JUDUL:
OPTIMALISASI STRATEGI PEMOLISIAN MASYARAKAT
GUNA MEMBANGUN KEMITRAAN DALAM RANGKA
TERWUJUDNYA
PERAN SERTA MASYARAKAT MEMELIHARA
KAMTIBMAS DI POLRES X
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Saat ini Polri telah berada Pada
tahapan kedua Grand Strategi Polri 2005 – 2025 yaitu tahap membangun kemitraan
dengan msyarakat atau Partnership
Building. Tujuan dari dilaksanakannya tahapan Partnership Building ini adalah membangun
kepercayaan masyarakat dan membangun kemitraan dengan masyarakat guna
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai salah satu tujuan
dari pelaksanaan tugas pokok Polri. Penetapan Partnership Building dalam tahapan kedua grand strategy Polri merupakan cerminan dari komitmen Polri untuk
menerapkan paradigma atau setidaknya suatu model atau gaya pemolisian yang baru
yang mengedepankan pola pemolisian yang proaktif, menitikberatkan kemitraan
dengan masyarakat, melaksanakan kegiatan yang bersifat problem solving, dan lebih mengutamakan pencegahan.[1]
Penerapan ini secara logis merupakan
pengejawantahan dari keinginan masyarakat pasca reformasi tahun 1998 agar Polri
mengubah paradigma lama kepolisian secara diametral dari polisi yang
militeristik ke polisi sipil yang demokratis. Disamping itu, penerapan strategi kemitraan ini juga
didorong oleh fakta empiris yang membuktikan bahwa strategi konvensional
kepolisian yang biasanya diidentifikasi dengan kegiatan yang reaktif, pemberantasan
kejahatan dan kegiatan yang terfokus pada upaya penegakkan hukum tidak cukup
berhasil dalam mengendalikan perkembangan dinamika perubahan sosial masyarakat. Hal ini kemudian melandasi pemikiran
bahwa kejahatan yang ada dalam masyarakat tidak berkurang atau habis dengan
diperanginya kejahatan tersebut.[2]
Dengan diletakkannya Partnership Building sebagai tahapan
kedua dalam Grand Strategy Polri,
menandakan bahwa hal ini merupakan tahapan
yang sangat penting dan menjadi landasan
atau pondasi utama sebelum Polri
beralih ke tahapan ketiga yaitu Strive
for Excelence. Kegagalan Polri
dalam menterjemahkan visi, misi dan strategi Polri di bidang pembangunan
kemitraan ke dalam kebijakan, sasaran hingga tataran operasional seperti program
kerja dan action plan akan membawa resiko yang serius dan konsekuensi yang berdampak besar bagi
organisasi Polri. Oleh karena itu,
Komitmen pimpinan Polri untuk mengimplementasikan paradigma baru kepolisian
yang bercirikan polisi yang demokratis yaitu: 1) berdasarkan pada supremasi
hukum; 2) memberikan jaminan dan perlindungan HAM; 3) adanya transparansi; 4) adanya
pertanggungjawaban publik; 5) pembatasan dan pengawasan kewenangan kepolisian;
dan 6) berorientasi pada masyarakat.[3]
Community
Policing atau pemolisian
masyarakat merupakan salah satu strategi yang seringkali diasosiasikan sebagai
kegiatan kepolisian yang berkarakter polisi sipil dan dipandang sebagai
pola-pola pemolisian kontemporer yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat
ini.[4]
telah luas dikemukakan memiliki setidaknya tiga dimensi yang harus diterapkan
secara holistik untuk dapat memberikan hasil yang maksimal yaitu 1) dimensi
paradigma atau cara berfikir atau setidak-tidaknya suatu gaya (style) kepolisian[5];
2) dimensi strategi atau kebijakan; dan 3) dimensi teknis atau operasional
kepolisian.[6] Kelemahan yang nyata dan mendasar yang
ditemukan dalam pengamatan pada Polres X sangat mungkin pula ditemukan pada Polres
lainnya adalah terputusnya hubungan diatara tiga dimensi tersebut sehingga
pelaksanaan pemolisian masyarakat menjadi tidak optimal.
2.
Permasalahan
Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut
maka permasalahan yang dibahas dalam naskah ini adalah “mengapa strategi
pemolisian masyarakat guna membangun kemitraan dalam rangka terwujudnya peran
serta masyarakat dalam harkamtibmas di Polres X belum optimal?”
3.
Pokok-pokok Persoalan
Dari permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, maka pokok
persoalan yang akan digali dalam tulisan ini adalah dalam rangka menjawab
pertanyaan berikut:
a.
Apakah tiga dimensi community policing dalam implementasi
pemolisian masyarakat di Polres X sudah dikaitkan
satu sama lain dan telah bersinergi (mendukung satu sama lain)?[7]
b.
Faktor apakah yang mempengaruhi belum
optimalnya implementasi pemolisian masyarakat di Polres X dari pendekatan unsur-unsur manajemen?
4.
Ruang Lingkup
Penulisan naskah karya perorangan ini
dibatasi pada strategi pemolisian masyarakat dalam ruang lingkup Polres X
BAB II PEMBAHASAN
5.
Fakta-Fakta
a.
Temuan Terkait Dimensi Community
Policing
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan secara singkat, berikut adalah temuan yang terkait
dengan implementasi tiga dimensi pemolisian masyarakat di Polres X yaitu:
1) Bahwa anggota pengemban tugas
pemolisian masyarakat pada tingkat menengah dan tingkat bawah belum memahami filosophy pemolisian masyarakat sebagai
paradigma baru Polri dan menganggap bahwa pemolisian masyarakat sama saja
dengan pola pelaksanaan tugas babinkamtibmas di masa lalu.
2) Belum ada keterkaitan yang erat antara tiga dimensi pemolisian masyarakat
mulai dari tataran visi atau filosphy, tataran kebijakan yang kemudian mengkait
hingga tataran teknis operasional pelaksanaan pemolisian masyarakat.
3) Dalam tataran strategi, Polres X belum menerapkan skala prioritas dalam
pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik
kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT (OHA dan ES) Polres X sehingga pemolisian
masyarakat sebagai salah satu strategi utama dalam membangun kemitraan antara
Polri dengan masyarakat belum optimal.
4) Dalam tataran teknis operasional pemolisian masyarakat belum mensinergikan
kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh Polres X sehingga pelaksanaannya masih
sangat parsial dan belum terkoordinasi dengan baik. Selain itu beberapa pelaksanaan teknis pemolisian masyarakat
yang pelaksanaannya salah sasaran seperti:
(a) Pembentukan Pos Polisi di polres X yang
dianggap sama atau sejajar dengan konsep Koban
di Jepang adalah kurang tepat mengingat Pos Polisi terlalu banyak dibebani
model tugas kepolisian konvensional selain itu juga tidak disertai dengan
pemberian anggaran yang memadai dan bertumpu pada ‘partisipasi masyarakat’[8]
sehingga tidak optimal dalam melaksanakan kegiatan pemolisian masyarakat dan
bahkan sebaliknya menurunkan keinginan masyarakat untuk menjadi mitra karena
merasa dirugikan dan tidak merasakan manfaat atas hubungan kemitraan tersebut.[9]
(b) Kegiatan pemolisian di Polres masih
bercirikan pada paradigma lama yang berupaya membagi habis bidang tugas
pemolisian masyarakat berdasarkan faktor-faktor spatial atau geografis. Konsep
atau metode bagi habis wilayah berdasarkan otoritas kewenangan atau pendekatan
penegakkan hukum merupakan warisan dari metode lama kepolisian yang bernuansa
militer yang membagi habis wilayah kerjanya.
b)
Temuan terkait kegiatan Community
Policing melalui Pendekatan Unsur-Unsur
Manajemen
1)
Sumber
Daya Manusia. Sumber daya manusia yang dimiliki
Polres X, khusunya personel yang mengemban tugas pemolisian masyarakat masih memiliki
kekurangan baik dari segi kuantitatif, ataupun dari sisi kualitatif dengan
jabaran diantaranya sebagai berikut:
(a) Bahwa rasio Perbandingan antara Polri dan Penduduk (1:511) cukup
ideal, akan tetapi apabila dilihat dari jumlah personel yang ada di Polres X belum
memenuhi kekuatan ideal sesuai daftar susunan personel (DSP), sehingga
pelaksanaan tugas dan sebaran pelayanan Polri masih belum menjangkau sampai
komunitas terkecil. Petugas Polri yang bertugas di bidang pemolisian masyarakat
rata-rata berjumlah satu orang di setiap kelurahan.[10]
(b) Tingkat pendidikan dan pelatihan yang
dimiliki oleh personel Polres X, khususnya di bidang pemolisian masyarakat dalam
upaya meningkatkan profesionalisme pelaksanaan tugas masih belum tersinkronisasi
antara materi diklat yang disuguhkan dengan kebutuhan riil seorang pelaksana
fungsi pemolisian masyarakat.[11]
2) Anggaran. Dukungan anggaran belum dapat memenuhi
kebutuhan anggaran pemolisian masyarakat Polres X sehingga prioritas hanya
untuk kegiatan operasional dan mengesampingkan kebutuhan pengadaan dan
fasilitas, materiil dan kesejahteraan personel akibatnya sering terjadi
penyalahgunaan wewenang.
3) Sistem dan Metode. Ditemukan fakta bahwa personel pengemban fungsi pemolisian masyarakat di
Polres X yang sangat terbatas jumlahnya ini ini masih dilibatkan dalam plotting kegiatan pengendalian unjuk
rasa. Karena intensitas unjuk rasa
yang sangat tinggi maka para pengemban fungsi pemolisian masyarakat di wilayah
Polres X akhirnya hampir setiap hari melaksanakan tugas pengamanan unjuk rasa.
Sementara itu kegiatan di bidang pemolisian masyarakat sendiri hampir tidak
dilaksanakan.
6.
Analisis
Bahwa
berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisis SWOT terhadap OHA
(Organization Health Audit) dan ES (Environmental
Scanning) Polres X dapat diketahui bahwa akar
penyebab dari fakta-fakta temuan di atas secara hipothesis adalah sebagai
berikut:
a.
Bahwa
manajer tingkat menengah (Kapolres) belum memahami sepenuhnya hakikat
pemolisian masyarakat yang memiliki 3 (tiga) dimensi yaitu dimensi filosophy
atau falsafah, dimensi kebijakan dan strategy, serta dimensi teknis
operasional. Ketidakmengertian ini
pada akhirnya tergambar dari gagalnya manajer tingkat menengah mendefinisikan
kegiatan riil pemolisian masyarakat serta gagal memberikan pemahaman yang benar
tentang pemolisian masyarakat kepada para manajer tingkat bawah sebagai
pengemban tugas pemolisian masyarakat.
b.
Masih
berkaitan dengan hal di atas, manajer tingkat menengah belum mampu atau gagal menciptakan kebijakan terintegrasi di bidang
pemolisian masyarakat dan mendorong manajer pada tingkatan di bawahnya untuk
membangun lalu melaksanakan program di bidang pemolisian masyarakat secara
terintegrasi dan selalui konsisten mengacu pada 3 (tiga dimensi) pemolisian masyarakat.[12] Sebaliknya para manajer, baik tingkat
menengah (Kapolres) maupun manajer di bawahnya tidak mampu menggerakkan program
pemolisian masyarakat yang sudah diprogramkan sesuai dengan tuntunan Perkap
tetapi terjebak dalam rutinitas kegiatan kepolisian yang reaktif dan metode
konvensional lainnya.
c.
Manajer
tingkat menengah (Kapolres) dan manajer di bawahnya belum optimal menerapkan
manajemen stratejik dalam lingkup Polres X dalam rangka mengidentifikasi kekuatan dan peluang organisasi
dalam rangka meminimalisasi kelemahan
dan mencegah terjadinya ancaman
dengan menuangkannya ke dalam pola kerja
yang terintegrasi diantara kekuatan-kekuatan di dalam Polres X dengan
peluang-peluang yang ada di luar organisasi, tetapi dapat dimanfaatkan dalam
rangka mencapai tujuan organisasi.
d.
Hal ini
terlihat dari belum sinerginya kekuatan-kekuatan yang ada dalam internal Polres
X yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung agen pelaksana kegiatan pemolisian
masyarakat. Kegiatan yang pernah
dilaksanakan seperti kring serse (fungsi serse) dan kring intel (fungsi intel)
saat ini hampir mati suri.
Seyogianya kekuatan-kekuatan ini disinergikan dalam rangka mendukung
pelaksanaan pemolisian masyarakat.
Hipotesis gagalnya implementasi pemolisian masyarakat yang dilaksanakan
oleh Pos Polisi disebabkan karena tidak dikendalikan oleh profesionalisme dan
kode moral yang eksplisit. Hal ini
diindikasikan dengan tidak dicukupinya anggaran Pos Polisi tersebut sehingga
mendorong para petugas untuk ‘mencari dana sendiri’ yang berasal dari
‘partisipasi masyarakat’.[13] Dilanggarnya kode moral dan
profesionalisme inilah yang menyebabkan gagalnya program pemolisian masyarakat.
e.
Kebijakan
membagi habis wilayah biasa dilakukan oleh militer melalui konsep teritorial.
Dengan sumber daya terbatas di Polres X, maka kegiatan pemolisian masyarakat
yang berbasis pada konsep spatial menjadi
sangat tidak efektif dan efisien.
Sebaliknya, konsep penugasan pemolisian masyarakat harus lebih selektif
melalui pendekatan skala prioritas dan skala ancaman di wilayah Polres X.
f. Kurangnya sumber daya manusia di Polres
X dari sisi kuantitatif lebih diperberat dengan tingginya kegiatan rutin
reaktif berupa pengamanan unjuk rasa.[14]
g.
Kompetensi
petugas pengemban kegiatan pemolisian masyarakat setidaknya harus sejajar atau
setara dengan masyarakat atau komuniti yang dinaunginya. Berdasarkan hasil pengamatan, dalam
wilayah Polres X masyarakat atau anggota komuniti yang ada pada umumnya
memiliki pendidikan yang relatif cukup baik, hal ini kurang diimbangi dengan
kondisi petugas Polres X yang rata-rata berpendidikan SLTA.
h.
Penganggaran
kurang profesional karena tidak mencerminkan prioritas kebijakan Polri yaitu
dalam rangka mengoptimalkan paradigma baru kepolisian guna membangungun
kemitraan dengan masyarakat.
Perencanaan anggaran kurang dapat menerapkan konsep anggaran berbasis
kinerja (performance based budget)
sehingga perencanaan dan penentuan program pemolisian masyarakat kurang tajam.
i. Tingginya frekwensi unjuk rasa di
wilayah hukum Polres X menjadi salah satu penyebab terbengkalainya
kegiatan-kegiatan di bidang pemolisian masyarakat. Selain itu banyaknya obyek vital, kegiatan masyarakat dan
personel VVIP yang perlu diamankan juga memperberat beban pekerjaan yang harus
dilakukan oleh Polres X.
7.
Upaya Optimalisasi
Harus disadari
bahwa tidak ada satu resep yang manjur yang dapat menyembuhkan seluruh
permasalahan yang ditemukan dalam strategi pemolisian masyarakat guna guna
membangun kemitraan dalam rangka terwujudnya peran serta masyarakat dalam
harkamtibmas di Polres X. Hal ini
disebabkan karena adanya komplikasi diantara permasalahan-permasalahan tersebut
disamping keterbatasan yang dimilki oleh Polres X. Tetapi secara konseptual, upaya optimalisasi ini harus
dilaksanakan agar tujuan pelaksanaan tahap 2 Grand strategy Polri dapat
terlaksana. Hal ini dilakukan
melalui melalui upaya-upaya internal sebagai berikut:
a.
Dipelopori oleh manajer tingkat menegah di Polres X
(Kapolres) dan seluruh manajer di bawahnya, memahami kembali kegiatan pemolisian masyarakat sebagai paradigma
baru Polri sebagai kegiatan dalam rangka membangun kemitraan Polri dan
Masyarakat.
b.
Melakukan harmonisasi diantara 3 dimensi pemolisian
masyarakat yaitu pada tataran filosophy atau paradigma, pada tataran strategi
atau kebijakan, hingga tataran operasional. Dilakukan melalui sinkronisasi produk-produk dan kegiatan
dalam tiga tataran pemolisian masyarakat tersebut.
c.
Menerapkan Skala prioritas dalam pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil
evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT (OHA dan ES) Polres X.
d.
Mensinergikan
kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh Polres X sehingga pelaksanaannya tidak parsial dan terkoordinasi dengan baik
(Serse, Intel, dan Patroli).
e.
Merevitalisasi
tugas pokok dan fungsi dari Pos Polisi di jajaran Polres X dan mendukung semua
kegiatannya dengan anggaran yang memadai.
f. Menerapkan prioritas pemolisian
masyarakat terhadap komuniti atau kelompok interest. Sebagai contoh adalah komuniti Pedagang
Grosir Tanah Abang, komuniti pedagang Blok A Tanah Abang, komuniti pekerja bongkar muat (PBM)
Gambir, komuniti pecinta motor besar, komuniti pecinta Harley Davidson,
komuniti pekerja seni IKJ dll.
g.
Tidak melibatkan petugas pengemban pemolisian masyarakat
dalam kegiatan-kegiatan pengamanan unjuk rasa atau pengamanan lainnya.
h.
Membuat SDM atau personil memahami, dilakukan melalui
pembinaan, pendidikan dan pelatihan agar para petugas polisi memiliki kemampuan
dan pengetahuan yang cukup tentang Polmas. Selain itu, melakukan seleksi terhadap petugas pemolisian
masyarakat secara lebih ketat dengan lebih kedepankan pada persyaratan moral
daripada persyaratan teknis.
i. Upaya eksternal
meliputi:
1)
Melakukan kerjasama dengan pemangku kepentingan lain seperti
pemerintah daerah, DPRD, LSM yang membidangi pencegahan kejahatan, dll.
2)
Membuka dan menjalin hubungan kemitraan dengan tokoh-tokoh
baik tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pengusaha, media massa dan lainnya
dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program
Polmas.
3)
Mendorong pembentukan Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat
(FKPM) sebagai wadah kerjasama antara polisi dengan masyarakat
4)
Membangun koordinasi dan kerjasama antara FKPM dengan Polri
setempat guna memantau,
mengawasi/mengendalikan, memberikan bimbingan teknis dan arahan serta melakukan
penilaian atas keefektifan program Polmas.
5)
Meningkatkan program-program sosialisasi yang dilakukan
petugas Polmas dan setiap petugas pada satuan-satuan fungsi guna menigkatkan
kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan
stabilitas kamtibmas.
BAB III PENUTUP
8.
Kesimpulan
Bahwa strategi pemolisian masyarakat guna
membangun kemitraan di Polres X belum optimal dilaksanakan sehingga berdampak
pada terganggunya upaya pembangunan kemitraan antara Polri dengan
masyarakat. Hal ini disebabkan salah
satunya karena paradigma kepolisian yang baru yaitu yang bercorak polisi sipil
yang demokratis masih belum terinternalisasi dalam diri setiap anggota
Polri. Petugas masih seringkali mengacu
pada penerapan strategi kepolisian konvensional yang reaktif dan hanya
menekankan pada upaya penegakkan hukum.
Oleh karena itu perubahan paradigma kepolisian melalui kegiatan
pemolisian masyarakat sangat
penting untuk disukseskan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan Grand Strategy Polri tahap ke-2 yaitu Partnership building.
Faktor
yang menyebabkan belum optimalnya strategi Polmas diantaranya adalah karena
tidak dipahaminya paradigma polisi sipil melalui kegiatan pemolisian masyarakat
serta tidak sinkronnya kegiatan pemolisian masyarakat dalam tataran filosophy,
kebijakan dan operasional.
Disamping itu kegiatan ini juga masih belum menerapkan skala prioritas dalam pemolisian
masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik kerawanan daerahnya
yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis
SWOT. Kemudian upaya sinergi diantara unit-unit di Polres X dalam rangka
mendukung pelaksanaan Polmas juga belum diaksanakan. Konsep spatial dalam penerapan kegiatan Polmas juga menjadi
salah satu penghambat dilaksanakannya kegiatan ini secara optimal dikarenakan
wilayah yang luas membutuhkan SDM yang banyak.
Maka
upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengoptimalkan strategi Polmas guna
mewujudkan paradigma polisi sipil dalam rangka membangun kemitraan dengan
masyarakat dilakukan dengan cara yaitu secara
internal memahami
kembali kegiatan pemolisian
masyarakat sebagai paradigma baru Polri dalam rangka membangun kemitraan Polri
dan Masyarakat. Kemudian Melakukan harmonisasi
diantara 3 dimensi pemolisian masyarakat yaitu pada tataran filosophy atau
paradigma hingga tataran strategi atau kebijakan dan tataran operasional. Selanjutnya diperlukan pula upaya
menerapkan Skala prioritas dalam
pemolisian masyarakat yang didasarkan pada hasil evaluasi karakteristik
kerawanan daerahnya yang dikaitkan dengan dengan hasil analisis SWOT agar kegiatan
Polmas ini dapat efektif dan efisien. Upaya lainnya adalah mensinergikan kekuatan-kekuatan yang
dimiliki oleh Polres X sehingga pelaksanaannya menjadi terintegrasi dan
terkoordinasi dengan baik (Serse, Intel, dan Patroli).
Upaya
eksternal yang dapat dilakukan adalah Melakukan kerjasama dengan pemangku
kepentingan lain seperti pemerintah daerah, DPRD, LSM yang membidangi
pencegahan kejahatan lalu membuka
dan menjalin hubungan kemitraan dengan tokoh-tokoh masyaraka, disamping itu
juga lebih
kepada membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial termasuk
pengusaha, media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan instansi lintas
sektoral , Pemda, DPRD, dan unsur Muspida lainnya dalam rangka memberikan
dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program Polmas.
9.
Rekomendasi
a.
Mengusulkan
kepada Kapolda melalui Karo Personalia untuk menambah jumlah personel Polres X
mengingat tingginya frekwensi kegiatan masyarakat yang perlu diamankan seperti
unjuk rasa, kegiatan olang raga dan kegiatan personel VVIP lainnya.
b.
Mengusulkan
kepada Kapolda melalui Karo Rena untuk mengalokasikan dukungan anggaran yang
memadai bagi kegiatan pemolisian masyarakat dan Pos Polisi.
[1]
Chrysnanda Dwi Laksana, Bahan Ajaran Sespimmen Polri Dikreg ke-52 T.A. 2012,
Polisi Sipil sebagai paradigma Baru Polri
[2]
Parsudi Suparlan, Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk
Indonesia dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 6.
[3]
Chrysnanda Dwi Laksana, Membangun Polri sebagai Polisi Sipil dalam Masyarakat
yang Demokratis
[4]
Chrysnanda Dwi Laksana, Bahan Ajaran Sespimmen Polri Dikreg ke-52 T.A. 2012,
Polisi Sipil sebagai paradigma Baru Polri
[5]
Adrianus Meliala, Beberapa Masalah Substansial Terkait Polmas dalam Jurnal
polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 66 menambahkan bahwa dimensi
paradigma atau cara berfikir atau setidak-tidaknya suatu gaya (style)
kepolisian ini mengandung kompleksitas atau kerumitan dalam penuangannya.
[6]
Adrianus Meliala, Beberapa Masalah Substansial Terkait Polmas dalam Jurnal
polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 66.
[7]
Dalam Perkap Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi
Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaran Tugas Polri, Pasal 1 angka 4 huruf
a, dijelaskan bahwa policing diartikan sebagai segala hal ihwal tentang
penyelenggaraan fungsi kepoisian tidak hanya menyangkut operasional tetapi juga
pengelolaan fungsi kepolisian mulai dari tataran manajemen puncak sampai dengan
manajemen lapis bawah.
[8]
Parsudi Suparlan, Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk
Indonesia dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 25
[9]
Ada 107 Polmas dan 38 Pos Polisi dan 14 titik pelayanan samapta di seluruh
wilayah Polres X
[10] Rencana Kerja Polres Metro X tahun Anggaran 2012 menyebutkan
bahwa Personel Polres Metropolitan Jakarta Pusat sebanyak : 1817 orang terdiri
dari; Polri 1776 orang dengan
kepangkatan; Pamen 47 orang, Pama
126 orang, Bintara 1.603 orang. Sedangkan PNS 41 orang dengan
penggolongan; Gol. III 21 orang,
Gol. II / I 20 orang.
[11]
Hal ini terlihat juga dari masih rendahnya keterampilan dan kemampuan personel
Polri dilapangan terutama dalam segi penguasaan ketentuan dan
perundang-undangan, penguasaan teknologi komunikasi berbasis computer,teknologi
dan bio kimia di bidang kriminalitas modern dalam menghadapi kualitas dan
kuatintas kejahatan yang semakin canggih serta masih tingginya proses birokrasi
yang tidak efisien dalm penyelesaian perkara.
[12]
Adrianus Meliala, Beberapa Masalah Substansial Terkait Polmas dalam Jurnal
polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 66.
[13]
Parsudi Suparlan, Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk
Indonesia dalam Jurnal polisi Indonesia Edisi VIII/Mei 2006, halaman 24 - 25
[14]
Pada saat pengamatan dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2012 ada 10 titik lokasi
unjuk rasa dan 1 kegiatan pengamanan Waskita (Wakil Presiden)
0 comments:
Post a Comment