LATAR BELAKANG
Pelaksanaan
Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa
perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu
adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang
pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat
birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan
publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sebagaimana
dikemukakan (Hoessein, 2001):
Otonomi daerah merupakan wewenang untuk
mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya
menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan
pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang
bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah
diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah.
Namun, hingga sekarang ini kualitas
pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses,
prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu,
biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan
indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini
juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum
dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan
dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit
mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan
sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila
ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan
yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam
kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa,
perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan,
peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan
merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kemudian, terdapat kecenderungan di
berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang
lebih besar kepada daerah otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak
efektif, efisien dan ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan unit-unit
pelayanan cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak
representatif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Banyak contoh yang dapat
diidentifikasi; seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi,
fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola
pemerintah daerah belum memuaskan masyarakat, kalah bersaing dengan pelayanan
yang dikelola oleh pihak swasta. Norman Flyn (1990) mengemukakan bahwa
pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara herarkhis cenderung bercirikan
over bureaucratic, bloated, wasteful, dan
under performing.
Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan
karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar.
Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan
birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk
melayani. Padahal pemerintah seharus melayani bukan dilayani. Seharusnya, dalam
era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi,
perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang
mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang
dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan
dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah,
bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit",
"terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang"
(Mustopadidjaja, 2003).
Agar pelayanan publik berkualitas, sudah
sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut.
Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola
penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah
sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan
masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif
untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan
suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan
partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH
Di era otonomi daerah saat ini, seharusnya
pelayanan publik menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, di mana
paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke
pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi
kepuasan pelanggan (customer-driven
government) dengan ciri-ciri: (a) lebih memfokuskan diri pada fungsi
pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi
kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (b) lebih memfokuskan diri
pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang
tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama, (c)
menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu
sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus pada
pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang
digunakan, (e) lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat, (f)
memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap pendapat dari masyarakat
tentang pelayanan yang diterimanya, (g) lebih mengutamakan antisipasi terhadap
permasalahan pelayanan, (h) lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan
pelayanan, dan (i) menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Namun
dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: (1)
memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki wide stakeholders, (3) memiliki tujuan
sosial, (4) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5) memiliki complex and debated performance indicators,
serta (6) seringkali menjadi sasaran isu politik (Mohamad, 2003)
Pada dasarnya pemerintah telah melakukan
berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi,
murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Selain itu, pemerintah juga sedang
menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik yang isinya akan
memuat standar pelayanan minimum. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh
pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat
dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal
dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat
karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya.
Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang
hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/organisasinya saja.
Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk
berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada
pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang
bersifat supportif di mana lebih
memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus
mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada
tahun 2002, secara umum stakeholders menilai
bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya
otonomi daerah; namun, dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas,
responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan
dan masih memiliki berbagai kelemahan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut,
memang sangat disadari bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai
kelemahan, antara lain (Mohamad, 2003):
·
Kurang
responsif. Kondisi ini
terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan
petugas pelayanan (front line) sampai
dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan,
aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama
sekali.
·
Kurang
informatif. Berbagai
informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan
tidak sampai kepada masyarakat.
·
Kurang
accessible. Berbagai unit
pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga
menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
·
Kurang
koordinasi. Berbagai unit
pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi.
Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara
satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
·
Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan)
pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level,
sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan
dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat
menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat
untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan
masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya,
berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
·
Kurang
mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang
memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat.
Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari
waktu ke waktu.
·
Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan
(khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan
yang diberikan
Sementara itu, dari sisi
kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak
dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh
dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan
tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus,
fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan
oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien
(Mohamad, 2003). Terkait dengan itu, berbagai pelayanan publik yang disediakan
oleh pemerintah tersebut masih menimbulkan persoalan (Suprijadi, 2004).
Beberapa kelemahan mendasar antara lain: pertama, adalah kelemahan yang
berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun
kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Ketiga,
berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah
eksternalities, organisasi pelayanan
pemerintah menghadapi masalah berupa internalities.
Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan
kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya
dilayaninya.
Sementara
karakteristik pelayanan pemerintah yang sebagian besar bersifat monopoli
sehingga tidak menghadapi permasalahan persaingan pasar menjadikan lemahnya
perhatian pengelola pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang
berkualitas. Lebih buruk lagi kondisi ini menjadikan sebagian pengelola pelayanan
memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan cenderung mempersulit
prosedur pelayanannya. Akibat permasalahan tersebut, citra buruk pada
pengelolaan pelayanan publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak ada
kepercayaan masyarakat pada pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan
tantangan yang harus segera diatasi terlebih pada era persaingan bebas
pada saat ini. Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik dan
pengembalian kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus diwujudkan.
Selain
itu, terdapat empat gap yang perlu diperhatikan dalam setiap pelayanan publik,
(Parasuraman, 1985) yaitu: (1) kesenjangan antara jasa yang dipersepsikan oleh
manajemen dengan jasa yang diharapkan oleh konsumen, (2) persepsi manajemen
terhadap harapan konsumen dengan apa yang ditangkap oleh bawahan/ karyawannya,
(3) konsep pelayanan yang dimengerti oleh karyawan dengan komunikasi dan
aktifitasnya dalam memberikan pelayanan kepada konsumen, dan (4) tindakan dari
pemberi layanan dengan jasa yang dipersepsikan oleh konsumen. Bagaimana kesenjangan pelayanan tersebut dapat dilihat
pada model berikut ini.
SERVICE GAP (PARASURAMAN)
Sumber: Parasuraman, 1985
Berdasarkan
model di atas, maka persoalan pelayanan bukan saja tanggung jawab dari karyawan
terdepan (front liner saja) melainkan
juga merupakan tanggung jawab dari pimpinan instansi dan juga seluruh karyawan
lainnya. Dalam hal ini, budaya perusahaan merupakan hal yang juga menjadi
faktor penentu dalam memberikan pelayanan prima kepada pelanggan. Untuk lebih
jelas tentang gambar di atas, dapat diuraikan sebagai berikut:
Gap-1
merupakan kesenjangan yang terjadi antara harapan masyarakat dengan apa yang
dipikirkan oleh pimpinan instansi pemberi layanan publik. Misalnya, pimpinan
berpikir bahwa waktu persetujuan suatu dokumen paling telat adalah 2 hari
sedangkan masyarakat berharap tidak lebih dari 24 jam.
Gap-2
merupakan kesenjangan yang terjadi antara apa yang dipikirkan oleh pimpinan
instansi terhadap harapan publik dengan spesifikasi dari kualitas pelayanan
yang diberikan. Dalam hal ini apakah pimpinan lembaga terkait telah memiliki
sebuah standar dalam pelayanan, jika sudah apakah standar-standar tersebut
sudah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat.
Gap-3
terjadi tatkala penghantaran/ pemberian pelayanan (service delivery) dengan apa yang tertuang dalam spesifikasi
standar pelayanan yang ada.
Gap-4
merupakan persoalan komunikasi yang terjadi tatkala janji pemerintah kepada
masyarakat tidak sesuai dengan apa yang diberikan. Beberapa pengalaman
menyebutkan bahwa penyebab dari munculnya gap keempat ini disebabkan oleh
persoalan koordinasi internal organisasi itu sendiri.
Dengan
melihat masih buruknya kinerja pelayanan publik di negara kita ini, kiranya
harus dicarikan jalan keluar yang terbaik antara lain dengan memperhatikan
gap-gap/kesenjangan-kesenjangan tersebut di atas sehingga
permasalahan-permasalahan tersebut di atas dapat diminimalisir; sehingga ke depan,
kinerja pelayanan publik diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat yaitu
terciptanya pelayanan publik yang prima.
PEMECAHAN PERMASALAHAN
Agar dapat memenuhi keinginan masyarakat,
selain perlu mereformasi paradigma pelayanan publik, disahkannya sesegera
mungkin UU tentang Pelayanan Publik, pemecahan permasalahan pelayanan publik
lainnya, yaitu dengan cara, antara lain melalui pembentukan model pelayanan
publik yang sesuai dengan perkembangan jaman seperti sekarang ini di mana
pemerintah berada dalam era desentralisasi. Leach, Stewart, & Walsh (1994)
mengungkapkan adanya beberapa model pelayanan publik dalam kerangka
desentralisasi. Model pertama yang paling lama dan paling banyak dianut oleh
berbagai negara di dunia, terutama negara berkembang adalah model traditional bureaucratic authority. Ciri
dari model ini adalah bahwa pemerintahan daerah bergerak dalam kombinasi tiga
faktor yaitu : pertama, penyediaan barang dan layanan publik lebih banyak
dilakukan oleh sektor publik (strong
public sector). Kedua, peran pemerintah daerah sangat kuat (strong local government) karena memiliki
cakupan fungsi yang luas, mode operasi yang bersifat mengarahkan, derajat
otonomi yang sangat tinggi, dan tingkat kendali eksternal yang rendah.
Ketiga, pengambilan keputusan dalam pemerintah daerah lebih menekankan
pada demokrasi perwakilan (representative
democracy).
Sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, tuntutan yang lebih terbuka,
serta perkembangan globalisasi yang memicu peningkatan yang lebih cepat lagi
dalam kebutuhan dan tuntutan akan layanan publik, maka model birokrasi
tradisional tersebut biasanya dianggap tidak lagi memadai. Untuk itu,
diperlukan suatu model baru yang mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan
ini. Model yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat serta
merespon berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
Berkenaan dengan hal tersebut, beberapa model di
bawah ini yang merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Direktorat
Aparatur Negara TA 2004, yang kiranya dapat digunakan pemerintah dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publiknya, seperti: (a)
Model Kelembagaan, (b) Model Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik, (c) Model
Siklus Layana (Momment of Truth), dan
(d) Model Standar Pelayanan Minimal. Model-model ini dimaksudkan agar
permasalahan pelayanan publik dapat dilakukan dengan baik dan tidak adanya
gap-gap yang digambarkan secara rinci oleh Parasuraman di atas, yaitu:
A.
Model Kelembagaan
Dari gambar model di
atas maka format kelembagaan (Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap atau disingkat UPTSA) difungsikan sebagai frontline dari dinas-dinas yang ada
untuk menjadi satu-satunya lembaga yang berhubungan dengan masyarakat yang
memerlukan berbagai pelayanan. UPTSA ini bertugas antara lain menerima berkas
permohonan ijin, meneliti kelengkapan persyaratan, sebagai koordinator
bersama-sama dengan dinas teknis terkait melakukan assesment atau peninjauan lapangan dan membuat draft keputusan
serta memberikan ijin yang telah disahkan atau diputuskan oleh dinas teknis
terkait.
Keputusan
untuk memberi dan mencabut ijin tetap ada di tangan lembaga atau dinas teknis
yang bersangkutan. Dinas-dinas teknis dilarang untuk menerima langsung
permohonan pelayanan karena pasti akan merusak tata aturan yang berlaku. Dinas
teknis hanya berhubungan dengan UPTSA artinya adalah dinas teknis dalam
memberikan ijin kepada masyarakat pemohon harus melalui UPTSA. UPTSA
bersama-sama dengan dinas teknis terkait menentukan standar pelayanan minimal
yang menyangkut waktu, tarif, dan prosedur. Sedangkan pihak UPTSA berhak
sepenuhnya terhadap standar kompetensi petugas pelayanan, tempat pelayanan,
media pengaduan dan sistem internal UPTSA yang mendukung kelancaran tugas
UPTSA.
Secara
kelembagaan UPTSA bertanggungjawab langsung kepada sekretaris daerah sehingga
posisi daya tawar lembaga ini cukup tinggi dan mampu menjadi koordinator
dinas-dinas terkait dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akan
sangat menguntungkan bagi gerak dan kelancaran kegiatan UPTSA jika anggaran
atau kebutuhan keuangan lembaga didukung oleh APBD. Namun jika terkendala oleh
aturan maka anggaran UPTSA dapat digabung dengan anggaran sekretaris daerah
setempat. Resikonya adalah pemasukan keuangan menjadi sangat riskan karena
tidak ada jaminan anggarannya akan tetap dalam satu tahun anggaran seperti yang
telah ditentukan.
Lembaga
ini menganut struktur organisasi yang ramping dan datar sehingga mempercepat
gerak dan mempermudah keputusan tanpa harus menunggu keputusan yang berjenjang
dan sangat birokratis. Bagian UPTSA pada dasarnya terbagi atas 3 kelompok utama
berdasarkan fungsi yaitu frontline,
operasional lapangan, dan administrasi (back
office). Organisasi ini sekurang-kurangnya dipimpin oleh pejabat eselon
III.
Bagian
frontline bertugas menerima
permohonan perijinan dari masyarakat dan menyerahkan hasil perijinan yang sudah
memiliki ketetapan hukum yang sah. Selain itu frontline bertugas untuk melakukan verifikasi awal data berupa
kelengkapan data sebelum disampaikan petugas yang akan memverifikasi lebih
detail. Adapun bagian operasional adalah bagian yang meneliti keabsahan data,
melakukan peninjauan lapangan, melakukan koordinasi dengan dinas terkait dan
merekomendasikan perijinan. Bagian pendukung atau back office berfungsi memberikan dukungan terhadap kelancaran tugas
dua bagian lainnya. Bagian back office
ini meliputi pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, dukungan sistem
informasi yang berbasis komputerisasi dan komunikasi, perawatan peralatan dan
perlengkapan kantor, dan pekerjaan yang bersifat adminsitrasi.
B.
Model Pengelolaan
Organisasi Pelayanan Publik
Model pengelolaan organisasi
pelayanan publik ini dimaksudkan untuk memberdayakan lembaga pelayanan publik
sehingga dapat mengoptimalkan fungsi pelayanan publik dan sesuai dengan
perkembangan tuntutan perkembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Untuk lebih
jelasnya maka model pengelolaan organisasi pelayanan publik sebagaimana gambar
di bawah ini:
Model Pengelolaan Organisasi
Pelayanan Publik
Sumber: Hasil Kajian
Peningkatan Kualtitas Pelayanan Publik TA 2004
|
Dengan
melihat model pengelolaan organisasi pelayanan publik ini, ada beberapa aspek
yang dianggap sangat memiliki dampak langsung terhadap upaya peningkatan
kualitas pelayanan publik, yaitu:
B.1. Aspek Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan proses
berorientasi kepada manusia dan dapat diukur dari
pengaruhnya terhadap perilaku organisasi dan
masyarakat yang dihadapinya. Dengan kata lain, dalam tataran ini, aktivitas kepemimpinan sangat penting artinya terhadap motivasi orang lain, hubungan antara individu dan interaksi sosial, komunikasi interpersonal,
iklim dalam organisasi, konflik
interpersonal, perkembangan personil dan mengantisipasi produktivitas sumber daya manusia aparatur.
B.2.
Aspek Sistem Kelembagaan
a.
Aspek Kelembagaan
Implikasi dari tumpang
tindihnya kewenangan atau katakanlah “pengambilalihan” kewenangan pelayanan
yang bukan kewenangannya oleh UPTSA, ternyata dapat menimbulkan kurang maksimalnya
kualitas pelayanan itu sendiri di satu sisi, dan adanya derajat perbedaan
kualitas pelayanan pada masing-masing UPTSA pada sisi yang lain. Sedangkan pada
UPTSA yang mempunyai pimpinan dan aparat serta tokoh-tokohnya yang lain yang
mempunyai jiwa dan karakter kepemimpinan yang baik, proaktif dan inovatif dalam
menjalankan tugasnya, kekurangan dalam hal optimalisasi kualitas pelayanan di
UPTSA akan dapat teratasi.
b. Aspek Sumber Daya (Manusia)
Ketersediaan sumber
daya yang memadai dan potensial dipandang sebagai faktor yang signifikan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Aspek sumberdaya yang dimaksud di sini secara
umum meliputi sumber daya keuangan, SDM aparatur, teknologi dan aspek prasarana
dan sarana fisik lainnya. Secara umum kelemahan pelayanan publik selama ini
lebih dikarenakan oleh masalah keterbatasan kemampuan finansial dan sarana
prasarana fisik. Kelemahan lainnya adalah kemampuan dan kompetensi SDM aparatur
yang terlibat langsung kepada pemberian pelayanan, di mana rata-rata SDM
Aparatur di daerah belum mahir dalam menggunakan dan mengoperasikan teknologi
informasi dan komunikasi yang semakin hari semakin cepat berkembang.
c. Aspek Partisipasi Masyarakat
Dalam konteks partisipasi masyarakat di dalam
penyelenggaraan pelayanan umum, komunikasi yang efektif antara masyarakat
dengan pemerintah (UPTSA) menjadi penting terutama berkaitan dengan arah pelayanan
yang berorientasi kepada pelanggan di mana kepentingan, keinginan, harapan dan
tuntutan masyarakat menjadi sandaran utamanya. Posisi masyarakat dalam tataran ini dipandang sebagai
subyek yang harus dilayani dan dipuaskan. Karenanya, ketika berbicara mengenai
kualitas pelayanan yang diberikan maka hal itu akan sejajar dengan tingkat
kepuasan masyarakat sebagai pelanggannya. Dalam melakukan pelayanan yang baik,
seorang pelayan harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap
yang dilayaninya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan komunikasi dengan orang lain, yaitu: (1) komunikator dan komunikan
harus sama-sama berpola pikir positif yang didasarkan pada pola pikir yang
sehat dan logis, (2) komunikator dan komunikan harus mampu menempatkan diri
pada kondisi yang tepat pada saat melakukan komunikasi atau komunikator harus
mampu menempatkan komunikan pada posisi yang bebas dan manusiawi,
(3) komunikator harus mampu menampilkan sikap yang santun dan memberikan
kesempatan terhadap komunikan untuk memahami isi pesan sampai dengan memberikan
umpan balik, dan (4) kemampuan memilih dan menggunakan bahasan yang sederhana
dan gampang dimengerti oleh komunikan.
Secara umum di setiap
UPTSA memang sudah berjalan berbagai macam forum yang sifatnya rutin dan formal
yang diselenggarakan di tiap-tiap UPTSA. Namun demikian, jika ditinjau dari
kuantitas dan kualitas penyelenggaraan forum tersebut, masing-masing UPTSA satu
sama lain berbeda keadaannya. Dalam konteks ini, yang harus lebih ditonjolkan
oleh pemerintah adalah peran motivator, yaitu peran penggerakan masyarakat atau
mobilisasi masyarakat untuk mau berpartisipasi dalam menyukseskan atau
memperlancar jalannya pelayanan.
C.
Model
Siklus Layanan (Momment of Truth)
Dalam pola ini,
masing-masing instansi/unit terkait tetap melaksanakan kewenangan dan
tugas-fungsinya, serta dapat menempatkan petugasnya pada tempat tersebut. Akan
tetapi agar proses keseluruhan pelayanan dapat berjalan sinergi, maka kegiatan
pelayanan dan masing-masing instansi/unit terkait diatur dalam suatu prosedur
dan terkoordinir dalam mekanisme tata urutan kerja yang tertentu pada satu
lokasi/tempat di bawah satu atap tersebut. Teknis pelaksanaan
dengan pola pelayanan umum satu atap, dapat dilakukan, antara lain:
a.
Menyiapkan
tempat/gedung untuk ditempati secara bersama oleh unit kerja/instansi terkait.
Masing-masing instansi membuka meja/loket dan menempatkan petugasnya sesuai
yang ditentukan didalam satu tempat/lokasi tersebut, serta menjalankan tugas
dan fungsinya sendiri;
b.
Sesuai
mekanisme urutan kegiatan penyelesaian pelayanan yang ditentukan, maka
masyarakat (pemohon pelayanan) cukup mendatangi dan menyelesaikan urusannya
langsung pada loket/petugas pada unit kerja/Instansi terkait tersebut;
c.
Untuk
mendukung kelancaran pertayanan, maka proses pelayanan yang berkaitan dengan
masing-masing loket/meja dan unit/instansi terkait tersebut, harus dilengkapi
atau disediakan informasi yang lengkap menyangkut urutan kegiatan, persyaratan,
dan biaya pelayan secara jelas dan terbuka dalam satu lokasi tersebut.
D.
Model Standar Pelayanan Minimal
Dalam hal untuk menggali pandangan
masyarakat terhadap mutu pelayanan yang diberikan oleh UPTSA yang didasarkan pada
beberapa kategori, aspek-aspek yang dijadikan dasar pengukuran meiliputi
beberapa unsur, di antaranya: Pertama, tangibility,
yaitu berupa kualitas pelayanan yang dilihat dari sarana fisik yang kasat mata,
dengan indikator-indikatornya yang meliputi sarana parkir, ruang tunggu, jumlah
pegawai, media informasi pengurusan, media informasi keluhan, dan jarak ke
tempat layanan. Kedua adalah reliability,
yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan dan kehandalan dalam
menyediakan layanan yang terpercaya, meliputi proses waktu penyelesaian layanan
dan proses waktu pelayanan keluhan.
Ketiga, bertitik tolak dari kemampuan dan
kehandalan yang dipunyai, untuk selanjutnya indikator kualitas pelayananpun
harus ditunjang dari sisi responsiveness-nya,
yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kesanggupan untuk membantu dan
menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan
konsumen. Keempat adalah assurance,
yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan petugas dalam
meyakinkan kepercayaan masyarakat. Adapun indikator-indikatornya adalah
dengan adanya kejelasan mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif
layanan. Kelima adalah empathy, yaitu
kualitas pelayanan yang diberikan berupa sikap tegas tetapi penuh perhatian
terhadap masyarakat (konsumen). Dalam konteks ini, indikator yang dilihat
adalah adanya sopan santun petugas selama pelayanan berlangsung dan bantuan
khusus dari petugas selama proses pelayanan berlangsung.
Namun demikian,
berbagai cara yang diusulkan di atas, tidak dapat terlaksana dengan sempurna
apabila prasyarat utama diabaikan.
Prasyarat tersebut meliputi 5 (lima) aspek seperti di bawah ini yaitu
(Parasurarman, 1985):
a.
Proses
dan prosedur.
Proses dan prosedur pelayanan dapat
meliputi prosedur pelayanan langsung kepada pelanggan, dan proses pengolahan
pelayanan yang merupakan proses internal dalam menghasilkan pelayanan. Dalam
proses dan prosedur ini meliputi seluruh aktifitas kegiatan pelayanan secara
berurutan dimulai dengan aktifitas yang dilakukan ketika pertama kali pelanggan
datang, dan bahkan setelah pelayanan itu selesai (affter service.)
b.
Persyaratan
pelayanan.
Persyaratan pelayanan merupakan
hal-hal yang harus dipenuhi oleh pelanggan untuk mendapatkan pelayanan.
Persyaratan pelayanan dapat berupa dokumen atau surat-surat. Persyaratan
pelayanan perlu diidentifikasi dari tiap aktifitas pelayanan sehingga untuk
keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelanggan termasuk biaya total
yang harus dibayar oleh pelanggan.
c.
Sarana
dan prasarana yang dibutuhkan.
Sarana pelayanan merupakan berbagai
fasilitas yang diperlukan dalam rangka memberikan pelayanan. Sarana yang
digunakan dapat merupakan sarana yang utama dan sarana pendukung. Sarana utama
merupakan sarana yang disediakan dalam rangka proses pelayanan yang meliputi
antara lain berbagi fomulir, fasilitas pengolahan data. Sedangkan sarana
pendukung adalah fasilitas yang pada umumnya disediakan dalam rangka memberikan
pelayanan pendukung antara lain seperti penyediaan fasilitas ruang tunggu yang
nyaman, pemyediaan layanan antaran dan lain-lain. Sedangkan prasarana merupakan
berbagai fasilitas yang mendukung sarana pelayanan anatara lain berupa jalan
menuju kantor pelayanan.
d.
Waktu
dan Biaya Pelayanan
Dengan ditentukannya waktu dan biaya
yang terpakai untuk setiap aktifitas yang dilakukan pada proses pengolahan,
maka akan dapat ditentukan waktu dan biaya yang akan digunakan untuk melayani satu
jenis pelayanan sejak awal pelanggan menemui petugas pelayanan sampai pelayanan
selesai dilakukan.
e.
Pengaduan
Keluhan
Pengaduan keluhan merupakan mekanisme yang dapat ditempuh oleh
pelanggan untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang
diterima.Pengaduan keluhan merupakan hal yang sangat penting mengingkat
perbaikan kualitas pelayanan terus menerus tidak lepas dari masukan pelanggan
yang biasanya dalam bentuk keluhan.
PENUTUP DAN SARAN/REKOMENDASI
Berdasarkan
hasil analisis di atas, terdapat hal-hal perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1.
Rancangan
Undang-undang tentang Pelayanan Publik yang dimaksudkan sebagai salah satu
upaya mengatasi permasalahan penyelenggaraan pelayanan publik harus segera
disyahkan.
2.
Di era demokratisasi dan
desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa
pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan
keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam
perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan
menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana,
bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk
segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang
dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.
3.
Penguatan kelembagaan untuk
meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini ditujukan pada pelayanan
publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang berbasis pada pelayanan
administrasi dokumen. Model ini terbagi menjadi empat model yaitu : (a) model
kelembagaan, yang mana model ini difungsikan sebagai frontline dari dinas-dinas yang ada untuk menjadi satu-satunya
lembaga yang berhubungan dengan masyarakat yang memerlukan berbagai perijinan;
(b) model pengelolaan organisasi pelayanan publik untuk memberdayakan lembaga
pelayanan publik dalam mengoptimalkan fungsi pelayanan publik sehingga sesuai
dengan perkembangan tuntutan perkembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya;
(c) model siklus layanan yaitu instansi/unit terkait tetap melaksanakan
kewenangan dan tugas-fungsinya, serta dapat menempatkan petugasnya pada tempat
tersebut. Akan tetapi agar proses keseluruhan pelayanan dapat berjalan sinkron,
maka kegiatan pelayanan dan masing-masing instansi/unit terkait diatur dalam
suatu prosedur dalam rangkaian proses kegiatan yang terkoordinir dalam
mekanisme-tata urutan kerja yang tertentu pada satu lokasi/tempat di bawah satu
atap tersebut., dan (d) model standar pelayanan minimal yaitu proses pelayanan
umum, agar benar-benar dapat berpihak kepada masyarakat yang sangat memerlukan
layanan yang prima. Di antaranya adalah dengan menerapkan sendi-sendi
Tatalaksana Pelayanan Umum yang meliputi prinsip-prinsip pelayanan publik.
4.
Pedoman
dalam perumusan tatalaksana dan penyelenggaraan kegiatan pelayanan umum. Ke empat model
tersebut diperkuat oleh 3 faktor utama yaitu faktor kepemimpinan, faktor system
atau organisasi dan faktor budaya masyarakat. Faktor kepemimpinan dapat
merupakan kumpulan dari 2 aspek yaitu aspek capability
(kesanggupan) dan aspek abilty (kemampuan).
Faktor sistem atau organisasi terdiri dari 3 aspek yaitu aspek siklus layanan,
kelembagaan dan sumber daya. Aspek siklus layanan adalah aspek di mana
pelanggan atau pengguna secara langsung dapat menilai kinerja palayanan yang
diberikan oleh suatu instansi karena pelanggan tersebut mengikuti aliran proses
pelayanan. Aspek kelembagaan itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi kewenangan,
struktur organisasi dan koordinasi antar lembaga. Selanjutnya aspek sumber daya
terdiri dari keuangan, SDM, teknologi dan aspek fisik (infrastruktur). Faktor socio culture dipengaruhi oleh
partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas.
5.
Peningkatan
kualitas pelayanan publik yang dilakukan di daerah-daerah seyogyanya dapat
diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi dari seluruh
aparatur daerah dan dukungan stakeholders
lainnya. Kuatnya komitmen kepemimpinan khususnya para kepala daerah dengan
didukung oleh staf atau tim internal yang berfungsi sebagai pemikir dan mitra
dialog kepala daerah, secara signifikan akan mampu mengoptimalisasi terwujudnya
peningkatan kualitas pelayanan publik di daerahnya. Tim internal pemerintah
daerah yang bersangkutan berposisi sebagai pembaharu dalam sistem birokrasinya.
Tim tersebut dapat terdiri dari para kepala dinas atau pejabat-pejabat yang
memiliki visi dan misi serta strategis yang sama dengan Kepala Daerah yang
bersangkutan. Selain tim internal pemerintah daerah, seyogyanya keterlibatan stakeholder lainnya (tim eksternal)
perlu dilibatkan guna memberikan masukan, evaluasi dan saran-saran yang berguna
bagi terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik.
6.
Selain
kepemimpinan dan tim yang tangguh, peningkatan pelayanan publik juga
dipengaruhi oleh aspek kejelasan dan kepastian proses pelayanan seperti
prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang diperoleh dan waktu. Secara internal
kelembagaan, aspek kuatnya kewenangan yang dimiliki sebuah isntitusi yang mampu
menkoordinasikan lembaga-lembaga lain dan menjadi leading sektor bagi instansi lain diyakini dapat menjadi faktor
penggerak hubungan antar kelembagaan. Dukungan kejelasan job desk dari struktur yang ada dapat semakin memperkokoh instansi
dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas.
7.
Sumber
daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan
yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi
kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah
faktor utama dari sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu. Guna
menjalankan organisasi memerlukan daya dukung keuangan dan teknologi maju
terutama di bidang ICT dan tampilan
fisik seperti gedung yang feasible
dapat mempengaruhi citra kuatnya komitmen pemda dalam memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakatnya.
8.
Di lain
pihak dukungan warga masyarakat baik perseorangan atau badan seperti asosiasi,
LSM ataupun kelompok kritis lainnya dapat mempercepat laju proses peningkatan
kualitas pelayanan publik. Di kedua daerah yang diteliti, partisipasi warga
cukup kuat dan terjadi hubungan yang harmonis kritis antara penyedia dan
penerima pelayanan publik
Atas dasar tersebut,
hal-hal yang kiranya perlu dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah
adalah:
1.
Untuk
meningkatkan pengelolaan pelayanan publik yang berkualitas pemerintah daerah
sebaiknya merubah paradigma berpikir dan bertindak yang ada di birokrasi daerah
dari paradigma dilayani, pangreh praja, memerintah dan menguasai menjadi
paradigma melayani, pelayan masyarakat, memfasilitasi dan mengajak masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pelayanan publik.
2.
Memperkuat
kewenangan lembaga/unit pelayanan sehingga dapat menjalankan kordinasi dengan
instansi-instansi lainnya yang ada di daerah tersebut. Kelembagaan (unit
pelayanan terpadu satu atap) difungsikan sebagai frontline dari dinas-dinas yang ada untuk menjadi satu-satunya lembaga
yang berhubungan dengan masyarakat yang memerlukan berbagai perijinan. UPTSA
ini bertugas antara lain menerima berkas permohona ijin, meneliti kelengkapan
persyaratan, sebagai koordinator bersama-sama dengan dinas teknis terkait
melakukan assesment atau peninjauan
lapangan dan membuat draft keputusan
serta memberikan ijin yang telah disahkan atau diputuskan oleh dinas teknis
terkait
3.
Melibatkan
masyarakat untuk secara aktif mengawasi, mengevaluasi, dan memberi masukan akan
menumbuhkan suasana hubungan antara warga dengan pemberi pelayanan terbina
secara harmonis di mana sikap birokrasi menjadi lebih terbuka, jujur,
transparan, serta tidak diskriminatif.
DAFTAR
PUSTAKA DAN BAHAN BACAAN
Berry, Leonard. L., A. Parasuraman., Marketing Services: Competing Through
Quality, 1th ed. New York: The Free Press, 1991
Christoher
Lovelock, Product Plust, Mc
Graw-Hill, New York, 1994
Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi
Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Direktorat Aparatur
Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik, Jakarta.
Flyn,
N. 1990. Public Sektor Management;
Harvester Wheatsheaf: London
Gaster,
L. 1995. Quality in Public Services,
Managers Choices. Open University Press; Buckingham – Philadephia.
Hoessein,
B. 2001. “Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut
Pandang Hukum Tata Negara”; Seminar dal
Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah
Dalam Kerangka Good Governance; Lembaga Administrasi Negara.
Leach, S., Stewart, J.,
Walsh, K. 1994. The Changing Organization
and Management of Local Government; London; McMillan Press Ltd.
Mohamad, Ismail, 2003, Aktualisasi Pelayanan Prima Dalam Kapasitas
PNS sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, Makalah, disampaikan dalam
Diskusi Panel Optimalisasi Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok sebagai Abdi
Negara dan Abdi Masyarakat, yang diselenggarakan oleh Unit KORPRI POLRI Pusat,
pada tanggal 23 Oktober 2003, Jakarta.
Mustopadidjaja
AR, 2002, Kompetensi Aparatur Dalam
Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah Dalam Sistem
Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah Perdana Pada
Program Magister Manajemen Pembangunan Daerah, Kerjasama STIA-LAN,
Pemerintah Prov. Kaltim, dan Universitas Mulawarman, 15 Januari,
2002. Samarinda.
Osborne,
D. & Gaebler, T. 1992. Reinventing
government : how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector.
Reading, Massachussetts : A William Patrick Book.
Parasuraman,
A., Valarie A. Zeithmal, and Leonard L. Berry, 1985. A Conceptual Model of Service Quality and its Implication for Future
Research, Journal Marketing.
Suprijadi,
Anwar 2004. Kebijakan Peningkatan
Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik, Disampaikan pada Peserta
Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 J
0 comments:
Post a Comment