Quo Vadis Perlindungan Konsumen
| |
---|---|
Oleh : Drs. M Sofyan Lubis, SH
| |
Isu paling mengemuka dalam globalisasi adalah penerapan system pasar bebas yang saat ini sedang melaju kencang melanda dunia dengan segala konsekuensinya. Keluar masuknya barang dan jasa melintasi batas negara mempunyai manfaat bagi konsumen dimana konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih barang dan jasa yang ditawarkan, namun disisi lain timbul dampak negatif, yaitu konsumen akan menjadi sasaran/objek aktivitas bisnis para pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Suatu perkembangan baru dalam masyarakat dewasa ini, khususnya di negara-negara maju adalah makin meningkatnya perhatian terhadap masalah perlindungan konsumen, sejalan dengan meningkatnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan “posisi” konsumen dalam tingkat yang terendah dalam menghadapi para pelaku usaha (dalam arti yang seluas-luasnya). Oleh karenanya pihak konsumen yang dipandang lebih lemah hukum perlu mendapat perlindungan lebih besar di banding masa-masa yang lalu. Sehubungan dengan itu di berbagai negara, khususnya di negara-negara maju dan di dunia internasional telah dilakukan pembaharuan-pembaharuan hukum yang berkaitan dengan tanggungjawab produsen ( product liability ), terutama dalam rangka mempermudah pemberian konpensasi bagi konsumen yang menderita kerugian akibat produk yang diedarkan di masyarakat. Secara khusus yang dimaksud dengan product liability adalah tanggungjawab secara hukum dari orang atau badan hukum yang menghasilkan suatu produk, dan/atau pihak yang menjual produk tersebut dan/atau pihak yang mendistribusikan produk tersebut, termasuk juga disini pihak yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari suatu produk, dan juga termasuk para pengusaha bengkel, pergudangan, para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Bahwa upaya-upaya perlindungan konsumen adalah lebih dimaksudkan untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan/atau sekaligus dimaksudkan dapat mendorong pelaku usaha di dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dilakukan dengan penuh rasa tanggungjawab. Adapun perlunya pengaturan tentang perlindungan konsumen dilakukan dengan maksud sbb : 1) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum ; 2) Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya ;3) Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa ; 4). Memberikan perlindungan kepada konsumen dari paraktik usaha yang menipu dan menyesatkan ; dan 5).Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain ; Di dalam kehidupan masyarakat sangat banyak hak-hak konsumen sadar atau tidak sadar sering terabaikan atau dilanggar oleh para pelaku usaha, apakah itu terjadi disektor perbankan/di lembaga pembiayaan, jasa telekomunikasi dan transportasi,di SPBU / POM Bensin, maupun dalam penawaran produk barang dan jasa pada umumnya melalui praktek-praktek iklan yang menyesatkan, yang di dalamnya sering terjadi : 1) Iklan Pancingan (Bait and Switch adv) yang sekarang banyak dilakukan oleh pelaku usaha dengan mengedarkan undangan kecalon konsumen untuk mengambil hadiah secara gratis kemudian konsumen dirayu untuk membeli barang dengan discount yang spektakuler padahal harga dan mutu barang sudah dimanipulasi ; 2). Iklan Menyesatkan (Mock-up-adv), dimana pada isi iklan ini keadaan atau keampuhan produk digambarkan dengan cara berlebihan dan menjurus kearah menyesatkan, seperti terjadi pada produk jamu yang banyak diiklankan, umumnya hanya menunjukkan/ mengeksploitasi hal-hal yang bersifat kehebatan dan keberhasilan produk tanpa menginformasikan akibat-akibat buruk dan efek samping yang dapat merugikan konsumen. Dan sudah menjadi rahasia umum konsumen yang merasa dirugikan enggan melakukan sesuatu atas kerugian yang dideritanya karena ketidak percayaan terhadap “Lembaga Pengadilan”, sekalipun di dalam Pasal 17 ayat (1) UUPK, yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun penjara atau denda Rp.2 Milyard, yang secara khusus mengatur tentang perbuatan yang diberikan pelaku usaha periklanan dengan memproduksi iklan yang dapat : a) Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa ; b) Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c). Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; d).Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e). Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; dan f).Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan Perundang-undangan mengenai periklanan. Namun dalam kenyataannya masyarakat konsumen yang dirugikan banyak yang belum tau/mau bagaimana menggunakan haknya. Dalam UU Perlindungan Konsumen ada tiga lembaga yang berperan dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, yaitu : 1). Menteri dan/atau Menteri teknis terkait yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan; 2).Badan Perlindungan Konsumen Nasional ; dan 3). LSM yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pada poin 1 dan 2 mewakili pemerintah sedangkan LSM pada poin 3 mewakili kepentingan masyarakat. Untuk penyelesaian sengketa dimungkinkan tanpa melalui Lembaga Peradilan yaitu melalui Lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terdiri atas unsur-unsur pemerintah, Konsumen, dan Pelaku Usaha. Sudah barang tentu keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindarkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. |
0 comments:
Post a Comment