Pendahuluan
Keinginan menegakkan supremasi hukum dan pembenahan
kelembagaan aparatur negara di Indonesia masih menjadi jalan panjang yang belum
juga terwujud. Sebenarnya kunci utama yang dibutuhkan tidak lain adalah adanya
kemauan politik (political will) yang kuat untuk mengatasi berbagai
persoalan rumit bangsa. Persoalan tersebut terkait dengan aspek hukum secara
materiil maupun terhadap aparat penegakan hukum didalamnya.
Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkan supremasi
hukum tersebut dengan jalan melakukan perubahan-perubahan, bahkan pembaharuan,
terhadap berbagai aspek hukum. Program reformasi hukum, tidak bisa tidak, harus
digulirkan secara bersama-sama dengan melibatkan secara aktif seluruh pemangku
kepentingan (stakeholder), dengan beban terbesar diletakkan pada pundak
penyelenggara negara, salah satunya tentu Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI).
Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses
demokratisasi. Era otonomi daerah dengan memberikan desentralisasi kewenangan
kepada daerah juga merupakan input positif dalam tata laksana pembaharuan
aparatur negara. Otonomi daerah telah membuka peluang yang luas dalam
mengikutsertakan elemen-elemen pemangku kepentingan (stakeholder) untuk
dapat berparsipasi secara aktif menggulirkan reformasi penegakan hukum di
Indonesia. Tentu saja perubahan dinamika politik di tingkat nasional tersebut
membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika kehidupan politik
nasional, melainkan juga dinamika sistem-sistem lain yang menunjang
penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Pembangunan sistem politik yang
demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah
Republik Indonesia dan makin mempererat persatuan dan kesatuan Indonesia yang
akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan
kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Permasalahan pokok yang dihadapi oleh
Indonesia saat ini di bidang politik dalam negeri adalah adanya
ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif); belum akomodatifnya konstitusi terhadap
dinamika perubahan masyarakat; rentannya konflik, baik vertikal maupun
horizontal; menguatnya gejala disintegrasi bangsa; serta merebaknya berbagai
tindak kekerasan dan aksi massa yang sering kali memaksakan kehendak.
Selain itu, permasalahan lain yang muncul
sebagai akibat dari warisan sistem politik pada masa lalu adalah
ketidaknetralan serta keberpihakan pegawai negeri sipil (PNS) dan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)
terhadap kepentingan penguasa; lemahnya pengawasan terhadap kinerja
penyelenggara negara, sehingga menjadi penyebab meluasnya tindakan KKN; belum
terlaksananya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good
governance); lemahnya kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelenggaraan
negara, dan lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM); serta belum
memadainya sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan umum
dan pembangunan.
Reformasi Kebijakan untuk Merevitalisasi
Fungsi POLRI sebagai Pengayom dan Pelayan Masyarakat.
Reformasi terhadap lembaga aparatur negara
seperti halnya Polisi Republik Indonesia (POLRI) tidak dapat diselenggarakan
secara terpisah dari lembaga kenegaraan lainnya. Angkatan Kepolisian yang
tangguh akan dengan cepat menjadi mandul apabila tidak didukung secara optimal
aparatur penegak hukum lainnya, seperti jaksa, hakim, dan kepala lembaga
kemasyarakatan. Demikian pula, patut diperhatikan bahwa upaya reformasi
kelembagaan POLRI tidak hanya pada tataran legal formal. Penyelenggaraan
reformasi terhadap lembaga-lembaga tersebut diatas pun tidak mungkin terjadi
bila pendapatan negara tidak cukup untuk membayar gaji yang bisa memenuhi
kebutuhan dasar, serta menutup biaya–biaya lembaga pemerintahan untuk keperluan
sumberdaya dan operasional dasar.
Akibat belum terpenuhinya aspek-aspek di atas, korupsi
telah mewabah hampir ke seluruh bidang pekerjaan kepegawaian negeri, mulai dari
lapisan terbawah hingga yang teratas, tak terkecuali di dalam tubuh POLRI.
Beberapa waktu lalu, pemberitaan yang tidak sedap sempat muncul beberapa kasus
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di tubuh POLRI seperti yang diungkap dalam
skripsi mahasiswa PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Demikian juga
konstalasi politik, dan perubahan sistem pemilihan umum (Pemilu) yang
diselenggarakan secara demokrasi, belum juga mengubah struktur politik pokok
masih didasari jaringan perlindungan (patronage) yang sudah tertanam
dalam.
Namun lambat laun, seiring perubahan politik yang terjadi,
reformasi dapat menjalar ke bidang-bidang yang lebih signifikan, sehingga
korupsi dapat ditekan hingga ke tingkat yang lebih terkendali.Lahirnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga makin mengokohkan kinerja aparatur Kejaksanaan
dalam mengatasi permasalahan korupsi. Namun demikian harus tetap disadari bahwa
hal tersebut bukanlah suatu proses berjangka pendek dan membutuhkan energi yang
besar untuk menjaga konsistensi penegakan aparat hukum, dengan didukung oleh
POLRI.
Reformasi bukan sekedar masalah hukum yang tidak memadai,
lembaga-lembaga yang lemah, kode etik atau keahlian melainkan terutama masalah
kemauan politik, atau political will dari pemerintah. Tanpa ada
kemauan politik, sangat mustahil menuntut reformasi secara produktif dalam
bidang administrasi serta operasi kepolisian.
Terkait dengan peran dan fungsi
POLRI, tuntutan untuk menjadi institusi sipil tidak dapat ditawar lagi.
Pergeseran paradigma pengabdian POLRI yang sebelumnya cenderung digunakan
sebagai alat Penguasa ke arah mengabdi bagi kepentingan masyarakat telah
membawa berbagai implikasi perubahan yang mendasar. Salah satu perubahan itu
adalah perumusan kembali perannya sesuai Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 yang
menetapkan POLRI berperan selaku pemelihara Kamtibmas, penegak hukum, serta
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Arah kebijakan strategis POLRI yang
mendahulukan tampilan selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat
dimaksud bahwa, dalam setiap kiprah pengabdian anggota POLRI baik sebagai
pemelihara Kamtibmas maupun sebagai penegak hukum haruslah dijiwai oleh
tampilan perilakunya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat,
sejalan dengan paradigma barunya yang mengabdi bagi kepentingan masyarakat.
POLRI yang memiliki tugas dan fungsi sebagai pengayom dan
pelayan masyarakat harus mengubah citra militeristiknya tatkala masih menyatu
dengan institusi militer (TNI). Perkembangan institusi POLRI (Kepolisian RI) di
masa mendatang mengalami perubahan mendasar sejak lahirnya UU Kepolisian yang
baru (UU No.2 Tahun 2002). Tentu pada gilirannya, akan memberikan keleluasaan
bagi POLRI untuk bertindak, serta menegaskan kembali bahwa POLRI sudah berpisah
dari TNI. Pemisahan POLRI dari TNI merupakan suatu langkah strategis guna
mengembalikan POLRI kepada jati dirinya, yaitu sebagai polisi yang berwatak
sipil.
Namun sayangnya, sampai dengan detik ini peraturan
pelaksana dari UU Kepolisian masih sangat minim. Hal ini tentu sangat
menghambat tugas POLRI dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bahkan,
akibat minimnya peraturan pelaksana UU Kepolisian, masyarakat malah bisa
menjadi kurang terlindungi. Padahal, esensi dari lahirnya UU Kepolisian adalah
memberikan perlindungan dan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Menurut
Adrianus Meliala, kriminolog Fisip Universitas Indonesia, minimnya peraturan
pelaksana ini akan berdampak pada citra POLRI kepada masyarakat. Hal ini
mengingat POLRI adalah institusi yang memiliki kewenangan besar, yang tentu
memerlukan pengawasan.
Peraturan pelaksana yang memainkan peran (pengawasan)
terhadap POLRI hingga sekarang ini belum memadai. Tidak adanya peraturan
pelaksana akan menyebabkan kesenjangan (gap) di tubuh POLRI. Tentunya,
ini akan berpengaruh terhadap kinerja POLRI dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, serta berpengaruh juga terhadap hubungan POLRI dengan TNI.
Dalam bab II Tap MPR Ketetapan MPR No VII/MPR/ 2000 tentang
Peran TNI dan POLRI, terutama dalam Pasal 6 juga ditegaskan bahwa fungsi dari
POLRI adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Hal senada juga ditegaskan oleh Prof. Dr Dimyati Hartono bahwa
penyelenggara negara harus memperhatikan semangat kebatinan atau
semangat/spirit pembentukan Tap MPR No VII/MPR/2000 serta konsistensi
penyelenggara negara dalam menerapkan Tap MPR tersebut demi adanya kepastian
hukum.
Suasana kebatinan pembentukan Tap MPR No VII/MPR/ 2000 adalah
semangat reformasi untuk melepaskan institusi POLRI dari ABRI dan mengubah
POLRI menjadi penegak hukum yang berada dalam lingkungan sipil. Hal ini
disebabkan karena sebelum era reformasi POLRI melekat dengan TNI sehingga kesan
militeristiknya sangat kuat. Optimalisasi peran POLRI
dalam secara keseluruhan menyangkut aspek kelembagaan, kepegawaian,
ketatalaksanaan dan pengawasan. Di samping menjalan fungsinya dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, POLRI juga harus mendukung agenda otonomi daerah.
Selain adanya pembenahan dalam hal konstitusional,
reformasi POLRI juga harus diiringi dengan adanya pengembangan sumberdaya
manusia (SDM) yang tangguh. Peningkatan kemampuan SDM ini pada akhirnya akan
menunjang profesionalisme POLRI sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Bila dilihat kontekstual terhadap masa lalu dan keadaan
sekarang yang sedang berlangsung tercatat pula berbagai keluhan dan ungkapan
ketidakpuasan terhadap Polri. Dengan perkataan lain pada saat ini masih
dirasakan kesenjangan yang cukup lebar antara tuntutan dan harapan masyarakat
dengan tingkatan kemampuan Polri untuk menyajikan tingkat dan bentuk pelayanan
yang memadai.
Kesimpulan dan Rekomendasi Politik
Dinamika pelayanan Polri Mengacu kepada paradigma baru.
Keberhasilan POLRI dapat diketahui tidak hanya dari kriteria keberhasilan
pelaksanaan tugas POLRI, namun juga ditentukan berdasarkan penilaian dari
masyarakat. Secara relatif keberhasilan itu ditandai dengan semakin dekatnya
kualitas penyajian pelayanan POLRI dengan harapan-harapan masyarakat.
Bergulirkan iklim reformasi dan otonomi daerah telah
membawa konsekuensi adanya pembenahan dan pembaharuan hukum dan aparatur
penyelenggara hukum. Tuntutan untuk mengadakan reposisi peran POLRI dalam
lingkungan sipil sudah menjadi keharusan. Peran dan fungsi POLRI secara
substansial dan fungsional memang berbeda dengan TNI yang pada era sebelumnya
menjadi induk POLRI. Perubahan citra yang bercorak sipil harus dikedepankan
oleh POLRI. Setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan jika POLRI serius
melakukan perubahan, yaitu:
- Fungsi kepemimpinan institusi POLRI,
- Adanya tekanan yang cukup besar dari luar lingkungan POLRI (badan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif)
- Kesadaran dari institusi POLRI mengenai
kebutuhan adanya paradigma baru dalam menjalankan fungsi polisi sipil,
- Adanya dukungan infrastruktur yang memadai
dalam mempercepat proses perubahan tersebut,
- Dukungan penggerak ekonomi yang memadai bagi
para personel POLRI, seperti gaji dan anggaran
Ada beberapa
masukan yang patut diperhatikan antara lain:
- Mendorong regulasi yang menempatkan kedudukan
POLRI dalam ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara yang menghasilkan
sinergi optimal bagi kepentingan nasional dan memungkinkan dinamika
peranan kepolisian pada tataran operasional teknis dan tataran kebijakan
secara nasional.
- Adanya otonomi kewenangan teknis profesi
kepolisian dan penegak hukum yang bersumber dari undang-undang dan berkait
dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system).
- Meninjau kembali masalah keamanan dalam
negeri serta menciptakan strategi menyeluruh untuk mencari keterpaduan
terhadap tuntutan otonomi daerah dalam suatu kerangka nasional (NKRI).
- Mengoptimalkan kerjasama Polisi Republik Indonesia
dengan unsur penegakan hukum lainnya, terutama kejaksaan dan sistem
peradilan, serta menjalin kerjasama yang positif terhadap angkatan
kepolisian negara-negara lain.
- Mendorong kepada pemerintah untuk menjaga
konsistensi reformasi di tubuh POLRI, termasuk memberi petunjuk mengenai
implementasi reformasi, serta membina hubungan dengan instutusi penegakan
hukum lainnya.
- Mendukung reformasi militer sebagai pelengkap pokok bagi reformasi Polisi Republik Indonesia (POLRI).
- Perbaikan kualitas aparatur POLRI yang dilakukan sejak tahap penerimaan dengan menerapkan sistem seleksi yang ketat. Pendidikan dan pelatihan serta kemampuan akan digunakan sebagai kriteria utama dalam setiap promosi jabaran disamping diterapkannya sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment) yang adil.
- Meningkatkan tingkat kesejahteraan aparatur penegak hukum, termasuk POLRI didalamnya untuk mencegah terjadinya KKN serta mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal
0 comments:
Post a Comment