anggota BPUPKI. Mr.
Soepomo termasuk tokoh sangat meyakini bahwa UUD 1945 tidak perlu menganut
ajaran pemisahan kekuasaan menurut pandangan Montesquieu itu. Itu sebabnya,
dalam pemahaman banyak sarjana hukum kita, seringkali dikatakan bahwa UUD 1945
tidaklah menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of power), melainkan
menganut ajaran pembagian kekuasaan (division of power). Ketika Muhammad Yamin
mengusulkan agar kepada Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk melakukan
‘judicial review’ terhadap materi UU, Seopomo menolak usulannya juga dengan
menggunakan logika yang sama, yaitu bahwa UUD 1945 tidak menganut ajaran
pemisahan kekuasaan, sehingga MA tidak mungkin diberikan kewenangan menguji
materi UU yang merupakan produk lembaga lain.
Sebenarnya, pemisahan
kekuasaan dan pembagian kekuasaan itu sama-sama merupakan konsep mengenai
pemisahan kekuasaan (separation of power) yang, secara akademis, dapat
dibedakan antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas,
konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) itu juga mencakup pengertian
pembagian kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah ‘division of power’
(‘distribution of power’). Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan
kekuasaan yang bersifat horizontal, sedangkan konsep pembagian kekuasaan
bersifat vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam
beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga negara
tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sedangkan dalam konsep
pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power) kekuasaan
negara dibagikan secara vertikal dalam hubungan ‘atas-bawah’.
Di
lingkungan negara federal seperti Amerika Serikat, istilah ‘distribution’ atau
‘division of power’ itu biasa digunakan untuk menyebut mekanisme pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan negara bagian. Di negara yang berbentuk
kesatuan (unitary state), pengaturan mengenai pembagian kewenangan antara pusat
dan daerah juga disebut ‘distribution of power’ atau ‘division of power’. Oleh
karena itu, secara akademis, konsep pembagian kekuasaan itu memang dapat
dibedakan secara jelas dari konsep pemisahan kekuasaan dalam arti yang sempit
tersebut. Keduanya tidak perlu dipertentangan satu sama lain, karena menganut
hal-hal yang memang berbeda satu sama lain.
Menurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen dengan Perubahan Pertama,
keseluruhan aspek kekuasaan negara dianggap terjelma secara penuh dalam peran
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sumber kekuasaannya berasal dari rakyat yang
berdaulat. Dari majelis inilah kekuasaan rakyat itu dibagikan secara vertikal
ke dalam fungsi-fungsi 5 lembaga tinggi negara, yaitu lembaga kepresidenan,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Apabila kita mengkhususkan perhatian
kepada fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif, maka di samping MPR,
kita juga perlu membahas keberadaan lembaga-lembaga Presiden, DPR dan MA.
Sementara itu, BPK lebih menyangkut fungsi ‘verifikatif/akuntatif’ yang lebih
dekat dengan fungsi DPR, sedangkan DPA menyangkut fungsi ‘konsultatif’ dan
‘advisory’ yang lebih dekat ke fungsi Presiden/Wakil Presiden.
Dalam
rangka pembagian fungsi legislatif, eksekutif dan judikatif tersebut, sebelum
diadakan perubahan pertama terhadap UUD 1945, biasa dipahami bahwa hanya fungsi
kekuasaan judikatif sajalah yang tegas ditentukan bersifat mandiri dan tidak
dapat dicampuri oleh cabang kekuasaan lain[3]. Sedangkan Presiden, meskipun
merupakan lembaga eksekutif, juga ditentukan memiliki kekuasaan membentuk
undang-undang[4], sehingga dapat dikatakan memiliki fungsi legislatif dan
sekaligus fungsi eksekutif. Kenyataan inilah yang menyebabkan munculnya
kesimpulan bahwa UUD 1945 tidak dapat disebut menganut ajaran pemisahan
kekuasaan (separation of power) seperti yang dibayangkan oleh Montesquieu. Oleh
karena itu, di masa reformasi ini, berkembang aspirasi untuk lebih membatasi
kekuasaan Presiden dengan menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas
antara fungsi legislatif dan eksekutif itu. Fungsi legislatif dikaitkan dengan
fungsi parlemen, sedangkan Presiden hanya memiliki fungsi eksekutif saja. Pokok
pikiran demikian inilah yang mempengaruhi jalan pikiran para anggota MPR,
sehingga diadakan Perubahan Pertama UUD 1945 yang mempertegas kekuasaan DPR di
bidang legislatif dengan mengubah rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat
(1) UUD 1945. Dengan adanya perubahan itu, berarti fungsi-fungsi legislatif,
eksekutif, dan judikatif telah dipisahkan secara tegas, sehingga UUD 1945 tidak
dapat lagi dikatakan tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan dalam arti
horizontal.
Di pihak lain, cabang kekuasaan kehakiman yang berdasarkan ketentuan UUD
1945 memang ditentukan harus mandiri, makin dipertegas agar benar-benar
terbebas dari pengaruh Pemerintah. Untuk mempertegas hal ini, Ketetapan MPR
No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan sebagai Haluan Negara
telah menentukan bahwa untuk mewujudkan peradilan yang independen, bersih dan
professional dengan memisahkan secara tegas antara fungsi judikatif dan
eksekutif. Atas amanat Ketetapan inilah kemudian Pemerintah mengajukan
Rancangan UU yang akhirnya disetujui oleh DPR-RI menjadi UU No.35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Dengan
berlakunya UU No.35/1999 inilah dualisme pembinaan peradilan yang menjadi
keluhan banyak ahli hukum dihentikan dan pembinaan peradilan dikembangkan
menjadi 1 atap di bawah Mahkamah Agung[5]. Selama masa, baik Orde Lama maupun
Orde Baru, praktek penerapan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman itu, harus
diakui belum pernah memperoleh momentum untuk dipraktekkan dengan
sungguh-sungguh dengan tetap memperhatikan keragaman sistem hukum yang
berlaku[6]. Sekarang, setelah reformasi, barulah kesempatan itu terbuka. Oleh
karena itu, di masa-masa mendatang bangsa kita memiliki segala peluang yang
terbuka untuk menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
judikatif secara tegas.
Dengan dilakukannya perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dalam
kaitannya dengan mekanisme hubungan antara lembaga tinggi negara di tingkat
pusat, UUD 1945 telah resmi menganut kedua ajaran pemisahan kekuasaan
(separation of power) dan ajaran pembagian kekuasaan (distribution of power)
sekaligus. UUD 1945 menganut ajaran pembagian kekuasaan karena masih
membertahankan keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, penjelmaan
kedaulatan rakyat. Sedangkan ajaran pemisahan kekuasaan dianut karena ketiga
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judikatif telah dipisahkan secara
tegas. Namun, bersamaan dengan itu, konsep pembagian kekuasaan secara vertikal
dalam hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah juga dianut
oleh UUD 1945. Apa yang dirumuskan dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta
Penjelasannya apabila dibandingkan dengan perdebatan dalam BPUPKI berkenaan
dengan pilihan bentuk negara federal (bondsstaat) atau negara kesatuan
(eenheidsstaat atau unitary state), yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia akan tersusun atas daerah-daerah yang bersifat desentralistis dan
otonom, merupakan pilihan yang paling rasional bagi bangsa yang sangat majemuk
ini. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno negara kita baru
berada dalam tahap ‘konsolidasi politik’, sedangkan di masa pemerintahan
Presiden Soeharto kita berada dalam tahap ‘konsolidasi ekonomi’. Dalam kedua
tahap itu, praktek yang terjadi justeru berkembang ke arah sentralisasi dan
konsentrasi kekuasaan, bukan desentralisasi dan otonomi daerah.
Pada akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto memang sudah mulai
diupayakan mengembangkan kebijakan otonomi daerah yang luas dan
bertanggungjawab. Akan tetapi, implementasi dan operasionalisasinya masih belum
didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang kokoh, di samping
masih sangat tipisnya kesadaran aparatur pemerintahan sendiri, terutama di
tingkat pusat, untuk sungguh-sungguh mewujudkan kebijakan otonomi daerah itu.
Akan tetapi, pada era reformasi, berbagai perangkat peraturan
perundang-undangan mengenai hal ini telah ditetapkan. Yang utama adalah UU
No.22/1999 dan UU No.25/1999, yang telah dikukuhkan pula materi pokoknya dalam
naskah Perubahan UUD 1945 beserta Ketetapan MPR yang khusus berkenaan dengan
kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah ini. Dengan diterapkannya kebijakan
otonomi daerah yang dituangkan dalam UU, dan dikukuhkan dalam TAP MPR dan bahkan
dalam UUD, maka pembagian kekuasaan (distribution atau division of power)
antara pusat dan daerah dewasa ini makin dipertegas.
Beberapa Prinsip Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh
sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi
besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih
bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban.
Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gemlobang tuntutan
ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat
dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita
kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan
skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan
operasional yang lebih radikal.
Sekarang, berdasarkan ketentuan
UUD 1945 yang telah diperbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem pemerintahan kita
telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan
pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat, dan
pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan
potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini
dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional,
regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan
terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas,
nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan
otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai
prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan,
serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini,
telah dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang dilengkapi oleh UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan ditetapkannya kedua UU ini, maka UU yang
mengatur materi yang sama yang ada sebelumknya dan dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang
yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 No. 38 dan
Tambahan Lembaran Negara Tahun 1974 No.3037), UU No.5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56 dan TLN Tahun 1979 No.3153), dan UU
No.32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan
Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun 1956 No.77
dan TLN Tahun 1956 No.1442).
Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Sidang Tahunan MPR
tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan
dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa
prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya
kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah-daerah otonom untuk
menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan
pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah
ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam
keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijkan otonomi daerah
itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan paradigma
pemikiran dalam menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di
daerah, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya
mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah.
Prinsip-prinsip dasar itu dapat disarikan sebagai berikut.
1. Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan
Integrasi Nasional
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan
kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah
pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan
dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga
terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di
seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan
bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak
diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan
bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat
penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara
dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat
dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang
tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar
perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh
Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan
sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini
dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan
tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa
daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk
menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum
dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat
menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui
penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah
peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu
memang perlu diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan
tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada
pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk
mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang
menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat
kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak
akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun
keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
2. Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang
bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan
organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan
kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi
kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang
demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa
ini.
Pada tingkat suprastruktur
kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan,
kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi
kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan
secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan
pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya
bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka
menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat
kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan
ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari
kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah
berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh
dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa
ini.
Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan
kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam
demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami
dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara
pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan kehawatiran bahwa sistem
otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme
pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya
tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan
kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu
dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai
dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely’, timbul kehawatiran bahwa iklim penindasan dan
praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran
hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusatn justru
ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga
mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan
pemerintahan di daerah.
4. Otonomi dan ‘Federal
Arrangement’
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terkandung
semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengan konsep pemerintahan
Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa
organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan (unitary),
tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah diatur
menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem
federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di
daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasaan
asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7 UU
tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusan
hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan
urusan agama, sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya)
justru ditentukan berada di kabupaten/kota.
Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, yaitu Pasal 18 ayat (8)
dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah
untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”. Hanya saja perlu
dicatat pertama bahwa dalam naskah Perubahan UUD ini digunakan perkataan
“‘memberikan’ otonomi yang luas kepada daerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal
7 UU No.22 Tahun 1999 tertulis ‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam
Pasal 18 ayat (8) UUD 1945 digunakan koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih
harus diteliti sejauhmana kedua hal ini dapat dinilai mencerminkan
kekurangcermatan para anggota Badan Pekerja MPR dalam perumusan redaksi, atau
memang hal itu dirumuskan dengan kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangan
daerah dalam rangka kebijakan otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintah
pusat kepada daerah[7], dan bahwa pengertian pertahanan dan keamanan yang
berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Pemisahan TNI dan POLRI No.
VI/MPR/2000 memang telah dipisahkan secara tegas, merupakan urusan-urusan yang
berbeda, yaitu antara peran tentara dan kepolisian[8].
Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubungan antara pusat dan daerah
tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahan Gubernur, dan hubungan
antara daerah propinsi dan daerah kabupaten serta kota tidak lagi bersifat
subordinatif, melalinkan hanya koordinatif. Elemen hubungan kekuasaan yang
bersifat horizontal ini dan ditetapkannya prinsip kekuasaan asli atau sisa yang
berada di daerah kabupaten/kota merupakan ciri-ciri penting sistem federal.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun struktur organisasi pemerintahan
Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita juga mengadopsi
pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federal arrangement’.
Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di
daerah-daerah sudah seharusnya menyadari hal ini, sehingga pelaksanaan otonomi
daerah perlu segera diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihak yang bersikap
skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula lain sehubungan dengan
gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya juga menyadari adanya
pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut. Hanya dengan
keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala perubahan struktural
yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan yang
telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi penuh menyukseskan agenda otonomi
daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasi penuh itu pulalah kita akan
dapat menyukseskan agenda otonomi daerah ini, sehingga dapat terhindar dari
malapetaka yang jauh lebih buruk berupa disintegrasi kehidupan kita sebagai
satu bangsa yang bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Otonomi dan Daya Jangkau
Kekuasaan
Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan
terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap
berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum. Dalam UU No.22 Tahun
1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah daya jangkau kekuasaan
negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secara akademis, organ yang
berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ
masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai ‘self governing
communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, pada pokoknya, susunan
organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-norma hukum adat yang
hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat
desa itu sendiri.
Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat
menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa. Biarkanlah masyarakat
desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur
perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat. Tidak
perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara seperti
yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ ini sejalan
pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘state and
civil society’ yang telah kita
kembangkan dalam gagasan masyarakat madani.
Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa
dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan
fungsi-fungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan
masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanya
fungsi-fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yang
tetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau kekuasaan
negara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat tumbuh
berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk menjadi
bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.
Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadi urusan masyarakat perlu
dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusan dimaksudkan untuk mendorong
kemandirian dan keprakarsaan masyarakat sendiri, bukan dimaksudkan untuk
melepas beban dan tanggungjawab pemerintah karena didasarkan atas sikap yang
tidak bertanggungjawab ataupun karena disebabkan ketidakmampuan pemerintah
menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pelepasan urusan
juga tidak boleh dilakukan tiba-tiba tanpa perencanaan yang cermat dan
persiapan sosial yang memadai yang pada gilirannya justru dapat menyebabkan
kegagalan total dalam agenda penguatan sektor masyarakat secara keseluruhan.
Parlemen Indonesia: MPR, DPR,
DPRD, dan ‘DPD’
‘Parlemen’ asal katanya dari perkataan bahasa Perancis, ‘parle’ yang
berarti ‘to speak’ (berbicara). Fungsi utamanya adalah untuk mengawasi pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan. Dalam sejarah Eropah, lembaga ini dapat dikatakan
baru terbentuk setelah terjadinya gelombang reformasi pasca revolusi yang
menuntut pembatasan terhadap kekuasaan raja yang otoritarian, dzalim dan
dirasakan sangat menindas kepentingan rakyat banyak. Revolusi di Perancis, di
Inggeris, dan di beberapa kerajaan lainnya di Eropah seperti Jerman, Belanda,
dan sebagainya, memperlihatkan gejala yang sama, yaitu sebagai hasil perjuangan
rakyat yang menentang kekuasaan para Raja, dibentuklah mekanisme kelembagaan
perwakilan rakyat yang disepakati dapat ikut menentukan keputusan-keputusan
pemerintah yang menyangkut kepentingan rakyat banyak dan aktif mengawasi atau
mengendalikan pelaksanaan keputusan-keputusan itu.
Lembaga ini dinamakan parlemen
dengan keanggotaan yang bersifat perwakilan yang dipilih atau ditentukan
sendiri oleh rakyat. Sebelum masa revolusi itu, lembaga semacam ini memang
sudah ada. Tetapi tugas utamanya lebih tetap disebut sebagai lembaga penasehat,
dan keanggotaannya ditentukan sendiri oleh raja. Di Belanda, misalnya, lembaga
seperti itu pada awalnya bernama ‘Raad van Staat’ atau Dewan Negara. Akan
tetapi, setelah masa revolusi yang antara lain menghasilkan pembentukan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat di berbagai negara, fungsi lembaga penasehat
itu menjadi berkurang, dan perannya digantikan oleh lembaga perwakilan yang
kemudian dikenal sebagai parlemen. Peran yang paling strategis diambil oleh
lembaga parlemen itu pada umumnya adalah fungsi pengaturan dan fungsi
pengawasan. Setelah berkembangnya teori ‘separation of power’, fungsi
pengaturan itulah yang biasa dinamakan fungsi legislasi (regeling functie atau
regulative function). Setelah dibuat aturan, maka atas dasar dan pedoman aturan
itulah pemerintah diharapkan bekerja. Akan tetapi, jalannya pelaksanaan aturan
itu di lapangan, tetap harus diawasi atau dikontrol oleh lembaga parlemen itu.
Dengan demikian, kedua fungsi legislasi dan pengawasan itu berkaitan erat satu
sama lain.
Pengertian parlemen itu di Indonesia dapat dikaitkan dengan keberadaan
lembaga MPR, DPR, dan DPRD. Bahkan, dewasa sebagaimana terlihat dalam draf
rancangan Perubahan UUD 1945, direncanakan pula nantinya akan dibentuk Dewan
Perwakilan Daerah yang bersama-sama DPR akan menjadikan parlemen kita terdiri
atas dua lembaga (kamar) atau yang biasa disebut parlemen bikameral. Jika DPD
itu nantinya terbentuk, maka kedudukan MPR akan berubah tidak lagi sebagai
lembaga tertinggi negara. Jika MPR masih akan dipertahankan, paling-paling ia
berubah menjadi forum saja, yaitu forum tertinggi yang merupakan rapat gabungan
antara DPR dan DPD untuk memutuskan mengenai hal-hal yang tertentu saja,
seperti untuk menetapkan perubahan UUD. Namun, sebelum DPD itu terbentuk, kita
masih memiliki MPR sebagai lembaga tertinggi.
Pada pokoknya, MPR itu juga merupakan bagian dari pengertian kita
tentang parlemen. Apalagi, keanggotaannya terdiri atas anggota DPR ditambah
Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang nantinya akan menjadi lembaga
tersendiri, yaitu DPD itu. MPR mempunyai fungsi untuk mengatur, tetapi terbatas
pada hal-hal yang pokok dan mendasar, yang selama ini disepakati hanya dalam
bentuk UUD, Perubahan UUD, ataupun dalam bentuk Ketetapan MPR yang dianggap
sebagai dokumen hukum tersendiri di bawah UUD. Mengenai keberadaan TAP MPR
sebagai dokumen hukum secara akademis juga sering dipersoalkan. Sebabnya ialah
karena di mana-mana di seluruh dunia struktur perundang-undangan negara modern
selalu berpuncak pada naskah UUD dan di bawahnya selalu berbentuk UU sebagai
produk yang dengan tingkat keterlibatannya sendiri-sendiri melibatkan peran
parlemen bersama pemerintah dengan tingkat keterlibatannya sendiri-sendiri yang
diatur secara berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Akan tetapi,
selama MPR masih difungsikan seperti sekarang tidak dapat dihindarkan bahwa
Ketetapan MPR itu harus diterima kedudukannya sebagai dokumen hukum tertinggi
di bawah UUD. Inilah perbedaan antara pengertian hukum teoritis dengan hukum
positif. Dari segi teori, bisa saja seorang ilmuwan hukum berpendapat bahwa
kedudukan TAP MPR itu bermasalah, tetapi dalam rangka praktek penyelenggaraan
negara, TAP MPR itu merupakan hukum positif yang berlaku, kini dan disini.
Selain fungsinya untuk mengatur
atau menetapkan aturan untuk kepentingan umum, MPR kita juga mempunyai fungsi
perwakilan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta fungsi peradilan
jika Presiden dinilai melanggar haluan penyelenggaraan negara. Untuk
melaksanakan fungsinya itu, MPR menyelenggarakan kegiatan persidangan. Yang
rutin lima tahunan disebut Sidang Umum, sedangkan yang dapat diadakan
sewaktu-waktu di luar agenda rutin disebut Sidang Istimewa. Tetapi, mulai sejak
Sidang Tahunan MPR tahun 2000 ini, timbul kecenderungan untuk meruntinkan
fungsi MPR dalam bentuk penyelenggaraan persidangan yang disebut Sidang
Tahunan. Selain itu, MPR juga menambah sendiri tugas dan kewenangannya dengan
meminta laporan pelaksanaan tugas kepada setiap lembaga tinggi negara
disampaikan dalam persidangan MPR. Di samping itu, meskipun masih dalam tahap
perdebatan, MPR berusaha mengambil kewenangan yang seharusnya diberikan kepada
Mahkamah Agung, yaitu dalam menguji materi UU (judicial review) terhadap UUD.
Dengan tambahan-tambahan itu sangat mungkin MPR makin berkembang menjadi
lembaga rutin, padahal pada sisi yang lain, kedudukan dan perannya sebagai
lembaga tertinggi akan mengalami perubahan menjadi sekedar forum, terutama jika
dikaitkan dengan penerapan ide pemilihan Presiden secara langsung dan
pembentukan struktur parlemen menjadi dua kamar DPR dan DPD.
Di samping MPR, sekarang kita mempunyai lembaga DPR yang merupakan
lembaga parlemen dalam arti yang sesungguhnya. Kedudukannya sederajat dengan
Presiden atau Pemerintah dengan keanggotaan yang sepenuhnya dipilih melalui
pemilihan umum yang diselenggarakan secara adil dan jujur berdasarkan
prinsip-prinsip yang langsung, umum, bebas, dan rahasia. DPR inilah yang secara
rutin menjalankan fungsi pengawasan dan fungsi legislasi dalam arti yang
sebenarnya. Instrumen yang dipakai untuk menjalankan kedua fungsi itu ada dua, yaitu
instrumen peraturan perundang-undangan, dan instrumen anggaran pendapatan dan
belanja negara. Karena pentingnya anggaran itu, bahkan sering dikatakan bahwa
DPR mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi
anggaran.
Untuk melaksanakan fungsi
pengawasan, lembaga DPR dilengkapi dengan hak untuk meminta keterangan
(interpelasi), hak untuk menyelidiki (enquette), hak pernyataan pendapat
(resolusi), hak untuk memperingatkan tertulis (memorandum), dan bahkan hak
untuk menuntut pertanggungjawaban (impeachment). Dalam sistem pemerintahan
parlementer, ada pula istilah mosi yang biasanya dikaitkan dengan fungsi
pemberian dukungan (mosi dukungan) dan pernyataan ketidakpercayaan (mosi tidak
percaya) yang dapat menjatuhkan kabinet. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi,
DPR mempunyai hak/kewajiban mengajukan rancangan undang-undang, hak amandemen
atau hak untuk mengubah setiap rancangan UU yang diajukan oleh pemerintah.
Bahkan, DPR juga berhak menolak sama sekali rancangan UU yang diajukan oleh
Pemerintah. Sedangkan dalam hubungannya dengan fungsi anggaran, DPR berhak
mengajukan RAPBN, dan berhak mengubah dengan mengurangi ataupun menambah
anggaran dari apa yang diajukan oleh pemerintah.
Selain hak DPR sebagai lembaga,
setiap anggota DPR juga berhak untuk mengajukan pertanyaan, hak mengambil
inisiatif untuk pelaksanaan hak-hak DPR tersebut di atas, dan juga hak keuangan
dan hak administratif lainnya serta hak imunitas atau kekebalan hukum yang
membedakannya dari warganegara biasa sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Di
samping itu, DPR juga diberi hak untuk turut serta dalam kegiatan
penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yaitu untuk turut menentukan mengenai
pengangkatan orang dalam sesuatu jabatan tertentu. Ada pejabat yang harus diajukan
pencalonannya oleh DPR (candidature), ada pengangkatannya harus mendapat
persetujuan DPR (approval), dan ada pula yang pengangkatannya cukup mendapat
pertimbangan DPR (confirmation). Hak-hak yang terakhir ini sebenarnya tidak
terkait dengan fungsi pengawasan, fungsi legislasi, dan fungsi anggaran seperti
dikemukakan di atas, Akan tetapi, hak-hak untuk menyarankan, menganjurkan
ataupun untuk mengkonfirmasikan dan menyetujui seseorang itu dapat dikaitkan
dengan fungsi tambahan DPR yang bersifat ‘co-administration’.
Keseimbangan Peran Lembaga
Legislatif versus Eksekutif
Kekuasaan legislatif, selama ini tidaklah secara tegas ditentukan harus
berada di tangan DPR, karena dalam Pasal 5 ayat (1) lama dinyatakan: “Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Memang
ditentukan pula dalam Pasal 20 ayat (1) lama bahwa “Anggota DPR berhak
memajukan rancangan undang-undang”. Namun, dalam naskah Perubahan Pertama UUD
1945 yang telah disahkan dalam Sidang Umum MPR pada bulan Nopember 1999 yang
lalu, ketentuan Pasal 5 ayat (1) tersebut diubah menjadi: “Presiden berhak
mengajukan RUU kepada DPR”, dan dalam Pasal 20 ayat (1) ditentukan: “DPR
memegang kekuasaan membentuk UU”. Dalam ayat (2)-nya dinyatakan: “Setiap RUU dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”; dan dalam ayat
(4)-nya dinyatakan: “Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama
untuk menjadi UU”.
Harus diakui bahwa adanya hak
inisiatif untuk memajukan RUU tersebut, sebenarnya hanya bersifat tambahan
terhadap kewenangan utama (primer). Karena itu, dalam ketentuan yang lama, hak
yang dimiliki oleh DPR dibandingkan dengan kewenangan utama membentuk
undang-undang yang dimiliki oleh Presiden, memang dapat dikatakan tidak
seimbang. Sekurang-kurangnya, dalam bidang legislatif, dengan adanya ketentuan
demikian, jelas terlihat bahwa kedudukan Presiden dan DPR itu memang tidak
seimbang.
Ketidak-seimbangan itu makin jelas terlihat dalam hal pembentukan
Peraturan Pemerintah sebagai pengganti UU (Perpu). Dalam ketentuan yang berlaku
selama ini, Presiden diberi hak dan wewenang oleh UUD untuk menetapkan Perpu
dan memberlakukannya selama 1 tahun tanpa memerlukan persetujuan DPR. Sedangkan
dalam hal RUU yang diprakarsai oleh DPR telah disahkan oleh DPR, tetapi apabila
Presiden tidak menyetujui RUU tersebut, maka otomatis RUU tersebut tidak dapat
diberlakukan. Bahkan lebih jauh lagi, dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, selama ini ada yang disebut sebagai ‘policy rules’ (beleidregels)
yang dianggap dengan sendirinya berada di tangan Presiden yang dalam praktek
tercerminkan dalam kewenangannya untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang
bersifat mandiri dalam arti tidak dalam rangka melaksanakan perintah
undang-undang. Dalam praktek selama pemerintahan Orde Baru, justru jenis-jenis
Keputusan Presiden yang demikian banyak sekali jumlahnya, termasuk sebagian
besar di antaranya sesungguhnya memuat materi yang seharusnya dituangkan dalam
bentuk UU. Gejala inilah yang biasa saya sebut sebagai gejala ‘Government by
Keppres’.
Bahkan dalam praktek, cenderung
banyak sekali jenis Surat Keputusan Presiden yang bersifat mandiri, yang
mengatur hal-hal yang kadang-kadang seharusnya diatur dalam undang-undang. Dari
ketiga kasus tersebut, makin jelas bagi kita bahwa kedudukan Presiden dalam
bidang legislatif ini jauh lebih besar daripada DPR. Oleh karena itu, dapat
dimengerti mengapa ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945
perlu diubah menjadi rumusan seperti sekarang. Perubahan ini menggambarkan
telah terjadinya pergeseran dalam penyelenggaraan kekuasaan legislatif dari
Presiden ke lembaga DPR.
Di samping itu, berkenaan dengan
pengertian persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam pembahasan suatu
RUU tersebut, juga perlu dipahami dengan tepat. Dalam Penjelasan UUD 1945,
memang dapat ditemukan adanya pengertian mengenai ‘persetujuan DPR’ dan
mengenai fungsi legislatif Presiden ‘bersama-sama’ DPR. Kewenangan DPR untuk
memberikan persetujuan itu terhadap setiap RUU dapat saja ditafsirkan
memberikan kedudukan yang lebih tinggi, lebih rendah, atau setara kepada DPR
dalam berhadapan dengan Pemerintah. Akan tetapi, dalam Penjelasan UUD 1945,
kedudukan DPR itu dinyatakan kuat, tetapi Presiden tidak ‘untergeornet’, tetapi
‘neben’ terhadap DPR. Oleh karena itu, pengertian ‘bersama-sama’ disitu berarti
‘kesetaraan’ dan ‘kesederajatan’.
Bagaimanakah sebenarnya bentuk pelaksanaan dari prinsip ‘persetujuan
bersama’ itu dalam praktek? Apakah persetujuan bersama itu dilakukan dalam
persidangan atau persetujuan itu bersifat institusional. Disetujui tidaknya
suatu RUU oleh DPR, sesuai tata tertib DPR dilakukan melalui proses
persidangan, bukan ditentukan begitu saja oleh pimpinan DPR. Dengan sendirinya
yang dimaksud dengan istilah ‘bersama-sama’ di atas dilakukan dalam persidangan
bersama-sama. Dalam proses persidangan tersebut, bisa terjadi beberapa
kemungkinan. Pertama, berdasarkan mekanisme persidangan yang ada, suatu RUU
diputus melalui pemungutan suara dengan mayoritas dukungan memenangkan skenario
atau versi pemerintah. Kedua, putusan RUU itu justru dimbil melalui pemungutan
suara yang memenangkan versi partai oposisi.
Dalam hal terjadi kemungkinan kedua, apakah dapat dikatakan bahwa RUU
tersebut sudah dibuat secara bersama-sama atau apakah pengertian persetujuan
bersama itu sudah terpenuhi meskipun pihak pemerintah jelas-jelas tidak
menyetujuinya, tetapi kalah dalam pemungutan suara. Menurut pendapat saya,
harus dibedakan antara persetujuan bersama dalam persidangan dengan persetujuan
yang berkenaan dengan hak veto yang bersifat institusional. Dalam hal suatu RUU
sudah disetujui dengan suara terbanyak dalam persidangan DPR dengan memenangkan
suara oposisi, maka hal itu sudah dianggap sebagai persetujuan bersama. Pengertian
ini harus diterima, karena dalam sistem demokrasi, proses pengambilan keputusan
memang harus dihadiri bersama, tetapi keputusan yang diambil tidak berarti
harus memuaskan semua pihak. Sudah sewajarnya ada ‘take and give’ dan bahkan
ada yang kalah dan ada yang menang. Namun, terhadap putusan yang sudah diambil
bersama itu, Presiden yang kepentingannya dikalahkan dalam persidangan masih
dapat menggunakan haknya untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang sudah
diputuskan oleh DPR dengan cara tidak menandatangani untuk mengundangkan RUU
tersebut.
Ketentuan seperti ini ada dimana-mana. Presiden Amerika Serikat juga
diberi wewenang untuk memveto suatu UU yang sudah disetujui oleh DPR. Akan tetapi,
harus juga diperhatikan bahwa hak veto ini harus pula dibatasi[9]. Tanpa
pembatasan, Presiden bisa saja bertindak sewenang-wenang. Di Amerika Serikat
diatur apabila suatu UU yang telah disahkan parlemen diveto oleh Presiden, maka
RUU tersebut dapat dibahas lagi untuk diadakan pemungutan suara ulangan, dan
jika parlemen tetap menyetujui RUU tersebut maka RUU tersebut langsung dapat
menjadi UU tanpa memerlukan pengesahan oleh Presiden. Dalam hal yang terakhir
ini, Presiden tinggal melaksanakan tindakan administrasi pengundangannya saja
sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, Presiden mempunyai hak sebagai pemeran utama untuk
memajukan RUU, berhak memveto RUU inisiatif DPR, dan memveto RUU yang
mengalahkan kepentingan pemerintahannya. Sedangkan DPR berhak mengajukan RUU
atas inisiatifnya sendiri, berhak menyetujui, mengamandemen, atau tidak menolak
suatu RUU, dan menolak suatu PERPU yang telah diberlakukan oleh Pemerintah.
Kedua kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada kedua lembaga tinggi
negara ini, betapapun juga tetap saja menggambarkan bahwa di bidang legislatif,
kedudukan Presiden lebih tinggi daripada DPR.
Kecenderungan Peran Parlemen:
dari legislasi ke ‘controlling’
Sebenarnya fungsi legislatif itu hanyalah merupakan sebagian saja dari
tugas pokok parlemen. Asal muasal terbentuknya lembaga parlemen itu dalam
sejarah Eropah sebenarnya dilatar belakangi oleh kebutuhan untuk mengawasi dan
mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah. Bahkan istilah parlemen itu
sendiri berasal dari kata Perancis ‘parle’ yang berarti ‘to speak’, berbicara.
Artinya, yang lebih diutamakan dari parlemen itu pada dasarnya adalah fungsi
‘controlling’, bukan ‘legislation’. Bahkan, meskipun secara formil fungsi
legislatif itu ditentukan dalam konstitusi sebagai fungsi pokok parlemen, tetapi
dalam prakteknya justru fungsi legislatif itu tetap tidak efektif untuk
menggambarkan adanya kesetaraan derajat antara pemerintah dan parlemen.
Sebagai contoh kita dapat melihat apa yang terjadi di negara-negara yang
diidealkan mempraktekkan sistem demokrasi seperti Amerika Serikat dan Perancis.
Baik dalam Konstitusi Perancis maupun Amerika Serikat jelas ditentukan bahwa
kekuasaan legislatif itu berada di tangan parlemen[10]. Akan tetapi, dalam
prakteknya, justru hal itu tidak mudah dilakukan. Sebagai contoh selama tahun
1970-an dan 1980-an, sekitar 95 persen Rancangan Undang-Undang (RUU) yang
dibahas di parlemen Perancis justru berasal dari inisiatif Pemerintah, bukan
inisiatif parlemen. Sedangkan Rancangan UU yang berasal dari inisiatif parlemen
hanya berjumlah 5 persen. Malah 3 persen di antaranya diprakarsai oleh partai
pemerintah dan hanya 2 persen yang diprakarsai oleh partai oposisi, itupun
untuk hal-hal yang tidak strategis. Dengan demikian, praktis ketentuan yang
mengidealkan peran parlemen di bidang legislatif itu terbukti hanya bersifat
formalitas belaka[11]. Di Amerika Serikat lain lagi, meskipun banyak Rancangan
UU berasal dari parlemen sendiri, tetapi Presiden tetap diberi hak veto sebagai
senjata penting untuk menolak mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui dalam
persidangan parlemen. Selain Presiden bahkan para Gubernur di negara-negara
bagian 80 persen di antaranya juga dilengkapi dengan hak veto ini.
Para Presiden Amerika Serikat makin lama makin sering menggunakan hak
veto itu. Selama abad ke-19, hak veto cenderung digunakan lebih sering
dibandingkan dengan abad sebelumnya. Yang peling di antaranya adalah Presiden
Grover Cleveland. Selama masa pemerintahan yang panjang di bawah kepemimpinan
Presiden Franklin D. Roosevelt, hak veto ini digunakan sebanyak 631 kali,
tetapi dalam masa yang jauh lebih singkat, Presiden Truman menggunakannya 250
kali, Presiden Eisenhower 181 kali. Pada abad ke-20, penggunaan hak veto itu
meningkat lebih sering lagi. Menurut William J. Keete dan Morris S. Ogul, hal
ini disebabkan oleh 3 faktor, yaitu: (1) meningkatnya permasalahan yang
dihadapi sebagai akibat perkembangan industrialisasi, urbanisasi, dan krisis
Internsional, (2) meningkatnya harapan dan kebutuhan publik akan tindakan pemerintah,
(3) meluasnya lingkup dan intensitas konflik politik[12].
Selama periode tahun 1889 - 1968, tercatat 14 orang Presiden Amerika
Serikat dengan rata-rata jumlah RUU yang diveto sebanyak 2,5%. Presiden Truman dapat
dikatakan paling banyak, yaitu 3,7% dari semua RUU yang diajukan kepadanya[13].
Dari segi prosentasenya memang dapat dikatakan sedikit. Akan tetapi, angka
nominalnya cukup besar sebagaimana dikemukakan di atas. Malahan, di beberapa
negara bagian, hak veto yang juga digunakan oleh Gubernur ada pula yang
tercatat sangat tinggi, misalnya, di negara bagian New York antara tahun 1927 -
1951, tercatat sebanyak 26%, sedangkan di Pennsylvania antara tahun 1939 - 1946
tercatat 10,5%[14].
Besarnya kekuasaan Presiden untuk menggunakan senjatanya dalam memveto
pengesahan suatu RUU yang telah disetujui oleh parlemen diiringi pula oleh
kecenderungan untuk mengajukan sendiri inisiatif perancangan Undang-Undang oleh
pihak pemerintah. Kecenderungan ini terus meningkat selama abad ke-20 dan
memberikan pembenaran bahwa penekanan pada kekuasaan legislatif yang dikaitkan
dengan fungsi parlemen itu, praktis hanya bersifat proforma. Mengapa hal ini
terjadi? Boleh jadi hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa memang pihak
pemerintahlah yang sesungguh paling mengetahui mengenai kebutuhan untuk membuat
suatu peraturan perundang-undangan, karena birokrasi pemerintah paling banyak
menguasai informasi dan expertise yang diperlukan untuk itu. Oleh karena itu,
dalam perspektif hubungan antara parlemen dengan pemerintah di masa yang akan
datang, berkembang pemikiran untuk lebih mengutamakan fungsi kontrol untuk
menjamin terjadinya proses ‘checks and balances’ daripada menekankan fungsi
legislasi yang harus dipisahkan secara kaku berdasarkan prinsip ‘separation of
power’[15].
Harus diakui bahwa pada hakikatnya, prinsip ‘separation of power’ itu
memang dapat menjamin pembatasan kekuasaan. Akan tetapi, untuk menyerahkan tugas
legislasi sepenuhnya kepada DPR tidak realistis, karena legislasi itu sebagian
terbesar lebih bersifat teknis yang membutuhkan peran pemerintah. Bahkan dewasa
ini, makin disadari bahwa kekuasaan untuk membuat undang-undang cenderung terus
berkembang semakin teknis sifatnya, sedangkan fungsi pengawasan dan
pengendalian yang lebih bersifat politis cenderung dianggap makin penting dalam
upaya membangun citra parlemen yang efektif untuk menggambarkan
kesederajatannya dengan pihak pemerintah. Karena itu, dalam kaitannya dengan
pengaturan soal ini menurut UUD 1945, sebenarnya, ketentuan Pasal 5 ayat (1)
yang lama dapat dikatakan sudah tepat, tinggal lagi meningkatkan fungsi kontrol
atau pengawasan DPR terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
Akan tetapi, sekarang para wakil
rakyat sudah menentukan bahwa lembaga legislatif itu adalah DPR, sedangkan
pemerintah hanya pelaksana (eksekutif), sebagaimana tercermin dalam Perubahan
Pertama UUD 1945. Dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) yang lama jelas ditentukan
bahwa Presidenlah yang memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR, meskipun
ditentukan pula bahwa DPR mempunyai hak usul inisiatif untuk memajukan RUU.
Tetapi, dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) yang baru ditegaskan: “Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”, dan secara terbalik, dalam
Pasal 20 ayat (1) dinyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk UU”.[16]
Artinya, pemegang utama (primer) kekuasaan legislatif untuk membentuk
undang-undang itu adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan
sekunder.
Perubahan tersebut membawa implikasi terjadinya pergeseran kekuasaan
legislatif dari Presiden ke DPR yang berdampak sangat prinsipil. Dapat
dikatakan bahwa semangat yang terkandung di dalam perubahan itu adalah untuk
memastikan dianutnya prinsip pemisahan yang tegas antara kekuasaan legislatif
dan eksekutif dalam hubungan antara parlemen dan pemerintah. Dalam rumusan
Pasal 20 ayat (2) memang ditegaskan bahwa tiap-tiap undang-undang menghendaki
persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Akan tetapi, persetujuan itu
sebagaimana dikemukakan di atas, haruslah dilakukan melalui proses persidangan.
Dalam sistem demokrasi, bisa saja terjadi bahwa meskipun pihak Pemerintah
berbeda pendapatnya dengan kekuatan oposisi di parlemen, namun putusan akhir
dalam pembahasan suatu RUU, justru dimenangkan oleh kelompok oposisi. Dalam hal
demikian, Presiden dihadapkan pada pilihan mengesahkan atau tidak mengesahkan
RUU tersebut. Sudah tentu, Presiden berhak untuk menolak mengesahkan RUU
tersebut, dan hak inilah yang biasa disebut sebagai hak veto Presiden
sebagaimana diuraikan di atas.
Lembaga Legislatif di Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk, baik di daerah propinsi maupun
di daerah kabupaten dan kota. Pada umumnya, lembaga perwakilan rakyat ini dipahami
sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legilsatif, dan karena itu biasa
disebut dengan lembaga legilsatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya haruslah
dicatat bahwa fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada di tangan
DPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungan dengan Presiden. Sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil
Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR ditentukan memegang
kekuasaan membentuk UU, dan dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa Presiden
berhak mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kewenangan untuk menetapkan
Peraturan Daerah (Perda), baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota, tetap
berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD
sebagaimana ketentuan mengenai pembentukan UU di tingkat Pusat dalam UUD 1945
sebelum diamandemen. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan
Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus
legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan dengan persetujuan
DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan di
daerah.
Oleh karena itu, sesungguhnya, DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga
pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga
legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan sehari-hari,
lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif. Memang benar,
seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RI menurut ketentuan UUD 1945
sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat ini berhak mengajukan usul
inisiatif perancangan produk hukum. Menurut ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR
berhak memajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula DPRD, baik di
daerah propinsi maupun daerah kabupaten/kota, berdasarkan ketentuan UU
No.22/1999, berhak mengajukan rancangan Peraturan Daerah kepada Gubernur.
Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi
pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang
ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau
Bupati/Walikota.
Oleh karena itu, fungsi utama
DPRD adalah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan
berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan.
Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur atau
Bupati/Walikota. Bahkan dalam UU No.22/1999 Gubernur dan Bupati/Walikota
diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya menjadi
Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak
sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau bahkan
menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu, dan
sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan
Peraturan Daerah.
Kepala Desa dan Parlemen Desa
Salah satu materi penting yang diatur dalam UU No.22/1999 adalah soal
keberadaan organisasi pemerintahan desa yang dalam UU tersebut ditegaskan terdiri
atas Kepala Desa dan Lembaga Perwakilan Rakyat Desa. Sebagaimana dikemukakan di
atas, semangat yang terkandung dalam UU No.22/1999 menentukan keberadaan desa
sebagai ‘self governing community’ yang bersifat otonom atau mandiri. Bahkan
dapat dikatakan bahwa daya jangkau organisasi negara secara struktural hanya
sampai pada tingkat kecamatan, sedangkan di bawah kecamatan dianggap sebagai
wilayah otonom yang diserahkan pengaturan dan pembinaannya kepada dinamika yang
hidup dalam masyarakat sendiri secara otonom. Semangat demikian ini telah dikukuhkan
pula dalam perubahan UUD 1945 yang memberikan peluang untuk tumbuh dan
berkembangnya hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Karena itu, tradisi pemerintahan desa seperti yang hidup di Sumatera
Barat, misalnya, yang dikenal dengan nama ‘sistem pemerintahan nagari’ dapat
dihidupkan kembali penataannya sebagaimana mestinya. Saya sendiri telah
menyampaikan berbagai masukan kepada Gubernur Sumatera Barat berkenaan dengan
persiapan-persiapan yang menyangkut hal itu, termasuk dalam rangka penyusunan
rancangan Peraturan Daerah berkenaan dengan soal ‘pemerintahan nagari’.
Demikian pula dengan sistem marga di Sumatera Selatan ataupun sistem
pemerintahan desa di daerah-daerah lain dapat dikembangkan secara beragam
sesuai tradisi budaya masing-masing dan perkembangan kebutuhan yang ada
setempat-setempat. Dengan diakuinya keragaman itu, maka baik bentuk, nama
maupun fungsi organisasi pemerintah desa dan badan perwakilan rakyat desa dapat
beragam dari satu desa ke desa lain, ataupun daerah satu daerah ke daerah lain.
Bahkan materi hukum adat yang ditetapkan berlakunya dapat pula beragam dari
satu daerah ke daerah lain. Keragaman sistem keorganisasian dan sistem
perundangan setempat-setempat itu dapat ditampung dengan mengukuhkan peranan
Peraturan Desa yang ditentukan dan ditetapkan oleh Kepala Desa dengan
persetujuan badan perwakilan desa. Oleh karena itu, penting bagi setiap daerah
untuk mengatur mekanisme pembuatan Peraturan Desa tersebut sebagai pedoman
kerja legislatif di desa-desa.
Parlemen Bukan Lembaga Teknis, Tetapi Lembaga Politik
Dari uraian di atas dapat kita mengerti bahwa sebenarnya, lembaga
parlemen itu adalah lembaga politik, dan karena itu pertama-tama haruslah
dipahami sebagai lembaga politik. Sifatnya sebagai lembaga politik itu
tercermin dalam fungsinya untuk mengawasi jalannya pemerintahan, sedangkan
fungsi legislasi lebih berkaitan dengan sifat-sifat teknis yang banyak
membutuhkan prasyarat-prasyarat dan dukungan-dukungan yang terknis pula.
Sebagai lembaga politik, prasyarat pokok untuk menjadi anggota parlemen itu
adalah kepercayaan rakyat, bukan prasyarat keahlian yang lebih bersifat teknis
daripada politis. Meskipun seseorang bergelar Prof. Dr. jika yang bersangkutan
tidak dipercaya oleh rakyat, ia tidak bisa menjadi anggota parlemen. Tetapi,
sebaliknya, meskipun seseorang tidak tamat sekolah dasar, tetapi ia mendapat
kepercayaan dari rakyat, maka yang bersangkutan paling ‘legitimate’ untuk
menjadi anggota parlemen.
Oleh karena itu, makin rendah tingkatan palrmen itu makin harus dipahami
bahwa DPR itu adalah lembaga politik, dan karena itu tidak perlu dinilai dari
kacamata teknis. Sebab ada kemungkinan bahwa tingkat pendidikan rata-rata
anggota DPR Pusat lebih tinggi daripada tingkat pendidikan anggota DPRD propinsi
yang juga lebih tinggi daripada tingkat pendidikan rata-rata anggota DPRD
kabupaten/kota. Jika DPR dan DPRD dilihat sebagai lembaga politik, sudah tentu
kenyataan tersebut harus bisa diterima sebagai kenyataan. Oleh karena itu,
perubahan yang terjadi di tingkat pusat dalam pengaturan mengenai kewenangan
melakukan perancangan UU dari Presiden ke DPR tidak perlu diikuti di tingkat
propinsi dan kabupaten/kota. Jika di pusat, kekuasaan membentuk UU berada di
tangan DPR sebagaimana hasil Perubahan Pertama UUD 1945, maka di daerah
propinsi dan kabupaten/kota, kewenangan menetapkan Peraturan Daerah masih
ditentukan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota, asalkan untuk itu perlu mendapat
persetujuan lebih dulu dari DPRD setempat. Sesuai fungsinya sebagai lembaga pengawasan
politik yang kedudukannya sederajat dengan pemerintah setempat, maka DPRD juga
diberi hak untuk melakukan amandemen dan apabila perlu menolak sama sekali
rancangan yang diajukan oleh pemerintah itu. Bahkan DPRD juga diberi hak untuk
mengambil inisiatif sendiri guna merancang dan mengajukan rancangan sendiri
kepada pemerintah (Gubenur atau Bupati/Walikota).
Dengan demikian, saya menyarankan kepada semua anggota DPRD propinsi,
kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, untuk meningkatkan perannya sebagai
wakil rakyat yang secara aktif mengawasi jalannya pemerintahan di daerah
masing-masing dengan sebaik-baiknya. Instrumen yang dapat digunakan untuk itu
adalah segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan rencana anggaran
yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Sudah tentu untuk melaksanakan
fungsi-fungsi DPRD, termasuk fungsi legislasi dan fungsi anggaran, setiap
anggota DPR perlu menghimpun dukungan informasi dan keahlian dari para pakar di
bidangnya. Informasi dan kepakaran itu, banyak tersedia dalam masyarakat yang
dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat banyak.
Apabila mungkin, setiap anggota DPR juga dapat mengangkat seseorang ataupun
beberapa orang asisten ahli untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Jika belum
mungkin, ada baiknya para anggota DPRD itu menjalin hubungan yang akrab dengan
kalangan lembaga swadaya masyarakat, dengan tokoh-tokoh masyarakat dan
mahasiswa di daerahnya masing-masing, dan bahkan dari semua kalangan seperti
pengusaha, kaum cendekiawan, tokoh agama, tokoh budayawan dan seniman, dan
sebagainya. Dari mereka itu, bukan saja dukungan moril yang dapat diperoleh,
tetapi juga informasi dan pemahaman mengenai realitas yang hidup dalam
masyarakat yang kita wakili sebagai anggota DPRD. Atas dasar semua itu, setiap
anggota DPRD dapat secara mandiri menyuarakan kepentingan rakyat yang mereka
wakili, sehingga rakyat pemilih dapat benar-benar merasakan adanya manfaat
memberikan dukungan kepada para wakil rakyat untuk duduk menjadi anggota DPRD.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Asshiddiqie, Jimly, Pembangunan
Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
--------------, Pergumulan Peran
Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai
Negara, Jakarta: UI-Press, 1996.
--------------, “Penataan Kembali
Bentuk dan Tata Urut Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia”, makalah
Seminar Nasional tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandar Lampung:
Sekretariat Jenderal MPR-RI dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 24-26
Maret, 2000.
--------------, “Reformasi Hukum
Nasional”, makalah seminar Kelompok Kerja Nasional Reformasi Hukum Menuju
Masyarakat Madani, Jakarta: Sekretariat Negara, 1999.
Finer, S.E., Bogdanor, Vernon, dan
Rudden, Bernard, Comparing Constitutions, Oxford: Clarendon Press, 1995.
Keete, William J., and Ogul,
Morris S., The American Legislative Process: Congress and the States, 4th
edition, New Jersey: Prentice-Hall, 1977.
Levinson, Sanford, The Constitutional
Faith, Princeton University Press, 1988.
Lubis, Solly, “Sumber Hukum
Perangkat dan Peringkat Peraturan Hukum”, makalah Seminar Nasional Perubahan
UUD 1945, Bandar Lampung: Sekretariat Jenderal MPR-RI dan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 24-26 Maret, 2000.
Metz, John Carl, The President’s
Veto Power, 1889-1968, Ph.D. Dissertation, University of Pittsburgh, 1971.
Republik Indonesia, Perubahan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR-RI, 2000.
Wolhoff, G.J., Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Timun Mas, 1955.
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Jajasan Prapantja, 1959.
[1] Disampaikan dalam “Lokakarya
tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru)
Banten” yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies
and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000.
[2] Guru Besar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
[3] Lihat Penjelasan Pasal 24 UUD
1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merdeka dari pengaruh kekuasaan
pemerintah.
[4] Pasal 5 ayat (1) UUD 1945
sebelum diamandemen menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
[5] Ketetapan MPR No.
[6] Misalnya peradilan agama yang
memiliki sejarah tersendiri dalam sistem hukum nasional, diberikan perhatian
yang khusus, sehingga tidak serta merta dipindahkan pembinaannya ke lingkungan
Mahkamah Agung.
[7] Perumusan kata ‘memberikan’
dalam pasal ini tidak bersifat deklaratif sebagaimana lazimnya dalam perumusan
norma hukum dasar dalam konstitusi. Karena itu, jika pengertian pemberian
otonomi itu ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan kepada daerah, maka
berarti konsep kekuasaan asli dibedakan dari konsep kekuasaan sisa yang
merupakan ciri sistem federal seperti yang dikemukakan di atas.
[8] Konsep pertahanan-keamanan
sebelum ditetapkannya Ketetapan MPR No. /MPR/2000 dilaksanakan secara bersamaan oleh TNI dan
POLRI. Ketika UU No.22/1999 disahkan, organisasi TNI dan POLRI juga belum
terpisah dalam satu kesatuan ABRI. Karena itu, dapat saja timbul penafsiran
bahwa terhadap gagasan untuk melakukan desentralisasi fungsi kepolisian sebagai
penegak hukum dan keamanan serta ketertiban masyarakat dapat saja dikembangkan,
meskipun fungsi pertahanan-keamanan oleh TNI tetap merupakan urusan pemerintah
pusat. Tetapi, setelah ditetapkannya Perubahan Kedua UUD 1945, dimana perkataan
‘pertahanan, keamanan’ dipisahkan dengan koma, maka baik fungsi pertahanan oleh
TNI maupun urusan keamanan oleh POLRI ditentukan mutlak sebagai kewenangan
pemerintah pusat.
[9] Adanya hak veto ini biasa
diatur dalam sistem yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan, karena dianggap
dapat dijadikan senjata yang efektif untuk meng’counter’ atau menghadapi
kekuatan lembaga lain dalam rangka hubungan saling mengendalikan.
[10] Dalam Pasal 34 Konstitusi
Perancis, misalnya, dinyatakan bahwa “Legislation is enacted by Parliament”.
Dalam pasal ini juga ditentukan secara terperinci ruang lingkungan isi dan
hal-hal yang harus diatur dalam undang-undang. Lihat S.E. Finer, Vernon
Bogdanor dan Bernard Rudden, Comparing Constitutions, Clarendon Press, Oxford,
1995, hal. 223.
[11] Jimly Asshiddiqie,
Pergumulan Peran Parlemen dan Pemerintah dalam Sejarah: Telaah Perbandingan
Konstitusi Berbagai Negara, UI-Press, Jakarta, 1996.
[12] William J. Keete and Morris
S. Ogul, The American Legislative Process: Congress and the States, 4th
edition, Prentice-Hall, New Jersey,
1977, hal.366.
[13] John Carl Metz, The
President’s Veto Power, 1889-1968, Disertasi Ph.D., University of Pittsburgh,
1971, hal. 413-414.
[14] Samuel R. Solomon, “The
Governor as Legislator”, National Municipal Review, XL (November 1951), hal.
515, juga dalam M. Nelson McGeary,
“The Governor’s Veto in Pennsylvania”, American Political Science Review, XLI
(October 1947), hal. 942. Lih. William J.Keete and Morris S. Ogul, Op.Cit.
[15] Jimly Asshiddiqie, Op.Cit.
[16] Republik Indonesia, Naskah
Perubahan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI,
Jakarta, 2000.
0 comments:
Post a Comment