PRESPEKTIF MODEL PELAYANAN
KEPOLISIAN
ERA POLRI MANDIRI BERKAITAN DALAM
PENERAPAN OTONOMI DAERAH
PENDAHULUAN
Kebijakan otonomi daerah yang dilancarkan dalam era reformasi telah
mengundang berbagai pendapat dan pandangan menyangkut UU No.22 Tahun 1999. Ada
yang menganggap UU ini terlalu luas memberikan keleluasaan (discretionary power) kepada daerah sehingga dikhawatirkan akan
menimbulkan perpecahan (disintegrasi)
karena terkotak-kotaknya daerah yang satu dengan yang lain, dan tidak
terkendali oleh pemerintah pusat, yang akhirnya daerah yang merasa sangat kuat
akan memisahkan dari Negara Kesatuan RI. Sebaliknya, ada yang beranggapan bahwa
UU ini masih berbau status quo, pemerintah yang menamakan dirinya sebagai
“pemerintah orde reformasi” nyatanya tidak reformis dan dalam memberikan
otonomi kepada daerah masih setengah hati.
Terlepas dari berbagai pandangan yang berbeda, UU No.22 Tahun 1999 telah
berlaku secara efektif dan diberi masa transisi selambat-lambatnya dalam waktu
dua tahun sejak ditetapkannya. Dalam pada itu, ketentuan pelaksanaan sebagai
tindak lanjut undang-undang ini harus sudah selesai selambat-lambatnya dalam
waktu satu tahun sejak undang-undang ini ditetapkan.
Dengan kebijakan otonomi daerah ini Polri yang dalam sistem administrasi
negara merupakan sub sistem administrasi negara dalam kegiatan preventif ,
perlu melakukan langkah-langkah penyesuaian dengan Undang-undang ini. Dengan mandirinya Polri dibawah
Presiden sejak 1 Juli 2000, bukan berarti Polri melaksanakan tugas dan
fungsinya sendiri, Polri mandiri, berarti seseusai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku , sebagai alat negara pengak hukum, sebagai
pembina kamtibmas, sebagai pembina tehnis, koordinator, dan pengawas Polsus,
PPNS, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, pengayom , pelindung, dan
“pelayan” masyarakat.
Dalam tugas fungsi operasionalnya dibidang penyidikan, penyidik tidak
dintervensi oleh instansi atau pejabat lain, juga tidak oleh pejabat atasan
penyidik yang bersangkutan.
Dibidang prevensi harus bekerja sama dengan “pemerintah daerah”,
instansi pemerintah terkait.
karena fungsi keamanan dalam negeri yang diemban Polri maka
secara organsasi Polri bersifat
terpusat, atau nasional, kepolisian nasional tidak sama artinya dengan kepolisian sentralistik , tapi susunan
organisasinya utuh dari pusat sampai kedaerah.(Awaludin, 1999)
Prinsip desentralisasi dalam
administrasi negara telah dilaksanakan hampir semua negara dan prinsip
sentralistik telah ditinggalkan. Desentralisasi akan memberdayakan masyarakat dan akan meningkatkan
kreativitas dan inovasi bagi penjabat-penjabat didaerah.
Dibidang Kepolisian, seperti yang disimpulkan
oleh David H. Baeley dalam
bukunya “ Police for future”
sebagai hasil penelitian Kepolisian lima negara maju, yaitu Australia, Inggris.
Canada, Jepang dan Amerika Serikat yang sistem pemerintah dan kepolisannya yang
berbeda-beda, bahwa disemua negara tersebut, diutamakan kesatuan kepolisian
yang berbeda-beda, yang paling dekat masyarakat yang dinamakan Balley sebagai
“Basic Police unit” (BPU).
BPU atau komando
operasional dasar, polisi merupakan ujung tombak polisi dalam melayani
masyarakat, dengan KOD yang membawahi sektor polisi sebagai ujung tombak
kepolisian dalam mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat , diharapkan
menjadi leader /pemimpn anggotanya dan juga bagi masyarakat diwilayahnya juga.
Model otonomi yang diberikan oleh
Mabes Polri mengarah kepada pemberian otonomi ditingkat K+esatuan Operasional
Dasar ( KOD) , kepolisian pada tingkat daerah tingkat II, kotamadya dan
Kabupaten.
Dengan otonomi diberikan ditingkat II (polres) harapkan
pelayanan Polri dapat menyentuh langsung masyarakat sesuai dengan harapan
masyarakat,. Hal ini juga mempermudah
dalam pengenalan budaya daerah tersebut dalam melakukan pelayanan masyarakat.
Terjadinya krisis yang berkepanjangan telah membawa dampak hampir kepada
seluruh aspek dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Walaupun terasa pahit
karena menimbulkan keterpurukan bagi bangsa dan rakyat Indonesia, namun hikmah
positif yang merupakan blessing in disguised adalah timbulnya ide dan pemikiran
dasar yan menumbuhkan “reformasi total” di dalam segala aspek kehidupan
bernegara dan berbangsa. Fokus utama reformasi total ini adalah mewujudkan
masyarakat madani (civil society) dalam
kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki
nilai-nilai Good Governance (Behoorlijk
Bestuur) yang memunculkan nilai demokrasi dan sikap keterbukaan, kejujuran,
keadilan, berorientasi kepada kepentingan rakyat, serta bertanggung jawab
kepada rakyat.(Awaludin,1999)
Dampak reformasi total ini, ditinjau dari segi politik dan
ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan
yang bercorak sentralistik ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik.
Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud
“otonomi daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri, atas dasar pemerataan dan
keadilan, serta dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman wilayahnya. Demikian pula dengan kepolisian yang
selama ini bergabung dengan ABRI , mendapatkan dukungan yang luas dari
masyarakat untuk memisahkan diri dari ABRI, dorongan ini dimaksudkan agar
Polisi mempunyai kemandirian dalam menjalankan tugas-tugasnya. Karena selama ini Polri, tidak
menunjukan kemandirian tugasnya karena intervensi dari unsur ABRI yang lain,
dan bergabungnya Polri mengakibatkan banyak kerugian antara lain perilaku yang
cenderung militeristik dari anggota Polri. Pelayanan maupun tugas lain harus lebih banyak melibatkan
masyarakat setempat, serta partispasi aktif masyarakat. Masyarakat diharapkan menjadi polisi
bagi dirinya sendiri dan lingkungannya (community Policing). Dalam tulisan ini
akan disampaikan suatu model pelayanan kepolisian yang berorintasi pada sistem
tersebut, dan dilakukan desentralisasi wewenang Kepolisian didaerah.
PERMASALAHAN
Dengan latar belakang tersebut ada
permalahan yang timbul, yaitu; sejauh mana, Polres sebagai Kesatuan Operasional
Dasar dalam menghadapi otonomi yang diberikan oleh Mabes Polri, dapat
dilaksanakan oleh Polres, dan sejauhmana kesiapan anggota dalam menghadapi otonomi ini.
KERANGKA TEORITIS
1.
Desentralisasi , dari hirarki menuju
partisipasi dan tim kerja.
Dalam abad informasi , “tekanan utnuk mempercepat
pengambilan keputusan mengalahkan kerumitan yang semakin meningkat dan
ketidakakraban dengan lingkungan keputusan yang harus diambil, “tulis alfin
Tofler dalam Anticipatory Democrasi
. Hasilnya mengahncurkanbeban
berat keputusan-pendeknya, goncangan politik masa depan. Toffler menguraikan dua respon yang
mungkin:
“Salah satu cara adalah berusaha untuk lebih memperkuat pusat pemerintahan,
yang menambahsemakin banyak politikus, birokrat, pakar dan komputer dalam
keputusan untuk berlari lebih cepat dari akselerasi kompleksitas; cara lain
adalah dengan mulai mengurangi beban keputusan dengan membaginya kepada lebih
banyak keputusan dibuat “kebawah” atau pada “pinggiran” ketimbang
mengkonsentrasikannya pada pusat yang terkena stress dan tidak berfungsi dengan
baik. (David Osborne, Ted Gaebler, 1991)
para
pemimpin yang berjiwa wirausaha berusaha untuk menjangkau pendekatan yang
desentralisasi . Lembaga yang
terdesentralisasi mempunyai sejumlah keunggulan :
a.
Lembaga
yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi;
lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan
kebutuhan pelanggan yang berubah.
b.
Lembaga
terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang tersentralisasi.
c.
Lembaga
desentralisasi jauhn lebih inovatif daripada yang tersentralisasi.
d.
Lembaga
yang terdesentralisasi mengahasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih
banyak komitmen dan lebih besar produktifitas.
Mendesentralisasikan organisasi publik melalui manjemen
partisipatif, suatu contoh dimana telah menunjukan bagaimana
departemen-departemen Kepolisian dapat memanfaatkan manajemen partisipatif. Salah satu contoh langkah yang
revolusioner : Para karyawan memilih sendiri kapten dan letnan mereka. Mereka mengembangkan sendiri staff dan
jadwal mereka, mereka merancang dan membangun gedung distrik mereka sendiri.. dari itu terlihat kerjasama mereka
meningkat dratis (David Osborne, Ted gaebler, 1991). Dari hasil penelitianya juga diungkapkan bahwa terdapat
kepuasan lebih tinggi dari sebelumnya dalam melaksanakan tugasnya.
2. Konsep pelayanan Kepolisian.
Dengan konsep pelayanan kepolisian
, pada hakekatnya adalah merupakan
wujud dari jati diri Polri yantg aan memberikan warna citra Polri dalam
persentuhan dengan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam rangka pelayanan maka saat
dimana anggota masyarakat dan anggota Polri yang memberikan pelayanan bertemu
untuk meberikan pelayanan. Saat
pertemuan ini merupakan saat
paling menentukan seberapa jauh Polri mampu atau tidaknya memberikan
pelayanan yang terbaik saat itu pula akan ikut menentukan pembentukan citra
Polri.
Tiga
aspek yang perlu diperhatikan dalam pelayanan kepolisian:
Pertama kompetensi dari pengembangan profesi. Kompetensi berkaitan dengan kemampuan
petugas-petugas Kepolisian untuk mengaplikasikan secara tepat pengetahuan dan
ketrampilan sesuai ketentuan hukum.
Dalam menghadapi kasus pelanggaran hukum dan gangguan kamtibmas Polisi
dituntut untuk mampu:
a. Mengambil tindakan segera dan tepat
sehingga suatu kasus tidak berkembang sehingga merugikan suatu pihak.
b. Mengidentifikasikan suatu kasus
sehingga dapat membedakan kasus pidana dan kasus perdata, dan pelanggaran hukum
pidana yang telah terjadi.
c. Mengembangkan konsep pembuktian
pelanggaran yang diperlukan untuk mendukung sangkaan pelanggaran hukum dan
mengumpulkan alat buktinya secara legal sesuai prosedur hukum dan obyektif.
Lebih dari
itu, seorang polisi yang profesional juga dituntut untuk mampu menjelaskan
mengapa suatu kasus terjadi dan memperkirakan timbulnya suatu kejahatan
variabel-variabel independen tersedia/berkulminasi pada suatu kesempatan (ruang
dan waktu).
Aspek kedua adalah konsistensi, baik dalam
pengertian waktu dan tempat maupun
orang. Artinya layanan
Kepolisian harus disajikan secara konsisten pada sepanjang waktu, disemua
tempat dan oleh segenap petugas.
Nampaknya aspek inilah yang mewarnai kelemahan pelaksanaan tugas
khususnya penegakan hukum oleh Polri sehingga meimbulkan kesan kurang adanya
kepastian hukum dinegeri kita.
Apek ketiga yang berkenaan dengankualitas
pelayanan Polri adalah keberadaan yang banyak berkaitan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan nilai-nilai sosisal suatu masyarakat. Dalam hal ini pengembangan profesi kepolisan dituntut
memilki integritras kepribadian yang tinggi sehingga mampu: (1) mengendalikan emosi, (2) menghindarkan diri dari
godaan/pengaruhnegatif, (3) membatasi penggunaan kekerasan/upaya Paksa; (4)
menjunjung HAM dan Menhargai hak-hak individu dan (5) berlaku sopan dan
simpatik .
3. Konsep pembinaan kamtibmas ,
desentralisasi tindakan bersama.
Dalam melakukan pelayanan
kepolisian pendekatan kepada masyarakat dalam dilakukan dengan pembinaan.
Dalam karya
Whitaker (1980) yang dengan tema atau komponen kerjasama yang diberi istilah” tindakan bersama” :
a. ketika masyarakat minta bantuan
dari lembaga masyarakat disini instansi tergantung pada permintaan pada
permintaan akan jasa.
b. Ketika masyarakat memberikan
bantuan kepada lembaga masyarakat,
disini warga masyarakat meprakarsai atau diharapkan membantu instansi
agar bekerja lebih baik
c. Ketika warga dan instansi
berinteraksi untuk meyesuaikan pandangan dan tindakan masing-masing dalam
pelayanan. (Robert R. Friedmann,1998)
Dalam
kaitan itu disini terdapat satu konsep pembinaan kamtibmas dan desentralisasi tindakan bersama , yang di
implementasikan dalam prinsip-prinsip patroli Jalan kaki , hasil penelitian
Trojanowicz dan Bucqueroux, 1990, dalam Dalam buku Robert R Freidmann, 1998
yaitu:
a. Pembinaan kamtibmas adalah falsafah
dan strategi.
b. Pembinaan kamtibmas perlu
dilaksanakan oleh seluruh jajaran Kepolisian.
c. Pembinaan kamtibmas membutuhkan
Polisi kusus, yaitu polisi pembina kamtibmas.
d. Polisi Pembina kamtibmas harus
bekerja sama dengan sukarelawan.
e. Pembinaan kamtibmas memperkenalkan
hubungan baru antara aparat dan masyarakat.
f. Pembinaan kamtibmas menambahkan
dimens proaktif dalam polisi.
g. Pembinaan Kamtibmas bertujuan untuk
melindungi lapisan masyarakat yang paling rawan.
h. Pembinaan kamtibmas mencoba
menyeimbangkan ketrampilan manusia dan inovasi tehnologi.
i. Pembinaan kamtibmas harus menjadi
peraturan yang diberlakukan secara padu.
j. Pembinaan kamtibmas menekankan
desentralisasi tugas dan wewenang.
RUANG LINGKUP PELAYANAN DAN TUJUAN KEPOLISIAN
Harapan masyarakat
yang terlampau besar pada polri dalam meberikan pelayanan kepada
masyarakat. Sebenarnya sudah
sesuai apabila dikaitkan dengan tugas pokok Polri yang demikian luas, baik
sebagai Penegak hukum, pembimbing, pelindung dan pelayan masyarakat.
Dengan
demikian pelayanan bagi Polri kepada masyarakat merupakan salah satu
tugas pokok yang penting karena hampir sebagian besar fungsi-fungsi kepolisian
terkait dengan aspek pelayanan, baik tugas kepolisan dibidang prevetif,
represif maupun bimmas.
Tugas-tugas
kepolisian yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat antara lain:
a. Pelayanan atas pengaduan/laporan
dari masyarakat.
b. Pelayanan dalam memberikan
bantuan Kepolisian.
c. Pelayanan administrasi lalulintas.
d. Pelayanan dalam proses penegakan
hukum/penyelidikan.
Yang kesemuanya
tergelar dalam pelaksanaan fungsi-fungsi operasional Kepolisian yaitu Intelpam,
sabhara, lalu-lintas, Bimmas dan Reserse.
Berbagai keluhan dalam
bentuk berita-berita dalam berbagai media massa, merupakan suatu indikator
bahwa Polri perlu untuk melakukan evaulasi atas pelayanan yang selama ini
diberikannya untuk kemudian mengambl langkah-langka peningkatan.
Dalam rangka pelayanan
masyarakat maka ada saat dimana anggota masyarakat dan anggota Polri yang
memberikan pelayanan bertemu untuk memberikan pelayanan. Saat pertemuan ini merupakan saat
paling menentukan seberapa jauh Polri mampu atau tidak mampu memberikan
pelayanan yang terbaik, saat ini pula akan ikut menentukan pembentukan citra
Polri. Hal ini akan jelas bila
kita bayangkan setiap harinya, berapa kali pertemuan yang terjadi antara
anggota Polri dengan anggota masyarakat diseluruh wilayah Republik Indonesia.
Momen pertemuan ini
pada umumnya terjadi pada ujung tombak operasional Polri yaitu Polsek-polsek
dan Polres-polres dimana anggota Polri yang terlibat terutama adalah
anggota-anggota Bintara dan tamtama.
Polsek-Polsek dan anggota yang berpangkat Bintara dan tamtama dalam
kenyataan merupakan unsur pelaksana terdepan dari organisasi polri yang
memiliki kelemahan-kelemahan yang disebabkan berbagai faktor internal seperti tingkat kemampuan anggota, sarana
dan prasana peralatan maupun kemampuan tehnik manjerial.
Terlepas dari
rumusan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegeri kita, mandat (tugas)
yang dibebankan kepada lembaga Kepolisian sejak lahirnya adalah menegakan
hukum (law enforcement) dan
memelihara keamanan dan ketertiban umum (publik order maintenance) yang
terakhir ini karena dipandang reaktif berkembang menjadi “pembina”
(proaktif). Kalaupun tugas-tugas
lain-lain yang dibebankan kepada Kepolisian, biasanya itu berkaitan dengan dua
tugas pokok tersebut. Misalnya,
pencarian dan penyelamatan (SAR), penyelesaian pertikaian dan pemberian surat
izin/keterangan, dan lain-lain..
Dengan demikian ruang lingkup pelayanan kepolisian mencakup kedua bidang
tugas tersebut. Kepolisian
diciptakan (oleh masyarakat dan kemudian diformulasikan secara legal oleh
negara) untuk kedua tugas tersebut.
Dengan menghayati
latar belakang pembentukan kepolisian, kita dapat mengindentifikasi bahwa
harapan masyarakat yang esensial dari penyelenggaraan fungsi kepolisian hanya
mencakup: timbulnya rasa aman dan adanya kepastian hukum. Tetapi pertanggung jawaban
(accountability) Kepolisian tidak hanya mencakup ”apa yang dilakukannya”
(produk) tetapi juga bagaimana melakukannya (proses). Dalam hal ini, polisi harus melaksanakan tugas-tugasnya
sesuai aturan hukum (termasuk
menjunjung hukum dan hak-hak individu) .
Karena itu, aspek ketiga dari kebutuhan masyarakat adalah ditegakannya
keadilan, dalam arti perlakuan yang sama dan sesuai hukum bagi setiap orang
yang dilayaninya. Jika aspek
tersebut benar maka Polri dituntut untuk menyajikan terutama (anecsessary
condition) layanan yang pada dasarnya, dari sudut legalistik, dapat
menghasilkan ketiga aspek kebutuhan tersebut itulah tujuan (goal) Kepolisian
(Muhammad, 2000).
Namum Dalam
pelaksanaan tugas kepolisian tidak hanya memberikan bantuan yang menyenangkan
tetapi juga melakukan pengawasan bahkan dalam keadaan tertentu mengambil
tindakan korektif (control) yang menyakitkan. Dilain pihak Kepolisian tidak mungkin berhasil menjalankan
tugas untuk mencapai tujuannya tanpa dukungan dari masyarakat. Dukungan itu akan datang jika ada
kepercayaan masyarakat.
Kepercayaan akan lahir jika Polri mampu menyajikan layanan jasa
Kepolisian dan melalui proses hukum.
Dukungan akan datang
jika polisi disenangi masyarakat (dipercayai belum tentu disenangi). Untuk disenangi oleh masyarakat, polisi
dituntut, dari sudut Sosio cultural, untuk berperilaku simpatik dalam
melaksanakan tugas mereka. Dengan
demikian aspek kebutuhan masyarakat yang keempat yang menjadi tujuan Kepolisian
adalah “ditunjukannya perilaku “ simpatik. Tercakup dalam pengertian ini adalah sikap dan perilaku
arif, sopan, menghargai orang lain dan menjunjung adat. Aspek ini sering kali mendominasi
publik yang diutarakan melalui media massa, walaupun sebenarnya bukan merupakan
prasarat bagi keberhasilan Polri.
KUALITAS PELAYANAN POLRI
Citra Polisi sering
merosot karena ulah beberapa orang anggotanya. Prasangka masyarakat terhadap Polisi diantaranya
dibangkitkan oleh kenyataan, bahwa Polisi itu tidak memberikan perhatian yang
sama eterhadap seluruh bagian atau
lapisan masyarakat. Kenyataan tersebut diatas terlihat pada distribusi ekologis
dari pekerjaan Polisi, baik secara instansional maupun individual (Bittner,
1980 dalam Satjipto Raharjo, 1979).
Oleh masyarakat Polisi dianggap lebih sering berada pada daerah-daerah
tertentu pada bagian kota. Ini
berakibat bahwa orang-orang dibagian tertentu mendapatkan lebih banyak
keuntungan pekerjaan itu dari pada lapisan lain dalam masyarakat. (Satjipto
Raharjo, 1979) .Kenyataan ini ditemukan dalam penelitian PSKP yang akan
dijelaskan alena berikut .
Kualitas pelayan Polri
berdasarkan penelitian PSKP (Pusat Studi keamanan dan Perdamaian) Universitas Gajah Mada yang dilakukan
di enam Polda yaitu: Jatim, DIY, Bali, Sulsel, Riau, Sumut menunjukan bahwa,
dalam penelitian meliputi, kedisipilinan, etos kerja keras, pengabdian, kerajinan, sikap pantang menyerah, teladan bagi masyarakat. Hasilnya adalah menunjukan bahwa masyarakat menilai Polisi tidak cukup disiplin, tidak cukup rajin, cenderung mudah menyerah, dan sepenuhnya patut dijadikan teladan. Data ini dikuatkan dengan hasil wawancara dengan beberapa responden Polisi diPolda Riau , mengungkapkan pandangannya tentang sikap kerja Polisi. Menurutnya etika “3S” (senyum, salam ,sapa) seharusnya selalu hadir dalam tugas Polisi. Namun yang terjadi adalah Polisi justru larut dalam karakternya sebagai prajurit yang bersosok angkuh, arogan, dan sok kuasa. Akibatnya sebagaimana diungkapkan oleh sebagian besar responden masyarakat Riau, sikap Polisi dalam pelayanan menjadi kelihatan angker. Apalagi hal ini dilakukan oleh Polisi Lalu-lintas (Poltas), kesatuan Polisi yang sering menjadi representasi figur polisi dimata masyarakat. Masyarakat umumnya menilai citra polisi dari poltasnya.
dalam penelitian meliputi, kedisipilinan, etos kerja keras, pengabdian, kerajinan, sikap pantang menyerah, teladan bagi masyarakat. Hasilnya adalah menunjukan bahwa masyarakat menilai Polisi tidak cukup disiplin, tidak cukup rajin, cenderung mudah menyerah, dan sepenuhnya patut dijadikan teladan. Data ini dikuatkan dengan hasil wawancara dengan beberapa responden Polisi diPolda Riau , mengungkapkan pandangannya tentang sikap kerja Polisi. Menurutnya etika “3S” (senyum, salam ,sapa) seharusnya selalu hadir dalam tugas Polisi. Namun yang terjadi adalah Polisi justru larut dalam karakternya sebagai prajurit yang bersosok angkuh, arogan, dan sok kuasa. Akibatnya sebagaimana diungkapkan oleh sebagian besar responden masyarakat Riau, sikap Polisi dalam pelayanan menjadi kelihatan angker. Apalagi hal ini dilakukan oleh Polisi Lalu-lintas (Poltas), kesatuan Polisi yang sering menjadi representasi figur polisi dimata masyarakat. Masyarakat umumnya menilai citra polisi dari poltasnya.
Penilaian mayarakat
terhadap rendahnya moral Polisi, misalnya, tidak terlepas dari bias kesatuan
tersebut. Terhadap argumen bahwa
Polisi berbuat demikian karena rendahnya gaji yang mereka terima dibantah oleh
sorang resonden tokoh pemuda diJawa Timur. Menurutnya, pada beberapa profesi lain yang juga bergaji
kecil, pelanggaran hukum juga jamak ditemukan. Namun tidak sebesar yang dilakukan pada Polisi. Perbandingan yang dilakukan responden
tersebut bisa jadi kurang proporsional dan kurang tranparan. Namun demikian , hal ini juga
menegaskan sisi positif yakni tingginya tingkat sensitifitas masyarakat
terhadap perilaku pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Polisi.
Terhadap indikasi
rendahnya moral Polisi dilapangan, seorang responden pama dipolda Sumatra Utara
mengemukakan bahwa, indikasi tersebut sebenarnya lebih mencerminkan tingkat
adaptasi polisi yang cukup rendah dimasyarakat. Menurutnya dilapangan banyak sekali ditemukan Polisi kurang
bisa beradaptasi atau yang tidak sadar lingkungan, sehingga kuarang memiliki
kedekatan dengan masyarakat.
Disamping itu, responden Polisi di Riau juga mengungkapkan bahwa banyak
anggota Polisi yang tidak menguasai wilayah tugasnya, disamping karena
rendahnya ketrampilan yang mereka kuasai.
Rendahnya tingkat
adaptasi polisi juga dikemukakan oleh responden masyarakat di Sumatra
Utara. Padahal, sebagaimana
dkemukakan oleh responden masyarakat Riau dan Jawa Timur, Perilaku yang adaptif
sangat penting dalam membina kedekatan polisi dengan masyarakat.
Sebagai akibatnya,
anggota polisi terlihat sangat rendah komitmennya dalam menjalankan tugasnya,
bahkan tidak jarang terlihat sangat apatis. Dalam kondisi yang demikian, menurut responden masyarakat
Riau dan Sumatra Utara , polisi “lebih
banyak menunggu bola ketimbang menjemput bola”. Tidak mengherankan jika responden masyarakat Sumatra Utara
melihat bahwa masyarakat lebih suka menghindarkan diri dari berurusan dengan
polisi. Disamping karena alasan
birokrasi Polisi yang sering berbelit-belit, pelayanan polisi sering
diskriminatif. Disamping itu,
masyarakat masih menyangsikan kerahasiaan pelaporan dan identitas pelapor.
Kesan buruk terhadap
sikap pelayanan polisi tersebut tentu saja bukan merupakan gambaran seluruh
masyarakat Indonesia. Dibeberapa
daerah, yang muncul justru kesan positif atas pelayanan Polisi. Para tokoh ulama, tokoh masyarakat, dan
tokoh pemuda diJawa timur memuji sikap kerja Polisi dilingkungan kerja
mereka. Sebagai contohmya mereka
menilai bahwa kapolsek dilingkungan mereka telah memiliki kepemimpinan yang
baik ; dekat dengan rakyat dan tidak membeda-bedakan dalam pelayanan. Di kota sampel lainya di jawa Timur,
tokoh masyarakat dan tokoh pemuda juga menyatakan hal yang senada . mereka menilai petugas bimmas
dilinkungan mereka telah bertugas dengan baik: tidak pernah meminta uang dan
selalu mengadakan pendekatan dengan masyarakat, Bahkan beberapa responden masyarakat di Riau sangat memuji
peran seorang polisi (seorang kasat bimmas) yang mampu memfasilitasi
persengketaan antar suku. Kasat
tersebut akhirnya diangkat sebagai tokoh adat salah satu suku yang terlibat sengketa.
Walaupun demikian,
jika kita perhatikan, semua sependapat yang bersifat positif tersebut umumnya
selalu berkaitan dengan individu tertentu dari Polisi, dan buka merupakan
pandangan terhadap terhadap polisi sebagai kelembagaan . Dengan demikian, citra
negatif Polisi sebagai kelembagaan.
Dengan demikian, citra negatif polisi tidak dengan sendirinya hilang
oleh pandangan positif yang bersifat individual tersebut.
Pengertian sikap
pelayanan yang dimaksud dalam penelitian adalah: tidak membedakan pangkat,
tidak mebedakan kaya miskin, tidak meminta uang jasa, ramah dan sopan, cekatan,
mempermudah urusan, pelayanan memuaskan.
Dari data yang ada ditemukan bahwa Polisi membedakan pangkat dalam
pelayanan, mengutip uang jasa, kurang ramah dan sopan, kurang cekatan,
cenderung mempersulit urusan dan pelayanan yang kurang memuaskan.
Terdapat perbedaan
yang signifikan antar daerah.
Masyarakat Sumatra Utara memiliki penilaian terburuk. Seluruh aspek pelayanan diatas dinilai
oleh masyarakat Sumatra Utara benar-benar mendahulukan yang berpangkat dan
kaya, mengutip uang jasa, kurang ramah dan kurang sopan, lamban, mempersulit
urusan dan pelayanan yang mengecewakan.
Data tentang
penelitian ini didukung oleh hasil wawancara dengan beberapa responden
dibeberapa wilayah. Ungkapan
responden masyarakat Riau tentang URC sebagai kependekan untuk rakyat cina ,
merupakan bukti adanya pandangan polisi pada masyarakat. Ungkapan tersebut
memberi indikasi adanya pelayanan polisi yang bersifat diskriminatif. Terhadap
masyarakat.
Dengan dugaan
tersebut tampaknya juga bisa ditemukan dihampir semua daerah penelitian
terutama Jawa timur, Sumatra Utara dan Riau. Sebagaimana diakui oleh seorang Kasat Bimmas Polda Jawa
Timur, bahwa polisi sering melihat siapa yang dilayani . Misalnya kalau cewek cakep bisa
didahulukan. Pengakuan responden
masyarakat Sumatra utara lebih jelas lagi tentang pelayanan Polisi yang
didkriminatif tersebut. Menurut
mereka, kalau pribumi melapor pelayanannya lama , sedangkan jika non pribumi
(warga tionghoa), pelayanannya terlihat sangat cepat. Ada kecenderungan dari Polisi untuk menganggap laporan warga
tionghoa lebih obyektif, apa ,adanya, sedangkan laporan dari warga pribumi
sering dilebih-lebihkan. Akibatnya
polisi lebih percaya pada laporan
warga tionghoa. Indikasi tersebut
mendapatkan pembenaran lebih jauh ketika responden masyarakat ini mengatakan
bahwa kalau ada warga tionghoa yang meninggal, polisi mengawal iring-iringan
jenazahnya sampai kekuburan. Kalau
orang melayu yang punya kerja polisi tidak mau datang.
Dari hasil temuan
tersebut dapat ada poin-poin yang dapat diungkapkan sebagai intisarinya hal-hal tersebut adalah:
1.
Tingginya rasa
tidak aman masyarakat.
2.
Pelayanan yang
dipersepsikan oleh masyarakat justru mempersulit.
3.
Kehadiran anggota
Polisi dirasakan oleh sebagian anggota masyarakat mengancam.
4.
Kecenderungan
“dark number” yang cukup besar.
5.
Tingginya
pelanggaran hukum dan etika oleh anggota Polri.
6.
Citra diri
pribadi anggota Polri yang negatif dimata masyarakat.
Disamping itu, juga diungkapkan
bahwa jati diri anggota polri yang militeristik, intelektualitas yang rendah,
sikap kerja yang tidak pro aktif dan kreativitas yang rendah, orientasi
tindakan pada keselamatan dan kelanggengan karir, serta kemandirian lembaga
yang rendah.
Dari penelitian
tersebut juga dapat disimpulkan bahwa, disamping secara organisatorik Polri kurang efektif dalam menjalankan
missinya, individu anggota Polri masih menunjukan perilaku-perilaku negatif
dalam pemberian layanan yang dapat dikelompokan sebagai berikut:
1.
Penyalahgunaan
kekuasaan, yang berupa, penggunaan kekerasan yang melampaui batas; penuntutan
imbalan materi/uang seperti pemerasan, pungli dan denda damai.
2.
Kualitas
penyajian layanan, tercela dari sudut moral, seperti diskriminasi, membiarkan
permintaan layanan/pertolongan atau penegakan hukum tanpa alasan yang tepat,
diskresi yang melampaui batas dan mengulur waktu.
3.
Patut
disayangkan dari sudut etika, seperti arogan, tidak sopan, lamban dan tidak
memperlakukan orang lanjut usia, anak-anak dan wanita secara baik.
PEMBAHASAN
Dari uraian yang telah
dijelaskan diatas maka dapat kiranya dialkukan suatu analisa mengenai teori dan
fakta yang disajikan untuk dapat mengahasilkan bentuk pelayanan kepolisian
dalam rangka desentralisai (otonomi daerah).
Berangkat
dari sistem kepolisan negara republik
Indonesia yang bersifat Nasional , yang selama ini telah menjalankan
organisasinya lebih bersifat sentralistik, dimana semua kebijaksanaan ,
kewenangan dilakukan secara terpusat oleh Mabes Polri (pusat) dan bersifat
seragam. Dari seluruh daerah yang kepolisian di Indonesia.
Dengan
adanya Undang-undang No, 22 tahun 1999, dengan diberlakukannya otonomi daerah
maka pemerintahan yang tadinya bersifat sentralistik akan diubah menjadi
pemerintahan yang memberikan kewenangan seluas-luasya kepada daerah untuk
mengatur sendiri rumah tangganya.
Kepolisain sebagai sub
sistem administrasi negara, termasuk didalamnya sistem yang dianut, maka perlu melakukan penyesuaian
terhadap perubahan ini. Banyak
konsep yang telah diutarakan diatas guna sebagai landasan kemana pelayanan akan
dialakukan sesuai dengan otonomi ini.
Keberadaan
Kapolres selaku kepala Kepolisan ditingkat bawah (tingkat II), kabupaten maupun
kotamadya. Akan diberikan keleluasaan dalam melakukan pengaturan, melakukan
prediksi, melayani masyarakat sesuai dengan konsdisi daerah dimana mereka
berttugas dan berda. Dengan
demikian kewenangan yang dulu selalu dipegang oeleh pusat /polda akan
dilakukan oleh Polres.
Polres
sebagai kesatuan operasional Dasar
akan menjadi ujung tombak pelayanan didaerah masing-masing.
Dari
konsep yang diutarakan diatas sesuai dengan sistem manajemen yang modern konsep
memberikan otonomi yang lebih besar kepada polres akan memberikan banyak
keuntungan. Konsep desentralisasi
seperti yang diungkapkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Lembaga yang terdesentralisasi jauh
lebih fleksibel darin pada yang tersentralisasi; lembaga tersebut dapat
memberikan respon lebih cepat terhadap linkungan dan kebutuhan pelanggan yang
berubah. Dalam hal ini Polres Sebagai Kesatuan Operasional Dasar
(KOD) atau dalam istilah David Balley Basic Police Unit, merupakan kesatuan
yang paling rendah yang dapat menjangkau masyarakat secara langsung , dengan
adanya kewenangan yang diberikan kepada polres untuk mengatur kebutuhan
personil dan metode dalam memberikan pelayanannya , akan mudah melakukan
pilihan pelayanan yang mana yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika kewenangan yang diberikan
datangnya dari atas membuat sulit bagaimana melakukan antisipasi terhadap
keadaan masyarakat daerah. Bentuk pelayanan yang diberikan akan lebih sesuai dari pada bila
ditetapkan oleh pusat dengan mengambil keragaman yang belum tentu cocok dengan
wilayah tersebut.
2. Lembaga yang terdesentralisai jauh
lebih efektif dari pada yang tersentralisai. Dalam hal ini bahwa dengan diberikannya kewenangan yang
lebih kepada Polres akan dapat
memotong birokrasi yang terlalu panjang sehingga pelayanan yang
lebih cepat dari pada harus
melalui bertingkat, Sebagai Polres
yang berada dilini depan lebih
tahu persis apa yang terjadi
dilapangan, dan lebih tahu dari hari demi hari, jam demi jam tentang apa yang terjadi. Efektifitas yang didapat bisa meliputi
bidang anggaran, manjemen, administratif. Dan lain-lain.
3. Lembaga yang terdesentralisasi jauh
lebih inovatif dari pada yang tersentralisasi, dalam hal ini bahwa selama ini
gagasan sering datangnya dari pimpinan pusat tetapi dengan desentralisasi,
gagasan akan dapat muncul dari bawah karena saat disini, mereka menghadapi
langsung perkembangan masyarakat dan dapat berinteraksi langsung kepada
masyarakat, sehingga ide, gagasan akan mudah timbul dalam pembaharuan metoda
pelayanan kepada masyarakat. Didaerahnya.
4. Lembaga yang terdesentralisasi mengahasilkan
semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar
produkfitasnya. Dalam hal ini
bahwa Polres sebagai kesatuan Operasioanl dasar yang diberikan kewenangan yang
lebih akan menghasilkan semangat kerja karena apa yang menjadi ide dan gagasan
dapat dilaksanakan, dan apabila hal ini berhasil akan memberikan semangat untuk
melakukan inovasi yang lebih baik dan mendorong semangat kerja, dan dengan
sendirinya produktifitas kerja akan lebih meningkat.
Sebagai abdi negara dan
mayarakat kepolisian dengan menerpakan konsepini akan lebih dekat dengan
masyarakat, dan meninggalkan sifat kaku dalam hirarki yang selama 32 tahun
mempengauhi kinerja dan perik\laku anghgota Polri,.Sikap dan Perilaku anggota
Polri yang angkuh, kaku, kental dengan kekerasan karena pengaruh kelembagaan
polri selama menjadi ABRI akan dapat dihilangkan setahap, demi setahap dengan
demikian proses menjadikan polri mitra mayarakat dan pelayanan kepolisian yang
baik akan dapat terwujud . Namun
demikian pelayanan kepada
masyarakat akan lebih baik dengan memadukan konsep ini dengan sistem pembinaan
yang lebih mendekatkan kepada masyarakat dimana pelayanan akan dapat menyentuh
langsung individu-indvidu dalam mayarakat, konsep ini timbul dari patroli jalan
kaki yang dilakukan di Michigan Amerika Serikat dimana Penelitian dilakukan
oleh Trojanowicz dan Bucqueroux,
1990, perinsip-prinsip pembinaan kamtibmas ini adalah:
1. Pembinaan kamtibmas adalah falsafah
dan strategi.
Pembinaan kamtibmas adalah suatu
falsafah dan strategi keorganisasian yang memungkinkan polisi dan warga
masyarakat bekerjasama erat dengan berbagai cara baru untuk memecahkan berbagai
penyebab kejahatan, keributan fisik maupun sosial, serta penyakit masyarakat.
2. Pembinaan kamtibmas perlu
dilaksanakan seluruh jajaran kepolisian.
Ini harus diupayakan sebijak
mungkin agar seluruh jajaran Kepolisian menyadari perlunya mencari pemecahan
permasalahan masyarakat dengan cara-cara yang baru dan kreatif, termasuk
mengajak masyarakat untuk menjadi polisi bagi dirinya sendiri.
3. Pembinaan kamtibmas membutuhkan
polisi kusus, yaitu Polisi pembinaan kamtibmas.
Untuk melaksanakan pembinaan
kamtibams, kepolisian perlu untuk menciptakan dan mengembangkan polisi tipe
baru, polisi pembina kamtibmas.
Sebagai polisi pembina kamtibmas mereka harus dibebas tugaskan dari
tugas-tugas patroli, atau panggilan radio, sehingga dapat melakukan
aktifitasnya dengan tatap muka dengan masyarakat.
4. Polisi Pembina kamtibmas harus
bekerjasama dengan sukarelawan.
Polisi pembina kamtibmas harus dapat
bekerja sama dengan siapapun termasuk sukarelawan dalam mencari pemecahan,
permasalahan yang timbul dalam masyarakat.
5. Pembinaan kamtibmas memperkenalkan
hubungan baru antara aparat dengan masyarakat.
Pembinaan kamtibmas berarti
kesepakatan baru antara kepolisian dengan masyarakat, yang menawarkan harapan
akan terkikisnya sikap apatis, sekaligus menahan diri untuk setiap dorongan
untuk terlalu curiga.
6. Pembinaan kamtibmas menambahkan
demensi proaktif dalam tugas polisi.
Pembinaan kamtibmas akan menambahkan
unsur proaktif yang penting
kedalam pola pikir kreatrif tradisional polisi, dan menjadikan tugas
polisi lebih multi demensional.
7. Pembinaan kamtibmas bertujuan untuk
melindungi lapisan masyarakat yang paling rawan.
Pembinaan kamtibmas menekankan
upaya pencarian cara-cara baru untuk melindungi dan mengangkat kehidupan
lapisan masyarakat yang paling
rawan. Remaja , fakir miskin,
lanjut usia, minoritas, penyandang cacat.
8. Pembinaan kamtibmas menyeimbangkan
ketrampilan manusia dan inovasi tehnologi.
Pembinaan kamtibmas memerlukan
tehnologi tetapi percaya masih lebih baik dengan musyawarah dan bekerjasama.
9. Pembinaan kamtibmas harus menjadi
peraturan yang diberlakukan terpadu.
Pembinaan kamtibmas harus dilakukan
secara terpadu , pembina kamtibmas sebagai jembatan dengan masyarakat.
10. Pembinaan kamtibmas menekankan
desentralisasi tugas dan wewenang.
Pembinaan kamtibmas harus
ditetapkan sebagai pelayanan polisi indivdual yang didesentralisasikan.
Dengan paduan konsep
ini otonomi yang diberikan kepada Polres sebagai KOD akan dapat lebih berhasil
dan pelaksanaan pelayanan akan lebih menyentuh kepada masyarakat sesuai dengan
konsep desentralisasi (otonoimi daera tingkat II).
KESIMPULAN
Bahwa
otonomi daerah tingkat II sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 harus
disambut dengan baik. Sehubungan
dengan itu diperlukan persiapan dan kesiapan sumberdaya manusia sebagai yang mengawaki dalam pelaksanaan
otonomi daerah.
Polri
sebagai lembaga bagian dari sistem administrasi negara dan sistem keamanan
dalam negeri akan mengikuti penerapan undang-undang dengan memberikan
kewenangan luas kepada Kesatuan Operasional Dasar (Polres). Polres sebagai lembaga pada tingkat
kabupaten atau kotamadya memerankan peranan yang penting dalam penegakan hukum
dan perlindungan masyarakat, serta pelayanan masyarakat.
Dengan
berkembangnya sistem pemolisian dalam masyarakat didunia bahwa pengembangan
kepolisian akan mengarah kepada polisi yang dekat dengan rakyat, dengan konsep
mendahulukan pencegahan dari tindakan represif. Dengan konsep pelayanan yang disebutkan diatas dengan
digabungkan dengan konsep pembinaan kamtibmas yang diambil dari prinsip prinsip
patroli jalan kaki di Amerika ,
maka pelayanan kepolisan dengan model desentralisasi akan lebih baik dan lebih
menyentuh kepada masyarakat.
Dengan
desentralisasi kewenangan dan tugas yang diberikan kepada Polres Selaku Kesatuan operasional dasar, pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat dimana Polres tersebut berada , akan lebih menampilkan pelayanan
yang lebih baik dan dekat dengan masyarakat.
Jakarata, 24 Juli 2000
DRS.
BAMBANG HASTOBROTO S
No.mhs. 8799110059
DAFTAR PUSTAKA
1.
AWALUDIN
JAMIN, 1999 Polri sebagai Kepolisian Nasional yang mandiri dan Otonomi
Daerah, Seminar Polri Mandiri, PTIK Jakarta.
2.
DAVID
BALLEY , 1994, Police for the
Future, Cipta Manunggal, Jakarta.
3.
DAVID OSBORNE, TED GAEBLER, 1999, Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government), PT Pustaka
Binaman Presindo, Jakarta.
4.
DAVID OSBORNE AND PETER PLASTRIK, 1998, Banishing
Bureaucracy, Penguin books Ltd, USA.
5.
FAROUK MUHAMMAD, 2000, Strategi Pengubahan Perilaku dan Budaya Dalam Rangka Peningkatan
Kualitas Pelayanan Polri, PTIK, 2000.
6.
KOESPARMONO IRSAN, 1994, Perubahan Ssosial dan pelayanan Polisi (makalah seminar Soscial change
and Publik Servise ), ptik, Jakarta.
7.
M ARIEF WANGSA, 1994, Polisi cara bergaul menarik simpati, Sinar Widjoyo, Jakarta.
8.
RUSMANHADI, 1998,
5 (lima) langkah strategi Dalam penataan Kembali pelayanan Polri kepada
masyarakat dalam Era reformasi, Mabes Polri, Jakarta.
9.
ROBERT R FRIEDMAN, 1998, Community Policing, disadur oleh KUNARTO, Cipta manunggal, Jakarta.
10.
SATJIPTO RAHARJO,
1980, Masalah Penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis , Sinar baru,
Bandung.
11.
UNIVERSITAS GAJAH MADA & MABES POLRI, 1999, Studi eksploratif Profesionalisme dan
Kinerja Polri, PSKP, UGM, Yoyakarta.
12.
MABES POLRI, 1999, Reformasi menuju Polri yang Mandiri, Mabes Polri.
UNIVERSITAS INDONESIA
PRESPEKTIF MODEL PELAYANAN
KEPOLISIAN
ERA POLRI MANDIRI BERKAITAN DALAM
PENERAPAN OTONOMI DAERAH
MATA KULIAH : SEMINAR ISU MASALAH
KEPOLISIAN
DOSEN
: PROF DR. SATJIPTO RAHARJO SH. MA
OLEH
DRS. BAMBANG HASTOBROTO SUDARMONO
NO.MHS. 8799110059
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM KAJIAN ILMU KEPOLISIAN
JULI 2000
0 comments:
Post a Comment