TEKNIK INTEROGASI DALAM PENYIDIKAN[1]
Post By revida putri
I. PENDAHULUAN
Pemeriksaan memegang peran penting dalam kegiatan penyidikan/interogasi untuk mencari kebenaran meteriil, sebagai suatiu kewajiban penyidik yang ditentukan dalam undang-undang. Pemeriksaan adalah merupakan salah satu tenik mencari dan menedapatkan keterangan terhadap saksi maupun tersangka dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan cara mengajukan pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada tersangka, atau saksi, guna mendapatkan keterangan, petunjuk-petunjuk dan alat bukti lainnya dan kebenran keterlibatan tersangka dalam rangka pembuatan berita acara pemeriksaan.[3] Upaya penyidikan ini mengacu pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) Lembaran Negara Tahun 1981 No. 3209 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981, dengan diundangkan KUHAP ini mengakibatkan perubahan fundamental di dalam sistem peradilan pidana, dengan perubahan fundamental ini mengakibatkan pula perubahan di dalam sistem penyidikan.
Tentu dari perubahan fundamental ini juga mengalami perubahan kultur bagi penegak hukum di lapangan, sehingga diperlukan upaya-uapaya dalam peningkatan kemampuan, kecakapan dan kemahiran dari seluruh aparatur penegak hukum dan dilakukan secara berlanjut. Penyidik sebagai gari terdepan dalam pelaksanaan penegakkan hukum senantiasa diperlukan dalam memperhitungkan akan terjadinya persoalan-persoalan yang tidak dapat dihindari, ketika berlakunya hukum acara sebelum KUHAP ini berlaku. KUHAP merupakan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bersifat unifikasi dan kodifikasi yang bertujuan untuk kepentingan nasional, ini adalah merupakan realisasi Eropa kontinental seperti Jerman, Perancis dan Belanda atau negara-negara lain seperti Jepang, yang membedaknnya hanya keadaan dalam menetapkan bentuk juridisnya dengan teknik perundang-undangan, dan tidak mengenai isinya, khususnya yang berkaitan dengan asas-asas Hukum Acara Pidana.
Kita ketahui bahwa sebelum KUHAP ini lahir dalam proses penyelidikan maupun penyidikan masih menggunakan HIR, perlakuan terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam mencari bukti dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bahkan penyiksaan seseorang mengalami kriminalisasi.[4] Hal ini dilakukan karena semata-mata untuk mengejar pengakuan, tidak didasarkan kepada pembuktian secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan atas kebenarannya. Tindakan ini dapat mengakibatkan cacat pisik dan mental terhadap pelaku tindak pidana, terjadi penyalahgunaan wewenang bahkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan hukum pidana merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 3885, Pasal 1 ke 6 menyatakan bahwa:
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut haj asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Tentunya dalam penegakkan hukum, aparat penegak hukum diharapkan tidak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran ini tidak terjadi manakali aparat penegak hukum memiliki pengetahuan tentang hukum, terampil dalam melakukan tugas secara profesional dan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Aparat penegak hukum harus memahami norma-norma yang berlaku pada masing-masing bidang hukum, karena masing-masing bidang hukum mempunyai makna penormaan yang berbeda. Apabila aparat penegak hukum khususnya Kepolisian tidak memahami “domain” masing-masing bidang hukum, maka akan diperalat dan dimanfaatkan oleh pencari keadilan dengan jalan pintas untuk segera mendapatkan prestasi dengan melaporkan ke pihak Kepolisian. Sesuai tugas dan wewenangnya dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168, menyatakan bahwa:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. [5]
Sebagai pelayan masyarakat Polri tidak boleh menolak laporan atau pengaduan yang disampaikan kepadanya, semua permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat cenderung melaporkan ke kepolisian, tidak terkecuali permasalahan yang dilaporkan menyangkut peristiwa keperdataan maupun permasalahan lainnya. Masyarakat tidak mengerti dan memahami hukum, sehingga setiap permasalahan yang terjadi dilaporkan. Apakah masalah yang dihadapi masuk dalam lingkup hukum perdata atau hukum pidana, ia tetap melaporkan ke Kepolisian dengan harapan cepat terselesaikan.
Hal ini aparat penegak hukum diharapkan dapat memahamai persoalan-persolan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan masyarakat tentu terdapat norma-norma yang berlaku berupa norma larangan (dwingend recht) seringkali dilanggar, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor lingkungan, ekonomi, keamanan dan geografis maupun karakter masyarakatnya. Sedangkan perkembangan dan kemajuan kejahatan saat ini dipengaruhi pula oleh perkembangan masyarakatnya. Dalam hubungan ini, I.S. Susanto menulis, wajah kejahatan dipengaruhi oleh bentuk dan karakter masyarakatnya, artinya masyarakat industri akan memiliki wajah kejahatan yang berbeda dengan masyarakat agraris[6]. Dengan kemajuan teknologi dewasa ini pola kehidupan masyarakat akan terpengaruh dan berkembang secara pesat, sehingga dampak yang muncul sangat mempengarui terhadap kondisi dan tatanan kehidupan masyarakat, secara perlahan tanpa disadari atau tidak, pola prilaku maupun pola pikir masyarakat ikut terpengaruh pula.
Dewasa ini perkembangan kejahatan semakin canggih, dengan modus maupun cara-cara dalam melakukan kejahatan semakin modern dengan meninggalkan pola-pola tradisional, pola-pola tradisional saat ini sudah tidak digunakan karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan situasi masyarakat dewasa ini, bahkan dalam kegiatan berinteraksi maupun pergaulan masyarakat sehari-hari dalam melakukan kegiatan cenderung mengikutinya.
Polri sesuai tugas dan kewenangannya sebagai pelayan masyarakat dan aparat penegak hukum, senantiasa bertindak secara profesional dan proporsional, dan mampu memahami terhadap peraturan perundang-undangan yang ada serta dalam melakukan proses penyelidikan maupun penyidikan terhadap suatu kasus yang diterimanya. Dalam melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus yang ditangani ternyata tidak ditemukan unsur-unsur pidananya, maka pihak Kepolisian khususnya penyidik dapat untuk menghentikan perkara, dengan mengeluarkan surat ketetapan berupa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), hal tersebut di atur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Penghentian penyidikan adalah merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara yang dilakukan apabila :
a. Tidak terdapat cukup bukti;
b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana;
c. Demi hukum karena :
(1) Tersangka meninggal dunia;
(2) Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa;
(3) Nebis en idem (tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap).
II. PEMBAHASAN
1. Pemeriksaan
a. Arti Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka, saksi ahli dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam berita acara pemeriksaan.[7] Berita acara pemeriksaan (BAP) adalah catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh penyidik atau penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penyidik atau penyidik pembantu dan tersangka serta saksi/ahli yang diperiksa, memuat uraian tindak pidana yang mencangkup/memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas penyidik/penyidik pembantu dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa.[8]
Berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berkas perkara (BP) sangat berperan penting dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-uandang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yaitu yang dikenal dengan Criminal Justis Sistem, Polri sebagai Penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai Pebutut dan Hakim sebagai pemutus dalam Persidangan. Kita ketahui hasil berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh Penyidik, dapat dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa seseorang dalam proses peradilan yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Apabila hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam berkas (BP) yang dibuat oleh Penyidik, maka dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pun akan mengalami kekliruan, termasuk vonis Hakim yang dijatuhkan terhadap seseorang palaku tindak pidana akan mengalami kesesatan.[9]
b. Syarat-Syarat Pemeriksaan
Pemeriksa selaku penyidik/penyidik pembantu dalam melakukan pemeriksaan harus memiliki kewenangang untuk melakukan pemeriksaan dalam membuat berita acara pemeriksaan (BAP), memilki pengetahuan yang cukup tentang hukum pidana, hukum acara pidana dan perarturan perundang-undangan lainnya. Mempunyai pengetahuan yang cukup dan mahir dalam melaksanakan fungsi tehnis kepolisian di bidang reserse, mahir dalam taktik dan tehnik dalam melakukan pemeriksaan.
Di samping itu pula memilki kepriabdian yang baik, percaya diri, sabar, tidak gampang terpengaruh, tekun, ulet dan memiliki kemapuan menilai dengan tepat dan bertindak secara cermat serta obyketif tanpa pilih kasih. Seorang penyidik/penyidik selaku pemeriksa hendaknya melihat seseorang yang diperiksa, apakah seorang tersangka maupun seorang saksi dan ahli harus memiliki kemampuan untuk mempersiapkan rencana pemeriksaan dengan baik efektif dan efesien. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka, saksi dan ahli ditetapkan secara khusus tempat maupu sarana pemeriksaan, sehingga tujuan dari pemeriksaan dapat berjalan sesuai dengan harapan yaitu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.
c. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan
Dalam pembuatan beriata acara pemeriksaan, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi yaitu, syarat formal dan materiil[10], pertama, syarat formal dibuat dalam bentuk tertentu dan tertulis kata-kata Pro Justitia artinya bahwa format berita acara yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu atas dasar untuk keadilan, bukan untuk kepentingan lain. Kemudian setiap lembar dari produk itu ditanda tangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan orang yang diperiksa, baik sebagai saksi, tersangka dan ahli. Kedua, syarat materiil yaitu keseluruhan isi atau meteri menyangkut urang dari peristiwa tindak pidana yang terjadi dan dapat memenuhi unsur-unsur pasal yang dilanggar atau yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana.
d. Evaluasi
Evaluasi pembuatan berita acara pemeriksaan, senantiasa dilakukan dengan cara: tahap inventarisasi, tahap seleksi dan pengkajian. Hal ini dilakukan agar keterangan para saksi, ahli dapat dijadikan dasar dan memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan kepada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya dilakukan seleksi, siapa saja yang layak untuk dijadikan saksi untuk dimasukan dalam berkas perkara (BP), dan dilakukan pengkajian untuk menguji kebenaran dengan bukti-bukti serta petunjuk-petunjuk yang ada, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan tentang kebenaran dan dapat dipercaya tentang peristiwa pidana yang terjadi dan dapat menentukan pelaku tindak pidana.
2. Pembuktian
a. Arti Pembuktian
Pembuktian adalah suatu proses untuk mencari kebenaran dalam menyelesaikan suatu sengketa atau perselisihan kepentingan, kepentingan-kepentingan tersebut dapat berhubungan dengan hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan hukum tata usaha negara. Pembuktian memegang peranan sangat penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, apabila seseorang didakwa telah melakukan pelanggaran hukum dan hasil pembuktian “tidak cukup“ maka seorang terdakwa wajib dibebaskan, namun apabila dapat dibuktikan maka seorang terdakwa dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi berupa hukuman badan atau denda.
Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, dengan bukti-bukti yang diajukan untuk mencari dan membuktikan kebenaran atau membuktikan kesalahan-kesalahan seseorang, dengan pembuktian yang telah diajukan dalam persidangan, maka seseorang dapat diketahui kesalahan-kesalahan disangkakan kepadanya sebagai dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Dari dua pengertian tersebut, maka proses pembuktian merupakan inti dari penentuan salah atau tidak seorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, dalam menjalani proses penyidikan atau pemeriksaan sidang persidangan. Penentuan salah atau tidak seseorang tidak boleh hanya ditentukan oleh pendapat pribadi Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, atau pada pengakuan tersangka/terdakwa, akan tetapi harus melalui proses pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan.
Menurut M. Yahya Harahap[11] menyatakan bahwa, pembuktian adalah merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang, untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dalam proses persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.
Hari Sangsaka dan Lely Rosita memberikan pengertian pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macm alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.[12]
Dari uraian tersebut di atas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya termuat dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
b. Alat Bukti
Dalam Pasal 184 KUHAP menyatakan, bahwa macam- macam alat-alat bukti sebagai berikut :
Ayat (1) alat bukti yang sah :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuak;
e. Keterangan terdakwa.
Ayat (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pengertian hal-hal secara umum adalah suatu hal yang secara umum diketahui tentang suatu hal atau keadaan yang biasa lazim terjadi dalam penilaian masyarakat, hal demikian yang sudah diketahui umum tidak perlu dibuktikan, yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP. Macam-macam alat bukti dahulu di atur dalam pasal 295 HIR, yang terdiri dari sebagai berikut:
a. Keterangan saksi;
b. Surat-surat;
c. Pengakuan;
d. Tanda-tanda (petunjuk).
Dalam pasal 184 KUHAP, mengandung makna ketentuan yang membatasi hakim, penuntut umum, terdakwa, maupun penasehat hukum dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Tidak boleh sembarangan dalam menilai pembuktian dan terikat pada ketentuan maupun tata cara penilian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Alat-alat bukti yang dipergunakan dalam persidangan maupun dalam mempertahankan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pasal 184 KUHAP dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Alat Bukti Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Syarat-syarat agar keterangan saksi dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai berikut:
a. Harus mengucapkan sumpah atau janji (pasal 160 ayat (3) KUHAP).
- Pada prinsipnya sumpah diucapkan sebelum memberi keterangan.
- Pasal 160 (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberi keterangan.
b. Keterangan Saksi yang bernilai sebagai bukti.
Berdasarkan pasal 1 angka 27, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana :
- Yang didengar sendiri oleh saksi;
- Yang dilihat sendiri oleh saksi;
- Yang dialami sendiri oleh saksi;
- Menyebut alasan dari pengetahuannya.
c. Testimonium de auditu (mendengar orang lain tidak bernilai sebagai alat bukti). Pendapat atau rekaan dari hasil pemikiran saksi bukan merupakan alat bukti dan tidak bernilai sebagai alat bukti. Kadangkala dalam praktek pemeriksaan pertanyaan penyidik kepada seorang saksi sudah dimulai dengan bagaimana pendapat saudara dan seterusnya, pertanyaan seperti itu jelas keliru karena saksi tidak boleh bependapat, yang berpendapat adalah ahli.
d. Keterangan saksi dalam penyidikan sebagai bahan dasar keterangan saksi di pengadilan. Keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan pada saat penyidikan harus diulang dan dipertahankan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai keterangan saksi di sidang pengadilan. Tidak ada salahnya jika Jaksa Penuntut Umum membacakan kembali keterangan-keterangan saksi yang penting dan mendukung surat dakwaan dalam berita acara pemeriksaan dalam berkas perkara.
e. Keterangan seorang saksi tidak cukup, tanpa didukung alat bukti yang lain, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. Agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, maka keterangan satu orang saksi harus ditambah dengan alat bukti yang lain yaitu keterangan ahli, surat, pentunjuk atau keterangan terdakwa, dengan ketentuan antara alat bukti tersebut harus saling bersesuaian dan saling menguatkan. Keterangan satu orang saksi tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, maka alat bukti tunggal tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kesalahan tersangka/terdakwa. (unus testis nullus testis). Timbul suatu pertanyaan bagaimana kalau saksi hanya dua orang saja, yang keterangannya saling bersesuaian dan menguatkan tanpa didukung oleh alat bukti keterangan ahli, surat petunjuk dan terdakwa menyangkal. Apakah dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk menentukan kesalahan tersangka/ terdakwa. Dalam praktek, keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan menguatkan, dapat diterima oleh hakim sebagai alat bukti untuk menentukan kesalahan terdakwa.
f. Cara pembuktian keterangan saksi yang bernilai pembuktian :
(1) Keterangan antara saksi satu dengan yang lainnya saling bersesuaian dan menguatkan bukan bertentangan dan berdiri sendiri-sendiri.
(2) Alasan saksi memberi keterangan, pada saat saksi memberi keterangan sesuatu peristiwa atau keadaan tertentu yang tidak pasti, seorang saksi dalam memberi keterangan tidak boleh ragu-ragu, keterangan saksi harus sungguh-sungguh yang dialami sendiri, dilihat sendiri atau didengar sendiri.
(3) Latar belakang kehidupan saksi, untuk mengetahui latar belakang kehidupan saksi, perlu untuk mengetahui apakah ada pengaruh dengan faktor-faktor kepribadian misalnya suka bohong, pemabuk dan lain-lain terhadap keterangan yang berikan.
(4) Pada saat penyidikan, keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah, jika tidak hadir di sidang keterangannya dibacakan dan keterangan saksi tersebut mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah.
(5) Keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah.
Suatu kesaksian agar mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat sebagai berikut,[13] antara lain :
1. Syarat obyektif :
a) tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa;
b) tidak boleh ada hubungan keluarga;
c) mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.
2. Syarat formal:
a) kesaksian harus diucapkan dalam sidang;
b) kesaksian tersebut harus diucapkan di bawah sumpah;
c) tidak dikenakan asas unus testis nulun testis.
3. Syarat subyektif/material:
a) saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia ketahui, ia dengar dan ia alami sendiri;
b) dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan mengalami sesuatu yang diterangkan tersebut.
2) Alat Bukti Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yan diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus, tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan yang di atur dalam asal 1 angka 28 KUHAP.
Dalam pasal 120 KUHAP bahwa, dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik, bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali apabila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 133 KUHAP, dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang koban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat dikirm kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Menurut Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-003/J.A./2/1984, pemeriksaan ahli terhadap otentikasi tanda tangan dan tulisan yang akan digunakan sebagai alat bukti tentang suatu peristiwa pidana, telah disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonsia dan Kepala Kepolisian Rpublik Indonesia sebagai berikut:
a) Untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminal Mabes Polri;
b) Untuk tindak pidana militer, keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminal POM ABRI;
c) Untuk perakara yang bersifat koneksitas dapat diberikan oleh salah satu Laboratorium Kriminal berdasarkan kesepakatan antara unsur penegak hukum yang duduk dalam team untuk perakara koneksitas.
Pasal 179 KUHAP, setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Dalam memberikan keterangan dengan mengucapkan sumpah atau janji dan memberikan keterangan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Dari pengaturan tentang keterangan ahli tersebut dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut :
1) Permintaan keterangan ahli dilakukan pada tahap penyidikan :
- Penyidik meminta keterangan ahli dan untuk itu ahli membuat "Laporan hasil pemeriksaan" misalnya; Visum et Repertum, laporan Audit. Dibuat dengan mengingat sumpah waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan ahli tertentu sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
- Laporan hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan Ahli.
2) Keterangan ahli diberikan di sidang pengadilan
Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim ketua sidang karena jabatan, maupun atas permintaan Jakasa Penuntut Umum, terdakwa atau penasihat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk "keterangan lisan" dan "secara langsung" diberikan oleh yang bersangkutan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera, dan untuk itu ahli yang memberi keterangan lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan keterangan. Jadi dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan tidak dapat diberikan hanya berdasar sumpah atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Tapi harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberikan keterangan. Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
3) Keterangan ahli sebagai alat bukti
a) Keterangan seorang ahli yang mempunyai keahlian khusus.
b) Keterangan ahli diperlukan untuk membuat terang perkara
pidana yang diperiksa sesuai dengan pengetahuannya.
4) Dualisme alat bukti keterangan ahli tetap satu alat bukti:
a) Keterangan ahli dalam bentuk "Laporan" dapat dikategorikan alat bukti surat (Pasal 187 c KUHAP).
b) Keterangan ahli secara lisan dan langsung baik dalam berita acara penyidik maupun keterangan dalam sidang pengadilan.
3) Alat Bukti Surat
Dalam pasal 187 KUHAP surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Yang dimaksud dengan surat dalam pasal 187 huruf a KUHAP adalah: surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk jabatan”, misalnya berita acara yang dibuat oleh seorang penyidik; surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, sesuai dengan ketentuan undang-undang, misalnya paspor, surat ijin mendirikan bangunan, surat kartu penduduk, surat ijin mengemudi, surat yang dibuat oleh seorang notaris dan sebagainya, yang kesemuanya bernilai sebagai alat bukti surat.
Macam-macam surat dapat dibedakan,[14]adalah:
- Surat biasa;
- Surat otentik;
- Surat dibawah tangan.
Jika macam-macam surat tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 187 KUHAP, maka Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP termasuk surat otentik dan pasal 187 huruf d termasuk surat biasa.
Nilai kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata surat autentik atau surat dalam bentuk resmi sebagaimana tersebut pasal 187 huruf a dan b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang “sempurna”, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim. Sedangkan dalam hukum acara pidana tidak mengatur secara khusus tentang nilai kekuatan pembuktian surat. Ditinjau dari segi teori dan di hubungkan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP dapat ditinjau,[15] sebagai berikut:
1) Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut dalam pasal 187 huruf a,b, dan c merupakan alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk surat-surat di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, dan dibuat oleh pejabat yang berwenang yang memiliki nilai bukti yang sempurna. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai “pembuktian formal yang sempurna”, dari segi formal ini dititikberatkan dari sudut “teoritis” dikesampingkan oleh beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, yaitu adanya batas minimum pembuktian yang ditentukan oleh pasal 183 KUHAP.
2) Ditinjau dari segi materiil, semua bentuk surat yang disebut dalam pasal 187 KUHAP “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Nilai kekuatan pembuktian sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan yang “bersifat bebas”. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktian, bebas untuk menggunakan atau menyingkirkan.
Dasar alasan ketidakterikatan atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas; antara lain :
a) asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (meteriel waarheid), bukan mencari kebenaran formal;
b) asas keyakinan hakim, asas ini berhubungan erat dengan sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP.
c) asas batas minimum pembuktian, ditinjau dari segi formal alat bukti surat (autentik) sebagai alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, akan tetapi kesempurnaan tidak berdiri sendiri, melainkan perlu bukti pendukung lainnya.
4) Alat Bukti Petunjuk
Dalam pasal 188 KUHAP, pengertiannya alat bukti petunjuk adalah sebagai berikut:
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; keterangan saksi; surat; keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang dutentukan dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan alat bukti lainnya. Alat bukti petunjuk dapat digambarkan sebagai alat bukti yang lahir dari kandungan alat bukti yang lain,[16] karena :
(1) selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti yang lain;
(2) alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian, apabila alat bukti yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain, alat bukti petunjuk baru dianggap mendesak mempergunakannya apabila upaya pembuktian dengan alat bukti yang lain belum mencapai batas minimum pembuktian;
(3) oleh karena itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi pembuktian dengan alat bukti lain sebelum mempergunakan alat bukti petunjuk;
(4) dengan demikian upaya mempergunakan alat bukti petunjuk baru diperlukan pada tingkat keadaan daya upaya pembuktian sudah tidak mungkin diperoleh lagi dari alat bukti yang lain.
Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sifat dan kekuatan pembuktian sama dengan pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat sifat kekuatan pembuktian yang “bebas”. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian oleh petunjuk, hakim bebas menilai dan mempergunakan dalam pembuktian.
5) Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Adalah suatu keterangan terdakwa yang disampaikan di dalam sidang pengadilan. Keterangan terdakwa lebih luas dari pengakuan terdakwa. Pengakukan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban pembuktian, proses pemeriksaan dalam pembuktian selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa mengaku, jaksa penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain, pengakuan terdakwa “bersalah“ sama sekali tidak menghapuskan pembuktian. Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa:
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.
Pengakuan terdakwa atau keterangan terdakwa bukan merupakan alat bukti yang sempurna, juga tidak memiliki pembuktian yang menentukan untuk menjatuhkan kesalahan terdakwa, melainkan perlu alat pembuktian yang lain. Dari ketentuan pasal 189 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut keterangan terdakwa dapat dibagi dua yaitu ;
(a) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang pengadilan (The Confession Outside Court), asas ini menerangkan bahwa keterangan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak mempunyai nilai kekuatan alat bukti, melainkan dapat membantu dan menemukan alat bukti dalam persidangan.
(b) Keterangan terdakwa yang diberikan dalam sidang pengadilan, baru merupakan alat bukti. Keterangan terdakwa tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia diperbuat, apa yang ia lakukan dan apa yang ia alami.
3. Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian ada beberapa ajaran yang berhubungan dengan teori pembuktian, dalam teori dikenal 4 sistem pembuktian yaitu :
a. Conviction in Time
Sistem pembuktian Conviction in time adalah sistem pembuktian yang mengajarkan dalam menentukan kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian pada ”keyakinan” hakim. Hakim dalam menjatuhkan kesalahan terdakwa tidak terikat dengan alat bukti. Dari mana hakim menyimpulkan keyakinan yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan terdakwa, dalam sistem ini tidak menjadi masalah. Keyakinan boleh diambil dari alat bukti yang dihasilkan dalam persidangan atau tidak mempergunakan alat bukti yang ada dipersidangan. Hakim langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sekalipun kesalahan terdakwa telah cukupbukti, jika hakim tidak yakin maka terdakwa dapat dibebaskan, sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti dengan melihat alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar “keyakinan” hakim. Sistem ini unsur subyektif sangat dominan. Sistem pembuktian conviction in time ini dipergunakan dalam sistem peradilan juri, misalnya di Inggris dan Amerika serikat.
b. Conviction in Raisone
Sistem pembuktian Conviction in Raisone ini masih mendasarkan pada “keyakinan” hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa, akan tetapi hakim dibatasi. Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa berdasar keyakinannya dan menguraikan alasan-alasan yang rasional (reasonable). Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal, tidak semata-mata berdasar keyakinan tanpa batas. Sistem pembuktian ini disebut dengan sistem pembuktian bebas.
c. Sistem Pembuktian Secara Positif
Sistem pembuktian positif ini menganut sistem pembuktian menurut undang-undang, yang berdasar pada alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang, keyakinan hakim tidak ikut berperan. Dalam menentukan kesalahan seseorang terdakwa didasarkan atas alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang, sudah cukup bagi hakim untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Sistem ini, hakim seolah-olah sebagai robot dalam menjalankan undang-undang, hati nurani hakim tidak ikut dalam menentukan kesalahan terdakwa. Sistem pembuktian positif ini yang dicari adalah kebenaran formal, dan sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukumacara perdata.
d. Sistem Pembuktian Secara Negatif
Sistem pembuktian negatif (negatif wettelijk) ini merupakan sistem pembuktian positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (convictioan in time). Dalam sistem pembuktian secara negatif ini hakim dalam mentukan kesalahan terdakwa didasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang dan adanya keyakinan hakim. Terdapat dua komponen dalam sistem pembuktian negatif ini untuk menentukan kesalahan terdakwa[17], yaitu :
1) pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
2) dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif” dan “subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa dan tidak ada yang dominan di antara kedua unsur tersebut.
4. Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP
Setelah dijelaskan sistem pembuktian yang ada, sistem pembuktian mana yang di anut oleh KUHAP?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita baca pasal 183 KUHAP, yang berbunyi “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekuramg-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan tentang persyaratan untuk menyatakan seseorang bersalah menurut KUHAP, yaitu Sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah; hakim memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan. Dari uraian di atas jelaslah bahwa KUHAP mengatur sistem pembuktian “negatif wettelijk”.
5. Penerapan dan Kecenderungan Sistem Pembuktian KUHAP
Dalam Pelaksanaan sistem pembuktian secara negatif dalam penegakan hukum di Indonesia baik masa HIR maupun setelah KUHAP berlaku, penerapan sistem pembuktian secara negatif sebagaimana diamanatkan dalam pasal 183 KUHAP, pada umumnya telah mendekati makna dan tujuan pembuktian.
Penutup
Bahwa berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu adalah merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dibuat dalam bentuk format tertentu yang memenuhi syarat formal maupun syarat materiil. Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu sangat penting karena di buat atas dasar untuk kedilan, yang selanjuya dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan dakwakan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dalam proses peradilan, bukan untuk kepentingan lain.
Berita acara yang telah dibuat, kemudian disusun menjadi satu bendel/berkas (yang dinamakan berkas perkara atau BP), dapat menentukan salah tidaknya seseorang dalam proses peradilan pidana, dengan bukti-bukti yang ada kaitannya dengan peristiwa pidana yang terjadi, dapat dijadikan dasar Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana di depan hakim pengadilan yang memutuskannya.
Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu yang disusun menjadi satu bendel/berkas jika salah dan keliru, maka berkas perkara yang dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, kemudian diputus oleh hakim pengadilan akan terjadi kesesatan, pada akhirnya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
DAFTAR BACAAN
BUKU
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.
-----------, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
-----------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya, Bandung, 2001.
Allot, Anthony, The Limits of Law, dalam Barda Nawawi Arief.
A. Garner, Bryan, Blacks Law Dictionary, Seven Edition, St Paul, Minn, 1999.
Bruggink,J.J.H., Rechtsreflecties, alih bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.
Black, Donal Socilogi Justice, 1986.
Englebecht, R.Susilo “Sculd” diartikan kesalahan, M.Budianto dan K.Wantjik Saleh” Sculd” diartikan kekhilafan. Lihat juga P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, 2005.
Hantum, Van, dalam J.E.Sahetapy,.(editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr.D.Schaffmeister, Prof.Dr. Nico Keijzer dan Mr. E.PH. Sitorus, Liberty, Yogjakarta, 1995.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, 2005.
Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook, Sydney, 2002.
J. Noyon-G.E. Langemeyer, Het Wetboek van Strafrecht, Arnhem : S.Gonda-Quint, l954.
JM Van, Bemmelen, Ons Strafrecht, HD-TW & Zoon NV, Haarlem, 1968,
Lamintang, PAF, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, l997.
-----------,Lamintang, P.AF, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan danKejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991,h.276.
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.
Mertokusumo, Sudikno,Mengenal Hukum, Liberty, Yogjakarta, 2004.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinika Cipta, Jakarta, 2008.
-----------,Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983
Minarno, Nur Basuki, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Negara, Laksbang Mediatama, Cet ke 1, Surabaya, 2008.
Moris L. Cohen, et.all, Legal Research in a Nut Shell, West Publishing Co., St. Paul, Minn, l992.
Moch. Anwar, H.A.K, Brigjen Polisi Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP BUKU II) Jilid I, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Packer, H.L., The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968.
Paton, G.W. Text Book Of Jurisprudence, Oxpord.
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Terbitan kelima, Ghalia, Jakarta, l985.
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
R. Dye, Thomas, dalam Barda Nawawi Arief, Penetapan Pidana Penjara Dalam Perundang-undangan Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan,UNPAD,1986.
Sahetapy, J.E. (editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keijzer dan Mr. E. PH. Sutorius, Liberty, Yogjakarta, l995.
Smith, Russel G, Crime in the Professions, Ashgate Publishing Limited, England, 2004.
Susanto, I.S, Kejahatan Koorporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.
Surakhmad, Wiranto, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Bandung, 1972.
Schaffmeister, D, D.N. Keijzer dan E.PH.Sutorius, Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,Cetakan ke II, Bandung, 2007.
Sangsaka, Hari, dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Yahya Harahap, M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Undang-undang
Undang-undang Nomor I Tahun 1946 Jo Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya Peraturan Hukum Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Tahun 1968 .
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Mabes Polri, Jakarta, September 2000.
[1]Disampaikan dalam Rangka Pelatihan Pembuktian Terkait Saksi Dalam Proses Peradilan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Airlangga Dan Bank Rakyat Indonesia Angkatan I Tanggal 13 Oktober 2011.
[2] Yahman Praktisi Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya.
[3]Lihat, Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Mabes Polri, Jakarta, September 2000, hal. 230.
[4]Suatu Istilah dari perseteruan antara “Cicak dan Buaya” dalam kasus Bibit Candra dan Susno Duadji yang menjadi perhatian Publik, Politisi, maupun para Pakar Hukum serta tidak henti-hentinya menjadi komentar atau pendapat, dalam media cetak maupun media elektronik.
[5] Lihat Pasal 13 Undang-undang Kepolisian RI Nomor 2 Tahun 2002
[6]I.S. Susanto, Kejahatan Koorporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. 5.
[7]Lihat Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Loc.Cit.
[8]Ibid. hal. 231.
[9]Lihat Kasus Penangkapan dan Penahanan serta Proses Peradilan yang dialami oleh Hambali di Jombang, ternyata ditemukan pelaku yang sebenarnya, hal ini didasarkan atas pengakukan tersangka dalam tekanan pisik maupun psikis untuk mengejar pengakuan, pembuktian tidak dilakukan secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
[10]Lihat Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Op.Cit. hal. 235.
[11]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal.273.
[12]Hari Sangsaka dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 10.
[13]Ibid. hal. 48
[14]Ibid. hal. 60
[15]M. Yahaya Harahap, Op Cit, hal. 309.
[16]Ibid. hal. 316.
[17]Ibid.hal. 279.
0 comments:
Post a Comment